2 Bab 1 : Sebuah Awal

Berangkat sekolah merupakan hal yang mutlak bagi setiap pelajar. Terutama diriku, yang sudah kelas 3 dan hampir mencapai kelulusan. Aku sendiri termasuk di siswa yang sangat rajin berangkat sekolah dan tidak pernah membolos kecuali terdapat alasan yang jelas di baliknya. Tetapi berangkat sekolah setiap harinya juga merupakan hal yang tidak kusenangi, kenapa ?

"Eh, itu tuh si wibu1 yang katanya pengin banget ke Jepang."

"Jepang katanya, gk cinta negeri sendiri saja."

Berjalan melewati lorong sambil mendengar bisikan siswa-siswa lainnya lah yang membuatku tidak begitu menyukai berangkat sekolah. Sehingga aku selalu berusaha untuk berangkat lebih cepat dibanding siswa lainnya. Untuk hari ini, aku bangun agak kesiangan, jadi untuk mengacuhkan kata-kata mereka, kuputar-putar kunci motorku yang terdapat gantungan Yamato dari serial anime Kantai Collection. Menaiki tangga untuk segera menuju ke kelasku.

Pintu kayu berwarna putih kubuka, menatap pada seisi kelas yang hampir semua tempat duduknya telah terisi. Segeralah aku memasuki kelasku dan berjalan melewati meja-meja dengan kursinya.

Seorang pria dengan rambut stylish kecoklatannya melakukan kontak mata padaku, menyuruh diriku untuk segera duduk pada meja kosong yang ada di belakangnya. Mengikuti perintahnya, aku pun menaruhkan tasku pada kursi dan duduk di belakangnya.

"Tumben kamu berangkat agak telat, Theo. Biasanya sebelum setengah tujuh kamu sudah sampai." Dia bertanya padaku.

"Aku nonton anime hingga larut malam."

"Alasan seperti biasanya."

Pria berperawakan tampan yang tengah bercakap-cakap denganku saat ini merupakan kawan satu SMPku. Dia adalah Yuda Tamawijaya, biasa kupanggil dengan Yuda. Aku sejak SMP sering sekali bermain dengannya, karena dia adalah penyuka game sepertiku, hingga berpisah. Begitu masuk kesini aku tidak menyangka bahwa ia berada di SMK yang sama denganku.

"Diejek seperti biasanya, Theo ?"

"Diejek ? Ah... Itu sudah hal biasa setiap harinya kok, Yud. Mending dibiarin saja."

"Ya gk bisa begitu juga, Theo. Kalau didiemin terus, mereka terus-terusan ngejek kamu. Sesekali kamu harus lawanlah, marah atau gimana kek."

"Sudahlah, Yud. Aku sudah terbiasa juga, gk papa, gk papa."

Wibu1 = Merupakan kata serapan dari weeaboo yang memiliki makna orang non-Jepang yang terobsesi berlebihan pada kebudayaan Jepang. Terkadang dijadikan panggilan ejekan bagi penyuka Jejepangan.

Yuda hanya menghela nafasnya, berusaha untuk menahan amarah yang tadi ia hendak keluarkan. Ia kemudian membuka mulutnya kembali,

"Kamu kemarin berangkat kerja sampingan juga ?"

"Iya, memangnya kenapa ?"

"Gk lupa PRnya kan ?"

"Hah ?!"

Begitu ia mengatakan kata PR atau Pekerjaan Rumah, atau tugas yang seharusnya dikerjakan di rumah. Aku segera membuka tasku, mengobrak-abriknya dengan panik untuk mencari buku PR yang ia maksud. Begitu mendapatinya, aku lega karena buku itu kubawa.

"Halaman berapa ?!"

"46 sampai 50 loh."

"Sial... Aku lupa belum ngerjain." Keluhku begitu membuka halaman 46 sampai 50 yang masih putih bersih.

"Sudah kuduga."

"Liat punyamu dong. Kamu tanya karena sudah ngerjain juga kan."

"Kan ? Ujung-ujungnya nyontek padaku." Yuda menghela nafas panjangnya sembari meraih buku catatannya dari dalam tas.

"Aku mohon bantuanmu, master !"

