30 Pertunangan Arvin Dan Zemira

"Mas, apa kabar?" Alara menghela nafas, akhirnya dia bisa juga mengendalikan diri dari amarah yang sudah membuncah.

"Aku baik. Kamu belum menjawab pertanyaanku? Kenapa kamu menangis?"

"Itu tidak penting, Mas! Yang penting kabar, Mas. Alhamdulillah jika kabar Mas baik, aku menjadi tidak khawatir. Aku hanya takut sesuatu yang buruk terjadi karena Mas tidak pernah memberiku kesempatan untuk sekedar menyapa." Arvin meneguk salivanya berat. Dari kilatan matanya sungguh tidak ada kebohongan di sana. Alara memang terlihat kacau.

"Maafkan aku, aku janji akan selalu menghubungimu. Sekarang tersenyumlah! Bukankah kita sudah bertatap muka sekarang meskipun lewat benda kecil ini!" Arvin mencoba merayunya dan itu berhasil.

Lamat-lamat bibir mungil perempuan itu pun mengeluarkan senyumnya, "Nah, begitu kan cantik." Alara tertunduk dalam. Meskipun sudah berusaha sebaik mungkin, tapi tidak menutup kemungkinan rasa kecewa akan pria yang dipanggil Mas itu masih ada dan belum hilang.

"Alara! Kamu ingin aku bawakan apa dari Ausy?" Wanita itu menggeleng.

"Aku hanya ingin, Mas cepat pulang dengan selamat. Tidak perlu membawa apa pun. Dengan kedatanganmu kembali, itu sudah membuatku sangat bahagia." Arvin pun tertegun. Benarkah wanita di sana setulus itu menyayangi dirinya? Apakah pikiran dia selama ini salah? Meskipun hatinya sedikit tersentil dengan penuturan istrinya, itu semua tidak akan menyurutkan hatinya untuk tidak mendua, dia akan tetap menikahi kekasihnya.

"Tentu saja, aku pasti akan datang dengan selamat dan tentunya membawa hadiah yang sangat besar untukmu nanti." Arvin menyeringai, tatapan matanya mengartikan kelicikan. Mungkin maksud dia dengan hadiah besar adalah kejutan jika dia akan menikah lagi bersama wanita tercintanya.

"Aku tunggu kedatanganmu, Mas!" mereka pun berbincang-bincang cukup lama, tanpa sadar Alara tertidur saat panggilan tersebut belum mati.

Arvin mengamati wajah sembab Alara, "Maaf Alara, karena aku tidak mencintaimu. Dan bukan kemauanku juga untuk menikahimu, jadi jangan salahkan aku jika nanti kamu menelan kepahitan dalam pernikahan kita. Kamu sendiri yang memaksa masuk dalam kehidupanku, maka kamu tanggung sendiri akibatnya." Puas bermonolog sendiri, Arvin pun mematikan ponselnya.

Karena di Negara tempat Arvin berkunjung masih siang, setelah mematikan panggilannya tak lama gantian Erina yang menghubunginya.

"Hallo, Ma!"

"Assalamualaikum Arvin."

"Walaikum salam, Ma!"

"Biasakan mengangkat telefon itu ucapkan salam terlebih dahulu!" Seru Erina.

"Iya, Ma. Maaf."

"Kamu sudah sampai di Indonesia?"

"Belum, Ma. Aku mampir ke Ausy dulu untuk menyurvei kantor pusat di sini, Ma! Nanti setelah semuanya beres, baru aku kembali ke Indonesia," terang Arvin.

"Apa? Jadi kamu belum sampai ke Indonesia?" Erina terkejut, rasa bersalah langsung hinggap di benaknya. Pasalnya dia sudah memberitahu jika putranya akan kembali kepada menantunya, tapi di luar sepengetahuannya malah Arvin singgah ke Australia lebih dulu. Wanita paruh baya itu tahu jika menantunya pasti sudah menunggu kepulangan putranya.

"Ya Allah, Arvin! Mama sudah terlanjur memberi tahu Alara jika kamu akan pulang. Pasti dia kecewa karena kamu tidak jadi datang!" Erina tidak bisa menutupi rasa kecewanya terhadap anak semata wayangnya. Dia terus memikirkan perasaan Alara.

"Mama tenang saja, ya! Tadi Arvin sudah memberitahu pada Alara. Semua terkendali, Ma." Erina bernafas lega mendengar penjelasan Arvin.

