15 AKHIR SEBUAH CERITA

Sudah ada empat hari ini, Tiara selalu datang ke kantorku sambil membawakan bekal makan siang. Dan sudah ada empat hari pula, Daniel selalu mengunjungi ruangku tanpa ada penyebab yang jelas. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa Tiara akan datang saat jam makan siang kurang dari sepuluh menit. Lalu, Tiara akan pergi begitu Daniel datang.

Oh tidak! Aku dan Tiara tidak lagi melakukan hal yang tak senonoh di kantor ini. Itu terlalu membahayakan.

Dan begitu juga dengan hari ini. Daniel sudah ada di depanku semenjak dua menit yang lalu. Itu artinya, Tiara juga sudah keluar dari ruanganku semenjak dua menit yang lalu. Sungguh, dua menit jika bersama Daniel, itu terasa sangat lama sekali.

Jangan dikira aku tidak penasaran dengan sikap Daniel. Aku penasaran. Aku sangat penasaran. Aku menunggu dia mengatakannya sendiri. Tapi sampai saat ini, kata-kata yang aku tunggu itu belum keluar juga dari bibirnya. Sungguh, akhir-akhir ini Daniel terlihat double menjengkelkan.

"Kau mencintainya?" Pertanyaan Daniel yang samar ditangkap oleh kepalaku. "Apa kau mencintainya, Rio?"

"Apa? Siapa? Kau bicara_"

"Tiara. Aku membicarakan Tiara." Kata-kata Daniel membuat persaanku seperti batu karang yang diterpa sebuah ombak besar. "Apa kau mencintai Tiara, Rio?"

"Apa yang kau bicarakan? Kenapa kau bertanya seperti itu?"

"Dia hamil anakmu, Rio. Wajar jika aku bertanya seperti ini. Kau akan bertanggung jawab kan?

"Ya. Aku tahu dia hamil anakku. Dan aku akan bertanggung jawab." Ucapku dengan lantang dan mantab. "Aku akan memenuhi seluruh biaya kelahirannya, keperluannya, dan pendidikannya. Seperti yang kau bilang, dia anakku. Dan sebagai ayahnya, aku akan melakukan semua itu."

"Lalu Tiara? Bagaimana dengannya? Kau akan menikahinya_"

"TIDAK!" Sanggahku cukup keras. "Tidak akan ada pernikahan antara aku dan Tiara."

"Tapi kau bilang kau akan bertanggung jawab_"

"Bertanggung jawab tidak harus dengan pernikahan, Daniel. Kau harus tahu itu!" Aku masih menggunakan nada tinggi. Sumpah! Aku tidak menyukai obrolan ini. "Tanggung jawabku adalah aku akan merawat anak Tiara. Aku yang akan mengasuh anak Tiara. Tiara akan menikah! Tapi bukan denganku!" Ucapanku sepertinya membuat Daniel terkejut. "Setelah anak kami lahir, aku akan menjodohkan Tiara dengan Pria lain. Dengan begitu, dia tidak mempunyai kesempatan untuk menganbil hartaku_"

"Tiara mencintaimu, Brengsek! Dia mencintaimu! Dan aku yakin, kau pun juga sama_"

"Aku tidak mencintai Tiara, Daniel! Aku tidak mencintainya. Begitu pula Tiara. Tidak ada perasaan apapun diantara kami." Aku tidak mengerti kenapa Daniel begitu menentangku dalam hal ini. Ini adalah pertentangan pertama kami yang membuatku benar-benar muak dengannya. "Pergilah Daniel! Kau tidak berhak mencampuri urusan pribadiku! Aturlah hidupmu sendiri!"

Daniel memberikan senyuman sinis yang membuatku ingin sekali memukulnya saat ini juga. "Kau munafik, Rio! Jika kau tidak mencintainya, kenapa kau masih menidurinya. Kau bahkan menuruti semua_"

"Dia hanya pemuas nafsuku! Dia hanya pelacurku! Tidak lebih_"

"Praanggg!" Kata-kataku terhenti karena aku mendengar suara barang jatuh. Aku pikir itu ulah sekertarisku yang sedang menjatuhkan sesuatu.

