webnovel

Harmonisnya Keluarga Jessica

     Setelah Fauzan pulang, Jessi langsung masuk ke dalam kamar tanpa ada basa basi mengobrol lagi. Malas, lebih baik ia mengistirahatkan tubuhnya dengan mengecek barang belanjaannya. 

    Surya Putra Raegar adalah pemilik bengkel mobil ternama di kotanya. Sudah berdiri selama kurang lebih lima tahun. Bukan hanya bengkel, tapi juga Restaurant seafood di kota yang sama. Bukan di Jakarta dimana mereka tinggal, melainkan di Palembang jauh dari tempat mereka. Entah apa tujuan Surya mendirikan usaha jauh dari tempatnya tinggal. 

   Hubungan Jessi dengan ayahnya itu sama sekali tidak baik. Bahkan Jeno pun seperti enggan untuk memanggilnya papah. 

    Istrinya yang tak lain adalah bunda dari Jessi bernama Alinskie Bwuy, seorang anak dari konglomerat tambang di Singapura. Menikah dengan Surya adalah musibah terbesar di dalam hidupnya, menurutnya. Mereka menikah karena perjodohan dan tanpa rasa cinta sama sekali. Pernikahan mereka awet sampai sekarang bukan karena cinta, percaya dan kasih sayang. Melainkan mereka hanya menunda perpisahan saja. 

    Hubungannya dengan Jessi juga tidak begitu baik. Lebih baik hubungannya dengan Jeno daripada dengan Jessi. 

    Jadi, intinya di dalam keluarga mereka itu sama sekali tidak ada hubungan yang benar-benar disebut dengan keluarga. Jeno menganggap Jessi hanya sebatas adik tanpa kasih sayang saja. Begitu pun dengan orang tua mereka. 

    Jessi anak kandung mereka, tapi seakan anak tiri. Kerenggangan hubungan mereka ini bukan karena tanpa sebab. Ada satu masalah yang membuat dan memicu lebih banyak lagi anak masalah sampai akhirnya mereka seakan asing meskipun tinggal dalam satu rumah. 

    Meskipun begitu, uang jajan mereka setiap bulannya selalu lancar Surya berikan tanpa absen bahkan. 

    ***

   Jessi mengeluarkan dress yang sangat cantik pilihan tangan Cleo tadi di mall karena Jessi yang malas untuk memilih. Ia berdecak kagum dengan mengangkat jelas bagaimana penampakan baju itu. Cleo memang selalu bisa ia andalkan untuk urusan fashion. 

    Setelah itu, Jessi mengeluarkan yang lainnya lagi. Satu persatu sampai semuanya selesai ia lihat. 

   Ponselnya berdering yang ternyata dari Fauzan. Dengan segera ia mengangkatnya karena memang dirinya yang meminta. 

    "Hallo?" Jessi menempelkannya di antara telinga dan bahunya. Sedangkan tangannya ia pakai untuk melipat kembali semua pakaiannya. 

   "Aku udah sampai di rumah, By. Kamu langsung istirahat yah!" 

   "Oh iya, syukur deh kalo kamu udah sampai rumah dengan selamat. Kamu juga langsung istirahat yah!" 

    Setelah mengatakan itu ia kembali menaruh ponselnya di atas nakas samping tempat tidurnya dan fokus pada semua pakaian barunya. 

    Fauzan menelponnya hanya untuk mengabari Jessi saja jika dirinya sudah sampai di rumah. 

   ***

    Baru saja Fauzan merebahkan tubuhnya di kasur empuknya itu, ponselnya sudah kembali berdering mengganggu matanya yang sudah terpejam. 

    Fauzan mendesah kesal karena istirahatnya diganggu. Ia melihat layar ponselnya dan mengerutkan keningnya. Ia tidak mengenal nomor yang menelponnya itu. Takut itu adalah dari orang penting, Fauzan dengan segera mendudukkan kembali posisinya dan mengangkat panggilan masuk itu. 

    "Hallo!" 

    Baru saja Fauzan akan membuka mulutnya untuk menyapa lebih dulu, namun suara disana sudah menghentikannya dan membuat Fauzan seketika langsung terdiam kaku. 

   Ia jelas mengenal siapa pemilik suara itu. 

   "Lyn?" Suara Fauzan terdengar bergetar. Antara rasa takut, bingung, cemas dan entah apa lagi disana. 

    "Iya. Kamu apa kabar?" 

    Fauzan semakin menegakkan tubuhnya. Ada rasa rindu di dalam hatinya ketika mendengar suara itu, namun rasa bersalah langsung melesakkan maju paling depan. 