Selang beberapa menit aku menyelesaikan PRnya, guru memasuki kelas dan memulai pelajaran. Pelajaran pada jam pertama adalah pelajaran yang paling tidak kusukai. Yaitu, matematika. Pelajar manapun jika ditanyai pelajaran apa yang paling mereka tidak suka pasti rata-rata akan menjawab pelajaran hitung menghitung tersebut. Aku adalah 1% dari pelajar itu.

Padahal alasanku masuk ke SMK itu agar terlepas dari matematika, eh malah akhirnya kami berjumpa kembali. Ya, sebenarnya juga itu separuh salahku. SMK yang kumasuki adalah SMK Teknologi dan Informatika, jadi matematika diperlukan karena menyangkut algoritma dalam menyusun coding program. Aku masuk ke sana sebab mendengar SMKnya bekerjasama dengan perusahaan Jepang dan mengirimkan beberapa lulusannya pergi ke Jepang. Setelah aku berdebat sekitar seminggu lebih dengan ibuku yang tidak setuju aku masuk SMK, aku mampu meyakinkannya. Dan diriku bisa duduk mendengarkan penjelasan guru MTK sekarang.

"Yo."

Panggilan Yuda menyadarkanku yang tengah melamun.

"Apaan, Yud ?"

"Kamu beneran mau ikut program ke Jepang itu ?"

"Beneran lah, dikira aku cuma coba-coba apa."

Yuda kemudian membalikkan kepalanya, menaruh lengan kanannya pada mejaku sambil berkata.

"Aku dengar dari alumni sebelumnya, katanya persyaratannya sangat berat. Kamu butuh fisik kuat sama nilaimu juga harus bagus ketika Ujian Nasional atau gk lolos seleksinya."

"Lah... ada seleksinya ?!"

"Dikira gk ada ? Soal fisik sih ya, aku yakin kamu bisa lah, orang kamu sendiri biasa kerja. Tapi nilaimu itu loh yang mengkhawatirkan... terutama matematika."

"MAMPUS !"

Sontak aku tidak sadar mengeluarkan suara yang begitu keras ketika aku mengatakan kata-kata terakhirku. Seluruh penjuru kelas kini tengah memusatkan mata mereka kepadaku, tak terkecuali guruku yang tengah menahan amarahnya.

"Apanya yang 'mampus' tadi, Theo ? Lagi main game ya ?"

Guru matematikaku, yang disebut Pak Budi merupakan guru yang bisa dibilang termasuk kategori guru killer. Setiap kali dia menemui anak didiknya yang tidak sesuai dengan peraturannya, dia tidak memarahinya. Tapi...

"Ya- Pak, saya... saya tidak main game."

"Coba bawa sini handphonenya, bapak pengin liat kamu mainan apa."

Mau tidak mau, aku menuruti perkataannya daripada terus membantah. Apabila aku membantahnya, dia akan lebih tegas lagi padaku. Kemudian, berdirilah aku dari kursi untuk berjalan ke depan. Menyerahkan handphoneku yang tengah mati, sama sekali tidak kugunakan.

"Ternyata beneran gk main game."

"Saya tadi kan sudah bilang, Pak."

"Lah terus kalau gk main game, kok bisa tahu-tahu teriak 'mampus' ? Pasti kamu ngantuk ya ? Biar gk ngantuk coba kerjain soal yang di papan tulis dulu."

"Ta-Tapi pak... saya..."

Ia langsung memberikan spidol hitam kepadaku. Terpaksa kuambil spidol yang ia berikan, berbalik pada papan tulis yang telah terisi oleh angka-angka dan huruf yang tidak bisa kupahami. Jujur, jika soalnya hanya berisikan angka-angka saja... aku masih bisa mengerjakannya. Tapi... kalau sudah dicampur dengan huruf... aku langsung angkat tangan.

"Saya tidak bisa pak..."

"Bisa lah pastinya, kan tadi sudah dijelaskan."

"Saya betulan tidak-"

"Dicoba dulu. Ini materi ulangan dari semester-semester sebelumnya. Kalau tetap gk bisa ngerjain, nanti bapak kasih soal-soal PR buatmu. Biar ingat lagi."

"Tu-Tugas ?!"

Pak Budi disebut guru killer bukan karena dia suka memarahi muridnya. Tetapi karena yang satu ini yang membuatnya berada di jajaran paling atas guru paling ditakuti. Tanpa amarah, tapi dengan tenangnya mengatasi murid-murid yang bandel menggunakan kata-katanya yang menyakitkan. Terlebih lagi, beliau juga anggota Kesiswaan. Sudah menjadi makan sehari-hari bagi beliau untuk menghadapi siswa badung.