"Kau yakin dia hanya pemuas nafsumu? Kau yakin Tiara hanya pelcurmu?" Ucapan Daniel benar-benar membuatku geram. Tidakkah dia mengerti jika aku benar-benar sangat muak dengan pembicaraan ini.

"Aku bisa memanggil berbagai pelacur yang bisa memuaskanku tanpa harus memperdulikan Tiara! Tapi aku tidak melakukannya karena aku peduli dengan citraku. Dan sebaiknya, segeralah kau pergi dari sini. Sebelum aku benar-benar menghabisimu. Kau tidak ingin mati di tanganku, kan?"

Daniel pergi menuju pintu keluar tanpa membalas kata-kataku. Dia diam dengan ekspresi beribu misteri. Saat kurasa dia sudah benar-benar pergi dan menjauh dari ruanganku, aku pun bisa bernafas lega. Sungguh! Daniel telah berhasil membuat emosiku nyaris meluap.

"Kau tahu Rio?" Astaga! Daniel! Kenapa dia kembali lagi! Apa dia benar-benar ingin aku menghajarnya? "Sekertarismu tidak ada di depan." Lanjutnya tanpa rasa bersalah. "Dan aku menemukan ini tepat di depan pintumu." Dia sambil menunjukan tutup dari kotak bekal. Serius! Aku sangat tahu tutup itu, itu adalah tutup dari kotak bekal milik Tiara.

Apa Tiara belum pulang? Apa Tiara masih di depan saat aku sedang berbicara dengan Daniel? Kenapa aku merasa panik? Astaga! Itu hanya tutup bekal. Dan tidak hanya Tiara saja yang memiliki tutup bekal seperti itu. Ada banyak orang, bahkan ribuan. Jadi aku tidak perlu sepanik ini.

"Rio." Suara Daniel menghentikan lamunan panikku. "Aku harap hari ini, esok dan mungkin seterusnya, kau akan mendapatkan kebahagian yang kau inginkan. Kasih yang kau butuhkan. Mengertilah, aku seperti ini karena aku tidak mau kau menyesal. Sebab, kau adalah orang yang berharga untukku."

~oo0oo~

Aku pulang saat malam belum terlalu larut. Hari ini aku tidak berkerja dengan efektif. Ini semua karena Daniel. Karena dia pikiranku kacau, berantakan dan menjalar kemana-mana. Daripada aku lelah, lalu emosi dan tidak bisa mengendalikan diri, lebih baik aku segera pulang saja.

Saat aku memasuki rumah, kulihat Tiara duduk di ruang tamu. Sepertinya, dia sudah menyadari kedatanganku. Itu dapat dilihat dari matanya yang menatapku dengan sangat fokus. Entah kenapa, aku memiliki firasat yang tidak baik karena ini.

"Kau belum tidur?" Basa-basiku untuk mengusir pikiran macam-macamku. Sumpah demi apapun! Aku berharap tutup bekal yang ditemukan Daniel, bukanlah milik Tiara. "Kenapa kau_"

"Aku menunggumu." Potong Tiara dengan nada yang serak. Dia seperti menahan emosi.

"Kenapa? Ada apa? Apa ada sesuatu dengan anak kita?"

"Dia baik-baik saja." Tiara membelai perutnya. "Aku hanya ingin mengatakan sesuatu padamu, kak."

"Katakan saja." Ucapku sambil membuka kancing-kancing kemejaku karena merasa gerah. "Tapi biarkan aku mandi terlebih dahulu_"

"Aku mencintaimu." Ucapan Tiara membuatku menghentikan aktifitasku. Aku tidak hanya membeku, tapi aku juga mematung. Aku bahkan tidak bisa menggerakkan anggota gerakku. "Aku mencintaimu, kak." Ulangnya lagi. "Aku mencintaimu. Sejak dulu. Sejak sebelum kau menyentuhku."