    "Baik. Kamu gimana?" 

    "Aku juga baik. Aku kangen kamu, Zan. Bisa gak kita ketemu?" 

    Fauzan bingung. Ia tidak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan itu. 

    "Aku harus tanya Jessi dulu, Lyn. Tapi aku gak yakin kalo dia bakal kasih izin," jawabnya sendu. 

    "Kamu masih sama Jessi? Aku pikir udah putus," sahutnya terdengar terkejut. 

   Jelas lah, semua orang pasti akan mengira jika hubungannya dengan Jessi tidak akan lama sampai bertahun-tahun karena sikap mereka berdua yang membuat semua orang ragu. 

    "Masih," jawabnya disingkat. 

    "Yaudah aku tutup deh kali gitu. Gak mau ganggu hubungan kalian lagi. Cukup sekali aja kamu buat kebodohan itu dan jangan diulang," katanya kemudian memutuskan sambungan teleponnya. 

    Fauzan terkekeh sinis mendengar pesan terakhir yang wanita itu sampaikan. Rasanya lucu sekali jika wanita itu yang mengatakannya. 

    Fauzan melempar ponselnya sembarangan. Ia benci dengan rasa yang langsung muncul meski hanya dengan mendengar suara wanita itu saja. Ia menyadari kebodohannya. Harusnya dirinya bisa lebih pintar lagi melihat siapa yang benar-benar tulus bukan hanya sekedar mulus. 

    ***

    Jessi turun ke lantai dasar menuju ke meja makan dengan pakaian yang khas orang bangun tidur. Sama sekali belum mandi lebih dulu. Kebiasaan buruknya juga yang tidak pernah hilang. 

   Di meja makan sudah lengkap orang-orang yang berperan sebagai keluarganya. Semuanya biasa saja ketika Jessi sudah duduk. Tidak ada yang menyapa atau bahkan lagi menyambut. 

   Seakan mereka memang asing tidak saling mengenal. Makan pun saling diam tidak ada percakapan sama sekali. 

   "Sepi amat. Nyalain musik apa yah?" celetuk Jessi dengan idenya. 

    "Masih pagi," sahut Jeno masih dengan makanannya. 

    "Abisnya pagi ini sepi banget. Bunda sama Ayah kenapa gak ribut lagi sih kayak biasanya? Jadinya kan rumah rame kalo gitu, gak kaya sekarang yang sepi banget," ujar Jessi dengan semua kata-katanya yang tidak pernah melewati filter lebih dulu. 

   "Kamu kok seneng sih liat orang tua kamu ribut?" Surya bertanya yang membuat Jeno dan Jessi langsung menoleh padanya. Kemudian saling tatap, seakan mengerti apa yang dikatakan hatinya. 

   Tak lama mereka berdua terkekeh kecil. Mau tertawa keras, takut malah memalukan. 

   "Seru lagi kalo ngeliat kalian berantem kayak gitu. Pisah aja lah. Yuk Jeno anter ke pengadilan agamanya!" 

    Jessi malah semakin terkekeh lebar mendengar semuanya. Mereka ini bukan anak yang menghentika kedua orang tuanya agar jangan bertengkar. Justru jika kedua orang tua mereka baik-baik saja, mereka yang tidak nyaman. Aneh memang. Jeno saja sampai menyuruh mereka untuk berpisah. 

    "Kamu ini, kurang ajar sekali! Pagi-pagi sudah membuat suasana jadi tidak nyaman," kata Surya marah. 

    "Wajarlah mereka seperti itu. Aku juga ingin pisah dari kamu kok," sahut Alin acuh tak acuh sambil meneruskan makannya. 

    "Kamu ingin pisah? Kenapa? Karena saya tidak cukup kaya untuk kamu? Dasar wanita matre. Tidak tahu diuntung," balas Surya semakin marah. 

   "Kamu itu yang gak tahu diuntung. Masih mending aku masih bertahan sama kamu sampai sejauh ini. Kalo bukan karena Jeno dan Jessi, aku sudah pulang ke rumah ayahku dari dulu."

   "Lagian aku heran sama papahku. Kok bisa menjodohkan aku dengan laki-laki miskin seperti kamu ini. Harusnya kamu tahu diri untuk menikah denganku."

    Jeno dan Jessi tetap santai menikmati makanan mereka. Bahkan nafsu makan keduanya semakin meningkat melihat pertengkaran yang terjadi. Tatapan mereka seperti sedang menonton sebuah film drama sambil makan. 

   "Seru nih kalo setiap hari kayak gini."

Next chapter