3 Chapter 2

----

"Beda? Atau hanya perasaanku yang membedakan. "

----

Happy reading..

***

Ara berlajan mendekati laki-laki itu, senyum jahil masih terpatri indah di bibirnya.

Cukup lama ia tersenyum seraya mengamati ekspresi laki-laki di depannya ini, berharap lelaki itu akan membalas senyumnya, lalu mendekat, meminta nomor telepon, menyatakan perasaan, menembak lalu setelah itu Ara tolak, lucu kan.

tapi siapa sangka yang ia dapat malah sebaliknya, no! Plus+ dia membuang muka sambil memutar mata jengah—what?!, tiba-tiba Ara menghentikan langkahnya. Ia tertegun sejenak. Setelah cukup lama ia berpetualang, baru kali ini ia melihat laki-laki yang menatap tak acuh kepadanya. Really?

Sungguh di luar ekspektasi, walau pikirannya masih berkelana kemana-mana namun Ara kembali melangkah lagi, sampai tiba akhirnya kakinya berhenti tepat berhadapan dengan ujung kaki laki-laki itu.

Ia meneliti wajah di depannya ini sebentar, laki-laki berdada bidang, rahang yang terbilang cukup tegas, dan bibirnya yang terlihat seksi, Ara sungguh dibuat kagum. Ia tak habis fikir bagaimana bisa ada makhluk se indah ini.

Oh tuhan, ingin pingsan rasanya jika lama-lama menatap makhluk ini.

Ara tersenyum samar namun tiba-tiba ia teringat sesuatu dan membuyarkan angannya, ia berdeham pelan berusaha mentralkan degup jantungnya yang entah sejak kapan hobi bermaraton sekarang,

Tolong Ara, ayo dong yang mahal dikit.

Setelah mengatur gemuruh di dadanya ia pun kembali mengukir senyum di bibirnya.

"Kamu murid baru ya?, kelas berapa?"

To the point, Masih dengan senyum andalannya Ara melontar pertanyaan. Ia yakin seyakin yakinnya jika laki-laki yang sedang berdiri didepannya ini adalah murid baru sama seperti dirinya, selain karena baru melihat wajah ini, ia juga menolak lupa jika dirinya sudah sangat hafal jelas semua laki-laki di sekolah ini.

Merasa tidak ada respon Ara kembali memastikan.

"Ya kan?,"

"Ya."

1 detik

2 detik

10 detik.

Ara masih terdiam.

15 detik..

Omaygat! Suaranya...

Entah kejutan apa lagi yang akan di berikan tuhan kepadanya, dari wajah tampan, sikapnya yang manly banget lalu apa sekarang? Suaranya yang begitu sejuk di dengar. Ara benar-benar yakin jika laki-laki ini bukanlah seorang manusia asli.

Tanpa sadar tarikan bibir Ara semakin lebar hingga membentuk jelas deretan giginya disana.

Meski begitu, Laki-laki itu masih saja memasang wajah datar, tapi Ara tak peduli.

Dia selanjutnya, Pikirnya lagi.

"B!"

Tiba-tiba suara itu memecah keheningan disana, spontan mereka semua menoleh ke asal suara.

Pertama kali yang mereka lihat adalah seorang perempuan dengan gaya baju seragam yang melekuk ketat di tubuhnya itu sedang berdiri disana.

Cantik sih, parasnya memang ke bule-bule an tapi sayang mulutnya mercon banget.

Ck! Ngapain sih si ular itu!. Pikir Ara.

Ya, Ara cukup mengenal kakak kelas yang satu ini. Bagaimana tidak mengenal coba, dia yang dulu menyiksanya mati-matian di MOSB beberapa bulan lalu.

Sebut saja dia-Maria, kakak kelas kiler yang udah kayak cabe-cabean pinggir jembatan.

Ara masih menatap penuh sengit pada Maria di tambah tatapan Momo juga yang semakin mendukung suasana disana. Terlihat Maria juga membalas tatapan itu namun sedetik kemudian tiba-tiba suara bariton kembali terdengar di susul derap langkah kaki yang mendekat ke arahnya.

"Jangan lupa di kembaliin."

Setelah mengusap sisa air mata di ujung mata Ara, laki-laki itu langsung berlalu dari sana meninggalkan Ara yang kembali terpaku di tempat.

***

"Abe Mahesa," ucap Ara, perempuan itu sedang membaca sebuah kertas yang ada di tangannya.

