webnovel

Andai Kata

Kedua muda mudi itu pun kembali ke Restaurant dimana, Alara sempat melihat suaminya bersama wanita cantik yang beberapa hari ini menjadi momok menakutkan bagi Alara saat membayangkan kalau Arvin akan pergi meninggalkan dirinya. Bila tadi ketika Alara datang sendiri memilih tempat yang lebih tenang pada bagian pojok dekat jendela Restaurant tersebut, kali ini Ansel memilih meja utama yang menyediakan tempat privasi dan tentunya tidak bising karena hanya terdiri beberapa meja di ruangan tersebut.

"Kamu mau pesan apa?" Tanya Ansel tanpa mengalihkan penglihatannya dari buku menu di tangannya.

"Jus alpokat sama French fries saja." Ansel tidak menimpali ucapan Alara, dia langsung menoleh pada pelayan dan memesan makanannya. Sambil bercerita ringan masalah pekerjaan, sang pelayan datang dengan membawa menu makanan yang sudah dipesan tadi.

"Kamu yakin tidak mau makan? Nanti kurus loh, pasti tambah jelek kalau semakin kurus. Bisa dipastikan nenek lampir akan kalah jeleknya dengan dirimu," goda Ansel tersenyum lalu menyuapkan sendok ke dalam mulutnya.

"Sudah nikmati saja makananmu dengan tenang, tidak usah mencari gara-gara dulu denganku. Jika sampai aku meladenimu, ku pastikan Kakak akan kelaparan siang ini."

"Sadis amat jadi cewek," keluh Ansel sembari menyuapkan makanan ke dalam mulut.

"Harus! Agar terhindar dari pria model Kakak," balasnya tenang. Malas menimpali ucapan Alara yang terdengar nada ejekan, Ansel kembali memasukkan makanannya dengan nikmat.

Lama termenung, sedangkan Ansel masih asyik bersama menu di depannya. Alara tiba-tiba mengutarakan apa yang tadi di lihat ketika makan siang sendiri. "Aku tadi lihat Mas Arvin, Kak!" seketika gerakan tangan Ansel yang hendak meraup nasi beserta lauknya terhenti, namun tidak membuat Ansel menoleh padanya. Pria itu masih setia bergeming seperti hendak mendengarkan kelanjutan dari apa yang akan dibicarakan oleh gadis di hadapannya ini.

"Kembali, aku melihat dirinya bersama dengan wanita itu. Apa Kakak tahu siapa dia?" kali ini Ansel harus mengulang kebohongannya yang sudah dia lakukan dari dulu. Entahlah, apa benar itu bisa disebut suatu kebohongan demi menutupi kebusukan sang sepupu. Sebagai saudara yang tidak ingin melihat saudara yang lain kecewa terhadap dirinya, maka satu-satunya jalan adalah menutupi keburukannya. Semoga semua terjadi tidak terlalu lama, dan Ansel bisa mengakhiri kebohongannya dari gadis malang tersebut.

Akan tetapi, rasa penasaran Ansel semakin menjadi kala memikirkan bila Arvin ingin menikah lagi. Ya! Dia mengetahui rencana Arvin yang akan menikahi wanitanya, cintanya itu.

Flashback On

"Aku akan menikah dengan Zemira," terang Arvin kala itu ketika ditemui Ansel di ruang kerja pria parlente itu. Arvin sudah mulai aktif bekerja sejak dua hari setelah kembali ke Indonesia.

"Apa kamu gila? Bagaimana dengan Alara? Kasihan dia, pasti hatinya sangat sakit jika mengetahui suaminya menikah lagi!" timpal Ansel tidak terima.

"Itu bukan urusanmu. Lagi pula, memang ini yang aku inginkan sejak awal menikah dengannya. Yaitu penderitaan yang dia tanggung. Aku akan dengan senang hati dan tertawa lepas kala dia menangis."

"Dasar cowok brengsek! Aku tidak menyangka seorang Arvin yang aku kenal santun dan mengagungkan wanita ternyata hanya pecundang yang hanya bisa menyakiti wanita saja. Dimana Arvin yang peduli dan penuh cinta? Mana Arvin yang memiliki sikap melindungi terhadap wanita? Apa itu semua hanya kamuflase belaka? Lebih baik ceraikan dia sekarang, agar lukanya tidak semakin dalam!"