"Su-Sudah pak."

"Jawabanmu masih salah, itu rumus dapat darimana ? Coba benerin lagi sampai benar. Kalau tetap ga bisa, Pak Guru gk kasih jam istirahat buat kalian."

"LAAAAAAAAAAAAAA ?!!"

Dan berkatnya pula, bebanku semakin berat lagi. Sudah disuruh untuk mengerjakan soal yang tak kumengerti di depan kelas, dia juga memberiku tekanan dengan ancaman jika aku tidak bisa mengerjakannya akan dikasih tugas... serta tidak dapat jatah jam istirahat.

"Kalau ini... aku benar-benar mampus !"

-o-

"Jumlahnya 17.500 rupiah. Apa ingin dimasukkan dalam plastik ?"

"Ya."

"Kembaliannya 2.500 rupiah. Silahkan." Aku menyerahkan selembar uang kertas berwarna abu-abu dengan koin perak berukirkan angka 500 pada seorang pria yang menunggu di meja kasir.

Berbeda dengan anak-anak sekolah yang biasanya sehabis pulang sekolah pergi bermain atau ikut kegiatan lainnya. Aku, menghabiskan pulang sekolahku untuk bekerja sambilan sebagai kasir minimarket.

"Dah jam 9 malam tapi belum dateng juga..."

Sekarang jam yang ada pada dinding telah menunjukkan pukul 21.20 malam hari. Seharusnya shiftku telah selesai pada pukul 9 malam. Namun, pegawai yang menggantikan shiftku masih belum datang hingga sekarang.

"Hngggrh... argh... Membosankan juga kalau tiap hari keseharianku seperti ini."

Aku telah bekerja sambilan semenjak kelas 2 SMK, demi mengumpulkan uang untuk pergi ke Jepang. Bahkan, sebelum-sebelumnya aku telah mengumpulkan tabungan sejak kecil. Tetapi uang tersebut yang ada sekitar 5 juta dipakai untuk mendaftar pada SMK yang kuinginkan, kembali lagi jadi kosong.

Sesekali aku ingin merasakan masa muda, layaknya murid sekolah menengah lainnya. Bukan menghabiskan masa mudaku untuk bekerja di balik meja kasir. Tetapi mau bagaimana lagi, pergi ke Jepang membutuhkan banyak biaya. Orang tuaku juga tidak mengizinkanku untuk pergi karena tidak mampu membiayainya, maka aku mencari dana sendiri demi tujuanku.

"Maaf telat, tadi ujan di jalan. Kamu bisa pulang sekarang, Theo."

"Ah ya, makasih mas."

Aku selalu kerja sambilan. Memanfaatkan waktu luangku demi mengumpulkan uang. Aku pasti bisa pergi dengan kemampuanku sendiri. Itulah yang selalu kukatakan berkali-kali di dalam hatiku.

"Memangnya kamu pikir ke Jepang butuh biaya berapa ?"

"Jangan ngawur, kau masih SMK ! Mending kuliah di sini saja !"

Berkali-kali juga aku mendapat tekanan dari guruku, saudara, maupun orang tuaku sendiri. Yang kupikir itu adalah reaksi yang normal. Pada akhirnya, aku hanya murid SMK. Yang harusnya mencari teman dan fokus belajar, bukan berangan-angan ingin pergi ke negara lain.

Semakin bertambah usiaku, aku semakin sadar. Kalau pergi ke luar negeri selain membutuhkan banyak uang juga membutuhkan kepintaran yang luar biasa juga. Banyak orang yang pergi ke luar negeri karena program beasiswa yang seleksinya sangat ketat... atau mengikuti program swasta yang butuh banyak biaya berpuluh-puluh juta. Bagi diriku yang bukanlah orang berduit atau jenius, sudah saatnya aku berpikir realistis juga.

Tetapi... apakah pilihan terbaik bagiku adalah tetap berada di sini dan mengulang hari-hari yang sama. Memendam jauh-jauh impianku di lubuk hati terdalam, membuangnya... kembali ?

Drap drap drap

Pada trotoar yang gelap di malam hari, kudengar suara langkah kaki yang begitu cepat di belakangku. Jalanan trotoar yang dipenuhi genangan air setelah hujan memercikkan suaranya. Begitu tegas, tidak beraturan, cepat namun terburu-buru... bagai seseorang yang tengah mengejar sesuatu yang begitu dekat darinya namun terasa begitu jauh.

