4 Bab 4 : Gadis yang Tak Dapat Dihentikan

Hari Kamis siang, tepat pada jam para siswa mendapatkan waktu istirahat siangnya. Pada jam-jam seperti ini keadaan koperasi tengah berada pada masa tersibuknya. Dengan banyak siswa saling berdesak-desakan, berteriak, dan saling memarahiku yang lama menghitung uang kembalian mereka.

Ya, ketika istirahat aku bertugas sebagai kasir koperasi sekolah. Aku bukanlah dipekerjakan di sini, dibayar pun tidak. Ada alasannya sendiri mengapa diriku bisa berdiri saat ini, di belakang meja kasir dan melayani siswa-siswi satu persatu.

Kejadian tersebut terjadi pada saat aku kelas satu SMK. Pada saat itu aku tidak bisa masuk sekolah karena sakit demam. Kebetulan juga, di hari aku tidak masuk para kakak kelas mengadakan perekrutan anggota klub maupun organisasi resmi seperti Osis, Keagamaan, dan Koperasi. Sialnya, teman-teman sekelasku mendaftarkanku pada semua organisasi saat aku tidak berada di tempat. Yang mengakibatkan, selama satu minggu penuh aku harus menghadiri acara perekrutan yang berisikan interview dan beberapa tes. Beruntunglah, aku tidak diterima pada Osis dan Keagamaan. Tapi justru diterima pada Koperasi.

Pada awalnya aku tidak terlalu menyesalinya, aku sebenarnya tidak berniat untuk ikut organisasi apapun di sekolah karena sudah memiliki pekerjaan sampingan. Dan, kebetulan lagi, koperasi tidak memiliki kegiatan seusai sekolah sehingga tidak mengganggu jadwal kerja sampinganku. Hitung-hitung masuk koperasi juga merupakan keuntungan, aku bisa melatih kemampuanku menjadi kasir dan penyuplai stok dengan cuma-cuma.

"Mas, harga ini berapa ?"

"3.000 rupiah."

"Kalau ini berapa mas ?"

"5.000 rupiah."

"Mas, ini semuanya berapa ?"

"7.500."

"Ini uangnya mas."

Menjawab pertanyaan para pembeli yang saling bersaut-sautan sudah menjadi rutinitasku setiap siang. Mengorbankan jam makan siangku, aku selalu dijadikan kasir semenjak awal masuk koperasi. Entah mereka sengaja melakukannya atau merasa aku cocok dipekerjakan di posisi ini.

"Tolong ini, berapa semuanya."

"7.000 rupiah."

"Ini uangnya."

Pada meja kasir terdapat satu buah susu stroberi dan sebuah roti kecil. Selepasnya, selembar uang 10.000 rupiah ia serahkan padaku. Kuambil uang ungu tersebut dan memasukkannya pada kotak uang, sembari mengambil kembaliannya. Begitu aku hendak menyerahkan kembalian kepada pembeli itu, aku menyadari wajahnya. Dia adalah Eri, yang tengah berdiri di depan meja kasir dan membeli jajan ini adalah Eri. Kaget akan kehadirannya, aku tidak sengaja menjatuhkan kembaliannya pada meja kasir.

"Ah, maaf. Aku menjatuhkan uangnya."

Ia merunduk pada bawah meja, turun bersamaan dengan rambut hitamnya untuk mengambil koin seribu yang kujatuhkan tadi. Saat ia turun ke bawah, aku bisa mencium wangi rambutnya tersebut. Berpikiran, Apakah semua wanita memiliki bau rambut sewangi ini ?

"Tidak apa-apa. Hm ? Ternyata Theo rupanya." Selesai mengambil koin seribu yang telah berada di tangannya, dia baru menyadariku.

"Kamu bekerja di sini kah ?"

"Tidak-tidak, mana boleh."

"Lalu... ngapain ?"

"Bisa dibilang... mengikuti organisasi sekolah ? Ahaha... Aku ikut Koperasi."

"He..." Dia menjawab 'he' dengan lamanya sambil melihat-lihatku.

"Ternyata kamu selalu jaga di sini."

"Aku sudah di koperasi sejak kelas satu padahal..."

Sungguh tidak kusangka, ia bahkan tidak tahu bahwa aku telah menjadi penjaga koperasi semenjak kelas satu. Selama ini... dia selalu menghabiskan istirahat siangnya dimana sih ? Sudah tiga tahun berlalu dan baru pertama kali ke koperasi kah ?

"Ya sudah. Terima kasih Theo, aku duluan ya."

"Ya-Ya, duluan."

