4 Chapter 3

"Hanya diri sendiri yang tau betapa sakitnya kehadiran tapi berasa tidak ada"

---

Happy reading

---

"Tolong kak,,,,, tolong...!"

Tiada bunyi lain selain isak tangis yang menggema di ruangan itu.

Gadis kecil yang menggigil ketakutan meringkuk seperti janin yang tak diinginkan, menyedihkan-mungkin kata itu masih terlalu bagus untuk dirinya saat ini.

Tidak ada satu pun orang yang akan menolongnya, bahkan satu-satunya orang yang dia percaya dulu akan selalu melindunginya kini benar-benar telah menghancurkan kata percaya itu.

Bulir air mata kembali deras membasahi pipi gembul nya. Kulit putih bersih itu sudah tak jarang lagi terlihat cukup banyak luka lebam. Tak ada yang bisa gadis kecil itu lakukan selain menahan isak tangis dan pasrah kepada tuhan.

Semuanya sangat menyakitkan.

Entah mengapa ia harus merasakan derita yang tak sepatutnya ia ketahui, entah mengapa ia juga harus merasakan rasa sakitnya pengkhianatan, umurnya masih belum seberapa namun tuhan seakan berkata bahwa dia harus tahu betapa kejamnya dunia untuknya.

Derita apa lagi tuhan, tidak kah cukup seorang gadis kecil yang tertatih-tatih berdiri dengan kakinya sendiri harus mengemban luka sebesar ini.

"Mama ...."

Mulut mungilnya sudah lelah memangil semua.

Ia tahu semuanya sia-sia namun salahkan ia berharap ada yang datang dan menyelamatkan dirinya dari tempat yang menakutkan ini.

"Papa tolong ica..."

--

Suara derap langkah kaki terdengar terburu-buru menuruni anak tangga, gadis yang terlihat sudah siap dengan seragam putih abu-abu nya itu berlari menuju meja makan seraya menguncir surai halusnya menjadi satu.

sekarang jam masih menunjukkan pukul 04.40, bukankah jam formal SMA masih terbilang pagi jika berangkat sepagi ini.

"Bik! Papa mama belum berangkat kan?"

Merasa mendengar suara majikannya, seseorang yang di panggil 'bik' itu langsung menolehkan kepalanya.

"Eh non Ara, loh kok tumben pagi-pagi udah siap non" ucap wanita paruh baya itu seraya tersenyum hangat pada Ara.

"Hehe iya ni bik biar bisa sarapan bareng mama papa"

"Oh iya bik, ngomong-ngomong papa mama kalo sarapan pagi biasanya jam berapa sih bik?" lanjutnya lagi tanpa mengerti raut wajah suram yang perlahan terlihat di wajah paruh baya itu.

"Eee anu non, itu-tuan belum pulang lembur dari tadi malam, kalau nyonya udah berangkat tengah malem tadi non katanya ada bisnis penting di Singapura" jelas pekerja itu meskipun ia tahu bahwa jawabannya ini akan membuat anak majikannya itu kecewa.

Jika kecewa, memang benar-Ara sangat kecewa pagi ini, bayangkan saja ia sudah semangat menyusun rencana agar bisa bangun pagi dan sarapan bersama kedua orang tuanya di meja makan, seperti yang sering mereka lakukan sepuluh tahun lalu di rumah ini. Namun entah mengapa rasanya sekarang semua itu sangat sulit menjadi kenyataan.

Apakah segitu bencinya kedua orang tuanya pada dirinya, sampai-sampai berkumpul dalam satu meja makan saja mereka tak sudi.

Tegar, Ara mencoba tetap tersenyum agar tidak terlalu terlihat menyedihkan di depan pekerja yang sudah puluhan tahun mangabdi di rumahnya ini.

Ia menatap sekeliling rumahnya, rumah besar yang di dominasi perabotan-perabotan mewah, kini hanya yang menjadi saksi bisu menyedihkannya seorang Ara-anak semata wayang yang tak pernah diinginkan kehadirannya di dunia. Seandainya ia dapat milih, sungguh, ia benar-benar akan memilih untuk tidak lahir ke dunia ini jika yang ia dapatkan hanya sebuah kebencian yang akan mendarah daging di hati ke dua orang tuanya itu.

