webnovel

Satria Braja

Sebagai calon pendekar tingkat sanak, Satria Braja termasuk salah satu yang terpayah dalam penguasaan cakra. Rupanya, ia punya rahasia besar sekaligus potensi yang bisa mengantarkannya mewujudkan impian sebagai seorang senopati. Mampukah ia mencapai impiannya? Maukah ia tetap setia pada mimpinya, jika sang raja yang harus dilindungi oleh seorang senopati adalah pembunuh dari ayah Satria Braja. Sementara rival sekaligus teman akrabnya, Istungkara, mempunyai dendam dan cita-cita membunuh sang raja. Satria Braja dan Istungkara juga terlibat cinta segitiga pada Kirana Maheswari yang merupakan senior mereka di padepokan. Mari simak kisahnya!

Sute_Soe · Fantasy
Not enough ratings
24 Chs

Mahkota Desa

Matahari tepat berada di atas kepala Mbah Putih, Kirana Maheswari, dan Istungkara saat gapura desa Danta Bhumi menyambut mereka. Suasana desa Danta Bhumi sangat kontras dengan kota Garuda Bumi yang ramai dan penuh hiruk-pikuk dengan segala aktifitas masyarakatnya. Di sini tak tampak seorang pun yang keluar rumah. Sejauh mata mereka memandang. Hanya ada deretan rumah yang suwung. 

Terdengar suara seperti lengkingan gajah. Ketiganya mencari sumber suara di sekitarnya, namun tak ditemukan. Mereka terus mencari sumber suara, searah dengan jalur menuju bunga Puspa Rasa. Sepanjang deretan rumah yang dilewati tak nampak seorang pun.

"Kenapa rumah-rumah di sini pintunya tertutup? Padahal siang hari," tanya Kirana Maheswari setengah bergumam.

"Meski begitu, tampaknya orang-orang berada di dalam rumah. Aku merasa mereka memperhatikan kita, mengintip dari celah dinding bambu," ucap Mbah Putih.

"Aku juga merasa demikian," sahut Istungkara.

"Tetap berhati-hati dan waspada. Barangkali ada serangan dadakan," pesan Mbah Putih

Mereka berjalan hingga tiba di sebuah tebing. Dari kejauhan, tampak segerombolan orang sedang berkumpul di tepi danau Gajah Mungkur.

"Apa yang sedang mereka lakukan?" tanya Kirana Maheswari kepada Mbah Putih.

"Tampaknya kita harus mendekat secara sembunyi-sembunyi untuk mengetahui apa yang mereka lakukan," ujar Mbah Putih.

Ketiganya menuruni tebing dengan hati-hati. Perlahan mereka mendekat langkah demi langkah. Hingga tampak oleh mereka, segerombolan orang itu sedang mengadakan semacam ritual. Di tengah-tengah gerombolan itu ada sepotong kepala gajah lengkap dengan belalai dan gading. Darah segar masih mengalir dari potongan kepala gajah. Di sebelahnya tampak gadis muda, tangan dan tubuhnya diikat dengan tali.

Mata Kirana Maheswari teralih oleh sebuah daratan kecil di tengah danau.

"Bunga Puspa Rasa, berada di daratan itu," ucap Kirana Maheswari sambil menunjuk daratan di tengah danau dengan telunjuknya.

Tiga orang dari rombongan orang di tepi danau itu, naik ke perahu. Mereka membawa serta sepotong gajah yang berlumuran darah, seorang gadis terikat, buah-buahan dan sejumlah bunga.

"Jangan-jangan...." gumam Kirana Maheswari.

Sesampainya perahu itu di tengah danau, salah satu dari orang di atas perahu melemparkan kepala gajah ke danau. Disusul kemudian buah-buahan lalu bunga. Terakhir, gadis terikat itu pun dibuang ke dalam danau oleh dua orang lain. 

Kirana langsung berlari menuju tepian danau sisi yang lain.

"Jangan..." cegah Mbah Putih yang terlambat.

Kirana Maheswari langsung mencebur diri ke danau begitu tiba di tepian. Ternyata ia pandai berenang. Cara berenangnya seperti ular air. Ia berenang menuju dasar danau dengan cepat. Mencari gadis terikat yang dibuang.

Akhirnya, Kirana Maheswari melihat gadis terikat itu yang tenggelam menuju dasar danau. Gadis terikat itu mencoba menggerak-gerakkan kaki dan tubuhnya. Ia semakin cepat berenang ketika melihat gadis terikat itu berhenti bergerak. Ketika sudah dekat, tiba-tiba bayangan hitam besar dan panjang melintas di atas Kirana Maheswari. Begitu melihat ke atas ke arah permukaan, ia terkejut melihat tubuh ular raksasa. Tak tampak olehnya, kepala ular raksasa itu. Kirana Maheswari langsung menyambar tubuh gadis terikat.