"Putra kedua dari Alman Mahesa, cucu dari Mahendra Mahesa dan Anindya Mahesa dengan nama buyut Wijaya Mahesa dan Kiana Mahesa" Ara berhenti sejenak seperti ada yang janggal ."kok gak ada nama ibunya?"

"Mana gue tau, gue juga dapet itu susah kali" semprot Didot.

Semuanya terdiam mencoba menerka-nerka apa yang di pertanyakan Ara barusan.

"Mungkin lahir dari bapaknya langsung?" celutuk Galon yang cenderung lebih mengarah ke pertanyaan.

"Bapak bapak, gundul lo semok!" umpat Roby.

"Ya kali, siapa tau kan"

Ara menatap bergantian teman-temannya yang berada di depannya kini, masih sedang berusaha mengira-ngira bagaimana bisa nama ibu laki-laki itu tidak tercantum di kertas silsilah keluarganya ini.

"Mungkin cerai kali ya?" tanya Ara lagi.

"Mungkin juga mati bunuh diri?" saut galon.

"Gak mesti juga lon" timpal didot.

"Terus apa dong?"

"Mungkin tenggelam terus gak ketemu-temu sampek sekarang"

"Kok bisa tenggelam?"

"Ya mungkin sengaja loncat dari mercusuar"

Mendengar itu refleks Galon langsung menjitak kepala Didot.

"Itu namanya juga bunuh diri Goblok! Ribet amat bahasa lo"

"Kok mau bunuh diri? Emang ada apa?" disitu, dengan polosnya Ara juga merasa tertarik pada topik nya, Roby yang melihat itu pun langsung melotot seketika.

"Astagfirullah!! udah-udah, bodo amat lah ya sama tu emak, oh iya Ra, gue cuma mau ngingetin tu jaket jangan lupa di kembaliin!" ucap roby lagi.

"Eh iya lupa!, omaygad, kalian pada tau gak sih seberapa bahagianya gue!!!"

"Enggak."

Galon dan Didot menjawab bersamaan, mereka sudah tahu akan mengarah kemana jalan pikiran Ara, Perempuan ini memang dangkal sekali pikirannya, padahal jelas-jelas sudah sangat terlihat tadi jika laki-laki yang di temuinya di roof top itu hanya sekedar mengingatkan dia untuk mengembalikan jaketnya—bukan menggodanya.

"Bego banget sih kalian, males deh gue" Ara mendengus kesal.

"Yang bego tu sono gile!"

"Penyakit ke geer-an lu mah gak pernah sembuh-sembuh ya ra, heran deh gue" lanjut galon.

"Ya ampin galon.... Lu mah kurang peka, gue yakin deh seyakin yakinnya kalo tu jantan naksir banget sama gue"

"He bang toyib! Gue tu tau lu emang cantik, tapi ya belom tentu neng tu orang demen juga sama lu, ya amsyong dah"

Kini giliran didot yang bersuara, ini dia Ara, sukmanya benar-benar telah kembali sepenuhnya. Entah mengapa dia senang sekali memukul rata semua orang.

Ara hanya memutar matanya malas, teman-temannya ini memang membosankan, memangnya tau apa mereka berdua tentang perasaan seseorang, buang-buang waktu saja lebih baik Ara yang memastikannya langsung bukan. Ia yakin bahwa laki-laki itu sedikit banyak pasti menaruh perhatian padanya, lihat saja nanti.

"Siapa? Kak Abe?"

Tiba-tiba Momo datang menimpali dengan membawa dua kantok plastik es di tangannya, Momo memberikan satu plastik es itu pada ara.

"Bukan, kak Cede."

Mendengar itu sontak Ara langsung menggeplak mulut Galon.

"Sakit kakakk!"

"Bidi imit."

Mulut galon memang tiada taranya kalau di suruh julid, dia beranggapan nama laki-laki itu aneh, memangnya dia tidak merenungkan namanya sendiri apa?. Andaikan Galon itu anaknya mungkin Ara akan memperlakukan Galon lebih dari ini.

"Udah-udah, helloo, badan kalian itu udah pada bau tanah ya. masih aja kayak bocah, heran deh gue tuhan."

"Gak usah bawa-bawa nama tuhan deh, mulut lo najis asal lo tau."

Plak!

Spontan momo langsung menjitak kepala Galon.

"Astaga tangan lo garcep amat dah perempuan !"

"Mulut lo gak tau sunat ya!"

Galon mengelus mulutnya dengan sayang, dua kali—ini kedua kalinya kepalanya jadi sararan.

"Biasa Mo, dia kan lahir mulutnya dulu yang keluar" timpal Ara.