"Aku memang akan menceraikannya. Apa lagi Mama tidak di sini, tentu saja keinginan untuk segera berpisah dengannya semakin besar. Aku sudah memiliki peluang itu, dan akhirnya bisa hidup berbahagia bersama orang terkasihku. Memangnya kamu mau menampung perempuan serakah model dia? Kamu jelas tidak tahu niat apa yang ada di benak wanita murahan itu. Dia bener-bener licik, menggunakan segala cara agar bisa memoroti harta Mama. belum puaskah dia dengan memintaku untuk menjadi suaminya saja. Aku sungguh tidak habis pikir dengan perempuan model sepertinya. Dasar cewek munafik." Cecar Arvin bersungut sungut.

Ansel mengernyitkan keningnya tidak mengerti dengan perkataan lelaki di hadapannya ini. "Apa maksud kamu?" Arvin berdiri dari tempatnya duduk, lalu berjalan kearah jendela yang menampilkan gedung-gedung menjulang tinggi dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana.

"Kamu tidak tahu bukan, jika Mama memberikan butik pusat yang selalu menjadi kebanggaan Mama itu untuk diberikan kepada Alara! Itulah tujuan utamanya, dan menikah denganku hanya akan melancarkan obsesinya sebagai orang kaya mendadak." Mendengar penjelasan dari Arvin, Ansel menggeleng tidak percaya.

"Itu tidak mungkin!" sangkal Ansel.

"Tapi memang itu kenyataannya."

"Aku tidak percaya dengan semua ucapanmu itu! Alara bukanlah gadis yang tamak akan harta. Beberapa minggu dekat dengannya membuat aku tahu jika Alara tulus berbuat baik kepada siapapun. Dan aku rasa, kamu hanya mencari pion kesalahan gadis itu untuk menutupi kebencianmu." Ansel mengatur nafas yang mulai tersengal-sengal karena emosi.

"Mungkin sebaiknya aku mengundurkan diri dari sekarang. Aku tidak bekerja lagi bersama orang berhati iblis macam kamu. Segera ceraikan Alara dan aku pastikan, aku akan membawanya pergi jauh sehingga membuatmu tidak bisa menemukannya disaat penyesalan itu datang menghampirimu." Ansel pun berbalik hendak keluar dari ruangan Arvin, tapi baru dua kali melangkah suara Arvin menghentikan pergerakan kakinya.

"Kamu tidak akan bisa lepas dengan mudah begitu saja Ansel. Dari awal kamu sudah berada di pihakku. Jadi kamu tidak bisa mundur sekarang. Mau tidak mau kamu harus selalu mendukungku," Ujar Arvin penuh percaya diri.

"Aku akan berada di pihakmu asal kamu bisa bersikap baik kepada Alara. Meskipun hanya kebohongan yang kau curahkan, setidaknya hal itu mampu membuat Alara tersenyum." Arvin menghampiri pria berhidung mancung dengan alis mata yang tebal.

"Tentu bro! Jika itu sudah menjadi keinginan saudaraku, aku bisa apa." Ansel melengos lalu melanjutkan langkahnya keluar dari ruangan Arvin.

Flashback off

"Alara bolehkah aku bertanya?" Alara bergeming menunggu kelanjutan kalimat dari Ansel.

Ditatap seserius itu membuat Ansel ragu akan pertanyaan yang akan dia lontarkan pada gadis itu. "Em, tidak jadi deh."

Plak

"Aduh!" pekik Ansel.

"Buruan katakan! Apa yang mau Kakak tanyakan?"

"Tapi berjanjilah jangan bersedih. Ini juga hanya seandainya kok. Omong kosong belaka." Alara menahan kekesalannya karena Ansel terlalu berbelit hanya untuk sebuah tanya saja.

"Cepat bilanglah, Kak! Tidak usah muter-muter dan berbelit-belit!" Seru Alara tidak sabar.

"Jika seandainya Arvin menikah lagi, apa kamu masih tetap bertahan atau memilih berpisah?" Alara tertegun mendengarnya. Sejenak dia berpikir, benarkah itu hanya perumpamaan? Atau kah memang Ansel sudah mengetahui niatan tersebut? Mengingat selama ini mereka begitu dekat dan juga Arvin selalu menghubungi lelaki itu dibanding dirinya, entah dalam pembahasan apapun nyatanya Arvin dan Ansel selalu berhubungan bahkan bisa dipastikan setiap satu jam sekali mereka saling bertelefon ria. Jika benar Arvin mau menikah lagi, apakah wanita cantik dan modis itu yang akan dinikahinya?