Aku membalikkan wajahku ke arah langkah kaki tersebut. Sebelum aku mampu menggerakkan wajahku, sekelebat bayangan begitu cepatnya melewatiku. Meski dalam sekejap mata, aku dapat melihatnya. Rambut hitam yang terbentang panjang melambai begitu indahnya, menunjukkan padaku wajahnya jelas dari samping. Yang kupikir adalah seorang gadis, yang memiliki mata hitam yang tajam namun menawan. Waktuku serasa berhenti pada detik itu juga, saat aku memandangnya.

Diriku terdiam memandangnya yang berlari melewatiku, menerobos cepat bagai roket yang lepas landas. Dari belakang aku terus melihatnya, tengah berlari tergesa-gesa berlari tergesa-gesa menuju pada halte bus yang ada di depan. Ia memakai jaket panjang berwarna merah muda beserta rok sepanjang lutut berwarna abu-abu. Berusaha menutupi dirinya yang merupakan murid sekolah dengan jaket, tetapi melupakan rok abu-abu yang sudah jadi ciri khas anak SMA. Dia juga menenteng sebuah tas punggung di belakangnya.

Pada saat ia menaiki tangga halte, secarik kertas terlihat menyembul dari tas yang ia bawa. Terbang, tertinggal darinya. Aku segera berlari secepatnya untuk menggapai kertas putih yang terbang itu sebelum jatuh pada genangan air hujan. Begitu diriku berhasil mendapatkan kertasnya, bus telah berhenti pada halte dan hendak pergi.

"Woi ! Barangmu jatuh !" kuberteriak pada gadis itu.

Teriakanku tidak berhasil menghentikannya, ia terus berlari dan langsung masuk pada pintu bus. Mau tak mau, aku mengambil start dan berlari secepatnya menaiki halte bus. Secepat apapun aku berlari untuk mengejar gadis itu yang telah masuk ke bus, aku tidak dapat mengembalikan kertas yang ia jatuhkan.

Dirinya telah pergi bersama bus terakhir pada malam hari ini. Meninggalkanku sendiri bersama secarik kertas putih di tangan kiriku.

"Ada saja anak SMA jaman sekarang, belum pulang sampai jam 9 malam..."

Penasaran dengan kertas yang kuambil tadi, aku melirik sedikit. Pada pandangan pertama, aku hanya berpikir bahwa mungkin aku kurang fokus ketika melihatnya. Tetapi ketika aku membungkuk dan mengonsentrasikan mataku untuk melihatnya kembali... ternyata benar.

"Bukankah kertas ini... Formulir Pendaftaran Program ke Jepang ?"

Gadis barusan... dia ikut dalam program itu ? Terlebih lagi... Formulir ini telah di setujui oleh pihak sekolah, lengkap dengan cap yang dibubuhi tanda tangan kepala sekolah ! Itu tandanya dia telah lolos tahap seleksi awal dan tinggal melanjutkan ke Lembaga Pembelajaran setelah lulus !

"Ini dokumen penting, kalau sampai hilang... dia bisa gagal dalam Program itu."

Aku lalu melihat kembali pada dokumen tersebut, data dirinya yang mungkin bisa jadi petunjukku untuk mencari gadis itu. Yang ternyata, dia sama-sama berasal dari sekolahku, yaitu SMK IT 2.

-o-

"Hah ? Bantu cariin ?"

"Iya, kemarin aku ketemu cewe terus njatuhin ini formulir."

"Tinggal cari namanya kan bisa lah. Lagipula dia juga anak sini kan ?"

"Kamu tahu sendiri kan... aku gk terlalu kenal siswa lain."

Sepulang sekolah pada kelas yang telah sepi, aku meminta bantuan pada Yuda untuk mencari gadis pemilik formulir ini. Dari keterangan yang ada di formulir, dia merupakan siswa dari SMK IT 2. Satu sekolah bersamaku. Tapi murid di sekolah ini banyak, sekitar 550 lebih siswa. Beruntungnya, di SMK sendiri jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Di kelasku saja perempuan ada 10 dari 30 siswa. Jadi tidak sulit mencarinya.

"Pemilik formulir ini pastinya kelas tiga juga, karena program ini hanya diperuntukkan bagi kelas tiga."