Mungkin ia tidak akan se kecewa ini jika kejadian hari ini adalah hal pertama kali dalam hidupnya, namun, nyatanya ini bukanlah kali pertama. Terkadang Ara sudah berusaha datang ke kantor papanya hanya untuk sekedar mengajaknya makan siang, tapi yang dia dapat malah sang papa memilih makan siang bersama klien dengan alih-alih tidak enak jika menolak, lalu bagaimana dengan nasibnya yang bela-belain bolos sekolah hanya untuk sekedar ingin merasakan satu kali momen makan siang bersama sang ayah?

Jujur saja ia tak ingin membenci kedua orang tuanya, tapi entah mengapa mereka seakan mendorong dirinya untuk melakukan itu semua. Ternyata seperti ini rasanya memiliki keluarga utuh, namun, seperti yatim piatu yang mengenaskan.

"Non..."

Ara tersentak dari lamunannya, gadis itu menoleh ke asal suara lalu mencoba mengukir senyum hangat di bibirnya, ia benar-benar aktris yang handal. Lihat, bibinya itu kini terlihat seperti membuang nafas lega, mungkin wanita itu mengira bahwa dirinya akan sedih dan kecewa ketika informasi tadi ia tuturkan, nyatanya semua itu memang akan benar, jikalau saja ilmu aktingnya tidak bisa ia gunakan.

"Mm... ya sudah bibik cantik, aku pergi sekolah dulu ya, udah di tunggu temen ni. Itu nanti bibik sama pak joko aja yang sarapan, oke?!"

Lalu tanpa menunggu jawaban sang bibik, Ara langsung berlalu dari sana, ia takut tidak dapat menyembunyikan lagi ekspresinya. Lagi pula teman macam apa yang akan menunggunya pagi-pagi buta seperti ini di sekolah.

Entah apa yang Ara pikirkan sekarang, ia benar-benar tidak tau akan kemana selain sekolah tujuannya.

Ara mengayun-ayunkan kakinya seraya berjalan sendirian di pinggir trotoar berharap dengan ini ia akan mengulur waktu untuk sampai lebih lama ke sekolah. Tapi adakah yang lebih bodoh dari dirinya jika jarak rumah dan sekolahnya sekitar 15 kilo meter jika di ukur sepanjang jalan?

Capek, ia benar-benar sudah lelah tuhan. Tolong datangkan ia satu malaikat, walau pun itu malaikat pencabut nyawa sekali pun.

Gadis itu mencoba terlihat baik-baik saja di depan umum, ia tidak ingin reputasi keluarganya berantakan hanya karena gadis bodoh yang meraung di pinggir jalan.

Sepanjang perjalanan tak sedikit pasangan mata menatap heran kearahnya, bahkan ada orang yang tak segan-segan menanyakan langsung kemana arah tujuannya, ia pun hanya membalas se ala kadarnya saja meskipun itu hanya sebatas tukang angkot sekalipun.

"Non...."

Mendengar suara yang amat di kenalinya itu, spontan Ara langsung menolehkan kepalanya, dan benar saja itu pak Joko supir pribadi rumahnya yang sedang berhenti tak jauh darinya sekarang.

"Mari non saya antar"

Ara tersenyum hangat saat melihat laki-laki paruh baya yang juga sudah Ara anggap seperti ayahnya sendiri berdiri tak jauh darinya. Bagaimana tidak di anggap ayah, jika disaat Ara sakit hanya ada dia dan bibik rumahnyalah yang merawat. Orang tuanya? Ia juga tidak tahu kemana perginya mereka.

"Udah lah pak Joko, gak papa kok. Aku juga sambil lalu joging ini hehe"

"Non jangan seperti itu, ini sudah kewajiban saya non. Mari saya antar ya"

Ara tersenyum, " Gak papa pak, lagian saya juga lagi nunggu teman ini"

Pak Joko mengernyit, pasalnya memang benar teman apa yang menunggunya di waktu sedini ini.

Belum sempat pak Joko menyahuti tiba-tiba saja terdengar Ara meneriaki nama seseorang yang memang terlihat memakai seragam sekolah juga. Pak Joko menoleh saat motor yang tadi di teriaki majikannya itu hanya berlalu saja seakan tidak mau berhenti.

"Loh non itu temannya-"

Ara terlihat gugup, bagaimana ini, bukan karena ia takut ketahuan berbohong, haya saja ia benar-benar tidak mau membuat orang-orang disekitarnya terlihat lebih khawatir kepadanya.

