1 Prologue

Semenjak kecil aku telah tertarik pada suatu hal, yang tak pernah dapat terlupakan hingga sekarang. Hal tersebut bukanlah sebuah kenangan, benda, maupun orang. Hal yang tak lekang oleh waktu itu adalah sebuah negara, dimana matahari terbit begitu indahnya beserta pohon-pohon berwarna merah mudanya yang bermekaran. Negara yang kumaksud tersebut adalah Jepang.

Banyak orang yang mungkin bertanya-tanya, mengapa bisa seseorang tertarik pada sebuah negara pada sewaktu kecil ? Dimana biasanya anak kecil tertarik pada mainan serta acara kartun. Alasanku menyukai Jepang pun tidaklah jauh dari kalimat sebelumnya. Awal mula diriku tertarik adalah saat diriku pertama kali melihat tayangan film mereka ditayangkan pada televisi tabung yang usang. Kalau tidak salah pada saat itu tengah tayang film yang menceritakan seorang manusia yang memiliki kekuatan untuk berubah menjadi semacam raksasa. Tujuan dia berubah menjadi raksasa adalah demi menyelamatkan kotanya dari serangan monster, meski ketika mereka tengah bertarung terkadang juga merusak bangunan-bangunan yang ada di kotanya. Aku sendiri sampai mengingat judul dari tayangan tersebut sampai saat ini, Ultraman Cosmos adalah nama filmnya. Meski, aku juga menonton seri Ultraman lainnya sewaktu kecil seperti Gaia, Tiga, atau Dyna. Tetap, Cosmos adalah yang paling mengenang di hatiku. Karena di series tersebut, si Ultramannya tidak semerta-merta bertarung untuk mengalah monster. Tetapi ia juga terkadang menyadarkan monsternya untuk berubah menjadi monster baik. Kok malah jadi menjelaskan series Ultraman yang kugemari.

Sebenarnya banyak tayangan dari Negeri Sakura tersebut yang kugemari semenjak kecil. Mengingat televisi dahulu banyak menayangkan acara Jepang seperti tiada habisnya. Aku ingat beberapa yang kutonton dulu seperti Kamen Rider, Godzilla, maupun anime-anime lawas seperti Ninja Hatori, Doraemon, Naruto, Bleach, Sailor Moon, One Piece atau acara TV seperti Masquerade, Benteng Takeshi, TV Champion, dan sebagainya. Memang, dari kecil aku sudah dijejali oleh acara Jepang. Namun justru bukan itulah penyebab diriku menyukai mereka. Penyebabnya karena diriku berpikir, bagaimana bisa negara seperti mereka yang lebih kecil dari Indonesia bisa menciptakan begitu banyak film serta acara yang menarik dan memiliki banyak makna tersirat yang berbeda di tiap acaranya ?

Sayangnya pertanyaan tersebut terlalu berat bagi anak kecil sepertiku, sehingga aku pun terus menyimpan pertanyaan tersebut di dalam hatiku. Meski tertanam dalam di hati, aku tidak pernah melupakannya. Semakin waktu berjalan, diriku semakin mencari-mencari dan terus mencari. Hingga perlahan aku menemukan suatu jawaban yang mampu membuat diriku mengerti.

Mereka tidaklah semerta-merta mampu menciptakan semua itu dengan singkat. Jepang memiliki sejarah yang begitu panjang, begitu gelap, hingga hampir berada di ambang kehancuran, dan mereka mampu kembali untuk bangkit menjadi salah satu negara yang berpengaruh besar di dunia. Aku kagum dengan perjuangan mereka. Meski begitu, bukan berarti aku tidak bangga terhadap negeriku sendiri. Aku sangat bangga pada Ibu Pertiwiku, aku mengagumi Jepang dengan memiliki pikiran bahwa mungkin... mungkin kita bisa memetik beberapa hal dari perjuangan mereka untuk negeri kita sendiri.

Rasa kagum tersebut terus terbangun, sampai diriku memiliki impian untuk menginjakkan kaki ke Negeri Sakura. Berangan-angan dapat pergi ke sana demi mengais lebih jauh pertanyaan di dalam hatiku yang belum terjawab sepenuhnya. Merasakan aroma manis dari kelopak bunga sakura terbang terbawa oleh angin hangat musim semi, menikmati rasa segar dari sushi yang disajikan langsung oleh kokinya, mengamati setiap festival unik di Kyoto, maupun duduk di tepi Danau Kawaguchiko untuk mengagumi Fujiyama.

Pergi ke sana bagaikan angan-angan terbesar bagiku, mengingat aku bukanlah orang yang terlahir dari keluarga yang mampu. Kedua orang tuaku bekerja dengan gaji yang pas-pasan, hidup di tengah kesederhanaan. Juga, aku tidaklah memiliki bakat khusus maupun otak yang encer. Sewaktu SD aku memanglah sering mendapat peringkat tertinggi di kelas, namun ketika diriku mulai menginjak SMP yang bergengsi dan dipenuhi oleh anak-anak pintar dari seluruh penjuru kota. Di situlah aku mulai sadar bahwa kepintaranku bukanlah sesuatu yang dapat kubanggakan, aku hanya beruntung.

Meski begitu, aku tetap berusaha untuk mengejar impian yang jauh tersebut. Aku ingin mewujudkannya, oleh karena itu... mulai hari ini... aku akan berjuang dengan keras agar impian tersebut—

BYURR

"Bwah !!!"

Sebuah percikan yang teramat keras menghantam wajahku. Bukan hanya itu saja, selain basah dan juga dingin, mulutku juga tersedak olehnya. Mau tidak mau aku terbangun langsung oleh sesuatu yang kurasakan seperti air yang disiram begitu kerasnya padaku.

