18 Arah Negara Baru

Istungkara bertemu dengan para pimpinan wilayah Wiyasa Item di tengah hutan. Setiap kali bertemu dengan pimpinan wilayah Wiyasa Item, Istungkara tak pernah memakai maskernya. Para pimpinan wilayah Wiyasa Item tak mengenal nama Istungkara, mereka hanya mengetahui bahwa Ketua Wiyasa Item adalah pangeran yang hilang yakni Radya Sambara.

"Wiyasa Item Selatan, aku ingin mengetahui tentang kabar yang beredar ramai diperbincangkan oleh khalayak, yakni kemenangan Pangeran Aryasetya Danadyaksa melawan Ragasarpa. Apakah hal itu benar?" tanya Istungkara kepada pria yang duduk di depannya.

"Benar, Ketua. Pangeran Aryasetya Danadyaksa menunjukkan kehebatannya hanya dengan satu serangan super kilat telah berhasil menghabisi ular raksasa dan Ragasarpa yang berdiri di atas kepala ular itu. Bahkan, Pangeran Aryasetya Danadyaksa tak bergerak. Dia diam di tempat dan leher ular terputus oleh pedangnya. Sementara leher Ragasarpa tertusuk oleh pedang yang sama," jelas Wiyasa Item Selatan.

Ketiga pimpinan wilayah lain mendengarkan dengan cermat penjelasan Wiyasa Item Selatan. Sedangkan Istungkara tetap dengan wajah tenang. Sebab, saat kejadian ia sebenarnya melihat dengan kedua matanya sendiri. Namun, ia seakan hanya ingin pura-pura tidak tahu.

"Benarkah ia mengancam pada siapa pun yang mengacau wilayah Danta Bhumi akan berhadapan dengannya?" ucap Istungkara yang kembali mengajukan pertanyaan.

"Benar, Ketua. Pangeran Aryasetya Danadyaksa mengancam pihak yang mengacau di Danta Bhumi akan berhadapan dengannya. Selain itu, semua pendekar Danta Bhumi yang ditahan oleh Ragasarpa langsung tunduk pada Pangeran Aryasetya Danadyaksa. Kami mengalami kesulitan dalam mengakomodir gerakan di Danta Bhumi," jawab Wiyasa Item Selatan.

"Bagaimana gerakan kita di Kapi Bhumi, Wiyasa Item Barat?" tanya Istungkara pada orang yang duduk di sebelah Wiyasa Item Selatan.

"Gerakan kita tanpa progres di Kapi Bhumi, Ketua. Konflik antar pendekar yang berkepanjangan memperkeruh keadaan bagi rakyat. Mereka tak percaya pada gerakan kita karena terlalu banyak pendekar aliran hitam yang menyerang desa. Bahkan, beberapa kali pengawal kerajaan yang berhadapan dengan para pendekar aliran desa. Sehingga kepercayaan terhadap kerajaan Bantala Nagara terus menguat," ungkap Wiyasa Item Barat.

"Bagaimana dengan Arima Bhumi?" tanya Istungkara kepada seseorang di seberang Wiyasa Item Barat.

"Di Arima Bhumi, gerakan kita justru mendapat perlawanan. Penjagaan perwakilan kerajaan di sana sangat ketat. Mereka mengawasi gerak gerik setiap rakyat sehingga para rakyat bagi rakyat lainnya seperti saling curiga. Kami selalu berhati-hati dalam bertindak karena demi menjaga agar gerakan kita tak mudah dideteksi oleh pihak kerajaan. Jika kita gegabah, bisa saja ada rakyat yang melaporkan gerakan kita ke pejabat perwakilan kerajaan," ujar Wiyasa Item Timur.

"Bagaimana gerakan di Jawi Bhumi, Wiyasa Item Utara?"

"Tampaknya, rakyat Jawi Bhumi bisa menjadi harapan bagi kita sebagaimana mereka menaruh harapan besar kepada kita. Rakyat di Jawi Bhumi menyebut kita sebagai Pendekar Bayangan. Kita dianggap sebagai pahlawan oleh mereka. Kita bisa memulai gerakan dari desa ini. Bahkan, kita bisa mengajukan koalisi dengan kerajaan tetangga, Pawana Nagara, jika mau," jawab Wiyasa Item Utara dengan senyum bangga.

"Jangan. Kita tidak boleh berhubungan denga kerajaan lain. Kita harus fokus pada kekuatan sendiri, kekuatan rakyat. Tak ada jaminan, mereka akan berkhianat. Bisa saja mereka membuat kita layu sebelum berkembang, ketahuan oleh pihak kerajaan Bantala Nagara sebelum melakukan pemberontakan," jawab Istungkara.

Empat orang lain mengangguk tanda setuju pada argumentasi Istungkara.

"Tampaknya, kita harus fokus memulai gerakan ini dari Jawi Bhumi. Perlu kalian ingat, bahwa gerakan ini tidak bisa lahir tanpa ada perubahan kesadaran yang mengakibatkan sikap persaudaraan antar rakyat dalam satu ikatan penderitaan akibat dari raja yang tak lagi mendengarkan suara para dewa. Kita akan membangun negara baru tanpa adanya ketertindasan. Negara yang bertujuan menjaga keadilan bagi rakyat dan mendapat berkah dari para dewa. Tak ada perebutan tahta raja yang membuat seseorang saling membunuh. Raja tak lagi kita butuhkan. Raja bukanlah utusan para dewa!"

