1 Titik Temu

Sore itu hujan.

Hujan, hujan, yang deras sekali.

Dari jendela bangsal ia menatap nanar ke arah pekarangan rumah sakit yang daun-daunnya tertunduk-tunduk akibat guyur air hujan. Hawa dingin menyelinap masuk melalui celah sempit daun jendela, seolah ingin menyapa kulit dokter muda yang tengah menyelesaikan visitnya hari itu.

Pelik, batinnya.

"Sudah hujan, jomblo pula."

Ia menghela napas. Sekalipun bagi kita mungkin dua keluhan itu tidak berhubungan, tetapi baginya kehidupan sendiri dan cuaca yang muram durja adalah kombinasi yang tidak menyenangkan hatinya.

Maka ia bergegas melepas jas putih yang menjadi identitas dan tanggung jawabnya, membereskan semua barang bawaan, dan segera pergi dari ruang jaganya. Langkah kakinya teredam oleh hujan yang membasahi taman rumah sakit—membentuk genangan yang menyembunyikan getaran langkah kaki.

"Dokter Adam!"

Suara seorang perawat memanggilnya, Adam terpaksa berhenti dan menghampiri salah satu ruang perawat yang memanggil namanya.

"Dok, maaf, ini ada keluarga pasien yang ingin mendapatkan penjelasan tentang penyakit."

Adam meletakkan tasnya, membuka kembali catatan rekam medis dan membaca dengan tekun isi dari rekam medis pasien itu. Seorang laki-laki berusia 67 tahun dengan gagal ginjal kronis. Kondisi yang berat, pikir Adam. Tidak mudah baginya untuk menjelaskan penyakit gagal ginjal tahap akhir tersebut kepada pasien dan sanak keluarganya. Adam menutup rekam medis pasien itu dan meminta perawat untuk membawa keluarga pasien yang menginginkan penjelasan.

"Saya tunggu di ruang konsultasi ya."

Adam masuk. Pandangannya masih menerawang kepada titik-titik hujan yang seolah mengaburkan semua rencana masa depannya. Adam tidak pernah tahu bahwa sore itu adalah sore yang akan membawanya kepada banyak hal-hal baru.

Sebuah cerita panjang.

Tentang sayap-sayap patah.

avataravatar