3 Bab 3 : Pilihan Tersulit Membutuhkan Tekad Terkuat

Rumah, merupakan tempat untuk kembali. Tempat untuk bernaung, tempat dimana kita merasakan nyaman dan aman ketika berada di dalamnya. Dimana kita hidup berdampingan dalam satu atap, saling berbagi kisah hidupnya satu sama lain.

Mungkin banyak orang tidak menyukai apabila berada di dalam rumah terus menerus, mereka merasa bosan hidup menghadapi hal yang sama terus menerus. Justru berbeda denganku, aku sangat menyukai rumah. Bukan, lebih tepatnya... kamarku sendiri. Di kamar tidak ada yang memerintahkanku untuk melakukan ini itu, tidak ada yang memarahiku, tidak ada yang menggangguku. Bagaikan kastil yang membentengi diriku, aku dapat merasakan kebebasanku berada di sini tanpa perlu melangkahkan kaki ke dunia luar.

Sudah cukup fantasinya, aku harus cepat-cepat menyelesaikan tugas yang menumpuk ini.

Hari ini aku tidak ada shift bekerja sehingga setelah sekolah usai, aku segera pulang ke rumah untuk mengerjakan tugas-tugas yang terbengkalai selama seminggu ini. Aku tidak bisa mengerjakannya di hari libur juga, karena di hari sabtu minggu aku sudah memiliki kerja sambilan lain. Maka dari itu, setiap ada waktu luang yang ada, selalu kugunakan untuk mengejar tugas.

"Line mana tadi yang error... Line 1.005. Ah ketemu. Kemudian, menurut yang ada di web ini... katanya ada kesalahan di syntaxnya. Tapi yang mana..."

Tugas yang tengah kukerjakan sendiri kebanyakan merupakan pemrograman, yang dimana aku diharuskan untuk membuat sebuah aplikasi simple seperti aplikasi penginput data, web ringan, maupun alat penghitung. Karena aku juga bersekolah di SMK TI, terlebih lagi jurusanku adalah Software Engineering... Pemrograman dan web adalah makananku sehari-hari.

"Hah, ketemu juga. Setelah dicoba... enter."

"Fyuh, akhirnya tidak error."

Program yang kubuat akhirnya berhasil untuk dijalankan. Kututup program tersebut yang membuatku kembali pada layar utama laptop. Terdapat wallpaper bergambar gunung Fuji dengan sebuah kuil berwarna merah di samping kanannya.

"Ah iya, aku belum meminta tanda tangan pada ibu."

Teringat soal formulir yang belum ditanda tangani, aku bergegas mengambil tasku yang ada di samping meja belajar. Mengambil formulir yang telah terisi oleh data diriku, yang kurang di sana hanya tanda tangan dari orang tua.

"Sekarang juga sudah jam 7 malam. Sebaiknya aku meminta tanda tangannya sekarang, sebelum terlalu malam."

Tapi, uh... kakiku terasa sangat berat ketika ingin keluar dari kamarku sekarang. Meminta tanda tangan... kepada ibu, aku harus. Aku tidaklah ragu untuk meminta tanda tangan, aku hanya... merasa takut. Takut kena amarah ibuku. Kalau ibu marah, tidak ada yang bisa menghentikannya, bahkan ayah sekalipun. Jika sudah marah, tidak ada yang bisa menahannya, bagaikan gunung berapi yang meletus... kami hanya bisa pasrah dan berharap dia bisa menenangkan dirinya.

"Lebih baik... aku minta tanda tangan ke ayah saja apa ya."

Berbeda jauh dengan ibu, ayahku justru mendukungku untuk mengikuti program itu. Meski ia juga berkata sebaiknya aku memikirkannya berulang-ulang, dia memberiku lampu hijau untuk mengejar apa yang kuinginkan. Lebih mudah meminta tanda tangan persetujuan kepadanya.

"Baiklah... aku akan meminta pada ayah. Rencana pertama adalah pastikan bahwa ibu sedang tidak berada di rumah !"

Aku berjalan perlahan-lahan melewati lantai keramik agar langkahku tidak terdengar. Mengawasi setiap penjuru tempat dengan membawa formulirku. Kamarku sendiri berada di paling ujung lorong, aku harus melewati semua kamar dari kamar adikku, ayah, dan ibu untuk bisa menuju ke ruang tengah. Aku telah mengecek kamar ibu juga, tidak ada tanda-tanda keberadaannya di kamarnya.

