BRRRRRMMMMMMMMM!
Begitu dengar mesin mobil masuk gerbang, Wang Yibo menyingkap tirai dan melihat Mile uring-uringan. Dia menyeringai saja karena pasti ada pertengkaran. Dan tetap santai mengelap badan dengan handuk putih.
"Ahhsssh."
Ya, walau luka memang sulit diajak kompromi.
"Yibo, Nong! What the fuck--kau benar!" teriak Mile dari luar pintu. Yibo hanya geleng-geleng kepala.
Saat makan malam, Mile membahas Chiye habis-habisan. Dia kesal sampai Yibo terhibur sekali, karena Mile jadi cerewet lebih dari biasanya. Sang kakak sepertinya amat kecewa hingga menenggak bir. Yibo pun menemaninya beberapa gelas, tapi sambil belajar.
"Kubilang juga apa, Ge. Mereka itu benar-benar brengsek. Aku takkan menghajar kalau belum kelewat batasan."
"Arrh, pokoknya bocah itu paling anjing sedunia."
Yibo pun tertawa keras karena dengar umpatan baru tersebut. Dapat kebiasaan darimana lagi Mile? Sepertinya sang kakak harus ganti teman atau kalau bukan lingkungan kerjanya. "Ge," panggilnya tiba-tiba.
"Hm."
"Kenapa tidak cari yang lebih kompeten? Buat apa bertahan pada tipe imut kalau terus-terusan begitu? Gege tidak kapok apa dengan sub yang suka manja? Mana doyan uang semuanya."
"Itu benar, tapi aku suka yang manis," kata Mile sembari menempelkan nikotin pact pada lengan putihnya. Lelaki itu memang tidak merokok karena asapnya mengganggu, tapi dia selalu beli versi kertas jika sudah sangat-sangat stress.
"Ckckck. Manis kan tidak harus lebih muda."
"Iya, tapi yang lebih tua seringnya tidak seserver."
"Ya sudah kalau begitu, rasakan," kata Yibo. Untung dia versi dewasa sudah bisa membedakan baik dengan buruk. Sosok role model Mile pun berubah jadi brothership platonik, sehingga lebih menyenangkan lagi. "Padahal aku baru mau kasih contoh."
"Hm? Maksudmu?" tanya Mile.
Wang Yibo pun bercerita pengalaman tadi siang. Mumpung suasana sedang santai, Mile takkan meledek jika dia mengangkat topik Omega. "Aku tidak bohong mereka berdua manis-manis. Tapi memang sudah berumur semua. Satunya 28, satunya lagi 31. Profesi sama-sama pilot, Ge. Bahkan ada yang mantan tentara. Jadi menurutku, mereka ideal sekali. Hanya saja spesifikasi itu lumayan tantangan juga."
Bukannya fokus dengan spesifikasi, Mile malah menunjuk muka Yibo. "Kau naksir?" tudingnya.
"UHUK! Apa?!"
Melihat Yibo nyaris menyembur, gantian Mile lah yang tertawa keras. "HA HA HA HA! Terpancing! Mampus kau! HA HA HA HA HA!"
Wang Yibo pun langsung menendang kaki Mile di bawah meja.
JDUAKH!
"ADOH! Sshhhh ... Ya Tuhan, Nooong!"
"RASAKAN! Enak kan, Ge?" tanya Yibo dengan seringai tipisnya. Mereka pun tanding minum bir daripada fisik. Lalu saling menghina, tapi kadang berangkulan juga.
"Sudahlah, sudah. Belajar sana. Aku ingin ke toilet sebentar," kata Mile sambil menepuk bahu sang adik.
"Hm, pasti." Wang Yibo tersenyum ketika sang kakak pergi. Dia membalik buku yang sempat dicoret rahasia. Lalu membelai puas hasil ilustrasi yang ada di sana. "Memang mengagumi bisa dibilang suka? Lagipula dia satu dekade lebih tua. Bisa saja kakak tadi siang hanya mengerjaiku soal kriteria."
Kencing hanya alasan Mile untuk pergi. Dia bisa haha hihi di depan Yibo, tapi kesalnya masih mengendap juga. Ah, dia sebenarnya tidak perhitungan, tapi setelah tahu dimanfaatkan jadi sakit hati. Apalagi kalau memikirkan habis uang berapa selama berpacaran dengan Chiye.
