1 Mera

[JUSTIN]

Apakah keberuntungan berpihak padaku?

Ah, bukan. Bukan keberuntungan memihakku, tapi pohon ini memihakku. Potongan pohon, atau kayu... Kayu? Bukan, ini pohon. Pohon yang sudah tinggal tunggulnya, dengan akar-akarnya yang besar dan kuat. Tunggul pohon ini memiliki ratusan lingkaran tahun yang sangat cantik, dan kurasa memang dia sudah berusia ratusan tahun. Aku memanggilnya "Mera," karena meraviglia berarti keajaiban, dalam bahasa Italia.

Masih tergambar jelas di ingatanku, tujuh tahun lalu Mera memberikanku sebuah kapal kecil setelah aku menggambar di atas permukaannya, yang sebenarnya hanya untuk menjelaskan mainan kapalku yang rusak ke teman-temanku. Itu pertama kalinya aku menemukan Mera. Dia berada di sebuah tempat tersembunyi yang indah, agak masuk ke hutan yang tidak terlalu dalam, tepat di depan danau yang cukup luas. Tempat ini hanya sekitar setengah jam dari tempat tinggalku. Aku sering sendirian di sini, tapi suasananya tidak pernah menyeramkan. Ada kesan magis tapi menenangkan, terang di siang hari, dan gelap malamnya tidak pernah membuatku ketakutan.

Aku ingat saat pertama kali meletakkan kertas itu di atas lingkaran-lingkaran tahunnya, menggambarinya dengan kapal berlubang, lalu setelah aku melemparnya ke danau, langsung muncul kapal berlubang seperti yang kugambar, dengan ukuran yang sama kecilnya. Teman-temanku takjub, dan memintaku menggambar lagi dengan model yang baru dan ukuran yang lebih besar, tapi aku ngga punya kertas lagi. Ramon memintaku mencoba menggambar dengan ukuran kecil di atas tisu, tapi dengan keterangan nama brand di gambar kapalnya. Setelah aku melempar kertasnya ke danau, kapal itupun muncul, persis seperti yang Ramon maksud. Sebuah yacht dengan brand Benetti, persis seperti yang kutulis. Sampai sekarang yacht itu masih ada, melabuh di pojok danau, tertutup pepohonan rindang. Aku mengecat kapal itu dengan huruf besar-besar di lambungnya membentuk sebuah nama: Justin Seagull.

Jadi apa karena danaunya? Bukan, itu ulah Mera. Karena aku sudah mencoba menggambar benda-benda lain tanpa menggunakan Mera, melemparnya ke danau, and nothing happened.

Aku, Mera dan danau itu. Tidak akan ada yang terjadi tanpa tiga elemen ini. Teman-temanku sudah mencoba menggunakan Mera untuk menggambar, dan melemparkan semuanya ke danau, tapi mereka tidak mendapat apa-apa. Ah, jadi kurasa memang keberuntungan memihakku ya?

Aku tidak pernah tahu dari mana asal Mera, dan aku berhenti mencari tahu. Dia tidak pernah melakukan hal buruk padaku, jadi kurasa lebih baik aku tak tahu apa dia sebenarnya berisi kekuatan jahat atau semacamnya. Sudah bertahun-tahun aku menggunakannya, dan satu-satunya hal buruk yang kudapat adalah aku tumbuh jadi pemuda yang agak manja.

"Ya, ya, ya.. Pangeran Justin sedang berencana memanggil apa lagi dari dalam danau?"

Aku mengenal suara itu dengan baik. Ramon datang sendirian, tumben.

"Aku sudah di sini sejak pagi. Mana Jack?"

"Ah, mereka akan datang dalam lima, empat, tiga, dua.."

"Heeeeiiii, Justiiinnn!"

Jack, Jared dan Ken muncul dari balik pepohonan dengan tawa mereka yang khas. Kami sering berkumpul di sini tiap weekend, hanya untuk bercerita atau meminta Mera memanggil benda-benda tertentu dari danau.

"Aku menemukan sesuatu yang baru," ucapku dengan serius.

"Kamu baru menggambar mermaid yang cantik?" Goda Jared.

"Nanti mermaid yang keluar bakal sejelek gambaranku!" Dan tawa mereka meledak.

Aku juga tertawa sendiri membayangkan mermaid aneh dengan rambut selurus sapu ijuk dan pipi peyot muncul dari danau. Masih untung kalau yang keluar bukan Medusa.