Namun, ternyata tak selang beberapa lama, motor yang tadi di teriakinya itu datang lagi dari arah berlawanan, tetapi Ara tak mau lagi berharap.

Jujur saja jantung Ara berpacu sangat cepat ketika motor itu semakin lama semakin dekat.

Tuhan jangan bilang ini prank..

"Ini temennya non?" tanya pak Joko ketika motor itu sudah benar-benar berhenti di samping mereka.

Ara menoleh gugup " I-iya pak,"

"Eem ya udah ya pak, Ara berangkat dulu" pamit Ara terkesan terburu-buru seraya memegang bahu sang pemilik motor bermaksut untuk membantunya naik ke atas motor.

Pak Joko masih terdiam.

"Mari pak" ucap laki-laki itu terdengar ramah seraya berlalu dari sana.

Dan Pak Joko lagi-lagi masih terdiam.

***

Ara benar-benar terlihat pucat pasih sekarang bagaimana bisa mulutnya begitu lancar memanggil laki-laki ini. apalagi dinginnya udara yang seakan menusuk langsung kulitnya itu semakin membuat wajahnya seperti mayat hidup.

Ingatannya kembali lagi saat mata kepalanya sendiri melihat Boy menaiki motor dari arah yang sama dengannya, entah mendapat keberanian dari mana saat itu juga mulut Ara langsung spontan memanggilnya. Meski awalnya tak ada tanda-tanda ia akan berhenti. Namun, setidaknya dia akhirnya kembali.

Pikiran ara sudah kacau saat itu, ia hanya tidak mau terlihat lebih mengkhawatirkan.

Boy adalah temannya dulu atau lebih tepatnya sih kenalan yang tak sengaja bertemu di pesta ulang tahun sepupunya satu tahun yang lalu, semenjak itu hubungan mereka sedikit akrab dan terbilang semakin lama semakin cukup dekat, bahka tak jarang juga Ara selalu mengajak Boy kencan jika ia sedang merasa kesepian.

Tetapi itu dulu, tidak berlaku ketika diantara mereka ada kesalah pahaman yang membuat keduanya menjadi sedikit canggung seperti sekarang.

"Teh?"

Ara tersentak kaget, tiba-tiba saja laki-laki yang sedang ada dipikirannya itu muncul di depannya.

Ara tersenyum, "Makasih" ucapnya sambil mengambil sebotol teh yang tadi disodorkan.

Hening, sekarang mereka berdua sedang duduk di tepi pantai yang lampu jalannya masih terlihat terang menyala karena langit masih terlihat sedikit gelap.

Ara memutar segel botolnya lantas meneguk meminuman itu.

"Mau kemana?"

"Eh?" ara lagi-lagi tersentak kaget.

"Mau kemana?"

Kikuk, arah benar-benar gugup jika harus duduk berdekatan dengan laki-laki ini dan seakan mengerti pikirannya Laki-laki itu tiba- tiba saja berdiri dari sana dan beralih duduk di atas pasir di depannya.

Melihat itu Ara jadi sedikit tidak enak.

"Loh kok duduk di bawah kak"

"Gak papa lagi pengin liat bintang aja"

"Hah? Emang ada bintang, bukannya ini matahari udah mau terbit ya"

Boy menoleh ke arahnya " Dia bintang juga kan."

"Dia siapa?" refleks Ara menyaut.

Laki-laki itu terkekeh lalu berdiri dari duduknya.

"Ya mataharinya lah, masak kamu?"

Jleb

Dia benar-benar malu sekarang. Sungguh, demi tuhan! bukan ini yang dia maksud, tadinya Ara hanya sekedar ingin basa basi belaka, maksudnya, dia hanya ingin mengurangi suasana canggung disana tetapi kenapa jawaban laki-laki itu malah seakan membuat Ara mengharap jawaban lain.

"Bub-bukannya seperti itu kak-"

Kurang ajar laki-laki ini bisa-bisanya dia membuat Ara mati kata.

Sudah kepalang Malu, ya sudah nyebur aja sekalian.

"Ih kak Boy bikin orang salting aja, lagian emang aku bersinar juga kok. "

Boy tertawa mendengarnya, perempuan ini masih sama ternyata.

"Ciee ketawa"

Mendengar itu, seketika itu juga Boy langsung menghentikan tawanya dan langsung berlalu meninggalkan Ara sendirian.