"Aku juga tidak begitu kenal anak kelas tiga lain..."

"Kau ini... selainku, kau tidak punya teman dari kelas lain apa ?"

Diriku terdiam, berpikir untuk sejenak dan mengingat teman lain yang mungkin kumiliki. Tapi jawabannya,

"Ga ada, kayanya."

"Kamu ini... ya sudah. Aku akan bantu cariin. Selain punya rambut hitam panjang, namanya siapa di formulir itu ?"

"Erm.... Eri... Shima."

"Eri Shima ? Nama yang asing juga buatku. Tapi bodo amat, kita harus cepat cari sekarang sebelum semua siswanya pulang semua. Aku akan coba tanya ke kelas lain."

"Terimakasih banyak Yud."

Selesai berdiskusi sebentar untuk menyusun rencana pencarian, kami berpencar. Dengan diriku yang mencoba cari di gedung B dan Yuda yang mencari di gedung A. Bertanya kepada orang yang tidak begitu kenal adalah hal yang paling tidak kusukai. Meski begitu, kupaksakan untuk memberanikan diriku sendiri. Pasti, gadis bernama Eri Shima ini tengah kesusahan sekarang. Kehilangan formulir pendaftarannya... yang telah disetujui dan tinggal menyerahkannya ke guru pembimbing.

"Eri Shima... Sungguh, gadis seperti apa dirimu."

Formulirnya telah dicap setuju langsung oleh kepala sekolah, telah disetujui. Persyaratan untuk mengikuti program ini salah satunya adalah memiliki rata-rata nilai 80 pada rapornya di setiap semester semenjak kelas 1. Kemudian juga memiliki rata-rata 75 pada Ujian Akhir dan Ujian Nasional. Persyaratan yang begitu sulit dicapai bagi siswa pas-pasan sepertiku. Namun dirinya, ia bahkan telah lolos meski belum melaksanakan Ujian Akhir dan Ujian Nasional. Seberapa jeniuskah sebenarnya gadis ini... Kenapa gadis jenius sepertinya justru memilih Program ke Jepang ? Dengan kejeniusan seperti ini... masuk ke UI atau ITB bukan hal yang sulit baginya.

Melihat orang jenius sepertinya masuk ke program ini malah membuatku semakin minder. Apalah diriku... mengisi formulir saja belum, apalagi memiliki rata-rata nilai bagus pada rapor. Matematikaku saja dapat nilai sekitar 65 di semua semester.

"Hah... dunia ini memanglah kejam ya..."

Menghela nafas, aku memaksa kakiku untuk terus berjalan menuruni tangga untuk menuju ke lantai 1 gedung B. Aku telah menyerah dengan bertanya-tanya pada orang asing. Mungkin lebih baik jika aku menyerahkan formulir ini pada kesiswaan. Membiarkan gadis itu untuk mendatangi kesiswaan sendiri.

Meski di lubuk hatiku, masih menyisakan rasa ingin bertemu dengannya untuk sekali lagi. Diriku ingin melihat kembali rambut hitam panjangnya yang melambai saat ia berlari... atau menatap mata tajamnya yang menawan. Ingin juga kuberjumpa dengannya... duduk bersama dan bertanya apa yang ia lakukan pada hari itu sampai pulang begitu larutnya... mencari tahu alasannya mengikuti program ini... atau—

Angin dingin nan sejuk berhembus cepat melewati diriku. Mengingat sekarang adalah bulan November, musim hujan, banyak angin besar yang sering berhembus tiba-tiba. Kertas putih yang tengah kupegang terbang dari tanganku, aku pun berlari mengejarnya, melompat dan berhasil menggapainya ketika kertas itu terbang menjauh. Sampai—

Aku melihatnya... Aku melihat gadis tersebut tengah bersandar pada pohon. Dengan rambut hitamnya yang terbang terkena oleh angin, bersamaan dengan air matanya. Dia memakai pakaian yang sama seperti yang dikenakan kemarin, jaket hoodie berwarna merah muda yang terbuka menampakkan seragam putih abu-abunya. Kakinya yang ramping membentang dari rok setengah lututnya, kaus kaki hitam di bawahnya menunjukkan betapa indah bentuk kakinya tersebut.

Kulitnya yang begitu putih hingga aku dapat mengatakannya sebersih dan serapuh salju. Dia juga memiliki tubuh yang agak tinggi dibandingkan gadis lainnya, sebuah gadis yang sangat cocok apabila bekerja menjadi model.