BRAKHHHH!!
WUSSSSSSHHHHH!!
Mile pun terbang ke langit dalam wujud Satan melalui balkon rumah. Dia memikirkan baik-baik omongan Wang Yibo, walau tadi menanggapi dengan ego dalam bicaranya.
"Ge."
"Hm."
"Kenapa tidak cari yang lebih kompeten? Buat apa bertahan pada tipe imut kalau terus-terusan begitu? Gege tidak kapok apa dengan sub yang suka manja? Mana doyan uang semuanya."
"Itu benar, tapi aku suka yang manis."
"Ckckck. Manis kan tidak harus lebih muda."
"Iya, tapi yang lebih tua seringnya tidak seserver."
Well, umur memang berpengaruh. Kalau saja dia seperti Yibo, mungkin saja bisa mengayomi orang lebih tua. Secara Yibo dewasa lebih dari umur, walau Mile tidak mengakuinya secara verbal. Tapi dirinya suka petualangan. Pasangan lebih tua biasanya senang mengatur-atur, jadi Mile mempertimbangkannya dengan cara sebelah mata.
"Aku benar-benar harus cari angin," kata Mile. Dia pun menjelajah angkasa sepuas hati. Hingga tidak sadar waktu nyaris ganti pagi lagi. "Hhhh ... hhh ... hhh," desahnya karena diserang kantuk dan lelah. Mile pun merangkak di sebuah pegunungan gelap. Lalu ambruk rebah di atas batu putihnya.
BRUGHHHHH!!
"Aku benar-benar tidak sanggup," batin Mile.
Sebenarnya frustasi lah yang paling menyiksa batin Mile. Dia terlanjur mencintai Chiye sebegitu dalam, bahkan membayangkan pihak orangtua menyetujui mereka. Tapi, ya sudahlah. Mile pun hanya bisa menatap bintang-bintang bertebaran. Dia juga menikmati angin gunung dingin, sesekali mengepakkan sayap hitamnya yang lelah.
"Ayah kenapa pintar mendapat pasangan, ya?" gumam Mile dengan kerjapan pelan. "Dua lagi. Mana tidak tertarik selingkuh." Lelaki itu memang belum pernah tanya, karena menyangkut harga dirinya sebagai lelaki dewasa--masak begituan saja minta diajari Ayah? Penis besarmu itu sebenarnya tanda apa? Mungkin Passakorn malah akan mencibir habis-habisan.
Well, kalau untuk one night stand, Mile tidak pernah kesusahan. Pesona-nya mudah menggaet wanita atau Omega, tapi kalau diajak hubungan serius mereka seperti lari.
"Atau jangan-jangan sifatnya itu cuma menurun ke Yibo, aku ini terus dapat apa? Jeleknya?" Sangking rumitnya isi kepala. Mile mulai membenci diri sendiri. Dia boleh tampak hebat jika di depan sang adik, tapi saat menyendiri, Mile juga ingin mengeluarkan keluh yang paling mengganggu hati. "Manis tapi tidak manja-manja. Dapat dimana aku yang seperti itu?"

Pagi buta, Apo menepuk-nepuk bahu Xiao Zhan sebelum sungguhan terbit. Dia bangun lebih awal karena lehernya sakit, sementara Zhan kedip-kedip dan menguap kecil. "Pagi, Apo," katanya. Lalu duduk tegak tapi mata masih tertutup juga.
Kratak!
"Arrrrh, rasanya aku mau pijat setelah ini," kata Apo sembari meremas-remas bahunya sendiri. Biasanya pegal langsung hilang jika lehernya dipintir, tapi sepertinya dia salah posisi tidur. Benar-benar ngilu sekali rasanya.
"Kemana?" tanya Xiao Zhan. Kepala masih terantuk-antuk kecil, tapi dia bisa menanggapi omongan Apo.
"Salon mana yang bagus di Beijing? Aku mau mandi uap, smoothing, terus tidur seharian."
"Wah, kedengarannya bagus sekali," timpal Xiao Zhan. Dia mengucek mata demi mengecek sang sahabat yang terus mengeluh. "Kalau begitu, ikut ... aku mau smoothing juga. Rambutku rasanya sudah mulai kaku lagi."
