webnovel

Pilu

Sasya meneguk ludahnya dengan susah payah. Gadis itu melirik sosok Sastra di sampingnya yang juga menatapnya dengan bingung. Gadis itu lantas mendekatkan bibirnya ke telinga Sastra.

"Itu salah satunya, ada pemilik jaketnya," bisik Sasya ke arah Sastra.

Sastra menghela napasnya dengan berat, lantas membalas berbisik ke telinga Sasya, "Mau kabur atau bagaimana?" tanyanya dengan pelan. Sekarang Sastra jadi tampak konyolnya.

Sasya terkekeh pelan di tempatnya, gadis itu menganggukkan kepalanya dengan pelan. Dalam hitungan mundur dari tiga ke satu yang Sasya ucapkan, maka keduanya segera berbalik untuk berlari. Namun, pergerakan Arash juga lebih cepat. Lelaki itu bangkit dan berlari untuk menarik tas Sasya hingga gadis itu susah untuk berlari lagi. Maka mau tak mau Sastra juga ikut berhenti di tempatnya.

"Mau kemana?" Arash bertanya dengan nada datarnya.

Yang membuat Sasya kembali meneguk ludahnya, memasang peringatan siaga satu di otak kecilnya itu.

Sastra mengusap rambutnya bingung, "Maaf, Bang," ujarnya yang pada akhirnya meminta maaf membuat Sasya melirik sang sahabat tajam.

Keduanya ditarik Arash untuk masuk ke dalam dan meminta mereka duduk bergabung dengan sahabat-sahabatnya. Sasya benar-benar malu ditatap sahabat sahabat kakaknya dengan pandangan seperti itu, apalagi diiringi tawa dengan suara deep itu.

"Abang nggak perlu jelasin lagi, ya, Sya," ujar sang kakak dengan suara rendahnya.

Sasya memasang cengiran khasnya, gadis itu berbisik ke arah Arash seperti tadi, "Tau kalau begini gue beneran nginep di rumah lo, ya, Rash," bisiknya yang masih bisa didengar oleh orang lain selain Sasya dan Sastra sendiri.

Arash di tempatnya menghela napas berat melihat tingkah adiknya yang bahkan tak merasa bersalah sedikitpun. Lelaki itu menatap tajam Sasya selanjutnya.

"Sya, kalau ada orang ngomong dengerin, tatap lawan bicaranya. Nggak sopan," tegur Arash dengan tegas.

Sasya tak berani menatap Arash kalau lelaki itu sudah memasang nada rendah begini. Gadis itu lebih memilih untuk menundukkan kepalanya sendiri.

"Maaf, Abang," ujar Sasya lirih.

Arash senantiasa menatap sang adik lamat, "Minta maaf sama El, temen Abang yang motornya lo tabrak dan lo tinggalin gitu aja. Nggak mau tanggung jawab."

Sasya menggigit bibir bawahnya, gadis itu masih senantiasa menunduk. Antara malu pada teman-teman abangnya dan juga takut pada sang kakak.

"Sasya nggak punya uang, Abang. Lagi pula temen Abang salah juga karena markir motor nya rada ke tengah jalan."

Sudah dibilang Sasya itu bebal. Gadis itu keras kepala sekali. El sendiri yang mendengarnya mendelik sebal. Merasa menyesal karena tadi ia sempat iba dan hendak meminta Arash agar tak memarahi Sasya.

"Jadi lo pikir itu salah gue? Orang mah kalau tau di depannya ada motor ya lewatin motor. Bukan lo lurusin aja dan tabrak motor gue!" El berujar dengan menggebu-gebu.

Bumi sendiri menepuk pelan bahu El, mencoba menenangkan lelaki itu agar tidak terlalu kasar pada perempuan. Sasya sendiri tampaknya masih bebal. Hendak membalas perkataan El, hanya saja Arash lebih dulu menyela.

"Jadi cewek itu jangan pecicilan. Jangan nyusahin jadi bocah," ujar Arash terasa kasar di telinga Sasya.

Gadis itu masih menunduk sama seperti tadi. Tak ada yang tahu kalau Sasya menahan air matanya agar tidak jatuh. Seceria apa pun, Sasya tetap perempuan. Gadis itu gigit bibir bawahnya dengan kuat, ia tahan sebisa mungkin agar tak mengeluarkan isakannya.