Bisa saja itu terjadi, secara mereka berdua memang terlihat begitu serasi dalam segala hal. Dari segi penampilannya saja sudah terlihat jelas jika perempuan itu bukanlah wanita biasa. Innerbeautynya memancarkan pesona yang luar biasa, sangat mencolok kalau gadis itu memang dari kalangan yang sejajar dengan Arvin. Tidak seperti dirinya, hanya anak yatim piatu. Dan dengan belas kasih Erina, Alara bisa menikah dengan Arvin.

Lama Ansel menunggu jawaban dari lawan bicaranya saat ini, namun tak kunjung bersuara. "Alara…."

"Bertahan." Belum juga selesai, Alara langsung memotong ucapan Ansel.

"Kenapa?"

"Karena aku sangat mencintainya," Jelas Alara.

"Meskipun hal itu akan membuat hatimu tersakiti?"

"Ya."

"Kenapa kamu tidak mencari saja kebahagiaanmu sendiri? Untuk apa bertahan jika itu hanya akan menyakitimu saja?"

"Sudah aku bilang karena aku sangat mencintainya. Sejak pertemuan pertama, dialah lelaki yang bisa menggetarkan hatiku. Dia pula yang membuatku bisa merasakan apa itu arti cinta." Ansel menelusuri setiap inci wajah Alara, mencoba mencari keraguan di dalamnya. Namun tidak ada. Alara bersungguh-sungguh dengan apa yang terlontar dari bibir mungilnya.

"Sebesar itukah kamu dalam mencintai seorang pria? Bukankah setahuku, manusia itu tidak boleh melakukan berlebihan dalam mencinta selain Tuhan?"

"Aku tahu, bahkan aku melakukan sesuai ajaran Islam kan? Karena Islam membolehkan menikah untuk kedua, ketiga bahkan keempat. Jadi apa alasan saya untuk melarang suamiku menikah lagi? Tidak ada kan!" Ansel meraup wajahnya kasar.

"Dengar Alara, hidup itu realita. Semua yang kamu ucapkan tidak semudah itu pada kenyataannya. Pasti ada yang tersakiti dalam hubungan tidak sehat seperti poligami. Bisakan, kamu keluar dari zona bahaya seperti yang kamu sebutkan tadi?" tekan Ansel.

"Tidak, Kak! Sampai kapan pun aku akan tetap bertahan, sebesar apa pun ujian dalam rumah tanggaku nanti, aku akan berjuang untuk membuat rumah tanggaku selalu utuh. Dan tidak akan pernah ada kata perceraian. Itu janjiku, Kak!" Ujar Alara yakin.

Ansel menatap seksama mata gadis di depannya. Alara benar-benar serius sama perkataannya. Antara kagum dan terharu bercampur menjadi satu. Sungguh teguh prinsip wanita ini. Andai saja cinta wanita itu tertuju padanya, betapa bahagia dirinya bisa dicintai seorang hawa sebesar itu. Berbeda jauh dengan kisah cintanya terdahulu, hanya menyisakan luka atas pengkhianatan yang dilakukan oleh mantannya.

"Tunggu! Kenapa Kak Ansel bertanya seperti itu? Apa Kaka tahu sesuatu tentang Mas Arvin? Atau jangan-jangan memang Mas Arvin punya niatan seperti itu?" Ansel bergeming.

"Jawab, Kak!"

"Aku tidak tahu Alara, dia tidak berkata apa-apa padaku. Aku tadi kan sudah bilang juga sama kamu seandainya, karena sudah beberapa kali kamu bilang melihat Arvin bersama dengan seorang gadis yang sama. Dan maaf, aku membayangkan jika sampai Arvin mempunyai keinginan poligami. Aku hanya ingin tahu bagaimana tanggapanmu saja. Ya cuma itu kok, gak lebih." Alara masih menatap curiga pada Ansel. Dirinya sama sekali tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar dari mulut laki-laki ini.

"Kakak yakin! Tidak berbohong padaku?"

"Ya-kin lah," ucapnya ragu. Alara memang diam saja, namun dia bukan wanita bodoh yang dengan mudah bisa dibohongi oleh sikap Ansel.

Next chapter