Saat ini dia tengah bersandar pada balik pohon, sepasang matanya yang seperti mata rubah tersebut berair, dia tengah menangis di tempat dimana tidak ada siapapun yang dapat melihatnya. Mungkin jika kertas tadi tidaklah terbawa angin, diriku tidak dapat menemuinya di sini.

Aku terdiam ketika melihatnya, tidak dapat menggerakkan badanku karena terpikat oleh kecantikannya. Pikiranku kosong saat ia mengalihkan matanya padaku, sadar bahwa ada seseorang yang menemukannya. Kepalaku putih bersih, tidak sadar apapun, nafasku semakin berat, detak jantungku semakin cepat, dan mulutku... menganga, tak berani untuk mengucapkan sepatah kata pun.

"Hey."

"Hey, apa maumu ?"

Aku merasakan seseorang memanggilku, yang akhirnya kembali mengembalikan kesadaranku. Kugelengkan kepalaku untuk kembali pada diriku semula. Menghadap pada gadis yang tengah ada di depan mataku. Melihat wajah gadis itu, kurasa memang dialah yang sewaktu itu.

"Aku bertanya apa maumu ke sini ?"

Butuh beberapa saat bagiku untuk menyadari bahwa dia semenjak tadi bertanya padaku. Mata kami berdua saling bertemu, membuatku semakin gugup karenanya. Aku sendiri tidak pernah berani untuk membuka pembicaraan pada gadis, meski dia seumuran denganku sekalipun.

"Apakah... namamu... Eri Shima ?" kuberanikan diriku untuk bertanya padanya, meski gugup.

Dia menjawabnya dengan anggukan kecil.

"Bagaimana bisa kau tahu namaku ? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya ?"

"Aku meliha-"

Kutahan kata tersebut sebelum aku mengeluarkannya. Apabila aku menjawabnya dengan jawaban, 'Aku melihatmu kemarin berlari mengejar bus di malam hari.' Justru itu akan membuatnya takut. Aku akan nampak seperti penguntit dimatanya.

"Tidak, kita belum pernah bertemu sebelumnya."

"Begitukah... tapi kenapa... kau bisa tahu namaku jika belum pernah bertemu ?"

Aku menunjukkan padanya formulir yang tengah kupegang sekarang. Nampak kedua matanya melebar, terkejut melihat kertas putih yang ada pada tangan kananku.

"Kupikir formulir ini milikmu."

"Dimana... kau menemukannya ?"

"Kau menjatuhkannya kemarin malam... saat tengah berlari mengejar bus." Akhirnya aku katakan juga alasan sebenarnya padanya.

"Ternyata... yang kemarin berteriak padaku itu kamu. Aku pikir itu hanya seseorang yang menawarkan selebaran padaku, sehingga aku tidak menghiraukannya."

JLEB

Aku tidak menyangka bahwa diriku kembali terkena tusukan yang sangat dalam setelah tadi pagi oleh Pak Budi. Aku... dianggap sebagai salesman yang hendak menawarkan produknya.

"Tetapi..." Dia meraihkan tangannya pada formulir yang tengah kupegang sekarang.

Perlahan, formulir tersebut ia peluk erat menggunakan kedua tangan. Ia dekap begitu eratnya, seakan kertas itu merupakan harta paling berharganya, tidak ingin membiarkannya pergi. Setelahnya, sebuah senyuman ia tunjukkan padaku. Sebuah senyuman paling indah yang pernah kujumpai dihidupku, ia perlihatkan di depan mataku.

"Terimakasih banyak... kau telah menyelamatkanku."

-o-

"Sudah kubilang kamu tidak perlu membelikanku minum segala..."

"Anggap saja ini sebagai rasa terimakasihku padamu."

"Ya, ucapan terimakasih saja sudah cukup bagiku."

Pada sore hari yang dingin ini, kami berdua duduk bersama pada bangku yang ada di taman sekolah. Duduk berdua, berdekatan pada jam pulang sekolah... yang sepi. Hatiku tengah berdegup kencang sekarang. Aku tidak mengharapkannya untuk berbicara berdua denganku, seorang pecundang sepertiku... sekarang tengah duduk berdua bersama gadis secantik dirinya.

"Mungkin itu cukup bagimu... tapi... Formulir ini sangat berarti untukku. Kehilangannya sama saja berakhir..."

