8 Bab 8 : Mengejar Mimpi

Semalam suntuk aku bersiap untuk interview yang akan diadakan di hari Minggu ini, berlatih sekeras mungkin di depan kaca dan berbicara sejelas mungkin tanpa adanya keraguan sampai adik perempuanku mengetok keras pintu kamarku, mengatakan untuk tidak berisik. Aku sendiri bukanlah tipe orang yang bisa berbicara lancar di depan orang, terutama yang belum kukenal. Kalau saat bekerja menjadi kasir itu beda kasusnya, apa yang akan kuhadapi hari ini adalah orang-orang dari Program ke Jepang. Mereka yang menentukan lolos atau tidaknya diriku berdasarkan hasil interview hari ini. Itu sebabnya, dari kemarin malam aku selalu merasa gugup dan takut apabila terjadi hal buruk waktu tengah diinterview.

"Kakak ! Cepat sarapan atau nanti telat loh !"

"Ya ! Sebentar !"

Di depan kaca lemari, aku mengecek lagi pakaian yang kupakai sekarang. Kemeja putih yang panjang dan bersih, celana hitam, serta dasi hitam melingkar pada kerah bajuku. Tidak lupa juga aku membawa beberapa dokumen yang diperlukan nantinya pada sebuah map dari plastik. Jika dilihat lagi, aku mirip seperti orang yang hendak melamar pekerjaan.

"Lihat, anak ibu seperti hendak melamar kerja."

"Cocok juga kamu berpakaian begitu, Theo."

Begitu sampainya di ruang tengah untuk sarapan, ibu dan ayah langsung mengomentari pakaian yang kukenakan.

"Kamu beneran gk perlu jas hitam lagi ? Ibu bisa pinjam ke tetangga sekarang."

"Sudah kubilang tidak perlu kan bu."

"Ckckck, kalau interview itu harusnya pakai jas juga, Theo. Waktu ayah pertama kali mendaftar kerja di perusahaan juga begitu."

"Ini memang Theo disuruh pakai gini doang, yah. Tidak perlu risau, gk enak juga pinjam jas lagi sama tetangga."

Kemudian aku memakan sarapanku, dibarengi mendengar keluargaku berbicara mengenai beberapa hal acak yang terjadi di sekitar komplek kami atau... membahas soal teman-temanku yang telah lulus. Bertanya kemana mereka semua melanjutkan hidupnya dan setelahnya dinasehati beberapa hal oleh mereka berdua. Aku benar-benar tidak suka pembicaraan ini, tentang bagaimana mereka membandingkan anak lain denganku. Mengatakan betapa hebatnya mereka, meskipun anaknya sendiri pun tengah berjuang sekarang. Aku hanya ingin mereka berbicara tentangku yang akan diwawancarai hari ini, memujiku atau... Ya. Mungkin, diriku memanglah tidak sehebat mereka saat ini karena masih berada di tahap awal. Aku juga belum diterima pada program tersebut, tidak seharusnya aku merasa lebih unggul.

Berangkatlah diriku ke tempat interview yang berada di SMKku. Di hari Minggu yang biasanya sepi, pada parkirannya terdapat beberapa motor yang terparkir. Agak aneh juga melihatnya, di hari Minggu berangkat ke sekolah mengenakan kemeja putih. Berjalan melewati setiap lorong yang sepi untuk menuju ruangan yang digunakan untuk Interview, berada di gedung B lantai 2. Sesampainya di lantai 2, dari balik tangga sudah terlihat peserta lainnya yang tengah duduk pada lantai. Mereka semua duduk berjejer, menunggu giliran mereka sebelum dipanggil.

Banyak di antara mereka yang tidak kukenali, karena pada hari ini interviewnya juga diadakan dengan sisa-sisa jurusan Teknik Komputer yang seharusnya selesai interview pada hari Sabtu kemarin. Giliran bagi jurusan SE adalah di hari Minggu, sedangkan JAK dan TK adalah hari Sabtu. Sehingga hari ini aku tidak bisa bertemu Eri, dia telah melakukan interviewnya kemarin.

