14 Mengantar Pulang

"Bagaimana kamu bisa ingat aku jika di depanmu hanya terlihat Arvin seorang!" Alara mendelik, kenapa ini orang bisa mengenal suaminya? Meskipun penasaran, namun Alara tidak berniat untuk bertanya atau bersuara sedikit pun.

Melihat kebingungan pada Alara, Ansel segera memperkenalkan diri. "Kenalkan, saya Ansel Arian Nendra. Sepupu sekaligus sahabat plus bawahannya," Ujar Ansel setelah berdiri dua meter dari jarak Alara yang masih bingung menatapnya. Tangannya sudah melayang siap untuk disambut oleh wanita di depannya ini.

Setelah sekian menit, Ansel merasa cukup lelah karena uluran tangannya belum juga mendapat sambutan dari lawan bicaranya. "Maaf bisa tidak kita berjabat tangan, aku sudah pegal dengan posisi seperti ini dari tadi," keluh Ansel.

Tanpa menjawab atau menyalami uluran tangan Ansel, Alara langsung menangkupkan kedua tangannya di depan dada. "Sial." Gumam Ansel namun masih bisa terdengar oleh wanita di depannya.

"Jaga mulut, Tuan!" seru istri Arvin.

"Ah, iya!" pria itu menggaruk tengkuk yang tidak gatal karena salah tingkah.

"Bagaimana? Apa kamu sudah mengingatku sekarang?" ucap Ansel setengah menggoda.

"Maaf, saya masih belum ingat!" mendengarnya, seketika darah tinggi Ansel meningkat.

"Huft, ya Allah. Sabar-sabar, jangan terpancing emosi." Tangan kanannya mengelus dada, mencoba menekan kekesalan di dalamnya.

"Baiklah, terserah kamu mau ingat atau tidak! Yang penting, aku kesini hanya ingin memberimu tumpangan. Aku tidak tega jika ada wanita cantik pulang sendiri naik angkutan umum, apa lagi itu istri dari sepupuku sendiri yang juga bos aku. Aku tidak mau wajah kecutmu membuat seluruh penumpang ikutan kecut." Ledek Ansel sambal menahan tawa.

"Apa? Kenapa kamu bilang mukaku kecut? Aku tersenyum sekarang, wajahku berseri. Dan tidak ada tanda-tanda kemarahan sama sekali, jadi alasan apa yang membuat anda mengatakan kalau wajah saya kecut?" balas Alara tidak terima.

"Tentu saja karena dari tadi kamu membuat ku emosi," ungkap Ansel, tapi dalam hati tidak berani berbicara lantang.

"Sudahlah, sebaiknya kamu ikut aku saja! Aku takut kamu nanti mendapat tindak kejahatan, yang pasti semua orang tidak akan suka nanti. Contohnya, seperti pelecehan seksual mungkin!" Alara geleng-geleng kepala, terlalu memaksa sekali orang yang berdiri pongah di depannya saat ini.

"Itu hanya pemikiran anda saja, Tuan. Saya tetap akan memilih naik angkutan umum dari pada harus berdua dengan anda yang belum saya kenal. Maaf, itu angkutannya sudah ada. Saya permisi, Assalamualaikum." Alara melangkahkan kakinya guna mendekati bus Trans Jakarta yang hendak berhenti tidak jauh darinya. Namun belum sampai pada bus tersebut, tangan Alara di tarik paksa oleh Ansel dan membawanya memasuki mobil sport berwarna merah darah di sampingnya.

"Aarrgghh… apa-apaan ini?" pekik Alara terkejut karena tangannya disentuh oleh pria asing selain suaminya.

Ansel masih diam dan terus menggiring Alara sampai masuk ke dalam mobil mewahnya. Gegas dia pun masuk kedalam mobil setelah memastikan sang wanita duduk dengan benar. Tak lama dia juga turut duduk di bangku kemudi. Suara Alara terdengar nyaring di telinga Ansel, namun pria itu mengabaikan teriakannya. Lelah karena tidak di gubris, akhirnya Alara memilih diam dengan bibir maju sepuluh senti meter.

Ansel melirik sekilas, berusaha menahan senyum akibat ulah Alara. Gengsi bagi dia jika sampai terlepas senyumnya yang sudah dia tahan. "Dasar aneh," lirih Alara. Walaupun samar namun Ansel tetap masih bisa mendengar gerutuannya.