"Theo, mau sampai kapan kau mau tidur terus-terusan ?! Sudah pagi !"

Ketika aku tengah berusaha untuk menggapai nafasku yang terengah-engah karena air yang juga masuk ke hidungku, Ibuku dengan kerasnya memarahiku. Aku menatap pada arah suara tersebut, mendapatinya yang tengah memegang gayung yang meneteskan beberapa tetes air. Yang menjelaskan, bahwa ia baru saja mengguyurku menggunakan gayung di tangannya.

"Sudah Ibu bilang jangan tidur terlalu malam. Setiap hari menonton kartun-kartun Cina itu sampai malam, apa manfaatnya."

"Itu bukan kartun Cina, itu buatan Jepang !"

"Keduanya sama saja. Serta, dari kemarin bukankah sudah Ibu bilang. Bereskan kamarmu !"

Aku melihat ke sekitar kamarku yang memang... terlihat seperti kapal pecah. Dengan banyak benda-benda berserakan di sana-sini, buku-buku di tempat tidur serta kertas-kertas yang memenuhi lantai kamarku. Membereskan semuanya merupakan hal yang tidak kusukai, karena alasan aku menaruhnya di sembarang tempat memang sengaja. Agar diriku bisa mengambilnya dengan mudah.

"Lalu, Theo..." Ibu kemudian berhenti tepat di depan meja yang biasa kugunakan untuk belajar.

Dia berdiri di sana, mengambil sebuah kertas yang tergeletak pada meja tersebut. Aku langsung membisu saat ia berbalik untuk menghadapku, memalingkan muka darinya. Kertas yang ia pegang... adalah hal yang selama ini terus kukejar walau ia melarangnya. Sebuah formulir pendaftaran program ke Jepang yang selama ini kusimpan.

"Mau sampai kapan kau ingin pergi ke Jepang ? Kau sendiri tahu bukan, kita bukanlah keluarga yang memiliki banyak uang. Apalagi nilaimu selama ini pas-pasan. Memangnya kau bisa pergi di tahun ketigamu ini ?"

Aku tetap diam, tidak berani untuk menjawab pertanyaan tersebut maupun menggerakkan mataku ke arahnya.

"Lebih baik kau fokus untuk masuk ke perguruan tinggi. Itu lebih bagus untukmu... maupun kedua orang tuamu."

Langkah kaki terdengar dihentakkan olehnya disertai suara pintu yang perlahan tertutup. Ibu telah meninggalkan ruanganku setelah selesai mengatakan semua hal tersebut padaku.

Jujur, perkataannya bukanlah yang pertama bagiku. Dia terus menerus mengatakan padaku untuk menghentikan usahaku yang begitu ngototnya ingin pergi menginjakkan kaki di Negeri Matahari Terbit. Mendengar perkataannya tidaklah lagi membuatku marah seperti dahulu, justru... dulu ia lebih kejam lagi sewaktu mencegah diriku. Hampir semua barang-barang koleksiku yang berhubungan dengan Jepang ia buang ke kotak sampah.

Meski begitu...

"Bagaikan pungguk merindukan bulan... kah..."

Perkataannya memang tidak sepenuhnya salah. Mungkin lebih baik bagiku untuk fokus ke perguruan tinggi saja mengingat diriku sekarang yang telah menginjak kelas 3 SMK. Ya, Sekolah Menengah Kejuruan yang ditujukan untuk langsung bekerja. Dia tidak ingin diriku bekerja setelah lulus, sehingga ia memaksaku untuk masuk ke perguruan tinggi walau aku berada di SMK. Sebuah pilihan yang beresiko bukan.

"Memangnya tekadku bisa segampang itu dijatuhkan apa, Ibu."

Kudekati meja belajarku, mengambil kertas putih yang baru saja ia lemparkan ke sana. Memandangi kertas putih dengan garis-garisnya, bertuliskan huruf besar di atasnya, 'Formulir Pendaftaran Program ke Jepang'. Aku telah menyimpan formulir ini semenjak menghadiri sosialisasi yang berada di aula sekolahku. Di sana menjelaskan beberapa hal yang dapat dilakukan oleh kelas 3 setelah nantinya lulus dari sekolah, antara kerja atau kuliah. Salah satunya adalah program ke Jepang ini. Namun, formulir ini masih terbengkalai sampai sekarang.

Seragam putih abu-abu yang terpajang bersih di dinding mengingatkanku. Sudah sangat lama waktu berlalu hingga sekarang. Aku pun... hampir membuang impianku jauh-jauh pada saat diriku menginjak SMP. Bersamaan dengan ingatan kelam... yang tak dapat hilang dari kepalaku.

"Dasar anak aneh, setiap hari memikirkan Jepang, Jepang, dan Jepang terus."

"Anak Jepang kah kau ini ?! Sok-sokan kaya bisa ke Jepang saja !"

Ejekan dan cemoohan yang kuterima berkali-kali, tertawaan mereka yang merendahkan impian yang kumiliki. Aku sama sekali tidak akan pernah melupakannya. Ingin rasanya suatu hari nanti aku dapat berkata kepada mereka saat aku telah menginjakkan kaki di tanah impianku, berdiri dengan tegaknya dan berteriak lantang,

"RASAIN !" kepada mereka yang telah menertawakanku.

"Heh, apa yang kupikirkan. Lebih baik aku siap-siap berangkat sekolah."

Perjalananku sendiri masih sangat panjang untuk meraih impian tersebut, langkah kecil yang kumulai sekarang adalah bangun dan berusaha mewujudkannya.

avataravatar
Next chapter