"Kakak sedang apa sih ?"

"Wa—" Saat aku tengah mengendap-ngendap di lorong, adik perempuanku muncul entah darimana dan mengagetkanku.

"Ternyata kamu, Freya. Ibu dimana ?"

"Ibu ? Dia sedang keluar sebentar. Katanya mau beli sesuatu."

Nice ! Sebuah kebetulan yang luar biasa !

Ah, kemudian, yang tengah berbicara denganku sekarang adalah adik perempuanku dan saudara kandung satu-satunya. Freya Afifa— berumur sekitar 15 tahun. Seorang pelajar SMP N 2 yang berada di tahun ke 3nya sama sepertiku. Dia merupakan gadis yang rajin, pintar, dan menjadi murid teladan di kelasnya. Sangat berbeda jauh daripada kakaknya yang selalu menghabiskan waktunya menikmati hal Jejepangan.

"Kalau Ayah ? Ayah dimana ?"

"Dia lagi nonton TV di ruang tengah. Kakak... benar-benar mencurigakan. Mau ngapain ya ?"

"Bukan urusanmu. Sana balik ke kamar."

"Ya sudah." Dia pergi meninggalkanku dengan langkah yang ditekankan pada keramik sehingga aku dapat mendengar langkah kakinya, sepertinya ia marah padaku.

Tapi kuhiraukan dirinya, memasuki ruang tengah. Di sofa terdapat ayahku yang kini tengah menyaksikan tontonan pada televisi. Kuarahkan pandanganku ke kanan dan ke kiri, mengamati sekitar. Ternyata memang benar, ibu sedang tidak ada. Biasanya jam segini dia tengah membersihkan piring atau duduk bersama ayah.

"Yah, aku ingin ngomong sebentar."

"Ngomong apa ?"

Aku berjalan mendekat ke sofa, menyerahkan formulirku kepadanya. Dia mengambilnya, kemudian membaca formulir tersebut.

"Sudah diisi rupanya. Dari dulu gk pernah kamu isi kan formulir ini. Ayah pikir cuma jadi pajangan doang."

"Ya enggak dong, Theo kan pernah bilang mau pergi. Kemudian... bisa Theo minta tanda tangan ayah untuk persetujuan formulirnya ?"

Ayah menurunkan formulir dari pandangannya, ia beralih melihat padaku yang ada di sebelahnya. Pandangannya yang tadi tengah santai berubah menjadi serius, setelahnya ditaruhnya formulir itu pada meja.

"Ayah tidak bisa menandatanganinya."

"Kenapa ? Bukankah ayah selama ini mendukungku untuk pergi ke Jepang ?"

"Memang, memang ayah selalu mendukungmu. Tapi, jauh lebih baik jika ibumu yang menandatanganinya."

"Ayah tahu kan Ibu selalu menolaknya selama ini ! Apa kalian berdua sebegitu tidak inginnya aku pergi ke Jepang ?!" Ketika aku merasakan tekanan pada dalam tubuhku, kepalaku terasa seperti meledak begitu saja, tanpa sadar berteriak kepada ayahku sendiri.

"Ayah mendukungmu nak, selalu mendukungmu. Tapi ibumu masih belum mengerti."

"Kalau itu, mungkin mereka belum mengerti." Aku teringat kembali kata-kata yang diucapkan oleh Eri.

"Tidak mengerti apa ?!"

Tak lama kemudian aku mendengar suara pintu yang terbuka dan tertutup kembali. Bunyi pintu yang terbuka itu langsung menghentikan segala apa yang tengah kulakukan sekarang. Bulu kudukku langsung menaik, aku merasakan tubuhku menggigil, tanpa berani menggerakkan kepalaku untuk berbalik ke arah sumber suara.

"Freya, suruh kakakmu keluar dari kamarnya. Dia belum makan kan. Kalau tidak keluar-keluar dia tidak akan dapat makan malam."

Su-suara itu... itu adalah suara dari Ibu. Dia telah kembali. Kini, langkah kakinya terdengar menuju ke ruang tengah.

"Ayah, tadi sudah Ibu cari. Kopinya tidak ad—"

Begitu Ibu membuka pintu ruang tengah, mata kami saling bertemu. Aku langsung menggerakkan badanku ke kanan untuk menutupi formulir yang berada di meja. Bisa berakhir hidupku kalau dia sampai lihat formulir tersebut di sini.

"Rupanya kamu sudah di sini toh." Katanya sambil menenteng kantong kresek berisikan makanan.