Ara membuang nafas lega, jujur saja sikapnya tadi semata-mata hanya ingin menutupi rasa kegugupannya. Entah mengapa ia bisa segugup ini sekarang.

Boy berada di tepi pantai langsung merasakan terpaan angin pantai yang perlahan mulai menghangati kulit. Ara yang melihat itu pun langsung berlari menyusul.

Matahari perlahan mulai menampakkan wujudnya, walau masih malu-malu namun, cahayanya benar-benar membuat hati siapapun menghangat ketika melihatnya.

"Indah banget ya kak" ucapnya.

"Hm"

Hening.

"Oh iya lupa, kakak kok pakek seragam juga?" akhirnya ia basa-basi lagi.

"Baru pulang"

Jawaban Boy benar-benar membuat perempuan itu membulatkan matanya spontan.

"Ha? Dari sekolah?"

"Dari rumah temen"

Ah, kirain..

"Oh aku kira dari sekolah"

Kembali hening, tak ada percakapan lagi diantara mereka kecuali bunyi ombak yang terdengar bersautan menyapa bibir pantai. Dan ara lagi-lagi kembali dilanda gugup.

"Kakak kok mau mau aja tadi di panggil? Padahal kan tadi kakak udah lewat, eh malah balik lagi aku kira tadi prank kak"

"Kan ada mata"

"Ada kuping juga" lanjutnya.

"Astagfirullahhaladzim apakah memang mulut anda seperti ini kakak?"

Sayangnya pertanyaan itu hanya mampu Ara pendam dalam hati.

"Kalo Hati ada yang punya gak?"

"Perasaan kita udah lama gak ketemu ya" tiba-tiba saja Boy mengalihkan pembicaraan.

"Iya dong, kalo ketemu mulu mah namanya jodoh" ucap Ara seraya tersenyum manis.

Pepet teroooss...

Laki-laki itu tersenyum walau pun samar, mata Ara bisa melihat itu.

"Tadi supir kamu?"

"Kusir kak. Ya iyalah jelas-jelas tadi bawa mobil"

Boy terkekeh, "Aku kira pilot."

Eh?

Sontak Ara tertawa mendengarnya, ternyata laki-laki dingin ini bisa juga srimulat.

Waktu sudah menunjukkan pukul 06.00, baru kali ini Ara merasa dekat dengan laki laki sebegini dekatnya, sampai-sampai ia melupakan kajadian tak enak hati di rumahnya tadi, bahkan ia juga melupakan waktu yang berlalu begitu cepat, rasanya ia tidak mau beranjak dari sini jika saja bel sekolah tidak sedang menunggunya.

"Kakak habis ini mau pulang?"

Ini bukan kode untuk Stay lebih lama kan Ara?

"Oh iya, maaf ya aku gak bisa antar kamu sampai sekolah." tiba-tiba Boy mengeluarkan suara, reflek Ara langsung mengibas-ngisbaskan tangannya.

"Eh enggak kak bukan kayak gitu, gak papa kali kak, kan ada taxi hehe..."

Boy menatapnya dari ujung kaki sampai ujung kepala, dan seketika jantung Ara kembali berpacu cepat.

"Kamu gak bawa tas kan?"

"Eh?", sialan Ara memang bodoh dari zigot.

"Bawa uang?"

"Ha?"

"Kamu kayak orang gak niat sekolah"

"Eh anu, itu tadi—"

Tiba-tiba Boy merogoh saku celananya lalu mengeluarkan sebuah dompet.

"Buat bayar taxi" ucapnya seraya menyerahkan dua uang seratus ribuan.

Mata Ara membulat, "eh gak usah kak, ini aku bisa telfon temen" paniknya, dan bodohnya lagi Ara melupakan Handphone nya dirumah. Meski menyadari itu namun Boy tak mau membuat Ara semakin tidak enak, alhasil dia hanya pura-pura tidak tahu dan kembali menyerahkan uang itu padanya.

"Gak papa simpan aja"

Blushh

Blushing kayak dapet nafkah aja dari suami.

Perlu di garis bawahi, mereka berdua pernah dekat dan Ara pernah menyimpan rasa untuk laki-laki ini.

***

Buat yang baca boleh minta tolong ya

Tandai jika aku nulisnya ada yang typo:'(

Terimakasih

Jangan lupa votment:)

Tbc-

avataravatar
Next chapter