"Yo, wibu !"

Seseorang memanggilku di lorong dengan suara yang agak keras, sehingga seluruh pandangan peserta yang ada di sini berfokus padaku. Apalagi, ia memanggilku dengan julukan yang kurang mengenakkan, yang membuatku dapat mendengarkan beberapa bisikan tidak perlu dari peserta lainnya. Terus berjalan menuju dekat tangga yang agak sepi, aku berpura-pura tidak menanggapi panggilannya, berusaha memisahkan diri dari peserta lain.

"Hei wibu, dipanggil kok tidak nyaut."

Aku mendongakkan kepalaku ke atas, berusaha untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang barusan memanggilku. Yang rupanya seorang cowok berkulit coklat dengan rambut hitam bergaya spikenya yang memanggilku.

"Ada perlu apa denganku ? Lalu, kalau bisa, jangan memanggilku pakai sebutan itu."

"Hahaha... aku hanya bercanda kok, tapi kamu memang wibu kan ?"

"Memang, tapi itu agak—"

"Maaf maaf, aku kebablasan."

"Lalu, maaf tapi. Boleh kutahu namamu ?"

"Lah, masa kamu tidak mengenalku. Aku Landrik, dari kelas 3B Software Engineering."

Sama sekali tidak kenal, aku jarang main ke kelas 3B yang ada di sebelah kiri persis kelasku. Kadang waktu ada jam kosong, kelas kami sering duduk-duduk di depan lorong kelas bersama mereka. Tapi, aku selalu menghabiskan waktu kosongku di dalam kelas.

"Tidak. Sama sekali tidak."

"Kok bisa... apa Yuda tidak pernah cerita tentangku padamu ya. Padahal dia sering cerita soalmu sewaktu main bareng."

"Sebentar, kamu kenal Yuda ?"

"Kenal, kami sering main bareng sama yang lainnya sehabis pulang sekolah. Aku tahu soalmu saja darinya. Yaah... tidak kusangka kamu ikut program ini juga. Tentu saja kan ya, kamu wibu, pasti ikut program ke Jepang."

Aku tidak tahu apa maksudnya mengatakan hal itu... namun, kata-katanya terasa kurang ajar bagiku. Apalagi dia mengatakannya di depan semua peserta yang tengah mengamati kami berdua. Dia orangnya terlihat memiliki kepribadian yang santai dan gampang berbaur dengan orang lain, tapi sisi lain darinya yang tidak memikirkan sekitarnya itu sangat berbahaya. Sebaiknya aku tidak terlalu dekat-dekat dengannya.

"Be-begitukah. Aku hanya coba-coba kok, kali saja memang nasibku."

"Hee.... rupanya seperti itu. Tapi ingat baik-baik, Theo. Aku tidak akan kalah darimu walau kamu sudah menyandang gelar wibu yang terkenal di jurusan SE. Karena aku juga seorang penggemar Jejepangan juga sepertimu !"

Setelah mengatakannya, ia berjalan ke arah lain lorong, mendekat kepada kumpulan peserta yang kutebak adalah siswa-siswa SE. Tanpa memperdulikan pernyataannya barusan, aku membuka handphoneku untuk mencari beberapa artikel yang dapat membantuku nanti untuk interview. Tanpa berbicara kepada siapapun, aku menunggu hingga namaku dipanggil, entah tidak kuingat berapa jam lamanya. Di lihat dari pandangan sekilasku, ada sekitar 30 orang yang hadir pada hari ini. Tiap peserta menghabiskan waktu tidak lama dari 10 menit sewaktu di interview. Menunggu dan terus menunggu, sampai satu persatu peserta telah berkurang. Semakin sedikit orang yang berada di lorong ini, semakin menumpuk pula rasa khawatir serta grogi pada diriku.

"Saudara Theo Lasmana, dari Software Engineering."