"Kau ini bicara apa, Tiara? Sepertinya kau sedang demam_"

"Aku baik-baik saja. Aku hanya mengatakan isi hatiku. Aku hanya mengungkapkan perasaanku_"

"Cukup Tiara!" Bentakku. "Jangan bicara ngelantur! Aku tahu kau sedang hamil. Hormonmu sedang tidak stabil. Tapi bukan berarti kau bisa bebas berbicara. Kau harus bisa untuk mengendalikan hormon_"

"AKU MENCINTAIMU, KAK! AKU SERIUS DENGAN PENGAKUANKU!" Tiara berteriak dengan air mata yang menggenang. "Aku tahu tentang diriku. Aku tahu tentang hatiku. Dan aku tahu jika aku mencintaimu."

"Aku tidak mencintaimu." Ku keluarkan nada dinginku. "Aku tidak mencintaimu, Tiara. Dan tidak akan pernah. Aku juga bukanlah orang yang percaya dengan adanya cinta. Bagiku, tidak ada cinta di dunia ini. Yang ada hanyalah hubungan untung dan rugi. Dan menjalin hubungan denganmu, aku sama sekali tidak melihat keuntungannya. Jadi berhentilah menjadi wanita naif menjijikan yang mengatas namakan cinta." Aku mengatakan semua itu dengan amarah yang membara. "Jujur! Kau benar-benar membuatku jijik!"

Aku pergi ke kamarku dan meninggalkan Tiara sendiri. Isakkannya terdengar jelas di telingaku. Tetapi aku tidak mau menghentikan langkahku. Aku tidak mau melihatnya. Aku tidak mau menatapnya. Aku tidak mau kehamilan Tiara mengendalikan diriku. Walau harus aku akui, bahwa pengakuan Tiara hampir membuat hatiku lemah.

~oo0oo~

Aku terbangun dengan alarm ponsel yang menggelegar nyaring di sebelah telingaku. Sebenarnya aku sangat kaget dan terkejut karena itu. Sebab, aku hampir tidak pernah menggunakan alarm untuk membangunkan tidurku. Kalau pun aku sudah mengatur alarm, sebelum alarm berbunyi aku pasti sudah terbangun.

Ya, Tiaralah yang membangunkanku lebih dulu dibanding alarm yang sudah diatur. Mungkin, hari ini dia tidak melakukannya karena pembicaraan kami kemarin. Pembicaraan yang benar-benar sangat ku benci. Mengingatnya, membuatku jadi malas untuk bertemu dengannya.

Aku turun dari tempat tidur dan menuju kamar mandi untuk persiapan kerja. Setelah itu, segera ku tuju meja makan. Aku memang sedang tidak minat bertemu Tiara, tapi rasa laparku tidak bisa diajak berkerja sama. Jadi mau bagaimana lagi selain menurutinya.

Beruntungnya, di meja makan tidak ada siapa-siapa. Namun disana sudah ada sepiring nasi, semangkuk sup dan seporsi telur dadar yang sudah tersaji. Mereka terlihat lezat dan menggoda. Aku pun segera memakannya sebelum Tiara melihatnya. Setelah itu, aku mengendarai mobilku untuk menuju ke kantor.

~oo0oo~

Jam masih menunjukan pukul 17:30, namun aku sudah berada dalam perjalanan pulang. Hari ini aku dan Daniel pergi mengurusi pelegalan pabrik senjataku. Sungguh, prosesnya benar-benar tidak mudah. Meskipun aku sudah memperkirakan bahwa ini akan sulit, tetapi aku tidak menyangka akan sesulit ini. Dan semua ini benar-benar membuatku lelah.