Galon menatap sengit keduanya, tak terkecuali pun dengan Ara yang menatap tajam balik matanya.

"apaq lo liat-liat!"

"Dih mata mata hamba"

Galon merebut kantong es milik ara lalu menyeruputnya tanpa dosa.

"Gue jadi yakin deh sekarang" tiba-tiba suara didot terdengar, sontak semua pasang mata tertuju padanya.

"Yakin apaan?"

"Gue yakin banget kalau lo itu kembaran Fizi, gak ada akhlak"

"Bangsat!!"

Mereka semua tertawa tak terkecuali pun dengan Galon yang malah terlihat lebih terbahak bahak dari mereka.

"Eh tapi ngomong-ngomong Kak Abe cakep juga tau." timpal Momo.

"Kan, apa gue bilang" Ara menoel hidungnya sendiri, berlagak seoalah dia paling benar.

"Tapi kok gue gak naksir ya?" sahut didot.

"Ya gile lo naksir pisang" Momo mengumpat, "Bengkoang masih banyak dot"

"Tapi pisang enak loh, kayak ada manis-manisnya gitu" timpal Galon juga, sedangkan semua orang disana menatap jijik kearahnya.

"Kayaknya gue bakal pindah haluan deh sekarang" lanjutnya seraya pura-pura menyelipkan anak rambutnya di telinga.

"Gue bunuh mau gak?" Ara bersuara, sedangkan Galon hanya menatap Ara tajam.

"Bunuh aku Ra bunuh!!!" Galon berteriak dramatis disana yang reflek membuat kelas itu terselimuti tawa.

"Ibu juga mau dong dibunuh"

Satu, dua, tiga, empat, lima—lima kata. Yang sontak langsung membuat semua murid itu membeku seketika.

Semuanya pelan-pelan menoleh ke asal suara, dan benar saja, bu Susi sedang bediri disana seraya membawa penggaris kayu di tangannya.

***

Matahari semakin terik, lapangan sekolah benar-benar terlihat sangat gersang saat ini tapi bagaimana lagi hukuman tetaplah sebuah hukuman.

Ara menunduk seraya memunguti beberapa sampah anorganik di pinggir dan sekitar lapangan, tubuhnya sudah amat kelelahan hari ini, terlihat dari banyaknya embunan keringat di dahinya, tapi siapa yang peduli bahkan meski pun tak banyak siswa yang sedang berlalu lalang disana entah mengapa tak ada juga satu pun dari mereka yang berminat menawarkan bantuan.

"Minum dulu."

Ara tersentak kaget ketika tiba-tiba ia mendengar suara itu, spontan ia pun menoleh ke asal suara.

"Gibran? Ngapain? Lo gak masuk kelas? Kok bisa disini? lo gak takut di marahin apa!?"

Seseorang yang di panggil Gibran itu pun hanya menampilkan sedikit tarikan senyum di bibirnya.

"Udah di bilang satu-satu kalau tanya, astaga" dia menggeleng-gelengkan kepalanya seraya mengacak gemas rambut Ara.

Ara pun hanya terkekeh lalu mengajak Gibran duduk di bawah pohon di sekitar sana.

"Emangnya lo gak takut di marahin? "

Ara menoleh lalu pura-pura menampakkan ototnya seolah berkata "gue mah kebal"

Gibran hanya tersenyum kala melihat itu semua, perempuan yang sulit sekali dia taklukkan hatinya ini benar-benar telah membuatnya jatuh cinta berkali-kali.

"Dih ngapain senyum-senyum gitu, naksir ya"

"Naksir sama lo jebol jantung gue"

"Dih kok bisa"

"Dih kenapa enggak" ucap Gibran meniru gaya bicara Ara.

"Ih apaan sih"

Gibran hanya tertawa gemas sebelum dia menyodorkan sebuah botol minum padanya.

"Buat apa?"

"Mandi"

Ara langsung membulatkan matanya.

"Ha?"

"Ya di minum lah bego"

Bisa-bisa mati duduk Gibran jika sikap Ara terus-terus membuat kepalanya berputar keras. Mungkin memang benar kata orang jika semua manusia pasti mempunyai kekurangan dan Gibran telah menyadarinya hari ini.

"Gak haus"

"Ya udah gue ambil lagi"

"Ish"

Ara menatap ujung sepatunya, lalu mengedarkan pandangannya ke sekitar lapangan yang terlihat sangat tandus itu.