Diriku dikejutkan oleh suara keras dari arah ruangan interview. Sontak aku langsung bangun dari tempat dudukku, berjalan ke arah sumber suara untuk menjawab panggilannya.

"Ya."

"Silahkan."

Aku menundukkan kepalaku sebelum memasuki ruangan yang dituju. Melihat ke arah depan yang telah terdapat kursi dan meja yang disusun sedemikian rupa seperti tempat wawancara. Semua kursi dan meja yang ada di kelas dipinggirkan, menyisakan dua yang terpilih berada di tengah ruangan. Pada kursi sebelah kanan terdapat seorang wanita dewasa yang tengah mewawancarai peserta perempuan lainnya, sedangkan kursi sebelah kiri terlihat kosong.

Berjalan ke kursi kiri yang telah dikosongkan, diriku disambut oleh senyuman singkat dari seorang pria berbaju formal putih. Dia memiliki perawakan dewasa dengan brewok serta janggutnya. Membuatku semakin grogi karena penampilannya yang terkesan garang itu, menempelkan kedua kakiku dengan rapatnya seperti posisi bersiap dalam upacara.

"Theo Lasmana, ya."

"Ya."

Dia setelahnya mengecek dokumen yang tengah ada di mejanya. Sadar bahwa aku masih belum duduk pada kursi yang disediakan, ia mengatakan, "Kamu boleh duduk kok. Silahkan, tidak perlu kaku seperti itu.". Yang membuatku duduk pada kursi seperti perkataannya.

"Dokumen yang dibutuhkannya, kamu bawa ?"

"Ah, Ya. Saya bawa." Kataku sambil menaruhkan dokumennya pada meja.

Setiap kali ia membalikkan kertas-kertas dokumen, detak jantungku semakin bertambah cepat. Dia terlihat sangat serius membacanya dari atas hingga bawah. Kukepalkan tanganku begitu eratnya, sampai dapat kurasakan kukuku terbenam pada telapak tangan. Berbanding terbalik dengan keadaan sunyi mencekam kami berdua, mereka yang ada di sebelah kanan justru terlihat sangat asyik, berbicara dengan santainya dan bahkan saling tertawa satu sama lain. Saking diamnya, aku sampai bisa mendengar bunyi detik jam yang berada di atas dinding.

"Di sini tertulis kamu bisa bahasa Inggris dan juga bahasa Jepang. Bisa kamu buktikan ? Coba perkenalkan diri kamu menggunakan kedua bahasa itu."

"Baik."

Dalam sekejap aku langsung berdiri dari kursiku, berdiri setegap mungkin yang kubisa. Aku sama sekali tidak menyangka akan disuruh untuk memperkenalkan diri menggunakan kedua bahasa yang kutulis di sana. Perkenalan dalam bahasa Inggris sih aku selalu melakukannya sejak SD, jadi aku bisa melakukannya dengan lancar. Kemudian, menggunakan bahasa Jepang, aku belajar beberapa kosakatanya dari anime yang kutonton serta hasil pencarianku ketika menunggu antrean interview. Beruntunglah, tadi aku iseng-iseng mencari artikel bagaimana cara perkenalan ala Jepang. Jadi sesi perkenalannya bisa berjalan lancar tanpa terbata-bata.

"Ternyata bahasa Jepangmu lumayan juga ya. Apa kamu sudah pernah belajar bahasa Jepang sebelumnya ?"

"Ya, Anu... Saya hanya mengetahui beberapa dari anime yang saya tonton. Juga iseng belajar otodidak melalui buku yang saya beli ketika masih SMP."

"Menonton anime kah. Memang banyak orang belajar Jepang juga dari menonton anime."

Pria tersebut setelahnya mengambil kertas-kertas dokumen yang ada di mejanya, mengurutkannya dan kemudian menaruhnya pada meja. Kini ia menumpukan wajahnya pada kedua tangannya yang ada di atas meja, menatap dengan seriusnya kepadaku.

"Lalu, bisa katakan kepada saya. Apa kelebihan... serta kekurangan yang ada pada dirimu ?"