Orasi Istungkara tersebut mendapat sambutan hangat dari para pimpinan wilayah Wiyasa Item. Dari sorot mata keempat pimpinan wilayah itu, mewakili ungkapan kata sepakat di antara mereka.

"Para dewa melalui Dewa Kelima telah menyampaikan pesan kepadaku, bahwa pintu utama untuk mewujudkan negara baru dengan membunuh Raja Bantala Nagara, Prabu Astrabhumi. Kita akan menyiapkan segalanya dan mempertaruhkan semuanya demi misi suci itu. Atas nama para dewa, segala tindak kejahatan terhadap kerajaan diperbolehkan," ujar Istungkara dengan nada tinggi.

"Hidup Ketua Radya Sambara, sang pangeran yang hilang. Orang dalam ramalan yang akan memimpin kita menuju harapan baru, negara yang berdasarkan keterwakilan dari rakyat desa. Keadilan bagi rakyat, berkah dari para dewa. Jayalah Wiyasa Item!" teriak Wiyasa Item Utara yang disambut pekik sorai tiga orang lainnya.

***

Senopati Bratajaya menghadap ke singgasana Prabu Astrabhumi. Mereka hanya berdua tanpa pejabat istana lain maupun pengawal kerajaan. Prabu Astrabhumi tampak bersikap tak formal, meminta tak ada salam sembah sebagaimana pembuka setiap orang yang bertemu raja.

Jauh sebelum menjadi raja dan bergelar Prabu Astrabhumi, Ken Praba merupakan junior dari Bratajaya. Keduanya sama-sama menjadi prajurit di kerajaan Bantala Nagara yang dipimpin oleh Prabu Narendra Mahogra, raja yang sangat kuat, dimuliakan, dan dicintai rakyatnya. Prabu Narendra Mahogra merupakan ayah dari Pangeran Radya Sambara. Karir Ken Praba dalam keprajuritan sangat gemilang, ia dalam waktu singkat mampu menjadi pasukan elit pengawal permaisuri, Ratih Nareswari, sekaligus ibu dari Radya Sambara.

"Kakanda Bratajaya, kira-kira apakah kita harus perang atau tidak?" tanya sang raja.

"Tergantung apa yang raja ingin capai," jawab Senopati Bratajaya.

"Kakanda pasti sudah tau apa yang aku capai dan apa yang tak aku inginkan," ujar Prabu Astrabhumi sambil mengamati wajah Senopati Bratajaya yang sedang menuangkan arak ke gelas kecil bersulam emas.

"Tentu raja ingin perang. Pemilik keris Nagatapa tak selalu haus pada darah, tak pernah suka keris hanya berdiam di sarungnya. Sebab, Nagatapa tercipta hanya untuk menjadi satu-satunya senjata yang terkuat. Dan, hanya perang yang bisa membuktikan siapa yang terkuat," ucap Senopati Bratajaya dilanjutkan dengan memberikan segelas arak kepada raja dan mengambil segelas lagi untuk dirinya sendiri. Lalu bersulang dan meneguk habis bersama.

"Aku ingin berperang seorang diri melawan ratusan ribu prajurit kerajaan tetangga. Antara Baruna Nagara dan Pawana Nagara, kerajaan mana yang lebih menarik untuk aku hancurkan seorang diri?" tanya sang raja.

Senopati Bratajaya mengernyitkan dahi. Bukan berpikir kerajaan mana yang lebih mudah dikalahkan, melainkan berpikir apakah raja serius hendak berperang seorang diri atau sang raja sedang mengancam dirinya. Senopati Bratajaya paham betul watak juniornya itu saat berkarir sebagai prajurit kerajaan. Maka, sang senopati mencoba berpikir cepat kesalahan yang mana yang kemungkinan besar sudah ketahuan. Apakah tindakannya membunuh Ragasarpa untuk membantu Pangeran Aryasetya Danadyaksa sudah ketahuan oleh sang raja?

Melihat tatapan curiga dari Raja Bantala Nagara, Senopati Bratajaya langsung mencoba menjawab pertanyaan tersebut.

"Pawana Nagara."

"Cerdas! Kakanda Bratajaya memang peracik strategi ulung. Dengan menghancurkan Pawana Nagara seorang diri otomatis, aku juga menyampaikan pesan kepada koalisi kerajaan Atas Angin bahwa hanya perlu seorang Ken Praba dan keris Nagatapa untuk menghancurkan sebuah kerajaan. Jika kalian macam-macam, maka kalian akan hancur bahkan sebelum berencana menyerang. Ken Praba selalu satu langkah di depan baik terhadap lawan maupun kawan!" ucap Prabu Astrabhumi dengan nada yang meninggi.

Senopati Bratajaya ngeri mendengar perkataan sang raja. Jatungnya berdetak kencang. Tanpa sadar, keringat bermunculan. Ketakutan tiba-tiba menyergap dirinya. []

avataravatar
Next chapter