2 Chapter 1

---

"Tidak ada yang lebih mengenal diriku sendiri kecuali aku."

---

Happy reading,,

***

Aura Aurelia Aurora.

Gadis itu melangkah gontai menuju ruangan yang amat sekali ia sayangi, hari yang sangat indah—pagi-pagi namanya sudah di teriakkan di toa sekolah.

Aura—gadis yang kerap di sapa Ara itu adalah salah seorang siswi di SMA Artamija, perawakannya yang tinggi, tubuh yang terbilang langsing dan mata bulat yang membuat hampir seluruh orang terhipnotis padanya, meskipun notabenenya ia masih murid kelas sepuluh disana.

Aura terlahir mungkin hampir mendekati kata sempurna,bkarena tetap saja tidak ada yang sempurna di dunia ini. Tak jarang ia mendapat pujian disana dan disini, namun ada juga yang terang-terangan mencacinya tanpa peduli. Ia sudah terbiasa karena itu semua belum seberapa dari pada cacian kedua orang tuanya.

Ya, dia terlahir di keluarga yang terbilang cukup terpandang di kalangannya, harmonis ketika mereka berkumpul bersama saat pesta—seperti itu kelihatannya, namun adakah orang yang lebih tahu dari pada empunya.

Terkadang ia berpikir, apakah dia satu-satunya orang yang paling tidak beruntung di dunia, atau hanya pikiran dia saja yang meperburuk ini semua. Apapun dia dapatkan—apapun. Tapi semua itu seakan tak berati apa-apa.

Hidup bergelimang harta, paras yang terbilang bukan buruk rupa. Namun tanpa mereka sadari hatinya begitu banyak sayatan luka. Ingin menangis rasanya, menceritakan kepada dunia keluh kesah akan puruknya, tapi apakah mereka akan peduli—atau sebatas hanya ingin tahu saja, setelah itu dengan bangganya mereka ringkas menjadi sebuah cerita dari teman ke temannya. Mengesankan, ia yakin ceritanya akan menjadi cerita terpilu di dunia.

Cukup lama ia berpikir selama berjalan, akhirnya langkah kakinya terhenti tepat di depan pintu ruangan yang bertulisan 'BK room', pemandangan yang indah bukan.

Ia menghela nafas sejenak, membolak balik pikirannya untuk bisa menjawab dan mengakali bu susi nanti. Ara sadar, meskipun ia baru saja menginjak kelas sepuluh namun entah sudah beberapa kali ia harus menghadapi kejamnya ruang BK. Dari berjemur di lapangan, lari keliling di koridor kelas, bahkan klise-nya ia sampai di suruh membersihkan seluruh toilet sekolah. Baru empat bulan dan dia sudah mencetak rekor itu.

"Assalamualaikum"

Ara membuka pintu perlahan, melongokan kepala lalu memasang senyum manis dan dilanjutkan melangkah masuk ke dalam ruangan itu, seperti biasa sepi dan menakutkan. Ia jadi berfikir apakah ruangan ini dulu adalah bekas kuburan?

Pertanyaan itu tentu saja tidak mendapat jawaban, yang ada sekarang malah matanya di hunus tajam oleh tatapan bu susi di seberang sana.

Ara menyengir lalu melangkahkan kakinya menghampiri bu susi.

"Ada apa bu kok saya di panggil?" ucapnya seraya duduk disana.

Pertanyaan itu tentu saja hanya sekedar basa-basi belaka, karena ia sudah sangat amat jelas tau masalahnya.

Terlihat bu susi menghela nafas disana, membenarkan posisi duduknya dan setelah itu mengalirlah semua ucapannya.

Cacian terhadap dirinya, temannya, tentang semuanya—guru itu bahas dengan complete.

"Saya itu tidak habis fikir sama kamu. Teman gila kamu yang tiga itu buat onar lagi, dan lagi-lagi itu karena kamu. Memangnya kalian tidak bosan apa?"

Ara hanya bisa diam, dan sesekali ia hanya tersenyum samar.

Menyebalkan.

"Saya tidak mau tahu, saya mau semua ini jangan sampai terulang lagi, paham. "

Lalu guru itu terlihat sedang mengeluarkan sebuah amplop.

"Ini buat orang tua kamu, suruh dia menghadap saya."

Bu Susi menyerahkan amplop itu, Ara hanya bergeming lalu ia tersenyum miris—mau dikemanakan amplopnya itu.

Buat orang tua? Ia tidak yakin apakah orang tuanya mau menerima semua ini atau malah orang tuanya sudah tidak menganggap dirinya sama sekali. Lagi pula ia cukup sadar diri, apa arti dirinya di depan kedua orang tuanya selama ini.

Cukup lama bu susi sibuk dengan sendirinya, setelah itu wanita paruh baya tersebut meninggalkan dirinya dalam ruangan ini sendirian, ya—mungkin guru itu sudah mulai capek.

