webnovel

Propaganda Wayang

Pangeran Aryasuta Cadudasa berada di tengah Alun-alun Jawi Bhumi. Ia masih menyamar dengan memakai pakaian compang-camping dan caping penutup kepala serta sebagian wajahnya. Ia menikmati pertunjukkan wayang kulit dengan lakon Petruk Jadi Raja. Tanpa disadari Pangeran Aryasuta Cadudasa, sang dalang mempunyai tato gagak hitam di leher. Tanda bahwa dalang tersebut merupakan anggota dari komplotan pemberontak kerajaan.

Sang dalang menceritakan bahwa, putri dari negara Imantaka yaitu Dewi Mustakaweni berhasil mencuri pusaka Jamus Kalimasada dengan jalan menyamar sebagai Gatutkaca, kerabat Pandawa. Sehingga dengan mudah ia dapat membawa lari pusaka itu. Mengetahui hal itu Bambang Irawan dan Bambang Priyambodo dengan disertai Petruk berusaha merebut Jamus Kalimasada dari tangan Mustakaweni. Akhirnya jimat tersebut berhasil direbut dan dititipkan kepada Petruk.

Sementara itu ternyata Adipati Karna juga berhasrat merebut jimat tersebut. Petruk ditusuk dengan keris pusaka yang ampuh yaitu Kyai Jalak, Petruk pun mati seketika. Namun Petruk dihidupkan kembali oleh sang ayah, Gandarwa yang sakti.

Kemudian Gandarwa ingin menolong Petruk dengan berubah wujud menjadi Duryudana. Gandarwa yang menyamar menjadi Duryudana diberikan Jamus Kalimasada oleh Adipati Karna. Namun, tak berselang lama penyamaran Gandarwa terbongkar. Ia mencoba mencari Gandarwa, namun justru mengetahui jimat tersebut sudah diserahkan kembali kepada Petruk. Adipati Karna mencoba melawan Petruk, namun kali ini Petruk menang setelah mengetahui rahasia kekuatan Jamus Kalimasada.

Tak terasa akhirnya Petruk terpisah dengan tuannya Bambang Irawan. Petruk pun mengembara, semua negara ditaklukkannya termasuk negara Ngrancang Kencana Loji Tengara . Petruk menjadi raja di sana dan bergelar Prabu Welgeduwelbeh.

"Di bawah kepemimpinan Prabu Welgeduwelbeh, rakyat merasakan kesengsaraan yang tiada tara. Rakyat ditarik upeti yang besar sehingga kelaparan sementara sang raja berlimpah ruah dan membuang-buang makanan. Rakyat dilarang makan daging, semua daging yang enak hanya raja yang boleh makan," tutur sang dalang menyampaikan ceritanya.

Wajah-wajah serius tampak menghiasi muka penonton. Mereka dengan seksama mendengarkan cerita sang dalang lengkap dengan perhatian penuh pada gerak wayang kulit yang dikendalikan sang dalang.

"Begitulah nasib rakyat apabila seseorang yang tak punya kapasitas menjadi raja duduk di singgasana istana. Hanya karena beruntung punya pusaka sakti bukan berarti ia adalah penerus pesan dewa. Para dewa tak mungkin rela jika ada raja yang tak mampu menyejahterakan rakyatnya. Bahkan, murka apabila rakyat hanya dijadikan sapi perah. Rakyat sengsara, raja bahagia," ucap dalang dengan penekanan pada kata-kata tertentu.

Sang dalang mengambil tokoh wayang kulit serba hitam yang diberi nama Sang Bayangan. Tokoh ini, menurut penuturan dalang merupakan sosok yang disuruh oleh para dewa untuk mengingatkan Petruk agar meletakkan jabatan raja dan menyerahkan pada orang yang tepat. Namun, Prabu Welgeduwelbeh yang tak lain adalah Petruk, tak mau.

"Hei, Petruk... Aku ke sini untuk menyampaikan pesan dari para dewa bahwa kesejahteraan rakyat adalah kehendak dewa, raja tak lagi menjadi penyambung lidah para dewa. Maka, turunlah dari tahtamu. Kembalilah menjadi rakyat biasa. Para dewa tak menghendaki dirimu!" seru sang dalang sambil memainkan dua tokoh wayang kulit dengan tangannya. Tangan kiri memainkan Petruk. Tangan kanan memainkan Sang Bayangan.

"Ayo, Pendekar Bayangan kalahkan raja," teriak seorang penonton.

"Lawan raja," sahut penonton lain.

Sementara para pejabat perwakilan kerajaan Bantala Nagara, tak mampu mengalihkan pandangannya dari wayang kulit. Mereka tampak menikmati sajian cerita dari sang dalang. Mereka menganggap cerita itu hanyalah hiburan yang tak mengandung ancaman ataupun sindiran.