Eri melambaikan tangannya padaku sambil berjalan keluar dari koperasi. Kemudian setelah ia pergi dari koperasi, aku merasakan tatapan yang begitu tajamnya sehingga membuat bulu kudukku merinding. Se-Sepertinya aku akan mendapatkan masalah.

"Yo, yo, sobatku. Barusan siapa ? Kenalanmu kah ? Temanmu kah ? Atau jangan-jangan... pacarmu ?!"

Saat aku tengah melayani pembeli selanjutnya, lengan kiriku disikut-sikut oleh orang lain. Dia tidak mau berhenti mengatakan hal tersebut sampai sekitar pembeli ketiga hingga aku tidak lagi mampu menahannya.

"Apaan sih, mal. Mana mungkin dia itu pacarku."

"Yah... padahal kupikir kamu akhirnya bisa terlepas dari 2D. Ternyata belum rupanya."

Murid laki-laki yang ada di sebelah kiri dan semenjak tadi menggangguku adalah teman dekatku sejak kelas 1 SMK, namanya Akmal. Dahulu ia sering menyendiri dan dikucilkan karena sikapnya yang terlalu aneh, dia juga penyuka Jejepangan sama sepertiku. Aku perlahan mendekatinya, mulai mengajaknya berbicara dari hal-hal yang ia sukai terlebih dahulu. Hingga tidak sadar kami telah sedekat ini, menjadi sobat karib. Alasan mengapa ia bergabung pada Koperasi juga karena mengetahui aku mendaftar.

"Dari dulu sampai sekarang, aku masih menganggap 2D lebih superior dari 3D."

"Cih cih cih, jangan begitu Theo. Suatu saat nanti kamu juga akan tahu bahwa 3D merupakan yang terbaik."

"Aku tidak mau mendengarnya darimu yang sudah ditolak sebanyak 30 kali oleh cewek."

"Gha-"

Terlebih lagi, dia seorang pria yang gigih. Bisa dibilang juga seorang pejuang cinta. Walau telah ditolak oleh 30 cewek di sekolah, ia masih gigih berjuang dan mencari cewek yang mau menerima cintanya. Siapapun pasti mengenal si Akmal, bukan karena kegigihannya, tetapi karena dia telah ditolak oleh 30 cewek. Berbeda jauh denganku, yang sama sekali tidak memiliki pengalaman soal cinta sekalipun. Ditolak oleh satu cewek saja sudah membuatku trauma.

"Jangan bilang begitu dong... jadi sedih aku kan."

Namun, aku benar-benar mengagumi perjuangan sobatku ini. Meski ia telah jatuh berkali-kali, dia masih tetap berjuang untuk mencari cinta sejatinya.

"Ngomong-ngomong Theo, kamu jadi ikut program ke Jepang ?"

Suara lain terdengar dari arah kananku, yang di sana terdapat Mas Hem tengah memindahkan minuman dari kardus ke penyimpanan minuman dingin. Mas Hem, yang nama aslinya merupakan Mas Helmi merupakan pekerja koperasi yang sebenarnya, tidak seperti kami yang hanya menjadi relawannya. Dia telah menjaga koperasi selama lebih dari 5 tahun, seorang veteran.

"Aku sudah mengisi formulirnya, tapi belum kukumpulkan mas. Semuanya jadi 6000 ya."

"Begitukah. Baguslah jika kamu benar-benar mau ikut."

"Loh, kok malah reaksinya berbanding terbalik dengan pemikiranku. Kupikir Mas Hem bakal sedih kalau kutinggal ke Jepang. Nanti gk ada kasir yang sebagus aku loh." Sindirku kepadanya.

"Ah, benar juga ya. Sejak dulu sampai sekarang jarang ada anggota koperasi yang ngehitung uangnya secepet kamu. Padahal kamu sering curhat kalau nilai MTKmu jeblok terus, tapi kalau berhubungan sama duit encer terus ya."

"Tentu dong. Ngehitung duit sama ngehitung rumus itu beda."

Kemudian aku dapat mendengar tawa kecilnya, setelah dia telah menyelesaikan pekerjaannya. Mengambil sebuah kursi berputar hitam yang biasa ia duduki, menggerakkannya ke dekatku.

"Mungkin bakal sepi nantinya, kamu dan Akmal juga sebentar lagi lulus. Aku juga mungkin... setahun lagi bisa melanjutkan kuliahku. Jadi, semangat ya. Aku dukung kamu terus kok untuk ke Jepangnya, kalau sudah pulang lagi jangan lupa bawa bunga sakura ya."