Dia tak terlalu memusingkan itu. Sekarang dia harus semangat, hidup ini bukan tentang bimbingan konseling saja, ia juga tidak mau menyesal dikemudian hari karena telah menyia-nyiakan hidupnya yang penting ini.

"Semangat Ra, dont worry! Lo hanya butuh menyiapkan pisau untuk mencincang mereka bertiga"

Ia bermonolog, memantapkan hatinya untuk benar-benar menghukum empunya setelah ini. Aura menyeret kakinya keluar dari ruangan, belum sempat ia menyentuh gagang pintu tiba-tiba saja pintunya sudah terbuka sendiri dan menampilkan sosok perempuan yang sedang berdiri kaku di hadapannya. Ara refleks terkejut.

"Astagfirullah, muka lo setrika gih"

Momo—sahabatnya, menatap sinis kearahnya.

"Ra gue udah siapain cangkul sama blender di sana"

Ara tertawa, temannya ini benar-benar sangat bisa di handalkan. 

Monika balzaina, gadis itu adalah satu-satunya teman perempuan yang dia punya. Menurutnya definisi cantik itu melekat pada diri Momo, dia gadis yang baik, gadis yang selama ini selalu ada di sampingnya tak peduli bagaimanapun kondisinya, dan dialah satu-satunya orang yang bisa mengerti keadaannya. Di saat ia dicaci, di hina atau bahkan di cemooh oleh teman-teman kelasnya hanya gadis ini lah yang akan selalu siap siaga membela dirinya dari dulu.

Ya, mereka sudah berteman sejak menduduki bangku SMP. Dan kata-kata yang selalu Momo lontarkan padanya adalah 'Ra hidup kita terlalu penting untuk meladeni mereka semua. lagian ini itu murni derita orang cantik, mana mungkin mereka ngerti'. Mengingat itu rasanya ia ingin sekali melakban mulut Momo yang kejam.

"Tapi lo gak di apa-apain kan ra! gila, gak abis pikir gue sama tu BK sinting!, tapi lo beneran gak papa kan ra?"

Ara manarik momo untuk berlalu dari sana, ia tak habis pikir dengan mulut temannya yang satu ini, bisa-bisanya dia mengatai gurunya seperti itu disaat mereka tepat berada di depan kandangnya.

"Mulut lo ya moy, sopan banget kalo ngomongin guru"

"Udah ah, gue tu gak peduli sama tu guru karena yang jadi incaran gue sekarang tu tiga tuyul yang udah bikin gue sengsara kayak gini, buset dah." lanjut Ara.

"Lets go!"

Momo menarik tangan Ara entah kemana, ia terus saja menarik tangannya tanpa melepasnya sedikitpun, dari berjalan lurus, belok kanan belok kiri, naik tangga beberapa kali dan finish akhirnya mereka sampai di tempat tujuan.

"Lo makan apasih mo, udah kayak ronaldo wati aja."

Ara merasa nafasnya tersenggal-senggal tapi yang membuat ia sungguh tidak tenang sekarang adalah Momo benar-benar mengambil sebuah cangkul di samping pintu. Sejak kapan cangkul itu nongkrong disitu. Pikirnya.

Mata Ara spontan membulat seketika.

"Lo ngapain? Mau bunuh gue lo"

"Berisik! lo tunggu sini, gue mau cari tu tiga jenglot."

Momo berlalu dari sana, meninggalkan Ara yang melongo dan terpaku di tempat.

Ia masih berusaha menetralkan degup jantungnya, matanya mengerjap-ngerjap tak percaya, apakah benar momonya akan mencangkul kepala tiga manusia itu. Alih-alih mencangkul, membayangkan saja Ara tidak mampu.

Tiga temannya itu adalah Roby, galon dan didot. Ya, mereka dengan wajah pongahnya mengeroyok salah satu siswa disana karena sudah berani-berani menyatakan cinta padanya. Konyol sih, tapi ya begitu adanya.

Padahal jelas-jelas para lelaki itu sudah Ara hukum beberapa kali, namun masih saja orang tersebut tidak kapok-kapok mengulangi. Ara jadi heran, apakah dia seorang tunarungu.

Sebenarnya sih ia juga tidak menyalahkan ketiga temannya, ia tahu kalau teman-temannya itu sangat amat peduli padanya. tapi yang menjadi masalah adalah, karena mereka namanya juga ikut terseret ke ruang BK, dan tolong di garis bawahi—ini bukan pertama kali.

Ara menghela nafasnya kasar.

Oh iya, Ngomong-ngomong ia baru sadar kalau sekarang ia sedang berada di tempat tertinggi, ternyaman dan tertentram selama ia menjadi siswi di sekolah ini.

Rooftop, atap sekolah yang biasanya menjadi pelarian siswa nakal untuk merokok dan lain sebagainya. Benar-benar definisi bocah nakal.

