20 Bab 2 : Berada di Bawah Langit yang Sama

Saat kecil, aku adalah seorang pelamun. Aku menghabiskan banyak sekali waktuku untuk memikirkan imajinasi yang tak terbatas pada otakku. Setiap harinya bermimpi untuk pergi ke sebuah tempat baru yang tidak pernah kujelajahi sebelumnya, untuk menemui hal-hal baru yang tak terduga.

Tidak ingat berapa banyak aku terkena amarah ibuku maupun ibu dari teman-temanku yang kuajak untuk berpetualang bersamaku. Banyak yang mengatakan bahwa apa yang kulakukan merupakan hal berbahaya bagi anak kecil sepertiku. Meski begitu, amarah mereka tidak menghentikanku. Aku terus melanjutkan petualanganku, satu persatu anak tidak lagi mengikutiku karena perintah orang tuanya... meninggalkanku berpetualang sendirian.

Hingga tanpa sadar, aku telah dijauhi oleh teman-temanku. Menjadi seorang penyendiri.

Jiwa petualangku masih tersisa, sebuah semangat untuk meneruskan ambisi terbesarku untuk ke Jepang. Aku terus berkata... suatu hari nanti... mungkin suatu hari nanti... aku bisa ke Jepang sana, tapi... bukanlah hari ini. Di hari ini aku masih harus bersekolah, mengerjakan PR, atau terkadang aku tidak ingin melakukannya. Sampai hari terus berlalu, berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan... bertahun-tahun. Menunggu hingga hari dimana aku berharap... impian itu dapat terwujud.

Aku menunggu... menunggu... dan terus menunggu...

Sampai tiba pada hari, ketika aku bertemu dengannya.

"Mari berjuang bersama sampai ke Jepang... Theo !"

Bertemu dengan seseorang yang memiliki sesuatu yang sama denganku. Seseorang yang memiliki kegilaan, tekad, dan keteguhan yang tidak akan pernah membiarkan siapapun atau apapun menghalanginya untuk mencapai impiannya. Memiliki tujuan yang sama denganku... yaitu pergi ke Jepang.

Dirinya bagaikan dorongan bagiku, sebuah pertanda, bagiku untuk memulai langkah awal untuk mencapai impian yang hendak kugapai.

"Dan akhirnya kau bertemu dengan cewek bernama... Eri Shima ini ?" ucapan dari Yuda mengembalikanku pada kenyataan.

"Ya, aku bertemu dengannya kemarin."

"Aku dengar beberapa kabar ketika mencari informasi tentangnya, rupanya dia cukup terkenal di jurusan JAK. Dia anak seorang CEO perusahaan besar di ibukota. Serta, pemegang nilai tertinggi sewaktu ujian masuk, rangking paralel, dan pemenang berbagai lomba tingkat nasional."

"Pantas saja ia langsung diterima..."

"Ia diprediksi bisa mendapatkan gelar dokter termuda... Tapi, sayangnya Eri Shima ini justru memilih untuk mengikuti Program ke Jepang."

"Hee..." Aku menjawabi setiap perkataannya dengan jawaban ringan, sembari menikmati angin sepoi-sepoi pada bangku yang berada di dekat koperasi sekolah.

"Guru-guru berusaha meyakinkannya untuk melanjutkan ke universitas besar, tapi tidak ada yang berhasil membujuknya, gagal semua. Sangat disayangkan, kenapa orang sepintar dirinya malah ikut Program ke Jepang."

"Mungkin ia punya tujuan lain dibalik kengototannya itu. Di formulirnya sendiri telah dicap setuju oleh kepala sekolah langsung loh."

"Dia tidak mungkin bisa pergi. Mana ada universitas besar yang akan meninggalkan bibit unggul sepertinya begitu saja. Orang tuanya saja melarangnya untuk ikut program ini."

"Terus kenapa memangnya ? Bukankah ia memiliki kebebasan untuk menentukan tujuannya ?" tanpa sadar, ketika aku membalas perkataannya suaraku meninggi.

"Kenapa kau malah terlihat marah begitu. Aku hanya tidak suka saja ketika orang jenius sepertinya menyia-nyiakan kejeniusan yang ia miliki. Kamu ingin ikut Program ke Jepang juga kan ? Bukankah jika ia ikut akan semakin menurunkan tingkat keberhasilanmu diterima."

"Itu benar, tetapi..."

"Kudengar ia juga sering disebut Si Mawar Hitam oleh berbagai siswa. Dia begitu indah nan tingginya, sampai tidak ada yang bisa mendekatinya. Tak memiliki teman, tidak ikut kegiatan apapun di sekolah, dan anak dari CEO perusahaan besar. Jangan berpikiran kamu bisa mendekatinya, Theo."