"Tumben, belum dipanggil untuk makan sudah keluar dari guanya."

"Se-Sesekali aku ingin liat TV di ruang tengah..."

"Hee... begitukah."

BRAK

Ia menjatuhkan makanan tersebut begitu kerasnya pada meja makan hingga ayah yang sedang menonton TV kaget karenanya. Di lihat darimanapun situasi hatinya sedang tidak bagus sekarang, bukan saat yang tepat untuk berbicara dengan Ibu. Mungkin... aku harus mundur untuk saat ini. Mengambil formulirnya dan...

"Eh ?"

Aku merasakan benda keras tipis menyentuh tanganku. Ayah berdiri dari kursinya dengan menaruhkan kertas formulirnya pada tanganku.

"Berjuanglah, ayah mendukungmu." Katanya sambil berjalan keluar menuju pintu.

"Bu... Kakak sudah keluar tad—"

Adikku yang hendak memasuki ruang tengah dicegat oleh ayah yang hendak keluar.

"Ayah ke toilet sebentar bu."

Ia bersama adikku keluar, menutup pintu dengan eratnya. Menyisakan diriku sendirian di sini bersama ibu. Mereka sama sekali tidak mau berurusan dengan hal ini, sengaja meninggalkanku agar tidak mendapat amarah juga dari ibu.

"Lalu, kenapa kamu berdiri di situ kaya patung ? Duduk sini. Ibu sudah siapkan makanannya."

GULP

Aku menenggak ludahku sendiri. Sekarang pikiranku telah dipenuhi oleh persentase-persentase kemungkinan berapa persen diriku dapat keluar dari sini hidup-hidup. Memutuskan apakah aku akan langsung mengatakannya atau memulainya dari basa-basi terlebih dahulu.

"Theo, duduk sini !" Dia berteriak padaku.

Sontak tubuhku langsung tersengat karena kaget oleh teriakannya. Rasa takut memenuhi sekujur tubuhku. Menutupi udara yang masuk, membuat nafasku semakin berat. Udara yang ada di sekitar kami begitu beratnya, menegangkan. Kakiku tidak dapat bergerak melangkah, perutku juga sakit. Namun, entah mengapa ada sesuatu yang aneh daripada biasanya.

Jika aku menghadapi hal seperti ini, rasa takut ketika dimarahi ibu, aku akan langsung balik badan dan pergi meninggalkannya dibandingkan berdiri diam di sini. Seakan diriku memiliki keberanian untuk tetap berdiri menghadapinya atau lebih tepatnya.... tengah menunggu sesuatu.

Kugenggam erat kertas formulir yang berada di tanganku. Menarik nafas dalam-dalamnya hingga seluruh paru-paruku terisi oleh udara, lalu menghembuskannya perlahan dalam satu tarikan. Aku sudah pernah mengalami hal ini sebelumnya, ini bukanlah pertama kalinya. Kukatakan hal tersebut terus menerus dalam hatiku. Menjadi berani bagiku merupakan pilihan yang terpaksa, aku memang takut, tapi... jika terus menerus merasa takut maka aku tidak akan bisa mengambil langkah awal. Maka, mau tidak mau, kupaksakan diriku untuk memberanikan diri mengambil langkah awal.

"Anu... Ibu, aku ingin membicarakan sesuatu."

GLATAK

Ibu menjatuhkan panci besar pada meja begitu kerasnya. Berbalik menghadap padaku yang berjalan mendekat padanya.

"Membicarakan apa ?"

Bagaikan kapal yang akan melewati sebuah gelombang pasang yang besar di laut, diriku sekarang diuji apakah aku mampu bertahan dari gelombang tersebut atau terbalik dan terbawa oleh ombak.

"Aku sudah memutuskan untuk mengikuti program ke Jepang. Aku telah mengisi formulirnya... dan terakhir butuh tanda tangan dari ibu."

"Ibu menolaknya. Sudah berapa kali ibu bilang kepadamu, Ibu akan terus menolaknya."

"Setidaknya... bisa lihat dahulu formulirnya ?" Aku mengarahkan tanganku ke depan, berusaha menunjukkan formulirku pada Ibu. Namun dia mengacuhkannya dan mempersiapkan peralatan-peralatan makan di meja.