"Hm, ayo saja," kata Apo.
"Tidak sekalian facial juga?" tawar Zhan.
Apo merentangkan tangannya ke udara lantas menggeliat kecil. "Ya, ya. Terserah. Mau apa nanti penting cari makan dulu. Ayo ke dalam. Kita bisa-bisa masuk angin."
"Hm, hm."
Xiao Zhan pun bangkit duluan karena Apo sama malasnya. Mereka jalan sambil berangkulan masuk, lalu mandi cepat-cepat. Zhan di kamarnya sendiri, sementara Apo masuk ke sebuah kamar tamu. Dia belum sempat beres-beres koper karena pesta ini dadakan. Jadi Zhan membantunya setelah selesai berpakaian.
"Apo, masak mau langsung balik ke Thailand? Tidak menginap di sini beberapa hari?" tawar Zhan sambil melipat tumpukan kemeja Apo.
"Aku akan merepotkan keluargamu."
"Hei, tidak. Serius. Di sini saja dan temani aku. Lagipula kita punya libur 15 hari."
"Hmm, boleh, tapi aku mau menyewa kamar di hotel saja," kata Apo. Dia senang karena kopernya jadi cepat rapi. Bahkan Zhan datang dengan membawa keranjang cuci. Benar-benar detail Omega yang satu itu. "Biar tidak sungkan, Zhan. Jadi kita tinggal janjian mau kemana dua minggu ini."
"Whoa, serius, ya?" kata Xiao Zhan. Seolah umur kepala tiga itu bukan apa-apa.
"Iya."
Sangking antusiasnya, Xiao Zhan pun mengantar Apo, meski sahabatnya sudah bawa mobil. Dia mengintili di belakang dengan Porsche putih, bahkan ikut masuk untuk bantu-bantu menata part-2.
"Ya ampun, aku benar-benar tidak minta," kata Apo setelah check in di China World Hotel.
"Diam kau. Biar kita cepat cari sarapan," kata Zhan dengan senyuman. "Pokoknya harus sudah selesai pukul 8. Jadi bisa treatment sampai puas. Baru kulepas balik ke sini."
"Ha ha ha ha ha. Kupikir mau diajak berkeliling juga."
"Mau? Tapi besok-besok masih ada hari. Jangan gugup. Aku mau memonopolimu mumpung sudah jadi tamu di negara ini."
"Sial. Kedengarannya aku seperti anak presiden."
"Ha ha ha ha ha."
Mereka pun jalan seharian seperti rencana. Sore baru keluar dari salon yang cukup menguras kantong--maksud Apo cadangan dolar HK-nya, sampai-sampai perlu menukarkan beribu-ribu baht lagi agar dompetnya kembali tebal. Namun, Apo puas dengan pelayanan Salon Beijing. Dia dan Zhan keluar dengan nyawa yang rasanya kembali penuh. Lalu keduanya masuk resto demi mengisi perut kembali.
"Ayo, ke sana saja, Apo," tunjuk Zhan ke sebuah restoran Korea.
Apo malah menunjuk restoran Italia, tapi Zhan tidak protes samasekali. "Di website-nya bilang ada menu fettuccini baru. Aku jadi mau coba."
"Ho, bagus. Aku jadi mau coba juga," kata Xiao Zhan. Dia pun ikut Apo ke restoran itu, tapi si empunya ide malah menarik tangannya sebelum masuk.
DEG
"Tunggu, Zhan. Jangan masuk ke sana dulu," kata Apo dengan mata memicing. Dia lantas mendongak ke atas, dan mata elangnya melihat bulu- bulu sayap hitam jatuh meski jaraknya masih begitu tinggi.
"Apa? Hah?" Xiao Zhan pun ikut-ikutan menatap langit. Sebagai sesama pilot matanya jelas sama-sama jeli, sehingga keduanya paling cepat sadar ada tubuh Satan yang baru dibanting dari atas sana oleh para malaikat penjaga.
SYUUUUUSSSSSSSHHHHH!
BRUAAAKKKKHHHHHHHH!!
"AAARRRRRRGGGHHHH!!" teriak para pengunjung restoran. Tempat itu gaduh seketika, terutama bagian teratas yang atapnya baru jebol hingga dua lantai.