TENG—

Aku merasakan sebuah percikan pada otakku, menyebabkan semua pikiran yang ada di sana menghilang. Seluruh kepalaku kosong seketika, putih bersih. Pertanyaan yang ia ajukan tadi tidak dapat diproses oleh otakku, sehingga aku terdiam agak lama, menatap kosong ke depan. Tepat ketika aku berpikir semuanya akan berjalan lancar, pertanyaan itu muncul tanpa terduga.

"Kelebihan... saya..."

Aku menundukkan kepalaku, menatap pada telapak tanganku yang tengah basah oleh keringat dingin. Berusaha begitu kerasnya, aku mencari-cari apa yang dapat kuanggap kelebihan dari diriku. Selama ini aku tidak terlihat begitu mencolok... aku tidak begitu pintar... aku tidak memiliki paras tampan... juga tidak memiliki kemampuan sosialisasi yang bagus. Aku... tidak memiliki kelebihan. Pikiran-pikiran tersebut terus melaju tanpa henti bagai kereta, yang tak ada niatan untuk berhenti. Ketika ia menatapku dengan matanya yang menunggu diriku menjawab pertanyaan penting tadi, semakin aku bertanya-tanya dengan apakah aku akan menjawab pertanyaannya.

Tetapi, seakan memberi jawaban atas keraguanku... ketika diriku tengah mencoba mengalihkan pandanganku darinya, mataku mengarah pada dua buah bendera kecil yang ada di saku baju pria tersebut. Sebuah emblem bendera Indonesia dan Jepang yang berdampingan. Perlahan-lahan ingatan samar akan masa laluku terputar dalam pikiranku, mengingat semua perjalanan yang telah kulewati hingga saat ini. Sebuah impian indah yang ingin kugapai... dan menungguku untuk meraihnya.

"Kelebihan saya... adalah tidak pernah menyerah." Kataku dengan lantangnya, mengangkat kembali wajahku untuk menghadap padanya.

"Saya sejak kecil memiliki impian untuk pergi ke Jepang. Berkali-kali saya mengatakan kepada setiap orang bahwa suatu hari nanti saya dapat menggapainya. Berkali-kali juga saya diejek karena memiliki impian tersebut, dikatakan mana mungkin saya bisa mencapainya. Meski begitu, meski saya tidak memiliki kelebihan lainnya selain terus berjuang untuk meraih impian saya. Saya tidak akan pernah menyerah hingga impian itu terwujudkan."

Tanpa adanya keraguan dalam hatiku, semua yang ada di dalam hatiku sekarang kuungkapkan kepadanya. Berada di depannya, berkata sekeras mungkin yang kubisa, tidak peduli apakah mengganggu peserta lainnya yang juga tengah diwawancarai sekarang.

"Sedangkan kelemahan saya... saya mungkin memiliki banyak kelemahan, terutama hanya memiliki satu kelebihan saja. Namun, namun saya akan berusaha sekeras mungkin untuk mengatasi kelemahan saya !"

Pria tersebut terdiam dengan mulutnya yang menganga. Tak lama setelahnya ia menyeringai ke arah pewawancara perempuan yang ada di sebelah kanannya. Aku melihat ke arah kanan juga, karena tidak enak tadi berkata begitu kerasnya sampai mengganggu mereka. Di sana nampaknya sudah selesai, terlihat dari pewawancara yang telah menaruh dokumen peserta pada mejanya dan peserta yang sudah beranjak dari kursinya.

"Apa kamu yakin dengan kata-katamu barusan ? Cukup tahu saja, pelatihan yang akan kamu jalani nanti akan sulit. Apa kamu siap untuk menjalaninya ?"

"Saya siap." Dalam sekejap aku menjawabya.

"Hidup di negeri orang jauh lebih sulit dibandingkan apa yang kamu ketahui di waktu itu, kamu tahu."

"E— ?"