"Keadilan bagi rakyat, berkah dari para dewa. Raja tak lagi mendengarkan dewa, harus ditumbangkan," ucap Sang Bayangan melalui mulut dalang.

Bersamaan dengan itu, dalang menggerakkan Sang Bayangan menyerang Petruk yang menjadi raja. Petruk tumbang kalah sakti oleh Sang Bayangan. Petruk menyerah dan mengembalikan tahta kepada para dewa agar dilakukan penunjukan siapa yang pantas memimpin negara.

"Keadilan bagi rakyat, berkah dari para dewa. Raja harus tumbang karena tak lagi mendengar pesan dewa," teriak seseorang dalam kerumunan.

"Hidup Sang Bayangan, hidup Pendekar Bayangan," pekik beberapa penonton disambut riuh tepuk tangan.

Perhatian Pangeran Aryasuta Cadudasa pada pertunjukkan wayang kulit teralihkan oleh seorang anak yang terlihat mencuri. Anak berambut keriting itu tampak mengambil kantong-kantong uang dari beberapa orang yang duduk di depan. Orang-orang kaya, terpandang, dan pejabat menjadi sasaran utama. Keterampilan mencuri anak itu sangat mengesankan. Ia bergerak cepat tanpa ketahuan, meski ia melancarkan aksinya di keramaian. Jika bukan karena kecermatan pandangan mata Pangeran Aryasuta Cadudasa, mungkin tak ada seorang pun yang memergoki aksinya.

Ketika sang pangeran hendak menangkap anak berambut keriting itu, tiba-tiba seseorang menghalangi pandangan dan menghambat pergerakannya. Saat ia sudah melewati orang tersebut, pencuri kecil itu lepas dari penglihatan sang pangeran. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Sekelebat, Pangeran Aryasuta Cadudasa melihat seorang anak lari dengan cepat meninggalkan kerumunan orang di alun-alun. Akhirnya, sang pangeran mengejar.

Pangeran bercaping dan berbaju compang-camping lari memasuki sebuah gang sempit. Ia mencoba mengejar anak itu. Di persimpangan gang, anak yang dikejar Pangeran Aryasuta Cadudasa memberikan kantong uang yang ia curi pada anak lain. Anak tersebut langsung lari kencang ambil jalur berbeda dengan anak yang memberinya kantong uang. Pangeran Aryasuta Cadudasa segera mengejar anak yang membawa kantong uang curian. Sang pangeran berhasil memperpendek jarak. Namun, tiba-tiba ia terhalang oleh beberapa kawanan anak yang sedang bermain bersama-sama. Anak pembawa kantong uang terus menjauh sementara Pangeran Aryasuta Cadudasa terhambat.

Setelah melewati rombongan anak yang asyik bermain, ia mencoba mencari anak pembawa kantong uang. Namun, ia kehilangan jejak. Ia terus berlari mencoba mencari. Ia belok ke sebuah gang yang lebih dalam. Clingak-clinguk mencari seorang anak yang ia kejar. Namun, tak ada tanda-tanda keberadaan anak yang dicarinya. Akhirnya, Pangeran Aryasuta Cadudasa berinisiatif melompat ke atas atap rumah agar jangkauan penglihatannya lebih luasa.

Benar saja, dari atas atap rumah, ia melihat beberapa anak berkumpul. Anak-anak itu menghadap pada orang dewasa yang memegang kantong uang curian. Tanpa sengaja, Pangeran Aryasuta Cadudasa melihat gambar gagak hitam di leher orang dewasa tersebut. Ia mencoba melihat lebih cermat orang dewasa itu. Ia yakin pernah bertemu dengannya. Setelah diingat-ingat, akhirnya ia ingat bahwa orang tersebut mirip sekali dengan pimpinan rombongan yang memukulinya saat mencoba menolong pemabuk yang dirampok. Sekaligus, orang yang menawarinya untuk bergabung dengan kelompok Wiyasa Item atau Gagak Hitam.

Pangeran Aryasuta Cadudasa menahan diri, ia tetap bersembunyi di atas atap sambil mengamati apa yang dilakukan oleh orang dewasa bertato gagak hitam dan sekelompok anak itu. Ia melihat orang dewasa itu membagikan kepingan uang dari kantong uang curian kepada anak-anak di depannya. Rupanya, kantong uang curian bukan hanya satu ikat. Ada beberapa ikat. Pangeran Aryasuta Cadudasa melihat setidaknya ada sembilan ikat kantong uang yang tersemat di pinggang orang dewasa itu. Pangeran Aryasuta Cadudasa menyimpulkan kantong-kantong itu adalah hasil curian.

"Sedang apa kisanak? Mengapa anda bersembunyi di atas atap?" tanya seseorang yang berjongkok di atasnya dengan menaruh belati di samping leher Pangeran Aryasuta Cadudasa. Saat sang pangeran menoleh, matanya terbelalak melihat tato gagak hitam di leher orang yang menodongkan belati ke lehernya. []