"Setidaknya... setidaknya... bisa beritahu padaku kenapa Ibu... selalu menolaknya ? Apa karena aku tidak pantas untuk mengikuti program itu ? Apa karena keluarga kita ? Atau karena... Ibu sendiri tidak mengakui perjuanganku selama ini ?!" Aku meninggikan suaraku, berusaha untuk mendapatkan perhatian Ibu.

"Theo, kamu pikir kamu bisa ke Jepang dengan usahamu sekarang ? Ibu sudah paham denganmu selama ini, ibu selalu mengawasimu. Kamu lebih baik tidak usahlah memimpikan hal setinggi itu, lanjutkanlah kuliahmu dan pikirkan adikmu nantinya. Dia sebentar lagi masuk SMA."

Kenapa... kenapa dia mengatakan hal seperti itu... Kenapa.

"Belum mengerti ?"

"Benar. Mereka belum mengerti."

Belum mengerti apanya ! Mereka tidak mau mengerti perasaanku. Mereka tidak mau mengerti impianku. Apa yang tidak mereka mengerti ?!

"Buanglah formulir itu. Untuk apa pergi ke luar negeri jika di negeri sendiri saja masih punya banyak lowongan. Dengarkanlah ibumu yang lebih mengerti ini."

Berdebat dengannya tidak ada gunanya, karena respons yang ibu berikan lebih berdasarkan dari perasaannya sendiri maupun apa yang dilihatnya dari orang lain. Ibu berusaha membuatku meninggalkan 'impian' yang penuh ilusi dengan menjejalkanku 'realitas' yang lebih pasti. Ketika perdebatan terjadi, dia tidak pernah mau mencoba mengerti... mendengar suaraku dan memahami apa yang kukatakan.

Aku pun tidak dapat menjawabnya lagi. Sebagus apapun pendapat yang kukatakan padanya, ia akan selalu membantahnya. Yang hingga akhir perdebatan, akulah yang akan disalahkan.

Aku ingin pergi dari sini sekarang, berlari secepat mungkin, dan berteriak selantang mungkin sambil menangis. Tetapi... kenapa, justru mengapa kakiku tidak mau bergerak. Kenapa badanku tidak mengikuti keinginanku. Mengapa aku masih berdiri di sini tanpa memiliki niatan untuk berbalik dan melarikan diri.

"Aku tidak akan pernah mundur atau menarik kembali kata-kataku, karena itu adalah jalan hidupku !"

Heh, kenapa justru kata-kata Eri yang teringat sekarang. Seperti protagonis yang hendak kalah saat melawan musuh terbesarnya, flashback dari ingatan lamanya akan datang kepada protagonis dan kata-kata pamungkasnya terulang kembali... membuatnya dapat bangkit.

Aku tidak bisa mundur sekarang. Sekarang adalah saat dimana aku harus melakukannya, sekarang atau tidak sama sekali. Dia tengah menungguku, Jepang juga menungguku. Aku tidak bisa membiarkan mereka berdua menungguku selama diriku masih memiliki keraguan untuk melangkah maju.

"Tidak, aku tidak akan membuangnya sampai ibu menandatanganinya."

"Apa yang kamu katakan ? Ibu bilang tidak ingin menandatanganinya."

"Theo gk akan berhenti sampai ibu menandatanganinya. Theo sudah bertekad ingin pergi ke Jepang, dari dulu sampai sekarang dan tidak akan pernah berubah."

"Tekad tekad apanya ? Dengan tekad saja tidak bisa membawamu ke Jepang."

"Memangnya sejak dulu hingga sekarang Theo kerja sampingan untuk apa ? Semenjak dulu Theo suka Jejepangan untuk apa ? Dan... sejak dulu hingga sekarang tidak pernah membuang impian Theo ke Jepang untuk apa ? Semua itu untuk saat ini, bu !"

"Ibu dengar sendiri dari kenalan lain kalau program ini sangat ketat dan berat. Tidak semua orang yang daftar diterima ! Yang berhasil berangkat saja kurang dari 10 orang !"

"Memangnya mengapa ?! Aku sudah siap untuk itu. Karena itu, cobalah Ibu mengerti Theo. Cobalah mengerti, tekad Theo ini. Berilah Theo kesempatan untuk menunjukkan bahwa Theo bisa mewujudkan impian Theo."

"Ini bukan tentang Ibu percaya padamu atau tidak. Banyak hal yang harus dipikirkan sebelum kamu mengikuti program itu. Ikut program itu juga butuh uang yang tidak sedikit."

"Theo akan mencarinya !"

"Kau juga perlu nilai yang bagus."

"Theo akan belajar dari sekarang !"