Teman-teman sebenarnya tidak menggodaku karena aku seorang pria 22 tahun yang kuper. Aku, Justin, anak tunggal seorang pengusaha kaya raya yang punya kerajaan bisnis arsitektur dan properti internasional. Keluargaku sering mengadakan pesta dan aku bertemu banyak tamu dari kalangan artis dan model, dan beberapa dari mereka tergila-gila padaku. Mendapatkan wanita adalah satu hal yang sangat mudah, dan aku tak perlu menggambar wanita atau meminta Mera untuk memberi satu mermaid cantik untukku.

"Hei, dengarkan!" Seruku. "Aku bisa meminta sebuah benda, dan berharap benda itu tidak keluar dari dalam danau atau muncul di sekitar sini. Maksudku.. Aku bisa meminta Mera untuk mengabulkan permintaanku agar muncul di tempat lain!"

"But how?" Tanya Ken.

"Aku tetap melempar kertasnya ke danau, tapi di kertas itu harus tertulis nama tempat yang kuminta."

"OK, Justin. Aku ingin punya pacar yang bisa kuajak jalan-jalan ke taman kota," pinta Jack.

"Jangan marah kalau nanti pacarmu jelek," jawabku.

"Ya udah, ngga usah. Aku mending bawa boneka Barbie jalan-jalan."

Mereka semua tertawa.

"Justin menggambar gadis seperti nenek-nenek, Jack.. kamu lupa?" Pungkas Ramon.

"Guys, serius.. Aku sedang berpikir ingin menggambar sebuah Bentley SUV terbaru. Tapi ditaruh di mana?" Aku sudah berpikir keras sejak sebelum mereka datang.

"Ada gudang kosong di jalan ini kan? Kira-kira 200 meter ke utara," sahut Jared.

"Gimana aku nulis nama tempatnya?" Tanyaku.

"Coba tulis nama jalan ini, Jl. Birkhead, dan gambar arah utara, 200 meter," jawab Ramon.

Jack tiba-tiba menghentikan tanganku yang hampir menggambar, "Kamu yakin bisa gambar Bentley?"

"Kalau merk mobil, aku hanya perlu menggambar sebisaku, lalu menulis merk nya di mobilnya. Ingat Justin Seagull? Aku bahkan ngga bisa menggambar yacht dengan benar."

Mera seperti tahu isi hatiku, meskipun tidak selalu. Pernah aku mendapat burger yang hanya berisi sayuran karena aku menggambar daging mirip selada.

Aku menyelesaikan gambarku, menulis alamatnya dan melempar kertasnya ke danau. Lalu kami berlima bersama-sama berlari sekitar 200 meter ke gudang kosong itu.

Aku terkesiap. Mobil itu sudah ada di pinggir jalan, tepat di balik gudang kosong itu. Untung lokasinya benar-benar sepi dan tidak ada orang di situ; Tidak ada yang melihat bagaimana mobil itu tiba-tiba muncul. Aku membayangkan bagaimana jika aku meminta Mera memunculkan mobilku di New York Times Square.

"Wow, this is crazy. Mera memberimu Bentley!" Jerit Jack tertahan.

SUV tipe Bentayga, berwarna hitam, persis seperti harapanku. Kami semua menyentuh mobil yang tampak baru itu. Aku mengintip ke dalam jendela dan melihat kunci mobilnya sudah ada di dalam. Kubuka pintunya, dan meminta teman-temanku semua masuk ke dalam.

"Oh my bugging Zeus," pekik Jared. Mereka semua melongo melihat indahnya Bentley Bentayga itu, dan aku sendiri masih tak percaya.

"I still can't believe this," kataku. "Menurutmu apa ini bisa bertahan selamanya? Atau kita akan menguap bersama mobil ini dalam seminggu?"

"Aku akan mencobanya sendiri seminggu, jadikan aku kelinci percobaan!" Sahut Ramon. "Kalau aku ternyata menguap bersamanya, kamu bisa gambar aku dan aku akan muncul lagi."

"Oh ya, aku akan menggambarmu dengan janggut dan ekor panjang!" Jawabku.

"Ngga, ngga.. kurasa jelas ngga ada yang bakal menguap, guys.." sahut Ken. "Justin Seagull masih ada, selama tujuh tahun. Semua benda-benda yang pernah kita minta juga masih ada. No matter who wanted what, asal Justin yang menggambar, semua muncul dan ngga pernah lenyap."

"Whatever, guys.. Let's ride in!" Seruku sambil menyalakan mobil. Mesin menyala, dan suaranya sangat halus untuk ukuran SUV. Aku mengemudikannya perlahan sambil menikmati tipe Bentayga ini, yang aku tahu dudukannya pas untuk tujuh orang. Kami yang cuma berlima merasa sangat nyaman di dalamnya. Ramon duduk di depan di sampingku, dan tiga yang lain di tengah dan belakang. Aku tidak bisa membayangkan apa yang dipikirkan orangtuaku saat melihatku pulang dengan mobil ini.