Dia tertegun, menghadap kepada formulir yang berada di tangannya.

Dan sekarang, semuanya menjadi sunyi. Tanpa ada yang memulai percakapan lagi. Sebenarnya, aku memiliki pertanyaan yang masih tersimpan... tapi... untuk mengatakannya, aku tidak memiliki cukup keberanian.

'Apa kau itu pengecut ?! ' lah yang pikiranku coba katakan. Aku adalah seorang pria, umurku sekarang saja sudah menginjak 18 tahun. Masa bertanya kepada gadis seumuranku saja tidak berani. Apakah aku akan pulang tanpa bertanya padanya, membawa penasaran ini sampai rumah nanti ?!

"Aku... melihat sedikit formulirmu. Itu Formulir Pendaftaran ke Jepang bukan ? Sebelumnya... maaf karena aku telah melihatnya tanpa izin."

"Benar, memangnya ada apa ?"

"Kalau boleh tahu, kenapa kau mendaftar program itu ?"

"Kenapa..." Ia menampakkan wajah tidak sukanya begitu aku menanyakan hal tersebut.

"Ah, jika kau tidak mau menjawabnya tidak mengapa. Maaf telah menanyakannya..."

"Karena aku ingin mengejar impianku."

"Impian ?"

"Benar, aku memiliki mimpi untuk menjadi animator."

Animator... katanya ? Gadis jenius yang memiliki nilai tinggi sepertinya ingin menjadi seorang animator ?!

"Kamu mungkin juga telah melihat cap tanda persetujuan di bawah kan. Pasti dirimu tengah berpikir, mengapa gadis jenius sepertinya memiliki impian menjadi animator ? Kenapa tidak melanjutkan pendidikannya ke universitas terkenal saja.... bukan ?"

Bahkan ia dapat membaca pikiranku dengan sangat akurat. Apa ini juga salah satu kemampuan dari seorang jenius ?!

"Sungguh menyebalkan kau tahu. Ketika hidupmu telah diatur semenjak kecil. Tidak memiliki kebebasan untuk memilih bagaimana kau ingin hidup. Seenaknya saja... mereka mengatur hidup."

Kemasan minuman kaleng yang tengah dipegangnya sekarang berbunyi keras saat dirinya menggenggam erat kaleng tersebut. Sampai aku dapat melihat bentuk kalengnya yang tidak lagi seperti awal.

"Berkata seharusnya aku masuk ke sini, ke situ, seharusnya aku menuruti perkataannya. Mengatakan bahwa impianku itu tidak menjamin masa depanku nantinya, tidak memiliki prospek bagus ke depannya. Diharuskan melanjutkan bisnis mereka. Orang tua itu..."

"Jadi aku memutuskan untuk tidak lagi menuruti mereka, mengambil jalanku sendiri dengan mengikuti impianku."

"Ke Jepang ? Kau ingin ke Jepang untuk menjadi animator ?" tanyaku padanya.

"Benar. Nenekku, orang tuaku, guruku, teman kelasku... semuanya... mengatakan 'Sebaiknya kamu lanjutkan ke perguruan tinggi.', 'Menjadi animator gajinya itu tidak seberapa.', 'Lebih baik dengarkan perkataan orang tuamu.'. Semuanya... berkata sama... kau juga berpikir sama kan ? Bahwa sebaiknya aku melanjutkan ke perguruan tinggi karena aku jenius ?"

"Tidak. Aku justru berpikir sebaliknya."

"Maksudmu–"

"Aku tidak menyangka ternyata ada orang yang berpikiran sama denganku. Kau memiliki impian yang indah. Tidak seharusnya seseorang menghentikan impian orang lainnya."

Aku membuka minuman kaleng yang semenjak tadi kubiarkan tergenggam pada tanganku. Meminumnya dalam sekali tenggukan, kemudian melanjutkan perkataanku.

"Aku memiliki impian untuk pergi ke Jepang juga. Itu adalah impian yang begituu lama, sejak aku masih kecil. Semua orang juga berpikiran, 'Pikirmu ke Jepang itu gampang apa ?', 'Pikirmu butuh biaya sedikit untuk ke sana ?', 'Memangnya kau bisa ke sana ?'. Sampai-sampai orang tuaku pun melarang diriku pergi. Tentu saja mereka melarangnya, memangnya bisa orang biasa saja sepertiku pergi ke luar negeri. Pepatah sendiri mengatakan gapailah impianmu setinggi langit, tapi bagiku, impianku sendiri jauh melebihi langit."