"Seperti sulitnya berbaur di lingkungan baru dimana tidak ada yang kamu kenali serta kesulitan memahami bahasanya yang berbeda, harus pandai memilih makanan yang cocok bagimu, serta mahalnya biaya hidup setiap bulannya. Aku pernah ke Jepang juga, sehingga tahu bagaimana rasanya,"

Pikiranku terhenti sesaat dan mataku terbelalak saat ia mengatakan hal barusan, tubuhku terdiam sementara menunggu transmisi dari otak yang terhambat. Aku terkejut saat ia mengatakannya, padahal pada saat sosialisasi tidak ada bahasan yang menyinggung soal itu. Baru kali ini, aku mendengarnya, sisi lain dari sulitnya berada di negeri orang langsung dari orang yang pernah pergi ke sana.

"Ya... melihatmu begitu semangatnya ingin pergi ke Jepang jadi membuatku asal ceplos mengatakannya. Tapi tidak perlu khawatirkan kata-kataku barusan, itu sudah terjadi agak lama, mungkin berbeda dengan zaman sekarang yang sudah maju." Dia terkikik.

"Semenjak tadi aku mewawancarai peserta lain, jawaban mereka terlalu biasa dan membosankan. Ingin mencari pengalaman kah, ingin mencari uang kah, atau sekedar mencoba kah. Baru ada dua orang yang membuatku tertarik, yaitu dirimu serta satu peserta lagi kemarin. Dia sangat menggebu-gebu mengatakan niatnya, tanpa ada keraguan sama sekali pada matanya, meski ia seorang perempuan."

"Aku juga telah mengatakan sisi negatif seperti tadi padanya, juga mengatakan kalau perempuan hidupnya jauh lebih sulit dibandingkan lelaki bila berada di luar negeri. Tapi... tetap saja tidak mengendor. Benar-benar... melihatmu justru kembali mengingatkanku padanya, kalian mungkin sangat mirip satu sama lain."

Peserta lainnya kemarin... dan perempuan... Tidak ada orang lain yang dapat terpikirkan olehku sekarang, kecuali Eri.

"Tidak perlu risau soal apa yang telah kuucapkan sebelumnya. Meski banyak hal negatifnya, cukup menyenangkan juga hidup di Jepang. Jadi jangan terlalu dipikirkan oke."

"Ba-Baik..."

Interview kami pun selesai. Diakhiri oleh sebuah senyuman yang pria itu tujukan padaku, aku berjalan menuju pintu keluar. Beban berat yang ada pada kedua pundakku terasa semakin menghilang, membuat langkahku semakin ringan.

"Ganbatte kudasai."

Kata-kata yang ia ucapkan padaku ketika dia mengakhiri interviewnya terus terngiang-ngiang pada telingaku. Sebuah kata yang memiliki arti, "Selamat berjuang." Menggambarkan segala hal yang kurasakan sekarang, rasa lega dan senang. Tanpa sadar, diriku tersenyum dengan lebarnya, sebuah senyuman yang akan bertahan hingga seterusnya.

-o-

Hari demi hari, minggu demi minggu, hingga udara dingin yang biasa kurasakan di musim hujan kini telah berganti menjadi teriknya matahari di musim kemarau. Dalam panas ini aku terus menerus menunggu, berdiri di depan kotak pos yang ada di depan rumahku setiap pagi... atau sorenya, berharap sebuah surat berada di sana. Berangkat kerja sambilan pada pagi harinya hingga sore, melakukannya terus menerus tanpa henti, sambil menunggu 'kesempatan' yang kunantikan mendatangiku. Sampai-sampai pada akhir Juli ini, tidak ada kabar akan kepastian diterima atau tidaknya diriku pada program ke Jepang. Setiap harinya ditanyai oleh orang tuaku sendiri akan kejelasan programnya, merasa gundah serta khawatir apabila aku tidak diterima pada program tersebut. Tidak ada apapun yang bisa kulakukan sekarang, kecuali menunggu dan berharap.

Drrt... Drrt....