Aku juga baru ingat lagi, Mas Hem saat ini tengah tidak kuliah. Dia semenjak dulu berusaha mengumpulkan cukup uang agar dirinya bisa melanjutkan kuliahnya. Dia... juga seorang pejuang sama sepertiku. Mendengar bahwa ia akhirnya bisa melanjutkan belajarnya...

"Mas juga, selamat ya."

"Selamat-selamat apanya. Masih lama juga uangnya kekumpul."

Aku terkikik mendengar kata-katanya. Mas Hem selalu bisa membuat orang di sekitarnya merasa nyaman. Itu mungkin alasan lain mengapa aku suka berada di sini, meski anggotanya sangat sedikit dan pekerjaannya dianggap enteng oleh orang lain. Karena Koperasi sekolah sendiri bukan organisasi besar seperti OSIS atau Organisasi Keagamaan, jadi kami bagaikan bayangan yang tidak terlalu diperdulikan oleh yang lainnya. Pada awalnya anggota Koperasi cukup banyak, namun sedikit demi sedikit mulai menghilang, meninggalkan kami bertiga. Meski begitu... kami masih berada di sini, kami ada, dan masih berjuang.

Saat aku tengah dibosankan oleh suasana koperasi yang ribut seperti biasanya. Aku melirik sebentar pada kaca jendela yang ada di sebelah kanan koperasi. Pada kaca jendela tersebut Eri yang tengah memakan rotinya perlahan-lahan. Dia tengah sendirian duduk pada kursi, tanpa ada seseorang pun berada di dekatnya meski kursi di depan maupun belakangnya ada orang.

Aku terus mengawasinya, sampai beberapa menit setelahnya muncul beberapa orang gadis berdiri di dekat kursinya. Eri menatap pada gadis-gadis itu, yang nampaknya kulihat dari wajah mereka... tengah berbicara dengannya. Namun, kenapa... aku merasakan sesuatu yang tidak mengenakkan. Percakapan terjadi bila terjadi dua orang yang saling berbicara satu sama lain, tapi... itu tidak terlihat seperti percakapan bagiku. Eri semenjak tadi hanya diam, menatap mereka yang tidak berhenti berbicara.

"Mas Hem, aku izin keluar sebentar."

"Eh ? Mau kemana ?"

Meski aku masih bertugas sekarang, aku tidak dapat menahannya lagi. Langsung diriku melesat dari tempatku dan berlari ke arahnya, hingga akhirnya... aku mendengar apa yang tengah mereka katakan.

"Kamu benar-benar anti-sosial ya ?"

"Merasa hanya karena kamu pintar dan ayahmu CEO, kami tidak setingkat denganmu ? Jangan bercanda."

"Cobalah bersosialisasi dengan orang sekitarmu, dasar ansos. Makan sendirian kaya orang aneh."

Aku menatap pada Eri itu ketika mereka mengatakan perkataan-perkataan kejam seperti itu kepadanya, dia hanya diam... sama sekali tidak membalas perkataan mereka. Meski ia yang mendapatkan perlakuan tak mengenakkan, entah mengapa, dadaku terasa begitu sakit. Seakan kata-kata tadi mereka tujukan kepadaku. Kukepalkan tinjuku, sekeras mungkin. Melihatnya diganggu seperti itu dan tidak melawan... membuat kesal.

"Yo, Eri. Ternyata kamu di situ rupanya." Kuberanikan diriku untuk menyapanya.

"Mm ? Theo ?"

Aku tahu bahwa ia tidak memiliki teman dari Yudha. Tapi perlakuan orang lain terhadapnya jauh lebih buruk dibandingkan terkaanku. Setelah kemarin ia sampai dipalak seperti itu, sekarang ia diejek sebegitu buruknya di depan banyak orang. Tujuan mereka bisa dibilang baik, meminta Eri untuk sedikit lebih terbuka kepada orang lain. Meski cara yang mereka gunakan adalah cara terburuk dari yang terburuk, cara memaksa seperti itu yang membuat orang-orang seperti Eri ini tidak mau terbuka kepada kalian. Dasar pencari muka.

"Maaf membuatmu menunggu lama."

"Eh ? Bukannya kamu masih harus jaga-"

"A-Apa yang kamu bicarakan ahahaha..." kucoba untuk mengalihkan perkataannya barusan, jika tidak maka usahaku akan berakhir percuma.

"Heh, ternyata sudah punya toh. Terlebih lagi si wibu itu. Menjijikan."

Mereka setelahnya pun pergi meninggalkan kami berdua. Aku berbalik melihat Eri, yang kini tengah menundukkan kepalanya ke bawah.

"Kamu tidak apa-apa kan, Eri ? Tidak kusangka mereka sampai mengatakan hal sekejam itu padamu."