"Jangan cuma bisanya tidur, jajan, nyusahin Bunda." Arash mengeluarkan suaranya lagi.

"Ini mending ternyata yang lo tabrak temen gue, gimana kalau orang lain? Minta ganti rugi, duit dari mana lo?" Arash benar-benar tampak semarah itu. Membuat semua orang di sana mendadak diam. Hanya ada keheningan.

"Dan bodohnya lagi, lo malah kasih itu jaket ke gue. Secara nggak langsung itu hasil curian kan? Kapan sih nggak kekanakan terus, Sya?" Arash masih belum puas mengeluarkan unek-uneknya.

Bumi sendiri yang merasa kasihan pada adik sang sahabat segera menyela, "Udah, Rash. Lo terlalu kasar sama adek lo," ujarnya dengan pelan.

Arash menggelengkan kepalanya, "Biar dia sadar kalau yang dia lakuin itu salah."

Arash memusatkan atensinya pada Sasya lagi, "Sana lo ke rumah bokap lo, di sini bisanya nyusahin aja."

"Arash, lo keterlaluan," ujar El akhirnya membuka suara.

Pada akhirnya, Sasya membuka suara, gadis itu berdehem tanpa mengangkat kepalanya, "Maaf, Bang," ujarnya dengan parau.

Dan semua orang tau kalau Sasya sedang menangis dalam tundukannya.

"Gue bisa anterin lo ke rumah bokap lo. Sekarang kalau perlu, ayo!" ujar Arash.

Sasya yang mendengar itu sontak mendongak dengan air mata yang sudah berlinang di pipinya. Gadis itu menggelengkan kuat kepalanya.

"Abang jangan, Sasya nggak mau di sana," ujar Sasya dengan isak tangis yang tak bisa ia tahan lagi. Membuat yang ada di sana kaget termasuk Sastra sendiri.

Sastra yang sejak tadi diam, akhirnya buka suara karena merasa Arash sudah terlalu kasar.

"Maaf menyela, gue rasa lo terlalu kasar, Bang. Negur bisa baik-baik, nggak usah bawa bawa bokap kalian. Kalau buat ganti kerusakan motor yang Sasya tabrak, gue bisa ganti, kok, Bang." Sastra berujar begitu. Lelaki itu tahu Sasya salah.

Tapi Arash bisa menegurnya pelan-pelan. Tanpa dengan kata kata yang pasti menyakitkan itu untuk Sasya.

Arash menatap Sastra tajam, lelaki itu benar-benar sudah buta akan amarah. Sebenarnya, Arash hanya malu pada teman-temannya. Dan Sasya juga perlu ditegur sebegininya agar tidak mengulangi hal itu lagi.

"Tau apa lo? Nggak usah ikut campur."

Sastra menghela napasnya berat, dengan berani ia membalas tatapan tajam Arash, "Gue sahabatnya Sasya, dan dia sangat suka curhat sama gue dan Naka. Dia setakut itu sama bokap kalian berdua, apa hal sebesar itu lo nggak tau sampai bawa bawa itu ke masalah ini? Nggak nyambung." Sastra membalasnya dengan suara dingin. Yang membuat Arash terdiam di tempatnya.

Lelaki itu merangkul Sasya, "Gue anter ke kamar Bunda, Sya," ujarnya dengan pengertian.

Sasya sontak menganggukkan kepalanya. Kedua sahabat itu segera bangkit dan berjalan melewati Arash yang masih tampak terdiam. El sendiri, sejak tadi mengamati sepasang sahabat itu sampai mereka tak nampak lagi di indra penglihatannya.

El menghela napasnya dengan berat, "Rash, bener kata cowok tadi, lo terlalu kasar."

Arash mengusap wajahnya kasar, "gue juga nggak nyadar kenapa sampe bawa bawa bokap."

Diko yang sejak tadi mengamati geleng geleng kepala, "Bijakan cowok tadi daripada lo. Eh tapi bye the way, adek lo cantik bener," ujarnya dengan pelan.

Yang selanjutnya mendapat tatapan tajam dari El. Ya, El, lelaki si pemilik jaket itu menatapnya penuh ketajaman.

Next chapter