Getaran dari handphone terasa pada saku celana kananku. Aku berhenti sejenak, bersandar pada tembok untuk menanggapinya. Pada layar hanphoneku sekarang terlihat notifikasi pesan masuk. Tidak perlu menunggu lama, aku segera membuka pesan masuk tersebut, yang rupanya dari Eri.

"Selamat malam, Theo. Apa kamu sedang sibuk sekarang ?"

Sungguh cara yang sopan untuk memulai percakapan, tidak seperti teman-temanku lainnya yang terkadang tidak salam atau apa tapi spam terus menerus agar aku segera melihat pesan mereka hingga aku kesal dibuatnya.

"Tidak. Aku baru saja selesai shift kerjaku."

"Begitukah... anu, maaf menanyakan hal ini Theo. Apa kamu masih belum mendapatkan surat keterangan dari program ke Jepangnya ?"

Surat keterangan... aku menatap jauh pada langit malam sambil memikirkannya. Sudah berapa lama aku berharap surat itu tiba, langit malam penuh bintang pun tidak dapat menjawab pertanyaanku.

"Masih belum."

Terdapat jeda beberapa menit agak lama sebelum ia membalas pesanku tadi. Mungkin ia sedang memikirkan pesan yang tepat untuk membalasku.

"Aku berharap kamu segera mendapatkannya."

Lagi-lagi... pesan yang sama. Aku menggeser layar handphoneku ke atas, melihat jejak pesan kami selama beberapa hari ini. Sejak minggu kemarin hingga sekarang, pertanyaan yang ia ajukan masih sama. Menanyakan apakah diriku telah mendapatkan surat keterangan program atau tidak... dan berakhir dengan jawaban yang sama juga.

Sebenarnya apa maksudnya menanyakan hal itu ? Khawatir jika aku gagal ? Ataukah takut jika aku tidak menepati janjinya ?

Saat kuhendak mengakhiri percakapan kami. Aku mengetikkan sesuatu di keyboard handphoneku, mengirimkan pesanku kepadanya.

"Lalu kamu sendiri, apa sudah dapat suratnya ?"

Sekitar 10 detik aku menunggu, hpku bergetar kembali. Terdapat jawaban, "Sudah." Yang begitu singkat darinya.

Setelahnya aku tutup handphoneku, kembali memasukkannya ke dalam saku celanaku. Aku merasa bodoh menanyakan hal itu kepadanya. Sudah pasti dirinya lolos dalam program ini, setelah mendapatkan persetujuan langsung dari kepala sekolah... mana mungkin mereka akan menolak dirinya. Berbeda denganku... yang memulai dari awal seperti peserta lainnya. Semakin aku memikirkan soal Eri, semakin gundah diriku dibuatnya. Melihat hari yang sudah semakin malam, aku berjalan menuju motor yang kuparkirkan. Mulai menaikinya untuk pulang ke rumah.

Jalanan telah menjadi gelap gulita, hanya diterangi oleh lampu jalan serta suara dari serangga penghuni malam pun mulai terdengar ketika diriku sampai pada depan rumahku. Sambil membuka gerbang rumah, aku melongok ke dalam kotak surat yang gelap. Menggunakan sinar dari layar hpku, aku berusaha melongok ke dalam dan merabakan tanganku ke dalamnya.

Kosong.

Hari ini pun sama. Tidak ada satupun pesan pada kotak surat. Memang sepertinya... aku tidaklah terpilih untuk mengikuti programnya. Hah... Mana bisa orang biasa sepertiku lolos kan. Sungguh...

"Aku pulang." Kataku, sewaktu memasuki rumah yang sangat sepi.

Pada jam yang ada di dinding, telah menunjukkan pukul 11 malam. Semua keluargaku telah tertidur lelap, menyisakan diriku sendirian di malam hari ini. Aku berjalan menuju ke ruang tengah, mengambil sebotol minuman soda. Meluapkan seluruh emosiku, aku membuka botol soda tersebut dengan sangat kerasnya hingga menetes jatuh pada lantai. Tak peduli dengan tumpahannya yang nanti akan jadi amarah ibu di pagi harinya, kubiarkan saja sambil berjalan menuju ke meja makan.