"Kenapa kamu malah datang..."

"Hah ?"

"Kamu sampai dikata-katai oleh mereka juga !" Ia berkata sambil melihat kepadaku sekarang.

Mungkin dia tengah merasakan rasa bersalah karena aku mendekatinya dan justru mendapatkan ejekan juga. Sebenarnya aku sudah sering melakukan hal itu, melangkahkan kakiku untuk mendekati orang yang kurang beruntung di kelas sosial sepertiku.

"Apa kamu juga mendapatkan perlakuan seperti tadi di kelas ?"

"Eh ?"

"Apa kamu sering makan sendirian pada waktu istirahat seperti saat ini ?"

"Kenapa kamu justru bertanya balik kepadaku ?"

Dari wajahnya tersebut aku dapat melihatnya dengan jelas, saat ia memalingkan matanya ke arah lain, tidak melihat mataku saat tengah mengeluarkan jawabannya. Berusaha menyembunyikan kenyataan bahwa ia memang mengalami hal yang kukatakan barusan.

"Kalau kamu sendirian saat istirahat, kamu bisa datang ke koperasi."

"Maksudmu ?"

"Datang dan makanlah di sini."

"Tapi... aku bukanlah anggota koperasi, tidak seharusnya aku—“

"Kami selalu bertiga sejak dahulu, menambah satu anggota bukanlah masalah besar."

"Aku... juga tidak bisa menjadi kasir atau..."

"Tidak membantu pun tidak apa-apa, datanglah setiap hari. Meski hanya untuk makan pun tidak apa-apa."

"Tapi... tapi... jika kamu terus bersamaku, kamu akan mendapatkan perlakuan seperti tadi."

Aku menghela nafasku dalam-dalam. Aku sama sekali tidak peduli dengan diejek seperti tadi atau mendapatkan perlakuan yang lebih buruk lainnya. Meski dia dan aku memiliki hal yang saling bertentangan sekalipun, kami saling diperlakukan berbeda oleh teman sekelas kami. Itu adalah hal yang sama-sama kami miliki.

"AKU TIDAK PEDULI !" kataku dengan kencang kepadanya.

"Eh ?"

"Bukankah sudah sewajarnya bagi teman untuk saling berbagi rasa sakitnya ?"

"Te... man ?"

"Benar, teman. Tidak, tidak, bukan teman. Kita adalah kawan seperjuangan karena memiliki satu tujuan yang sama. Sebagai seorang kawan seperjuangan, aku tidak bisa membiarkan kawanku memendam rasa sakitnya sendiri."

Tanpa sadar aku mengatakannya terlalu keras sehingga banyak orang tengah memandangku sekarang ini. Merasa malu dengan tindakanku tadi, aku segera duduk di samping Eri yang masih terdiam menunduk. Dalam ramainya suasana istirahat, aku mendekati Eri yang masih menunduk, sesekali aku dapat mendengar gumamannya yang tidak begitu jelas.

"Kita... kawan seperjuangan."

"Hm ? Benar. Kita kawan seperjuangan."

Eri yang sejak tadi menunduk kini mengangkat kepalanya ke atas tiba-tiba. Dia lalu menatapku dengan tatapan tajamnya sebelum menunjukkan padaku senyumannya. Melihat senyumnya yang ia tunjukkan padaku, rasanya seperti sepersekian detik semuanya terhenti di sekitarku.

"Kita kawan seperjuangan !" Ia berkata dengan bahagianya.

-o-

"Apa yang tengah kamu lakukan, Theo ?"

Aku tengah berada pada kelas yang telah kosong, tanpa ada penghuninya selain diriku. Saat tengah menyapu lantai kelas yang teramat kotor oleh debu dan sampah-sampah lainnya sewaktu kelas masih berlangsung... dan dikagetkan oleh sapaan Eri.

"Aku tengah menyapu kelas." Jawabku langsung.

"Aku pun tahu kamu tengah menyapu kelas. Tapi kenapa sendirian ? Apa kamu sedang dihukum ?"

Terus kulanjutkan pekerjaanku saat ini, menyapu setiap debu di sela-sela kursi yang susah terjangkau. Sambil sesekali melihat pada Eri yang berdiri di depan pintu, menunggu jawaban dariku.

"Piket, aku kebagian piket hari ini."

"Setahuku, tugas piket itu dikerjakan berkelompok bukan ?"

Aku mengambil nafasku dalam-dalam dan menyapu debu yang telah terkumpul di dekat pintu agar masuk dalam serokan. Ketika aku hendak melewati pintu masuk yang ada Eri di sana untuk membuang sampah pada kotak sampah, Eri mencegatku.