"Pikir kalian aku harus bilang apa ke Mama Papa?" Tanyaku pada teman-teman, meski sebenarnya aku tidak terlalu kepikiran juga sih. Papaku sendiri punya Porsche dan dua Mercedes, sementara mamaku mengendarai MINI nya ke mana-mana. Lalu aku? Aku punya Mercedesku sendiri, warna putih. Jadi sebenarnya mungkin mereka ngga akan terlalu kaget kalau aku pulang membawa Bentley Bentayga.

"Hmmm... lotere?"

"Lotere dari Hong Kong?"

"Bilang saja dikasi hadiah sama janda kaya namanya Mera."

"Iya, lalu papaku bakal nanya di mana rumahnya, dan Mama bakal buntuti Papa karena takut Papa nanti nyari si Mera," keluhku.

"Kalau jujur dapet dari pohon ajaib?"

"Nanti mobilnya dibakar, dikira berisi roh jahat."

"Titipin di rumahku ajalah, jadi ngga ada yang tahu kalo itu milikmu," pungkas Jack. Jack, yang termuda di antara kami, tinggal di rumah sendirian dan dia tidak punya siapa-siapa. Orangtuanya sudah meninggal, dan kerabatnya tidak peduli padanya.

Kami bersahabat sejak kecil, dan kami sepakat untuk saling menjaga; Setelah papa mamanya pergi, kami patungan membeli rumah untuknya agar bisa dia tinggali. Yah, bagianku 80% lah, karena aku yang paling punya banyak uang, lalu sisanya teman-teman bertiga patungan. Jack juga bisa kuliah bareng kami di kampus bergengsi karena papaku yang membayar semua biayanya.

"Ohya, halamanmu cukup kan buat ini?" Jawabku girang. Ide bagus! Rumah Jack agak jauh dari rumahku, jadi aku yakin orang serumahku ngga bakal curiga. Ah, tapi biar Bentley ini jadi milik bersama aja lah, kan aku ngga beli juga.

"Kamu boleh memakainya, Jack. Siapa aja boleh pakai. Ini bukan punyaku, OK? Kita semua dapet ini dari Mera."

"Kurasa kamu perlu menamai danaunya juga, Justin," kata Ken.

After all these years, cuma Ken yang selalu mengingatkanku untuk memberi danau itu nama. Dia memang yang paling perhatian orangnya, selalu gampang main perasaan. Ken selalu bersikap paling dewasa di antara kami, pandai memasak, suka membeli snack buat kami, dan seringkali lebih bijak dari semuanya.

Tapi aku ngga pernah terpikir sebuah nama untuk danau ajaib itu. Aku merasa sangat dekat dengan Mera, tapi ada sesuatu di danau itu yang membuatku tidak terlalu tertarik untuk menamainya, atau merasa dekat dengannya. Apa karena buatku dia hanya seperti tempat pelemparan?

"Bella! Jadinya Meerabella.." Gurau Jack, yang selalu menganggap segala sesuatu bisa diguraukan.

"Haduh.. Pakai aja itu buat nama kura-kuramu," keluhku. "Lebih baik aku menamai mobil ini. Enaknya apa ya?"

"Ben ajalah, gampang," sahut Ramon. "Karena dia memang Ben. Bentley Bentayga."

Ramon memang yang paling cerdas di antara kami, bahkan mungkin di kampus. Dia punya IQ 148, lumayan jenius, sering memberi ide cemerlang dan solusi yang tepat, meski sering pelupa juga.

Ben. Kami berlima sekarang memiliki Ben.

Aku mengendarai Ben di sepanjang perkebunan jagung yang sangat luas dengan kaca terbuka, tapi hari sudah menjelang sore dan angin bertiup makin kencang. Kami menutup kaca mobil, menyalakan AC dan menyetel radio. Selang beberapa menit kemudian, aku memutar balik dan mengarahkan Ben kembali ke dekat danau. Mobilku dan mobil Ramon masih diparkir di sana.

"Habis ini kita pulang ya? Aku perlu mengerjakan tugas nanti," kataku. Mereka semua hanya bergumam. Ramon dan Jared biasanya pulang bersama karena rumah mereka hanya berbeda gang. Aku akan pulang bersama Ken karena kami bertetangga, dan Jack akan membawa Ben ke rumahnya, yang jaraknya paling jauh dari kami berempat.

Setelah mendapatkan Ben, aku malah takut menerka hal-hal apa lagi yang bisa Mera berikan buat kami.

avataravatar
Next chapter