Hampir magrib aku sampai di halaman rumah. Aku pun merasa aneh dengan rumahku yang masih terlihat gelap. Padahal sinar matahari sudah mulai sirna. Kenapa Tiara tidak menyalakan lampunya?

Aku pun memasuki rumahku dan menyalakan berberapa lampu agar rumahku tidak seperti rumah hantu. Kemudian aku menuju dapur untuk mencari air dingin yang ada di lemari es. Ketika aku melewati meja makan, mataku tertuju pada piring-piring kotor yang berserakan diatasnya. Saat aku amati lebih jauh, piring-piring itu adalah piring-piring bekasku waktu sarapan tadi. Kenapa Tiara belum merapikannya?

"Tiara!" Ku panggil namanya, namun belum ada sahutan. "Tiara! Tiara cepat kemari!" Tidak ada yang merespon teriakanku. "Tiara! Dimana kau?"

Aku menjauh dari dapur dan kulangkahkan kakiku menuju halaman belakang. Sebab, biasanya Tiara sering menghabiskan waktunya disana, tepatnya di bawah pohon persik. Tetapi ketika aku sudah sampai di halaman belakang, aku tidak menemukan siapapun disana. Kemana Tiara?

"Tiara!" Masih terus ku teriakan namanya. "Tiara kau ada dimana?"

Aku menuju kamarnya. Siapa tahu dia sedang tidur. Meskipun aku tidak pernah melihat Tiara tidur disaat magrib begini. Aku buka pintu kamarnya yang kebetulan tidak dikunci. Hasilnya, tidak ada siapapun di kamar itu. Aku tidak menyerah, aku pun masuk ke dalam kamar mandinya. Kosong. Di kamar mandi pun juga kosong.

"Tiara!" Teriakku frustasi. Aku tidak mau berfikir yang macam-macam. Aku tidak mau berfikir yang aneh-aneh. Aku tidak mau berfikir bahwa Tiara telah pergi dari rumah ini. Aku tidak mau berfikir bahwa Tiara telah meninggalkanku. Meskipun sebenarnya, otakku mulai berbisik pada hal-hal yang seperti itu.

"Tiara! Dimana kau? Cepat keluar!" Aku masih berteriak. Berharap teriakanku mendapatkan balasan. Namun harapanku sirna, karena yang membalas hanyalah pantulan gaungku sendiri.

Ku dekati ranjang Tiara. Ku dudukan diriku disana. Aku berusaha mengusir pikiran-pikiran yang mencoba mengatakan padaku bahwa Tiara telah meninggalkanku.

Saat kuremas sperei untuk meluapkan emosi dan amarahku. Saat itulah saraf tanganku merasa ada sebuah kertas yang ikut teremas. Benar. Itu adalah sebuah kertas, atau lebih tepatnya itu adalah sebuah surat. Dan dari bentuk tulisannya, aku tahu bahwa Tiaralah yang menulisnya. Tanpa menunggu lagi, segera ku baca surat itu.

'Kak, maaf. Aku pergi dari rumah ini. Sebab tinggal denganmu yang melarangku untuk mencintaimu, itu adalah hal yang sulit untukku. Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Dan aku tidak punya kuasa untuk mengendalikan cinta ini. Jujur, aku sudah berusaha membencimu tetapi hasilnya tidak seperti yang aku harapkan. Cinta itu tetap bersemanyam nyaman di hatiku.

Aku tahu, bahwa semua yang sudah kita lakukan adalah sebuah pembalasanmu pada kami. Aku tahu, kehangatan yang selalu kau bagi padaku adalah luapan dendam dan kebencian yang kau balaskan pada keluargaku. Aku tahu, bahwa aku hanyalah sebuah alat untuk meredakan amarahmu pada Papa dan Mama. Aku tahu itu, kak. Tapi aku tidak tahu, kenapa aku masih tetap saja mencintaimu. Aku tidak tahu kenapa hatiku masih saja memilihmu. Dan aku tidak bisa melawan hatiku.