"Baiklah, yang penting kamu sudah memberinya kabar. Jangan sampai tidak, ya!"

"Iya, Ma! Mama tenang saja."

"Vin! Tolong nanti saat kamu sudah sampai di Indonesia, rayu Alara agar mau menanda tangani surat pengalihan toko Mama yang pusat ya! Mama ingin Alara mengelola butik Mama, dan mengalihkan menjadi atas namanya. Dokumennya semua Mama simpan di laci meja kerja, tolong bujuk istrimu agar mau menerimanya. Mama sudah lelah merayunya bahkan sampai memaksa, namun istrimu cukup keras kepala dan teguh pendiriannya. Mama percayakan semuanya padamu, ya!"

Arvin sempat terkejut atas apa yang baru saja disampaikan Erina padanya. "Wah, dia benar-benar wanita licik dan munafik. Ternyata itu tujuannya menolong Mamaku? Jika begitu kenapa dia harus menikahiku? Tinggal minta bagian dari butik Mama terus selesai kan urusannya? Oh aku tahu, dia pasti ingin menguasai harta Mama sepenuhnya. Maka dari itu, dia menikah denganku demi agar bisa mendapatkan semuanya. Dasar wanita ular," gerutunya dalam hati.

"Arvin!" seru Erina menyadarkan Arvin dari pemikiran piciknya.

"Iya, Ma! Maaf, Arvin melamun."

"Iya gak apa-apa sayang, tolong jangan lupa ya apa pesan Mama barusan!"

"Iya, Ma! Pasti Arvin bujuk Alara agar mau menanda tanganinya. Semua pasti beres Ma, Arvin bisa mengatasinya," ucap Arvin meyakinkan.

"Baiklah, Mama percayakan semua padamu. Jangan sampai kamu mengecewakan Mama. Jika sampai itu terjadi, maka jangan salahkan Mama kalau sampai Mama tidak menganggapmu sebagai putra Mama lagi." Erina tidak main-main dengan ucapannya, dia mengultimatum telak pada pria yang notabennya sangat mirip mendiang suaminya.

"Iya, Ma!" jawaban singkat Arvin sukses membuat Erina tersenyum. Dia berharap rumah tangga Arvin dengan Alara akan selalu baik-baik saja, menjadi keluarga yang sakinah mawadah warohmah selalu.

"Ya sudah, Mama tutup dulu ya! Assalamualaikum" setelah mendapat balasan salam, layar gawai Arvin meredup.

"Alara... baru saja aku hampir luluh pada wajah manismu itu, namun kenyataan baru saja benar-benar menamparku agar sadar dari kesemuan yang kau buat dengan dalih kebaikan. Kamu wanita licik Alara. Kebencian yang hampir meredup malah kau nyalakan lagi. Baiklah, nikmati saja hidupmu sekarang. Tunggu aku kembali, karena aku akan memberi kejutan luar biasa padamu," Desis Arvin.

Arvin kembali melanjutkan tidurnya. Perjalanan dengan jarak tempuh yang begitu lama, tentu membuatnya kelelahan. Meskipun masih pagi, tapi dia ingin tampil segar pada moment penting nanti malam. Tak berselang lama, pria itu sudah masuk ke alam mimpi.

Zemira begitu exited menghadiri undangan spesial dari Arvin. Dia teringat akan Restoran Maha, dimana keduanya sering menghabiskan waktu bersama. Dan di tempat itulah mereka bertemu untuk pertama kali, juga saling mengucap kata cinta setelah melakukan pendekatan selama dua bulan lamanya.

Dari masih jam tiga siang, dirinya sudah disibukkan dengan memilih baju terbaik. Dia lupa jika tadi pagi Arvin memberikan dia beberapa papper yang belum sempat dia buka. Karena melihat koleksi baju yang menurutnya tidak ada yang menarik, Zemira baru teringat akan buah tangan dari Arvin.

Dia menghampiri bingkisan tersebut dan membukanya, ternyata ada beberapa baju gamis khas dari Yaman yang unik namun juga cantik bagi Zemira. Sebagai seorang muslim, Zemira memang jarang sekali melaksanakan kewajiban nya kepada sang Khaliq. Bahkan cara berpakaiannya pun tidak menutupi aurat tapi masih dalam tahap sopan.