"Orang lain tidak seharusnya mengatakan hal seperti itu pada impianmu. Kau memiliki mimpi, maka pertahankanlah, berjuang terus hingga mimpi tersebut mampu kau wujudkan. Meski semua orang mengatakan bahwa hal itu mustahil."

"Tapi... impianku menjadi seorang animator. Pekerjaan yang tidak begitu bagus... bukankah itu membuang-buang nilai tinggi yang sudah kumiliki sekarang ? Bukankah sebaiknya aku belajar di jurusan ekonomi atau hukum yang memiliki masa depan cerah ?" Dia membantah jawabanku.

"Memangnya mengapa ? Jika itu sudah tekadmu, maka biarkan saja orang lain mau berkata apa. Aku juga belum mengatakannya padamu, namaku Theo Lasmana dari Kelas 3C Software Engineering. Kau pasti sering mendapatkan gosip tentangku."

Dia terdiam dari apa yang tengah dilakukannya sekarang. Sangat kaget mendengar kata-kataku barusan.

"Kau... si cowok yang dipanggil... 'Wibu' itu ?"

"Wah. Tidak kusangka ternyata julukanku sudah terkenal sampai ke jurusan Jaringan dan Akses Komputer. Aku memang sering disebut dengan panggilan itu oleh orang lain."

"Ma-Maaf aku mengatakannya... pasti berat dipanggil dengan julukan seperti itu."

"Tidak, tidak apa-apa kok. Aku juga sudah terbiasa."

"Tapi... kamu... betulan... wibu... itu ?"

"Walau kubilang tidak apa-apa, tidak perlu diulang juga kan pertanyaannya. Iya, itu memang aku."

Sontak, ia berdiri dan menggapai kedua tanganku. Menggenggam keduanya, hingga diriku dapat merasakan betapa lembut serta hangat kulitnya saat ini.

"Kau juga ikut Program ke Jepang ini bukan ?"

"Eh ? Ah... iya." Aku mengiyakannya, padahal diriku sendiri masih ragu untuk ikut atau tidak, sama sekali belum mengisi formulirnya.

"Bisakah kau membantuku ke depannya ? Aku mungkin tidak sepandai dirimu jika menyangkut Jejepangan... Namun, aku berjanji akan bekerja keras agar dapat mengikuti ajaranmu. Jadi... mari kita berjuang bersama sampai ke Jepang, Theo !"

Dia menatap langsung pada mataku, menunjukkannya sebuah tekad pada matanya tersebut. Sebuah tekad yang tak mungkin dapat tergoyahkan oleh apapun, oleh angin badai sekalipun. Ia telah membulatkannya, menentukan ingin mewujudkan impiannya tersebut.

"Aku akan pergi ke Jepang ! Aku pasti pergi suatu saat nanti !"

Sekilas ingatan dari masa lalu terbesit pada mataku, menunjukkan gambaran ketika diriku semasih kecil. Berteriak lantangnya di hadapan teman-teman yang mengejek impianku tersebut. Ingatan tersebut kembali lagi, saat kini Eri berdiri di depanku. Seakan menampar keras diriku saat ini, yang hampir melupakannya.

Aku menatap kembali pada formulirnya yang tergeletak pada bangku taman.

"Pergi ke Jepang... kah."

"Mari berjuang bersamaku, Theo !"

-o-

Aku memulai perjuanganku.

Saat ini juga, aku berlari secepatnya untuk memulainya. Menaiki motorku, mengendarainya lebih cepat daripada biasanya... untuk mengambil sesuatu yang selama ini telah kutinggalkan.

Meski aku tak yakin... meski semua orang berkata sebaiknya aku berhenti...

Meski pada akhirnya pilihanku salah...

Tapi !

"Theo ? Kok masuk gak sala— kamu ngapain terburu-buru ?!"

Aku akan terus berlari dan berlari, berjuang tanpa henti...

Seberat apapun... sesulit apapun tantangan yang akan menantiku...

"Hah... Hah... Hah— Rupanya kau disana, formulirku..."

Aku merasakan bahwa ini adalah awalnya...

Sebuah awal untuk menggapai mimpi yang melebihi langit !

avataravatar
Next chapter