7 DIA SANG TANGAN KANAN

Namanya Daniel. Usianya terpaut dua atau tiga tahun dibawahku. Dia masuk ke dunia hitam hanya ingin mendapatkan uang untuk biaya operasi ginjal sang Ibu. Wow manis sekali kan? Tapi sayangnya apa yang ia lakukan malah membuatnya nyaris kehilangan ginjalnya sendiri.

Aku yakin dari sorot matanya Daniel adalah orang yang cerdas dan sangat bisa diandalkan. Hanya saja, dia kurang memiliki kekuasaan. Atau mudahnya bisa dibilang, dia kekurangan uang untuk membuatnya berkuasa.

Jujur aku tidak menyukai sisi ini. Sisi yang mudah iba pada luka orang lain. Padahal, sudah bertahun-tahun sisi ini menghilang, lalu kenapa datang lagi? Apakah memang benar kalau Daniel, perlu dikasihani?

Akhirnya setelah mengeluarkan uang untuk mengobati luka Daniel. Aku pun juga melakukan hal yang sama pada Ibu Daniel. Memberikan perawatan untuk menyembuhkan ibunya dari sakit gagal ginjal. Jangan katakan aku baik! Aku melakukannya karena ada sesuatu yang mendorongku. Dan aku tidak tahu apa itu.

Setelah mengobati sang Ibu, aku juga membelikan mereka rumah. Kalian tahu? Rumah yang ditempati oleh mereka adalah rumah kumuh dengan lingkungan yang sangat tidak sehat. Aku membanyangkan bagaimana bisa seorang wanita yang berusia lima puluh tahun ke atas dan punya penyakit ginjal, tinggal di lingkungan seperti itu. Tentu situasinya tidak akan pernah membaik kan? Jadilah aku membelikan rumah untuk mereka. Bukan rumah yang bagus, tapi aku yakin lingkungannya cukup sehat. Itulah yang penting.

"Apa yang bisa aku lakukan untuk menebus semua kebaikan Anda?" Tanya Daniel saat aku memberikan sebuah kunci rumah dan selembar sertifikat atas namanya.

Jujur aku melakukan semua ini bukan karena aku ingin mendapatkan sesuatu dari Daniel. Aku melakukan ini karena sebuah hal yang sama sekali tidak aku mengerti. Atau mungkin juga, ada rasa kasihan dan sedikit iba disana. Tapi ketika Daniel menawarkan bayarannya, kenapa aku harus menolaknya? Ingatlah menolak rejeki itu tidak baik.

"Aku tidak meminta apapun, Daniel." Basa-basiku saja. "Aku hanya meminta kesetianmu dan tenagamu." Dua hal yang lebih berharga dari sesuatu yang disebut uang. Lagipula, Daniel memiliki potensi yang luar biasa untuk dijadikan sebagai partner kerja.

"Baik." Jawabnya dengan sangat yakin. "Baik Tuan, akan saya berikan. Saya akan memberikan kesetian saya dan seluruh tenaga saya untuk anda."

"Bagus." Aku senang mendengar itu. "Tapi tolong jangan memanggilku 'Tuan'. Itu terdengar sangat menjijikan. Panggil saja aku Rio. Cukup Rio. Jangan ada tambahan apapun." Sambil ku ulurkan tanganku untuk menjabat tangannya. Kami pun saling berjabat tangan.

~oo0oo~

Semenjak ada Daniel, bisnisku semakin berkembang. Kini aku tidak hanya berbinis senjata ilegal. Tapi juga membuka bisnis jasa detektif dan bodyguard. Hebatkan. Hebatnya lagi, Jasa detektif dan bodyguard adalah bisnisku yang legal, yang sudah mendapatkan izin. Jadi, tidak perlu sembunyi-sembunyi dalam melakukan transaksi.

Hubunganku dengan Daniel juga baik. Sangat baik malah. Bahkan saat acara wisudaku, Daniel dan ibunya datang sebagai ganti orang tuaku. Mulai saat itulah aku mengerti apa yang dinamakan sebuah keluarga. Sebuah ikatan yang saling melindungi, saling menjaga dan saling menghargai.

Kembali pada bisnisku. Bisnis yang aku rintis dan aku pimpin mulai berkembang sangat pesat. Grafik keuntungannya disetiap tahun selalu mengalami peningkatan. Ya meskipun berbagai ombak dan terjangan tetap selalu ada. Tetapi semua itu tidak memberikan dampak yang berarti.

Aku terus dan selalu fokus pada bisnisku, tentunya juga dibantu Daniel. Sampai akhirnya, pikiranku mulai bercabang karena ku melihat berita tentang ke pailitan Pak Handoko. Saat itulah, ada sebuah ide kreatif muncul dari otakku dengan dukungan sisi gelapku.

~oo0oo~

"Aku tahu orang ini." Ucap Daniel saat aku sodori sebuah koran yang memuat foto Pak Handoko, lengkap dengan berita tentang utang-utangnya. "Selain sebagai ketua cabang perusahan semen, dia juga pemilik bisnis properti terbesar di provinsi ini kan?"

"Selain itu? Ada lagi?"

"Yang kau maksud keburukannya?" Daniel mengerti apa yang aku maksud. "Kenapa kau tertarik?" Tapi aku tidak menyukai sifat keingintahuannya.

"Entahlah, dia hanya terlalu menarik saja untuk diungkap kejahatannya. Dia pasti punya catatan gelap kan?"

"Sekitar lima belas tahun yang lalu, dia menipu sebuah kampung. Dia membuat seluruh warga kampung itu untuk menyerahkan sertifikat tanahnya secara cuma-cuma. Dua minggu setelahnya, warga kampung tersebut terusir dari kampungnya sendiri. Enam bulan kemudian, kampung yang dirampas secara paksa itu telah berubah menjadi cluster yang mewah. Anehnya, para warga kampung itu tidak memdapatkan uang ganti rugi sepersenpun."

"Namanya juga dirampas mana mungkin akan diganti. Kau memang benar-benar payah dalam mengolah bahasa." Ejekku sambil menyesap kopi yang ada di depanku. "Ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa tahu semuanya?"

"Karena...karena...karena aku adalah korban mereka." Ucapan Daniel membuatku terkejut. "Karena mereka, karena perbuatan mereka, ayahku pun pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya."

Jujur aku penasaran dengan apa yang terjadi pada keluarga Daniel saat itu. Tapi melihatnya mulai beremosi, aku pun enggan bertanya lebih. Lagipula rasa penasaranku tidak akan mendapatkan keuntungan apapun. Sebaliknya, itu malah akan membuat Daniel semakin terluka.

"Sudahlah, itu sudah masalalu." Hiburku sambil memberi tepukan ringan pada pundaknya. "Kau semakin terlihat mengenaskan jika ekspresimu masih seperti itu. Pantas saja, tidak ada seorang gadis pun yang mau mendekatimu." Aku harap kata-kataku bisa menghibur Daniel. Ayolah aku sangat buruk dalam membuat humor.

"Apa yang kau inginkan?" Pertanyaan Daniel secara tiba-tiba membuatku terkejut dan bingung. "Apa yang kau inginkan dari Pak Handoko?"

Kali ini aku tersenyum bahagia dengan pertanyaannya. Aku yakin, Daniel akan melakukan semua hal untukku.

"Keburukannya." Jawabku santai. "Keburukannya untuk menghancurkannya. Menghancurkan hidupnya maupun menghancurkan kehormatannya."

Dan inilah awalnya. Pembalasan dendamku yang sebenarnya.

Bersambung....

avataravatar
Next chapter