"Cantik sekali Arvin membelikanku gamis ini! Bagaimana kalau aku pakai saja nanti saat kita makan malam? Pasti Arvin sangat menyukainya." Tak hanya gamis dan kerudung saja, melainkan tas juga heels yang sudah dipadu padankan sesuai warna serasi dengan gamisnya.

"Arvin...kamu memang terbaik. Bukan karena hadiah ini, tapi karena perhatianmu dan cintamu. Sungguh sayang, aku semakin mencintaimu," senyum tak pernah luntur terhias dibibirnya.

Waktu yang sudah ditentukan akhirnya datang juga. Lingkaran bulat di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Arvin mengendarai mobil sport keluaran terbaru menuju istana Zemira. Bak Pangeran dengan kerah pita sebagai dasi di kemejanya, Arvin keluar dari mobil. Tatapan lembut dia tujukan pada gadis yang sudah menantinya diambang pintu rumah.

Arvin menatapnya penuh kekaguman, pasalnya Zemira bersedia memakai pakaian yang bisa dibilang bukan selera fashionnya. Arvin memang sengaja membelikan Zemira gamis karena perlahan ingin mengubah penampilan kekasihnya agar saat diwaktu yang tepat untuk memperkenalkan pada Erina, Zemira sudah memenuhi kriteria sang Mama. Dan tentu saja akan mempermudah mendapatkan restunya.

"Bagaimana penampilanku malam ini, sayang?" tanya Zemira gugup. Dia takut tidak sesuai ekspektasi.

"Sempurna sayang, kamu memang sangat cantik. Sungguh, aku melihat ada bayangan bidadari di sana," usapnya lembut pipi Zemira.

"Dasar gombal, kenapa semenjak di Indonesia kamu menjadi pandai sekali bergombal? Apa di sana sangat banyak para buaya sampai-sampai kekasihku yang cupu dalam cinta ini menjadi begitu pandai merayu!" cubitnya gemas di pipi Arvin.

"Kamu ini terlalu berburuk sangka sayang! Apa kamu lupa jika pria Indonesia itu beda tipis dengan perempuan?" Zemira mengernyit sambil menggeleng pelan meminta penjelasan.

"Iya beda tipis lah, karena mereka sama-sama pemalu. Namun jika sudah menemukan tambatan hati, jiwa lelaki sejati akan berontak keluar untuk menanyakan apakah si wanita mau hidup berbahagia bersamanya atau tidak." Zemira lalu mengangguk angguk dengan cengiran seolah hanya mengiyakan tapi tidak percaya ucapannya.

"Kamu tidak percaya?" Tanya Arvin kesal.

"Hahahahaha, iya iya sayang. Aku percaya kok. Ya udah yuk, segera berangkat! Cacing dalam perutku sudah berteriak-teriak meminta dimanjakan dengan makanan lezat yang ada di Maha!" seru Zemira, karena tahu berdebat dengan Arvin tidak akan ada ujungnya. Entah kenapa setelah beberapa bulan tidak bertemu membuat Arvin sedikit berani dan banyak bicara. Mungkin untuk mengapresiasikan kerinduannya. Pikir Zemira.

Keduany masuk ke dalam mobil, dan gas pun di injak. Mobil melaju dengan kecepata sedang. Keduanya menikmati perjalanan, menikmati kota Melbourne yang indah dan ramai.

"Mari cheers," pinta Arvin. Sepasang muda mudi yang sedang dipenuhi bumbu cinta itu pun saling melempar senyum. Ya, Arvin dan Zemira sudah tiba di tempat tujuan. Membicarakan banyak hal dan tanpa sadar minuman digelas masing-masing sudab hampir habis.

Pada tegukan terakhir, Zemira dikejutkan dengan benda bulat dan berlubang di tengahnya. Dia tertegun adanya cincin di dalam gelasnya, matanya beberapa kali bergantian melihat cincin dan juga Arvin. "Apa ini?" Arvin langsung berdiri dari duduknya, lalu menurunkan badannya tepat dihadapan Zemira dengan dua kakinya ditempelkan ke lantai sebagai penumpu tubuhnya.

"Will you Marry me?" seketika gadis itu menutup mulutnya tidak percaya.

"You are serious?"

"Yes, I am."

Zemira mencoba meyakinkan dirinya jika apa yang di dengar tidak salah. Hal yang selama ini selalu di impikannya, akhirnya menjadi kenyataan juga. Dewi keburuntungan hari ini berpihak padanya.

avataravatar
Next chapter