"Kau juga tidak bisa mundur dari program ini setelah memasukinya."

"Theo tidak akan mundur !"

Aku terus menerus menangkal perkataannya, tidak menunjukkan keraguanku pada Ibu. Tanganku dipenuhi oleh keringat sekarang, mataku berair serasa ingin menangis. Tetap diriku berdiri di depannya, sementara Ibu hanya terdiam, termenung melihatku.

"Kamu... benar-benar sudah bertekad pergi ke Jepang ?"

"Theo katakan lagi. Theo sudah bertekad. Theo tidak akan mundur sama sekali."

"Kalau tekadmu telah sebesar itu ya sudah. Ibu tidak ada pilihan lain selain merelakannya." Ucap Ibu.

Kata-kata yang tadi Ibu ucapkan sulit dipercaya, sungguh mengejutkanku. Perkataannya sangat berbeda dibanding apa yang kupikirkan, sampai-sampai membuatku diam seribu kata. Aku memandangi Ibu yang kini tengah berjalan ke meja, mengambil sebuah bolpoin hitam yang ada di atasnya. Ia buka tutup bolpoin hitam tersebut, berjalan kembali kepadaku.

"Mana kertasnya, sini."

Aku masih tetap terdiam. Kugerakkan tangan kiriku untuk mencubit pipiku sekeras mungkin yang aku bisa hingga rasa sakit terasa beberapa detik setelahnya. Diriku yakin, seribu persen, bahwa ini bukanlah mimpi.

"Kalau tidak mau Ibu tanda tangani ya sudah."

"Sebentar-sebentar, ini bu !"

Kuserahkan formulirku kepadanya. Ia mengamatinya dengan teliti dari atas sampai bawah. Tidak pernah aku merasakan waktu berjalan selambat ini, bagai air yang menetes setetes demi setetes. Semuanya begitu tenang, suara dari jam yang berdetik, serta bunyi goresan pena Ibu dapat terdengar olehku. Rasa gugup dan tegang yang kurasakan tadi serasa memudar, hilang bersama waktu yang berjalan.

"Sebenarnya, Ibu bukanlah melarangmu untuk pergi ke Jepang selama ini." Suara dari Ibu memecah kesunyian yang ada pada ruang tengah.

"Selama ini ibu hanya ingin mengetahui sejauh apa tekadmu untuk mengejar impian tersebut. Karena kamu mungkin tidak akan tahu perasaannya, ketika anak kesayangannya akan pergi jauh ke tempat yang tidak dapat dijangkaunya. Jepang tempat yang begitu jauh dari sini, ibu tidak bisa mengawasimu setiap saat."

"Banyak orang yang tersesat ketika pergi ke negeri orang, kehilangan arah tujuan mereka. Tanpa memiliki seseorang yang dapat menunjukkannya ke jalan yang lurus. Ibu takut kalau kamu juga akan tersesat seperti mereka, Theo. Oleh karena itu, ibu ingin mengerti seberapa besar tekadmu agar tidak tersesat nantinya."

Bunyi pena berhenti bersamaan dengan perkataannya. Ibu menyerahkan kembali formulir pendaftarannya kepadaku, pada ujung kanan bawah telah terdapat tanda tangan ibu berada di sana. Setelah selama ini ia menolak menanda tanganinya, akhirnya... ia memberikannya.

"Setelah kamu jadi pergi nanti, adikmu juga akan masuk SMA dan akan selalu disibukkan dengan sekolah. Ayahmu bekerja setiap harinya. Hanya menyisakan Ibu sendirian di rumah. Sebenarnya ibu tidak terlalu suka berada sendirian di rumah, tapi mau bagaimana lagi. Kamu memang ngotot ingin pergi, ya bagaimana lagi."

Perkataan ibu terasa menusuk langsung padaku. Aku tidak pernah memikirkannya... atau sekalipun mencoba memikirkannya. Ibu selama ini selalu berada di rumah sendirian, dia tidak bekerja, dan setiap hari mengurusi rumah. Ayah bekerja dari pagi hingga malam, adikku pulang sekitar jam 3 sore, dan diriku... terkadang pulang hingga larut malam. Selama ini dia sendirian, menunggu kami semua pulang dari kegiatan kami setiap harinya. Pasti... menyakitkan terus berada di rumah yang begitu sepi. Aku, tidak pernah memikirkannya.

Apa yang dikatakan oleh Eri memanglah benar... kini aku memahaminya.

