1 Prolog

Bagaimana bila tanah tempat kau berpijak, tak lagi bisa ditanami? Atau aliran air yang hanya menyisakan kubangan racun, polutan, hingga kau harus menyabung nyawa demi setetes kesegaran?

Bagaimana bila alam tak lagi bersahabat? Bukan padamu saja, juga pada tumbuhan yang meranggas, pada hewan yang satu per satu punah.

Bagaimana, jika Bumi tak lagi bisa ditempati, tiada sejengkal tanah yang bisa ditinggali, tiada bisa menaruh harapan?

Bagaimana, bila Bumi tak lagi bisa memberi kehidupan?

Di masa mendatang. Lonjakan penduduk dunia mencapai batasnya. Setiap jengkal tanah yang ada, menjadi perebutan. Tetanggamu, geng yang mengatasnamakan persaudaraan, pemerintahmu, bahkan negara-negara superpower. Tidak ada lagi hukum dunia soal moral dan lainnya, yang ada; kekuatan senjata dan persekutuan.

Kau suka, kau ambil. Habis perkara.

Masalah sosial menjadi pemandangan keseharian. Kau akan berpikir untuk tidak mengacuhkan apa yang ada di hadapan. Ya, kecuali, jika yang ada di hadapan adalah sesuatu yang sangat kau butuhkan. Kebanyakan, tanpa permisi atau meminta.

Kau lihat, kau rebut. Beres. Dan hidupmu akan bertambah setidaknya sehari lagi. Yaa, jika engkau tidak mengalami kendala berarti tentunya.

Tahu yang kumaksud?

Keroyokan. Pukulan bertubi-tubi yang mendera kepalamu, punggungmu, dadamu, perutmu, sekujur tubuhmu. Atau, rentetan dan letusan timah panas yang siap mencabut nyawamu seperti engkau menginjak seekor tikus got. Tidak berharga sama sekali. Atau dentuman-dentuman peledak rakitan yang siap melumat tubuhmu menjadi daging cincang. Ranjau? Kau bercanda, Bung.

Kau pikir itu tidak sepadan? Tidak berharga untuk kau rebut—well, kau perjuangkan?

Jangan bercanda!

Kau… tidak hidup di zaman aku dilahirkan ini. Jika iya, aku rasa, kau juga akan dengan senang hati merampas milik mereka-mereka yang tak berdaya. Kau pikir aku sedang bergurau, begitukah?

Jangan munafik!

Aku sangat-sangat-sangat yakin sekali, kau pun tidak akan segan-segan menikmati tubuh saudaramu sendiri, meniduri saudarimu sendiri. Aku tidak bercanda. Ya, kau mungkin akan gila, dan menjadi kanibal juga sebagaimana mereka-mereka yang terbuang. Dibuang oleh mereka-mereka yang bertaring, berkuku hitam tajam berbisa. Berkuasa.

Tidak ada lagi pepohonan yang bisa untuk kau lihat, tempat untuk kau bernaung dari terik cahaya mentari, atau sekadar memejamkan mata menikmati embusan angin, membaca novel percintaan. He'eh, Pangeran Berkuda Putih? Putri Cantik nan Baik Hati?

Mimpimu luar biasa, kawan. Khayalanmu terlalu mengada-ada. Yaah, mengada-ada.

Kau pikir bisa menikmati semua khayalan dan mimpi-mimpi itu?

Sekali lagi kuteriakkan ke gendang telingamu itu…

Tidak ada sebatang pohon pun yang bisa kau jadikan sandaran! Tidak ada. Tidak juga sebatang kecil ilalang. Rumput. Yang ada hanya kekeringan di mana-mana. Tanah tandus yang akan menerbangkan kabut-kabut tebal saat angin panas berembus. Memerihkan kedua bola matamu hingga memerah, menyesakkan dadamu sendiri sebab terganggunya pernapasan.

Sungai-sungai telah lama mengering. Kalau bukan onggokan sampah yang tersisa, pastilah hanya pasir dan debu yang telah terkontaminasi. Danau-danau indah yang ratusan tahun dahulu mungkin menjadi destinasi demi pencitraan badan diri, demi ribuan foto yang ditebar di media-media yang memanjakan pandangan namun membutakan otak dan pikiran, hilang. Sudah tidak ada.

Tidak ada juga lautan. Tidak ada yang tersisa di sana. Kecuali tumpukan sampah yang menggunung menjadi pulau-pulau kecil, lambat laun saling bertaut, hingga kau bisa dengan bebas berlarian, bermain bola di atasnya. Laut tak lebih dari timbunan racun. Di mana menemukan satu bentuk kehidupan di dalamnya itu sama saja dengan mukjizat terbesar yang pernah kau lihat.