Aku sadar, perlakuan kami padamu waktu itu memang benar-benar tidak pantas. Tetapi jika aku boleh memohon. Jika aku boleh meminta. Tolong kak, tolong maafkan Mama dan Papa. Aku mohon, tolong maafkan mereka. Aku mohon, jangan benci mereka lagi. Tolong, kabulkan permohonanku.

Dan untuk anak yang masih tidur nyaman di rahimku, izinkan aku untuk membawanya. Izinkan aku untuk memilikinya. Kau tahu bukan? Aku sudah kehilangan anak sebelumnya, aku juga sudah kehilangan kedua orang tuaku. Bahkan saat ini, aku pun ditolak mati-matian oleh pujaan hatiku. Bisa dibilang aku juga kehilangan cintaku. Aku tidak mau kehilangan lagi. Jadi aku mohon, biarkan malaikat kecil kita ikut denganku. Aku janji, aku akan menjaganya, merawatnya dan mencintainya. Oh bahkan, saat aku tahu dia sudah ada di rahimku, aku pun sudah jatuh cinta padanya. Tolong, relakan dia untukku ya.

Akhir kata, terima kasih atas semuanya dan jaga dirimu baik-baik, kak. Selamat tinggal.'

Aku meremas surat itu untuk menahan kekecewaanku. Aku meremas kuat surat itu untuk menahan air yang mulai keluar dari kedua mataku. "Arrghh!" Aku berteriak untuk mengeluarkan sesak di dalam dadaku.

Aku berlari ke lemari Tiara. Berharap kalau kepergian Tiara hanyalah sebuah candaan. Berharap kalau baju-baju Tiara masih ada di lemari itu. Berharap bahwa semua ini tidaklah benar. Namun saat aku buka lemarinya, disana tidak ada apapun. Kosong. Tidak ada pakaian sama sekali.

Kemudian, mataku tertuju pada laci di dalam lemari yang masih terkunci. Aku membuka kunci laci itu dengan paksa. Berharap, kalau laci itu akan memberikan petunjuk padaku atas kepergian Tiara. Tetapi isi dari laci itu malah menambah sakit di hatiku. Laci yang terkunci itu berisi baju-baju yang sering ku pakai sepuluh tahun yang lalu. Dan...sebuah ponsel.

Ponsel itu adalah ponselku waktu itu. Ponsel yang menyimpan foto dan rekaman video asusila Tiara. Ponsel yang aku gunakan untuk mengancamnya. Kenapa dia masih menyimpannya? Kenapa dia menyimpan semuanya?

Aku masih penasaran dengan semua isi laci itu. Saat aku menggeledahnya lebih jauh, aku menemukan fotoku sendiri disana. Dan dibalik foto itu ada tulisan 'Aku merindukanmu. Semoga kau baik-baik saja. Cepat pulang, Kak.'

Selama itukah kau mencintaiku Tiara? Sedalam itukah cintamu padaku Tiara? Kenapa kau mencintaiku? Kenapa kau memilihku? Apa yang kau dapat dari cinta ini, Tiara? Apa yang kau dapat dari cintamu? Dan apa yang kau dapat dari diriku?

"TIARA!" Aku membanting pintu lemari malang itu dengan sangat keras.

!TAMAT!

Ya udah tamat...😭

Sssttt! Di google book masih ada kelanjutannya lho...

jadi buruan beli biar rasa penasarannya segera terobati.😄

oke terimakasih ya yang sudah membaca cerita ini. Yang sudah memberi vote dan koment aku berterimakasih banyyaak...

Untuk yang udah beli 'SEBUAH NODA ' di 'QUEENCY PUBLISHER' boleh dong aku minta kritik sarannya disini. Sekalian aku mau ngucapin Terimakasih yang sebesar-besarnya karena udah mengorbankan uang kalian untuk Satrio dan Tiara. Oke... see you again in next my story...😘😘😘😘😘

avataravatar