"Kamu masih belum menjawab pertanyaanku tadi."

"Mereka bilang ada urusan, jadi pulang duluan."

Setelahnya ia menyingkir dari pintu, tetapi masih memasang wajah tidak puasnya. Terus memandangiku yang sedang membuang sampah sekarang.

"Kelasmu, 3C kan, dari Software Engineering."

"Benar."

"Aku tadi melihat anak-anak kelasmu di kantin."

"Hah ?"

"Meski aku tidak terlalu suka menguping pembicaraan orang, tapi aku tahu kalau itu dari kelasmu karena tadi tengah membicarakan tentang dirimu."

Merasa mengerti kemana pembicaraan ini akan berlabuh, aku menghiraukannya, kembali mengerjakan tugas piket yang masih belum selesai. Sementara Eri kembali menghentikanku, untuk kedua kalinya.

"Mereka sengaja menyerahkan tugas ini padamu. Mereka bilan—“

"Tidak perlu dilanjutkan, Eri. Aku sudah tahu itu."

"Sudah tahu... berarti ini bukan pertama kali..."

Dia menurunkan tangannya dari pintu, yang dapat kusingkirkan dari jalanku. Sudah sering diriku dibiarkan untuk melakukan tugas piket sendirian. Mungkin karena aku sendiri yang tidak bisa menolaknya atau... karena mengerti bahwa aku tidak bisa menolak permintaan. Sehingga mereka dapat dengan mudahnya menyerahkan semua tugas itu padaku.

Saat aku hendak meraihkan tanganku pada penghapus papan tulis, tangan kiri Eri menjangkaunya terlebih dahulu. Aku berbalik ke arahnya, dia dengan cepatnya bergerak dari atas ke bawah untuk menghapus tulisan-tulisan pada papan tulis putih. Semua tulisan yang ada di papan hampir terhapus olehnya, kecuali beberapa yang ada di bagian teratas papan tulis. Ia tidak dapat menjangkaunya dan melompat-lompat. Sebenarnya, aku ingin mencegah Eri. Namun, melihatnya melompat-lompat sambil kesal saat ini justru membuatku tidak berani menghentikan tindakannya.

Karena terlalu menarik !

"Sudah, hentikan, Eri."

"Kenapa ? Kenapa aku harus berhenti ? Aku mencoba membantumu !"

"Yah... aku tahu kalau kamu lebih tinggi dari gadis biasanya. Tapi tetap saja, kamu tidak akan sampai walau lompat-lompat seperti itu."

Setelah mendengar perkataanku, Eri menghentikan lompatannya. Terdiam sejenak dan kemudian langsung melotot padaku. Dia mungkin tengah marah serta malu sekarang, dilihat dari pipinya yang merah, dan dirinya yang menggertakkan giginya. Langsung aku memalingkan mukaku untuk menahan tawaku, meski sebuah tawa kecil dapat keluar.

"Aku tidak mau membantumu lagi."

Eri memasang wajah cemberutnya, menyilangkan kedua tangannya pada dada dengan kemudian berbalik berlawan arah dariku. Tentu saja ia marah setelah aku menyinggung dirinya yang tidak bisa menjangkau bagian tertinggi dari papan tulis.

"Maaf, maaf. Aku hanya bercanda, Eri. Terima kasih juga karena telah membantuku."

Kuambil penghapus papan tulis satunya lagi yang berada pada keranjang. Berusaha menghapus sisa tulisan yang berada di papan tulis, yang ternyata juga tidak bisa kujangkau apabila aku tidak menjinjitkan kakiku.

"Theo, apa kamu bawa formulir pendaftarannya ?"

"Formulir ? Aku membawanya kok."

"Beneran ?! Jadi kamu sudah dapat tanda tangannya ?!"

Saat ia berbalik kembali padaku, wajahnya kini berubah 180 derajat. Ia terlihat begitu senang mendengar aku telah mendapat persetujuan dari orang tuaku. Berjalan semakin mendekat kepadaku.

"Jadi tunggu apa lagi ! Ayo kita kumpulkan sekarang sebelum guru BKnya pulang !"

"Tu-Tunggu dulu ! Ini belum selesai piketnya !"

"Kan sudah bersih semuanya, nanti juga ada tukang bersih-bersihnya !"

Ia menarik lengan kananku begitu kencangnya sehingga aku ikut tertarik ke arah yang ia tuju sekarang, yaitu menuju pintu keluar.

"Sebentar, sebentar. Setidaknya aku ambil tasku dulu ! Eri !"

Sepertinya aku paham mengapa tidak ada yang dapat menghentikan gadis yang satu ini...

avataravatar
Next chapter