Tiba-tiba arus air berubah menjadi cepat seperti tersedot oleh sesuatu. Kirana Maheswari coba melawan aliran air yang mencoba menariknya. Ketika ia menoleh ke arah tujuan arus air, ternyata mulut ular raksasa yang menganga adalah sumbernya. Kirana Maheswari mencoba berenang lebih cepat melawan arus air. Ia mencoba menjauh dari kepala ular itu, secepat mungkin. Tanpa disangka, ular raksasa itu mengibaskan ekor ke arah Kirana Maheswari. Sehingga ia terhempas terkena kibasan ekor ular raksasa.

Kirana Maheswari kembali menyambar tubuh gadis terikat itu yang sempat terlepas dari tangannya. Ia mencoba membawa gadis terikat itu ke permukaan agar bisa bernafas. Tiba di permukaan, ia melemparkan tubuh gadis itu ke atas tubuh ular yang berada di atas permukaan danau Gajah Mungkur. Ia menengok kanan kiri mencari kepala ular, namun tak ditemukan. Arus air yang bergerak kuat menarik segalanya sudah terhenti.

Dari tepian danau, tampak Mbah Putih berlari di atas air mencoba memberikan bantuan kepada Kirana Maheswari. Sesampainya di dekat Kirana Maheswari, Mbah Putih berdiri di atas tubuh ular raksasa yang sedang mengamuk.

"Cepat bawa ke daratan gadis itu. Biar aku yang menangani ular ini," perintah Mbah Putih

"Baik, Mbah Putih."

Kirana Maheswari kembali membopong tubuh lemas gadis terikat itu. Tiba-tiba kibasan ekor ular  raksasa itu datang kembali mengincar Kirana Maheswari. Kali ini, ia berhasil menghindar. Namun, ia tetap terhempas keras terkena hempasan air, akibat dari dahsyatnya kibasan ekor sang ular yang menghantam permukaan air. Meski begitu, Kirana Maheswari berhasil menjaga diri agar kepala gadis terikat itu kepala berada di atas permukaan.

Daratan tempat Puspa Rasa tumbuh bergerak meluncur mengejutkan Kirana Maheswari. Gadis setengah ular itu bergegas menjauh. Ia sekilas melihat bunga Puspa Rasa yang mekar di antara bebatuan. Samar-samar ia melihat ada dua mata di daratan itu. Ia baru tersadar daratan seluas sepuluh rumah itu adalah kepala ular raksasa. Kirana Maheswari terus berenang menuju ke tepian dengan panik.

Tanpa disadari kepala ular raksasa sudah berada di sampingnya hendak membuka mulut. Ketika mulut terbuka, kepala ular itu terhempas terkena anging puting beliung yang dihantamkan oleh Mbah Putih. Tak salah lagi, angin puting beliung itu adalah Ajian Bayubraja. Salah satu ajian yang terkenal di kalangan para pendekar. Berkat bantuan Mbah Putih, Karina Maheswari yang membopong gadis terikat hampir mencapai tepian.

Amuk ular raksasa itu semakin menjadi-jadi. Kali ini incarannya adalah kakek-kakek berbaju putih. Kepala ular terangkat jauh ke atas meninggalkan permukaan air danau, lalu menghujam deras menuju tubuh kurus Mbah Putih yang berdiri di atas air. Mbah Putih menghilang saat kepala ular tiba di tempatnya berdiri. Mbah Putih sudah berpindah tempat jauh. Tapi, ular raksasa itu tak melepaskan sasarannya. Kibasan ekornya menyerang Mbah Putih. Lagi-lagi, sang Mbah Putih sudah berpindah tempat.

Kirana Maheswari mencapai daratan dengan terengah-engah. Ternyata ia tak bisa bernafas lega. Belasan orang mengepungnya. Istungkara yang sejak tadi bersembunyi di belakang pohon langsung melompat di tengah-tengah kepungan gerombolan orang itu. Ia berdiri tepat di depan Kirana Maheswari. Gadis itu mencoba berdiri dengan susah payah. Sementara gadis terikat tetap tergeletak di tanah tak sadarkan diri.

"Sialan kalian. Berani-beraninya merusak ritual Pakan Uwel di desa kami. Siapa kalian?" bentak pemimpin gerombolan.

Kirana Maheswari dan Istungkara, hanya diam. Waspada. Tiba-tiba Mbah Putih sudah berdiri di dekat Kirana Maheswari dan Istungkara. Ia membopong gadis terikat.

"Pegang pundakku!" ujar Mbah Putih.