Ara menatap sekeliling, mengedarkan pandangannya berharap ia akan bertemu malaikat yang akan memberinya pencerahan ilahi, siapa tahu setelah ini dia bisa umroh ke tanah suci. Namun siapa sangka kalau doanya akan terkabul secepat ini.

Siswa laki-laki dengan tubuh dibalut jaket bomber sedang duduk di ujung sana, terlihat ia sedang menikmati pemandangan dibawah, namun jangan lupa beberapa putung rokok yang sudah teronggok di sekitar kakinya.

Sepertinya laki-laki itu definisi bocah nakal.

Namun, semua itu tak berarti ketika Ara menatap wajah bak malaikat itu yang seakan terpahat sempurna tanpa cela. Hidung mancung, rahang yang tegas dan tubuh yang bisa Ara tebak akan menggiurkan jika dia bertelanjang dada.

Tak terasa bibirnya tersenyum.

Merasa di perhatikan, manusia berparas malaikat itu menolehkan kepalanya yang sedetik kemudian tatapan mereka bertumpu disana.

Ara melihat samar-samar mata laki-laki itu terbelalak kaget, ia pun juga demikian. Siapa yang tidak akan kaget coba jika yang di depannya kini adalah definisi dari orang tampan—eh ralat, seger!.

Rasanya ingin sekali ia berteriak lantang untuk menggoda laki-laki itu disana.

Namun, ini salah Ara, kamu adalah wanita suci ingat itu.

Ia mati-mati an merapalkan doa, semoga saja mulut sialannya ini tidak bersiul sembarangan.

Tetapi ternyata mulutnya berkhianat. Bankaai!

Ara memukul keras mulutnya, dasar sialan.

Dan lihat sekarang, entah ia menghalu atau apa—dia melihat laki-laki itu dengan sangat jelas sedang melangkah menuju kearahnya.

Semakin lama, semakin dekat saja langkahnya. Dan sial! Mata Ara benar-benar terkunci oleh tatapan matanya.

Tibalah sekarang, lelaki itu benar-benar sudah berdiri di depannya. Menatap lekat manik mata Ara seakan menerawang jauh pandangannya.

Apakah ini benar?

Oh tuhan! dia?

Mengapa jantungnya mulai berpacu cepat.

Laki-laki itu semakin dekat.

Semakin dekat.

Demi tuhan, dirinya bukan malu.

Bukan tersipu.

Tapi tiba-tiba kilasan masa lalu yang sudah ia buang jauh-jauh itu kembali menari-nari di ingatannya.

Sialan!

Ini alasannya.

Ara benar-benar terpaku di tempat ketika ia melihat manusia di depannya itu mulai membuka jaket.

Tubuhnya merasah kaku seketika, nafasnya tiba-tiba terasa tersangkut di tenggorokan, Ara mengepalkan tangannya ketika ia meresakan lelaki itu sedang mengikat benda tersebut di pinggangnya. Matanya mulai berair dan jantung kembali berpacu cepat.

Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Ini salah Ara.

Namun sudah pasti Ara hanya bisa bermonolog sendiri, dan laki-laki di depannya tetap saja melanjutkan aksinya.

"Belahan rok kamu robek."

Hanya kata itu, namun tepat setelah perkataan itu, air matanya benar-benar sudah terjun dari pelupuk matanya.

Cowok itu tercekat ketika ia merasakan setetes bulir bening jatuh pas di lengan tangannya, mata yang tadinya menatap tanpa ekspresi kini mulai membulat kaget.

Perlahan ia merasakan tubuh gadis di depannya ini mulai bergetar, entah apa yang terjadi padanya, ia benar-benar bingung.

Ingin ia menyentuh bahu perempuan itu, berharap kehadirannya bisa membantu. Namun siapa sangka bahwa dia akan mendapat tepisan kasar.

Ia melihat gadis ini perlahan tapi pasti mulai memundurkan langkahnya. Ia tak mengerti apakah sebegitu buruknya dirinya hingga membuat salah seorang gadis didepannya ini ketakutan.

Hendak ia melangkah lagi, namun tiba-tiba satu bogeman mendarat di pipinya.

Ia terpelanting, jelas. kesal, pasti. Namun ia tak peduli karena sekarang ia hanya ingin tahu siapa pemilik tangan itu.

"Lo apain Ara breng—

Belum sempat Roby meneruskan ucapannya tiba-tiba suara yang mereka panggil Ara itu—mengintruksinya untuk berhenti.

Ia melihat Ara berjalan mendekatinya, bedanya sekarang dia sudah terlihat baik, sangat baik bahkan lebih dari kata baik.

Dan apa yang dia lihat?, perempuan itu sedang tersenyum jahil padanya.

perempuan ini,? Apakah dia sudah gila.

***

Tbc—

Votmen jangan lupa :)

Terimakasih.

avataravatar
Next chapter