Kutarik kursi kayu yang ada di sana, duduk sambil menengguk kolaku tanpa henti. Frustasiku telah memuncak semenjak awal hingga Juli akhir, setelah berjuang mati-matian hingga sekarang tidak ada hasilnya sama sekali.

"Hah... Sialan." Umpatku.

Botol kosong dari minuman kola kulempar begitu saja menuju ke tembok hingga jatuh entah kemana. Menarik nafasku dalam-dalam, aku mencoba untuk menenangkan diriku. Sangat ingin aku meluapkan seluruh frustasi serta amarahku saat ini, tetapi... aku tidak ingin membangunkan seluruh keluargaku. Oleh karena itu, yang bisa kulakukan hanya terus memendamnya... memendamnya... menaruhkan kepalaku pada meja makan yang begitu dinginnya.

"Kenapa semuanya tidak pernah berjalan seperti yang kuharapkan..."

Aku tidak tahu dan tidak peduli lagi untuk keluar dari keadaanku sekarang, aku tidak memiliki semangat sama sekali untuk beranjak dari kursi dan menuju ke kamarku. Detik jam menemani diriku di malam hari yang sunyi, serta pikiran-pikiranku sendiri. Semakin suara detikannya terdengar keras, kecemasan dalam diriku semakin bertambah. Jika sampai aku gagal di program ini, aku tidak memiliki rencana cadangan lainnya. Aku terlalu telat untuk mengikuti ujian untuk masuk PTN, baik UTBK atau Ujian Mandiri. Mau tidak mau, harus menghabiskan satu tahunku, menunggu ujian masuk PTN di tahun depan.

Sial... Bagaimana jadinya diriku jika ikut perguruan tinggi di tahun depan. Apa yang akan kukatakan pada orang tuaku nantinya... bagaimana caraku menghadapi teman-temanku ke depannya. Kukepalkan tanganku, menggebraknya pada meja makan.

Ketika aku menggebrak meja makan, sesuatu berwarna putih kecil terjatuh melayang ke lantai. Mataku langsung tertuju pada benda tersebut, meraihkan tanganku untuk menggapainya. Yang ternyata adalah sepucuk surat. Kulihat surat tersebut, terdapat sebuah lambang dari instansi di sana. Berpikir bahwa mungkin adalah surat yang ditujukan untuk ayah.

"Saudara Theo Lasmana. Jalan Karel Satsuit Tubun. Purwokerto."

Tetapi, dari alamat yang ada di depan suratnya... surat ini ditujukan untukku. Berhati-hati, kubuka surat tersebut begitu pelannya agar tidak merusak isi dari suratnya. Sepucuk kertas putih kuambil dari dalam suratnya. Karena begitu gelap di dalam sini, aku beranjak dari kursiku untuk menyalakan lampu dan kemudian duduk pada sofa untuk membaca suratnya.

"Jakarta, 28 Juli 2020

Kepada Yth. Theo Lasmana

Di Tempat

Setelah melewati rangkaian proses seleksi Program Study ke Jepang berupa Tes Fisik, Tes Psikologi, Tes Kesehatan, dan Interview. Kami memberitahukan bahwa saudara Theo Lasmana dinyatakan lulus dalam seleksi Program Study ke Jepang. Sehubungan dengan hal itu, peserta yang telah diterima pada Program Study ke Jepang diwajibkan untuk mengikuti pelatihan bahasa Jepang yang akan dimulai pada 3 Agustus 2020. Hal-hal yang menyangkut Program Study ke Jepang akan disampaikan kembali pada tanggal 1 Agustus 2020 di SMK TI 2 Purwokerto.

Kami harapkan partisipasi saudara dalam pelatihan dan kedatangan saudara pada tanggal yang telah di sampaikan. Terima kasih.