Karena memang ini jam pelajaran, maka dari itu memang tak banyak siswa siswi berlalu lalang di halaman sekolah pada saat ini tapi entah mengapa ada satu pemandangan dimana objek tersebut terasa seperti sedang menerbangkan jiwa bar-bar nya sekarang.

"Lo mapel siapa sekarang?"

"Gak laper"

Mendengar itu yang tadinya Gibran meneguk air spontan ia langsung beralih menatap Ara yang kini pandangannya entah sedang mengarah kemana.

"Gak nyambung bego!" umpatnya.

"Eh Bra, lo kenal dia gak" Ara menunjuk seseorang yang tampaknya kini sedang membawa buku ke arah salah satu kelas.

Mendengar nama panggilan Ara untuknya membuat ia mau tak mau menyipitkan matanya tajam.

"Udah gue bilang nama gue ada N nya"

"Iya iya Nbra," Gibran hanya bisa memutar mata jengah.

"Ih tapi jawab dulu dong, lo kenal dia gak?" lanjut Ara lagi.

"Gak kenal" jawabnya cepat.

Ara mengalihkan pandangannya, ia beralih menatap Gibran yang ternyata sedari tadi sedang berkutik dengan HP nya.

"Ishh ya mana bisa kenal, lo aja gak liat muka dia. Noh dia masuk kelas lo, murid baru deh kayaknya, gantengnya paripurna, calon suami gue"

"Gue gak peduli, halu aja teros" masih dengan HP nya Gibran mengabaikan perkataan Ara.

Ara menatap punggung laki-laki itu yang semakin lama semakin menghilang di balik pintu kelas.

Hening sejenak.

"Abe, Abe mahesa, baguskan namanya."

Ara tersenyum, ingatannya kembali lagi ke atap sekolah. Suara khas bariton itu benar-benar membuat dirinya menolak lupa, sepertinya dia benar-benar akan membuat laki-laki itu menggandrungi dirinya, iya akan pastikan itu.

"Masih bagusan nama gue" sahut Gibran.

"Idihh halu aja teros, sampek mampos. Kelindes odong-odong baru tau rasa lo"

"Eh tunggu, siapa ra?" potong Gibran cepat seakan dia baru tersadar dari fantasinya.

Ara mendengus "A B E" Ara mengeja nama laki-laki itu.

Terlihat Gibran tergetegun sebentar.

"Kenapa? Naksir juga? Eh tapi btw lucu ya namanya"

"Jadi pengin gue—

"Gue masuk kelas dulu" potong Gibran cepat.

Ara yang tadinya berhayal tentang masa depannya, tiba-tiba di kagetkan dengan Gibran yang tiba-tiba juga berdiri dari sana dan berlalu begitu saja. Ara pun hanya bisa melongo melihat itu.

***

Abe melangkah memasuki kelasnya yang baru, ia tidak menyangka bahwa dia benar-benar akan bersekolah di sekolah ini, sekolah yang masih dibawah yayasan keluarganya.

Salah satu kelas favorit, ia memasuki kelas itu, entah apa alasan yang pasti tapi dirinya benar-benar telah berdiri di depan sana.

Semua sorot mata mengarah penuh kepadanya, mungkin selain wajahnya yang tampan silsilah keluarga nya juga terpandang disini. Ya, itu bisa saja dijadikan alasan.

Setelah merasa cukup untuk memperkenalkan diri, Abe pun kembali berlajan menuju kursi yang telah di tunjuk oleh guru, meja nomor dua dari belakang bangku paling ujung timur disana.

"Abe, jika ada sesuatu yang belum kamu mengerti, kamu bisa menanyakannya pada saya atau ketua kelas disini, ya."

Abe hanya mengangguk mengiyakan.

Berbeda dengan Gibran yang masih terus saja menatap Abe dari meja depan ujung barat.

"Gibran, sebagai ketua kelas tugas kamu membantu Abe jika dia ada keperluan, mengerti"

"Baik bu," sahutnya.

"Ya sudah ibu tinggal dulu sebentar"

Guru keluar, kelas pun kembali riuh seperti sedia kala. Tapi terkecuali lagi dengan Gibran, laki-laki itu masih saja menatap lekat Abe yang sekarang terlihat sedang memasang Earphone di telinganya.

Tak ada yang akan Abe lakukan hari ini, dia hanya perlu tidur lalu terjaga hanya untuk pulang sekolah. Ya, dia akan selalu seperti itu setiap hari.

Dan Gibran tau itu..

Tbc—

Jangan lupa tinggalkan jejak ya :)

Terimakasih

avataravatar
Next chapter