-o-

Aku berjalan dengan mendengarkan musik melalui earphone yang kupakai, melangkahkan kaki menuju arah belakang sekolah dimana sepeda motorku di parkirkan. Sampai diriku dikagetkan oleh sesuatu saat berbelok dari tembok.

Di depanku terlihat Eri yang tengah dicegat oleh tiga orang cewek. Dua di antara tengah berdiri menghalangi jalannya, sementara satunya lagi duduk pada sebuah motor. Dilihat dari penampilan mereka, baju yang dikeluarkan, rok yang terlalu pendek, dan tidak memakai kaus kaki... mereka adalah kelompok murid nakal, tidak salah lagi. Tidak ayal, hampir disetiap sekolah pasti memiliki beberapa murid yang selalu melanggar peraturan sekolah. Mau ada kesiswaan sekalipun, terkadang murid nakal jauh lebih cerdas dalam melakukan kenakalannya agar tidak ketahuan. Seperti menggunakan tempat parkir murid yang tidak terjamah guru sebagai tempat nongkrong mereka.

Kuhentikan musik yang tengah dimainkan pada earphoneku, melepaskannya, dan bersembunyi pada balik tembok sembari mendengarkan percakapan mereka.

"Aku telah datang sesuai perjanjianmu. Kembalikan barang itu kembali padaku."

"Barang ? Ah... maksudmu kertas ini ? Pendaftaran Program ke Jepang... katanya. Hahahaha ! Ternyata dia sekarang ikut-ikutan seperti si wibu itu."

"Ini semua tidak ada hubungannya dengan orang itu. Cepat kembalikan padaku."

"Memangnya bakal tak kasih begitu saja ? Bayar dulu dong. Kamu kan anak pemilik perusahaan."

Apa-apaan yang dikatakan cewek-cewek itu. Tidak kusangka bahwa pembullyan seperti ini masih tetap terjadi pada orang lain tanpa pandang bulu, meski yang tengah mereka bully sekarang adalah Mawar Hitam sendiri.

"Kalau gk ngasih tak sobek loh kertasnya."

"Jangan !"

"Ya makanya mana duitnya, bayar sekarang atau kusobek beneran."

Lama-lama aku tidak tahan dengan kelakuan mereka. Kulangkahkah kakiku keluar pada tempat persembunyianku dan berjalan ke arah mereka.

Sadar akan kehadiranku, wajah dari cewek-cewek yang tengah mencegat Eri langsung tertuju padaku. Wajah mereka berubah menjadi tidak menyenangkan.

"Misi, motor yang kamu tumpangi itu motorku."

"Memangnya kenapa ?"

"Turun dong dari sana, aku mau pulang.”

“Memangnya gue peduli ?”

Seperti yang kuduga, gadis-gadis seperti mereka tidak akan mau mendengarkan kata-kata dari seorang pecundang sepertiku. Mau tidak mau aku akan pakai cara lain.

“Terus, Eri. Kau dipanggil ke ruang BK sekarang. Aku sudah bilang tadi, katanya formulir hilang kan ? Kesiswaan sekarang lagi coba cari ke belakang, mungkin saja hilang di parkiran."

"Benarkah ?"

Mendengar bahwa kesiswaan sebentar lagi menuju tempat kejadian perkara, cewek-cewek itu semakin gelisah. Apabila mereka terpergok tengah melakukan tindakan preman hukuman berat akan menanti mereka nantinya.

"Gangguin aja..."

Mereka kemudian pergi dari tempat parkir setelah melemparkan kertas formulir Eri pada tanah. Eri mengambil formulir tersebut, menepuk-nepuk pelan untuk membersihkannya dari tanah yang menempel. Kemudian dia mendekat padaku yang tengah melihat cewek-cewek itu pergi.

"Terimakasih, Theo. Kamu menyelamatkanku kembali."

"Bukan apa-apa, aku juga tadi bohong kok."

"Bohong ?"

"Benar, kesiswaan sudah pasti pulang pada jam segini. Aku hanya menakut-nakuti mereka saja. Sejujurnya, aku sendiri tidak akan sanggup menghadapi mereka bertiga."

"Hah... Aku benar-benar merinding tahu. Kupikir guru BK tahu kalau aku menghilangkan formulirnya, mereka bisa menggugurkanku kalau tahu formulirnya hilang." Hembusan nafas panjang dikeluarkan olehnya.

"Maaf-maaf. Ahaha..."