Mengetahui,

Ketua Program Study ke Jepang

Rudy Haryadi"

Mulutku terdiam, tanpa ada kata-kata yang keluar sama sekali. Aku menatap kertas putih yang tengah kupegang sekarang, dan diriku terdiam. "Ini pasti bohong." Kataku perlahan. Meski kata-kata tersebut tidak keluar dari mulutku, bibirku tidak bergerak sama sekali. Seolah tidak percaya dengan apa yang kulihat, aku berkali-kali mengedipkan mataku. Mencubit tanganku begitu kerasnya hingga aku meringis kesakitan.

"aaaaaaAAAAAA !!!" terus kucubit tanganku, terus, terus dan terus akhirnya diriku kesakitan dan meneriakkan rasa sakitnya.

"Serius.. ini bukan mimpi ? Aku... Lolos ?!"

Berhari-hari, berminggu-minggu, sampai bertahun-tahun aku berjuang... aku.. lolos. Aku bisa mewujudkan impianku ke Jepang. Kulihat kedua tanganku yang kini gemetaran karena tidak dapat menahan rasa gembira yang kurasakan sekarang. Aku sangat lemas, begitu lemasnya, tidak percaya pada apa yang telah terjadi. Lalu bibirku mengembang, mengeluarkan tawa kecilku.

"Rasain... Rasain rasain rasain..."

Kukepalkan tanganku begitu eratnya, sangat erat, beserta tawa yang tidak dapat kuhentikan. Kata-kata tersebut kuulang berkali-kali, semakin aku mengulanginya semakin keras suara yang kukeluarkan. Tak peduli apakah keluargaku mendengarnya atau mengganggu tetanggaku. Aku tidak memperdulikannya.

Meski aku belum menjalani pelatihannya, sekalipun belum berangkat ke Jepang sekalipun... kalian mengejek dan merendahkanku yang tidak mungkin bisa lolos tahap seleksi, tapi aku selalu yakin.

Kalian berkata bahwa ini mustahil, aku tidak pernah menyerah. Lalu... inilah hasilnya !

"AKU PERGI KE JEPANG !!!"

Segala luapan perasaanku selama ini, yang terpendam selama lebih dari 10 tahun aku keluarkan dalam sekali teriakan. Setelah selama ini memendamnya di dalam hatiku. Aku berhasil... aku berhasil melampauinya, sesuatu yang kalian katakan mustahil, dapat kulampaui.

"THEO ! KAMU TIDAK LIHAT SEKARANG JAM BERAPA ?! BERTERIAK SEPERTI ITU !"

Dari balik pintu yang terbuka ibu menatapku dengan api amarahnya. Biasanya kemarahan dari matanya itu langsung membuatku terdiam ketakutan. Tetapi.. untuk saat ini, aku merasa tidak takut sama sekali. Justru, aku merasakan sebuah keberanian yang luar biasa dalam hatiku. Segera lari melompati sofa, menubruk dirinya.

"Theo ?!"

Kuulurkan tanganku melingkari tubuhnya dan memeluknya begitu erat. Ibu mungkin tengah terkejut dan kebingungan karena aku tiba-tiba memeluknya. Tidak kupedulikan hal itu, terus membenamkan diriku pada kehangatannya. Tanpa sadar, air mata keluar dari mataku, sebuah air mata bahagia.

"Ibu.. Theo lolos bu."

"Lolos ?"

"Theo... bisa pergi ke Jepang bu."

"Begitukah... kamu sudah berjuang begitu kerasnya belakangan ini. Syukurlah, syukurlah kamu berhasil Theo."

Pada kepalaku, kurasakan tangannya yang tengah mengelus pelan rambutku. Wanita di depanku menghujani anaknya dengan pujian, setelah selama ini ia bertarung hingga akhir. Setelah selama ini aku tidak pernah menghadiahkan apapun kepadanya sebagai seorang anak, untuk kali ini aku merasa, bahwa ia sekarang bisa berdiri tegap dan merasa bangga terhadap anaknya.

avataravatar
Next chapter