Kami belum saling mengerti satu sama lain.

Aku selama ini tidak mengerti kenapa ibu menolakku pergi ke Jepang, menganggapnya tidak memahami tekadku dan membuatku marah kepadanya. Sedangkan Ibu, tidak mengerti sebesar apa tekad yang kumiliki, menganggapku hanya ingin pergi saja tanpa memiliki tujuan yang pasti. Yang pada akhirnya membuat kami merasa pemikiran yang kami miliki itu yang paling benar.

"Ibu..."

Setelah selama ini kami bertengkar...

Aku menggigit lidahku, berusaha menahan air mata yang hendak keluar dari mataku. Namun, aku sama sekali tidak dapat menahannya. Kulingkarkan tanganku pada badan ibu, dengan lembut mendekamnya. Rasa salah yang kurasakan selama ini tidak dapat terbendung lagi, menjebol tembok keras yang menahan perasaan ini.

"Maafkan Theo... Ibu..."

Semakin keras aku memeluk ibu, rasa bersalahku keluar dari tenggorokanku, keluar dalam bentuk teriakan bisu yang tak dapat keluar dalam kata-kata. Butiran-butiran air mata mulai berjatuhan satu demi satu, tanpa dapat terbendung lagi. Aku merasa bahwa dunia kini hanya berisikan diriku dan ibuku saja, tak peduli apakah ada yang mendengar tangisan seorang pria sepertiku.

Dalam pelukan Ibu aku merasakan segala resahku dan beban yang selama ini ada di pundakku menghilang layaknya es yang mencair. Pelukan tersebut terasa jauh lebih hangat dibandingkan apapun yang ada di dunia ini.

"Cup cup, kamu sudah besar masih tetap nangis kaya anak kecil. Lihat, ayah dan adikmu sedang melihatmu saat ini."

Kuhentikan sesenggukan tangisku untuk melihat ke arah pintu yang ternyata ayah dan adikku tengah mengintip dari sana.

"Dih, kakak dah besar masih nangis."

"Hus, jangan begitu Freya. Nanti dia malah tambah malu."

Dalam sekejap aku membersihkan air mataku menggunakan bajuku. Kembali menahan air mata agar tidak keluar meski air mata kering yang berada di pipiku tidak dapat disembunyikan. Mereka berdua kini tengah tersenyum padaku, meski aku merasa bahwa itu bukan senyuman bahagia tapi seperti ejekan.

"Kamu mungkin sudah dapat persetujuan ibu, Theo. Tapi jalanmu ke Jepang masih sangat panjang. Kamu juga harus dapat nilai bagus di UN atau ibu akan mencabut kembali persetujuannya."

"Ko-Kok begitu ?!"

"Ya iya. Anggap saja itu tantangan ibu kepadamu sebelum berangkat ke Jepang. Serta... kalau kamu butuh bantuan dana untuk ke depannya... sebisa mungkin ayah dan ibu akan membantumu nanti."

"Ibu... Ayah..."

"Terimakasih banyak !"

Ini bukan mimpi.

Bukanlah kebohongan ataupun ilusi.

Atau sebuah penolakan yang kudapatkan kembali.

Impianku akan menjadi kenyataan, berkali-kali kukatakan berulang kali lagi dan lagi.

Bahwa aku akan pergi ke Jepang !

Langkah awal dari yang paling awal telah kuselesaikan. Telah mengisi formulir pendaftaran program ke Jepang dan mendapat persetujuan dari orang tuaku. Sekarang aku hanya perlu menyerahkan formulir ini kepada guru BK yang menangani program ini.

Pada saat ini aku merasa... layaknya segala hal dapat terjadi. Layaknya aku dapat mewujudkan impian yang selama ini dianggap mustahil oleh setiap orang.

Tak terasa semua hal di sekitarku berubah dalam sekejap mata. Hari-hari membosankan yang kulewati setiap harinya... berubah semenjak aku bertemu gadis yang berlari di hari itu.

Aku merasakan hidupku tergerak saat bertemu dengannya... mendengar dirinya yang memiliki obsesi untuk pergi ke Jepang yang sama sepertiku.

Meski ia memiliki masa depan cerah menantinya, justru gadis tersebut memilih jalan abu-abu demi meraih impiannya tersebut.

Dan kini saatnya diriku berlari sepertinya...

Berlari sekencang mungkin dengan berteriak lantangnya...

"Aku akan pergi ke Jepang !"

avataravatar
Next chapter