Keduanya langsung memegang pundak kakek-kakek tua itu. Seketika saja mereka menghilang. Rupanya Mbah Putih menggunakan Ajian Saipi Angin. Ajian ini sangat terkenal di kalangan para pendekar. Mereka yang menguasai ajian ini mampu berpindah tempat dalam waktu sekejap. Jurus untuk teleportasi ke tempat lain. Mereka bisa bergerak lebih cepat dari angin. Namun tak banyak yang menguasai ajian ini, meski hanya membutuhkan satu elemen cakra saja, yakni elemen angin.

Ketiganya bersama gadis terikat berpindah tempat di tepi tebing. Kirana Maheswari terkejut mengetahui Mbah Putih menguasai Ajian Saipi Angin.

"Ternyata, Mbah Putih punya Ajian Saipi Angin. Mengagumkan," puji Kirana Maheswari tak tertahankan.

Tampaknya Istungkara sepakat dengan apa yang disampaikan Kirana Maheswari. Matanya menatap wajah Mbah Putih, seakan menunggu penuh sabar tanggapan terhadap pujian dari Kirana Maheswari.

"Gadis itu butuh pertolongan. Segera obati," perintah Mbah Putih.

Kirana Maheswari langsung membuka tali pengikat yang melilit di gadis tak berdaya yang tergeletak di depannya. Ia meraba pergelangan tangan gadis itu, mencari denyut nadi. Kirana menotok di bagian leher dan perut.

Lalu ia meletakkan telapak tangan kanan di kening gadis yang rambutnya basah kuyup itu. Kirana Maheswari mendongakkannya. Hidung gadis itu dicepit oleh ibu jari dan jari telunjuk. Pendekar dengan kemampuan tabib itu menghirup nafas dalam-dalam dan memberikan kepada gadis di depannya. Ia menciumnya. Menciptakan nafas buatan. Namun tak terjadi apa-apa. Ia ulangi tiga kali.  Hingga keluar banyak air dari mulut gadis yang ditolongnya.  Kirana Maheswari menekan dada gadis itu. Perlahan, gadis itu membuka mata dan terbangun.

"Kalian siapa? Di mana ini? Bukankah aku diceburkan di danau Gajah Mungkur untuk dikorbankan kepada Uwel penjaga bunga Puspa Rasa?" tanya gadis itu kebingungan.

"Tenang, kami hanya ingin menolongmu," jawab Mbah Putih menenangkan.

"Uwel? Penjaga bunga Puspa Rasa? Apa maksudnya? Bukankah bunga Puspa Rasa tumbuh di daratan kecil di tengah danau Gajah Mungkur? Mengapa daratan itu menjadi kepala ular raksasa dan hanya tinggal satu bunga Puspa Rasa?" cecar tanya dilayangkan Kirana Maheswari penuh penasaran.

"Dulunya daratan tempat tumbuh bunga Puspa Rasa itu adalah daratan biasa. Rahasia kehebatan bunga Puspa Rasa untuk menyembuhkan pendekar bercakra elemen angin diketahui banyak orang. Sehingga banyak pendekar ke desa kami. Mereka membeli bunga Puspa Rasa dari desa kami. Hasil penjualan bunga Puspa Rasa dibagikan kepada penduduk desa Danta Bhumi ini. Kami semua sejahtera tak kekurangan apa pun. Semua bahagia. Oleh karena itu, penduduk desa menyebut bunga Puspa Rasa sebagai Mahkota Desa."

Gadis itu mengenang masa lalu desanya sambil menatap jauh ke danau Gajah Mungkur. Mukanya tiba-tiba memucat. Tampak ketakutan pada mukanya.

"Hingga datang seorang pendekar jahat bernama Ragasarpa. Tak ada satu pendekar pun yang mampu mengalahkannya. Dia menguasai semua bunga Puspa Rasa dan menjualnya dengan harga yang sangat mahal, keuntungannya tak dibagikan kepada penduduk tapi hanya untuk dirinya sendiri. Hingga akhirnya bunga Puspa Rasa tinggal satu. Lalu dia mengubah daratan menjadi seekor ular yang sangat besar itu. Penduduk desa menyebutnya, Uwel."

Tak terasa air mata gadis itu berjatuhan.

"Setiap bulan, Ragasarpa mengharuskan penduduk desa untuk mengorbankan seorang gadis perawan sebagai makanan ular raksasa itu melalui ritual Pakan Uwel."

Cerita calon korban Pakan Uwel itu terhenti saat puluhan orang penduduk desa Danta Bhumi mengepung mereka. []

Saya sudah memberi tag untuk buku ini, datang dan mendukung saya dengan pujian!

Sute_Soecreators' thoughts