Kebutuhan akan tempat tinggal, makan dan minum, demi memperpanjang hidup, membuat semua orang tidak lagi mengindahkan ekosistem, lingkungan. Satu-satunya alasan kau masih bisa bernapas berpijak di Bumi yang gersang, adalah ganggang laut dan saudara-saudarinya yang masih setia menyediakan oksigen. Yaah, aku sendiri cukup berterima kasih untuk itu.

Dan itu pun kau tidak bisa berharap banyak. Tanpa bantuan hijaunya hutan belantara, para ganggang dan kerabatnya itu seolah terseok-seok memberi kehidupan pada makhluk yang mengaku paling mulia di antara makhluk lainnya di muka Bumi ini—mungkin juga semesta itu sendiri.

Setiap sepuluh langkah, kau akan menemui mereka-mereka yang menderita gangguan pernapasan. Oksigen yang menipis. Bergulung di sudut-sudut bangunan usang. Atau terkapar sebab tak seorang pun akan mengacuhkan, tidak ada yang peduli. Tergolek tak bernyawa di tengah jalan. Satu-satunya kepedulian orang-orang, hanyalah pada apa yang melekat di badanmu. Paling bagus, daging yang masih empuk yang setidaknya akan memperpanjang usia mereka meski itu akan terlihat sangat-sangat biadab.

Ya, ada beberapa tempat di muka Bumi ini yang masih hijau asri. Terlindung tembok-tembok tebal dan tinggi, lengkap dengan para penjilat dan yang-tak-bisa-menjilat, menjaga dari balik barikade-barikade tajam berduri, senapan laras panjang. Istana-istana, kastil-kastil yang dinaungi kaca-kaca tebal anti-peluru. Peranti-peranti canggih termutakhir yang akan memerangkap oksigen bagi penghuninya saja, dan membuang karbon dioksidanya pada mereka yang terbuang, padamu.

Kau menunggu hujan, membasahi tenggorokanmu yang kering, dahagamu yang menyiksa?

Kuberi tahu, jangan berharap!

Di seluruh belahan Bumi, hujan turun tidak lebih dari sepuluh kali dalam setahun. Bisa kau bayangkan?

Baiklah, kuanggap kau bisa. Kuberi tahu lagi, hujan tak lagi pernah sama. Air yang kau tampung telah terkontaminasi. Sulfur, bahan bakar fosil, dan nitrogen yang akan menghasilkan sulfur dioksida dan nitrogen oksida. Kau pikir masih bisa bertahan?

Baiklah, bagaimana bila kukatakan jika alam memberikan perlawanan? Bumi marah dan menyerang balik umat manusia?

Kau tidak percaya? Kuberi tahu, Bumi memerintahkan atmosfer untuk meramu racun bersama hujan dan kedua zat tadi. Hingga di dalam air hujan yang kau tunggu itu terkandung asam sulfat dan asam nitrat.

Kau masih akan menunggu curahan air yang tak lebih dari sekadar hujan asam itu? Melepaskan dahagamu?

Aku rasa, kau lebih gila daripada kami.

Bagaimana?

Ya, aku rasa kau akan berharap hidup di zaman di mana pandangan filosofis dan intelektual berhimpun menjadi kesatuan. Sanātana-dharma. Belajar tentang moralitas kehidupan sehari-hari yang berdasarkan pada; karma, darma, dan norma. Kau tahu yang kumaksud? Hindu.

Atau mungkin kau berharap hidup di zamannya Konfusius masih berdiri tegap. Mendengarkan setiap ajaran yang ia bawa. Belajar tentang filsafat hidup. Moralitas pribadi dan sistem pemerintahan. Atau sekadar syair-syair merdu nan membuai.

Atau berharap bisa mendengar suara Siddhartha Buddha Gautama yang mengajarkanmu jika hidup adalah saling bergantungan, membutuhkan satu sama lain. Lengkap melengkapi. Mengajarkanmu Delapan Jalan Kebenaran, Samsara, saling berbagi kasih atas nama kebaikan.

Mungkin juga kau ingin duduk bersama, mendengarkan Isa putra Maryam atau Jesus berkhotbah. Mengajakmu ke jalan kebaikan. Mungkin pula kau berharap hidup di zaman di mana Muhammad putra Abdullah berdakwah menyampaikan risalah Tuhan.

Kau terlambat sobat, terlambat. Mereka sudah terlalu jauh "kau tinggalkan". Kau mungkin berharap dunia ini kiamat saja. Sama, mereka-mereka yang terbuang juga berharap yang sama.

Sepertiku…

avataravatar
Next chapter