Tidak kuduga, aku dapat kembali bertemu dengannya. Setelah kemarin diriku langsung lari secepat mungkin menuju motorku untuk pulang ke rumah dan mengisi formulir pendaftaranku.

"Lalu, kemarin, bisa-bisanya kamu langsung lari meninggalkanku begitu saja. Apa maksudnya itu."

Ah, aku lupa kalau dia sangat ahli membaca pikiran.

"Anu—Itu... Aku ada keperluan mendadak jadi."

"Keperluan mendesak apa yang dapat membuat seorang pria meninggalkan gadis muda begitu saja ?" Dia mendekatkan wajahnya padaku, pandangannya tertuju langsung pada mataku, dengan alisnya yang mengarah ke bawah.

"A-Ada lah..." Aku tidak mau menjawab pertanyaan itu dengan alasanku tadi atau dia akan semakin marah.

"Baiklah jika kamu tidak mau menjawabnya. Ngomong-ngomong, kamu ikut program ke Jepang ini juga kan ? Apa sudah dikumpulkan formulirmu ?" tanya Eri kepadaku.

"Aku belum mengumpulkannya."

"Kenapa ?"

"Kenapa katamu, aku sendiri belum mendapatkan tanda tangan dari orang tuaku."

"Ah... tanda tangan persetujuan ya..."

Hal tersulit selain lolos seleksi tahap awal program adalah... meminta tanda tangan persetujuan dari orang tua. Hal tersebut merupakan hal paling awal yang paling sulit dan menentukan ikut tidaknya peserta. Aku sendiri... telah ditolak berkali-kali oleh ibuku sendiri, yang tidak mau menandatanganinya.

"Eri sendiri... apa kamu sudah yakin untuk mengikuti program ke Jepang ini ?"

"Hm ? Kenapa kamu menanyakan hal itu sekarang ?"

"Ya... aku sendiri belum yakin apakah orang tuaku akan setuju atau tidak jika aku ikut program ini."

"Hm...." Ia mengalihkan pandangannya dariku, menaruh jari telunjuknya pada bibir bawahnya seraya memandang jauh ke langit.

Setelah beberapa saat, ia kembali mengalihkan wajahnya padaku.

"Tinggal yakinkan saja mereka. Buktikan bahwa kamu memang benar-benar ingin ikut program ini."

"Aku sudah melakukannya, tetap saja... mereka tidak mengizinkannya."

"Kalau itu, mungkin mereka belum mengerti."

"Belum mengerti ?"

"Benar. Mereka belum mengerti."

Aku masih belum paham apa yang ia coba katakan kepadaku. Pernah aku baca di suatu web, bahwa perasaan wanita itu sangat sulit dipahami. Dan sekarang, aku merasa bahwa artikel yang kubaca tersebut adalah benar.

"Dan juga, kamu tidak perlu risau, Theo."

Eri kemudian mengarahkan tangan kirinya ke depan dan kemudian menghantamkannya pada dada sebelah kanannya. Kepalanya menghadap lurus kepadaku, dapat kulihat dari matanya sebuah pantulan diriku yang kini berada di hadapannya.

"Aku tidak akan pernah mundur atau menarik kembali kata-kataku, karena itu adalah jalan hidupku !"

Bibirnya tengah tersenyum sekarang, tetapi matanya sangat serius. Layaknya seorang protagonis anime shounen, dia mengatakannya dengan lantang, tanpa ada keraguan sama sekali. Banyak gadis di sekolah yang dapat kukatakan cantik atau manis, namun saat dia menatapku dengan senyumannya yang tak terkalahkan itu... aku yakin bahwa dia adalah satu-satunya yang memiliki senyuman seindah ini.

Setelahnya, ia berjalan melewatiku, mengatakan...

"Aku akan menunggumu, Theo. Katakan padaku jika kamu mau mengumpulkan formulirnya."

Aku terdiam berdiri di sini, tercengang dengan apa yang terjadi. Sama sekali tidak menyangka bahwa adegan seperti ini akan terjadi di dalam hidupku... dimana... aku dapat menjumpai...

"Kata-kata barusan, kamu ambil dari Naruto ya." Jawabku pada Eri yang berada belum jauh dariku.

Selang beberapa lama, terdengar tawa kecil dari belakang. Yang sepertinya adalah tawa dari Eri. Ketika ia tertawa, tawanya tersebut seperti tawa dari seorang gadis kecil. Sebuah tawa bahagia yang bahkan burung pun akan berhenti berkicau untuk mendengarkannya.

"Hahaha... ternyata kamu tahu ya."

"Tentu saja aku tahu... mereka memanggilku wibu bukan karena tanpa alasan."

avataravatar
Next chapter