Mobil berbelok kearah restoran cepat saji, kening Alara mengernyit. Berkali-kali dia pun menoleh kearah pria di sebelahnya seolah meminta jawaban, tapi nihil. Ansel turun tanpa menghiraukan raut wajah Alara yang penuh tanda Tanya. "Dasar bodoh, apa harus dijelaskan jika berhenti di sini itu sudah tentu aku lapar!" gumamnya.

"Turun!" Perintah Ansel sembari membuka pintu penumpang bagian depan.

"Kenapa kita kesini? Bukannya kamu akan mengantarku pulang?" Tanya Alara dengan polosnya. Tapi tetap menuruti permintaan pria aneh itu.

"Heh wanita! Jika mobilku berhenti di sini itu artinya aku mau makan! Tidak mungkin 'kan, mobil berhenti di tempat makan lalu aku bermain golf! Ya kali restoran ini menyediakan lapangannya, baru deh aku juga sekalian main golf." Alara memundurkan wajahnya karena posisi kepala Ansel yang terlalu dekat dengannya. Alara pun menghela nafas panjang.

"Aku tidak lapar. Silahkan kamu makan, dan aku pulang. Ok!" pintu terdorong cukup keras dari luar. Setelahnya, Alara berbalik arah ke jalan raya hendak naik taksi. Namun lagi-lagi tangan ditarik menuju restoran cepat saji. Benar-benar pemaksaan yang tidak terbantahkan, Alara sungguh dibuat kesal atas sikap Ansel sedari tadi.

"Oh, Ya Allah. Mimpi apa aku semalam hingga bertemu dengan makhluk tidak tahu malu seperti dia." Alara sengaja mengeraskan suaranya agar bisa jelas terdengar di telinga pria tersebut.

Ansel tersenyum melihat kekesalan tingkat dewa yang ditunjukkan oleh Alara, "Makanya, sudah. Jangan banyak protes. Ikuti saja, maka kamu juga bisa menikmatinya." Perempuan dengan muka di tekuk malah semakin menekuk wajahnya. Tingkahnya sungguh membuat Ansel sangat gemas.

Tak lama, makanan yang sudah dipesan datang juga. Ada beberapa menu di depannya membuat Alara meneguk ludah. Bukan, bukan karena makanan yang Nampak lezat. Akan tetapi, dia sudah merasa kenyang dengan banyaknya menu yang ada di atas meja.

"Kamu yakin, akan memakan semua ini sendiri?" Tanya Alara memastikan.

"Bukan hanya aku, tapi bersama kamu. Kita pasti bisa menghabiskannya." Ansel mengambil satu buah Burger dan minuman bersoda kemudian disodorkan ke Alara. "Makanlah, tidak usah sungkan!" perintahnya.

"Tidak, aku sudah memasak di rumah. Dan aku akan makan bersama suamiku bukan pria lain."

"Hey! Aku ini bukan orang lain, melainkan sepupumu juga karena aku keponakan tante Erina!" serunya tidak terima.

"Ya ya ya terserah apa kata kamu. Yang jelas aku tidak akan makan, karena aku akan makan bersama suamiku." Ansel akhirnya menyerah juga, betapa teguh pendirian wanita di hadapannya ini.

"Terserah kamu." Ansel pun segera melahap sebagian makanan yang sudah tersaji di meja. Alara melihatnya dengan geleng-geleng kepala. Seorang pria tampan dengan stile modern berkelas tapi makan seolah sudah tiga hari tidak makan. Alara pun tersenyum simpul melihat semuanya dan itu disadari oleh Ansel.

"Kenapa senyum-senyum?" masih dengan mulut penuh makanan dia bertanya.

"Tidak ada, hanya ingin tertawa saja. Memang tidak boleh? Sudahlah, cepat habiskan dan segera antar aku pulang!" Ansel tidak menjawab lagi, dia kembali fokus dengan santapan yang ada. Bagaimana dia tidak seperti orang kelaparan, karena memang sedari pagi dia belum kemasukan makanan sama sekali. Sedangkan saat ini jam sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB.

Mau lanjut gak? Kalau mau lanjut, ayu dong kasih aku semangat dengan cara memberiku komentar dan juga reviewnya. Dan jangan lupa tambahkan juga novel ini di collection kakak kakak semua terima kasih.

avataravatar
Next chapter