5 Bukan seorang Raja tapi seorang pecundang

Pagi hari di desa ini selalu terasa lembab, butiran embun membasahi dedaunan yang tumbuh dengan subur. Kirana hanyut dengan rasa lelahnya, tubuhnya meringkuk terselimuti kain tipis. Dingin... Kirana menggil semalam tapi dia juga tidak bisa memberontak pada rasa kantuknya.

Tok... Tok... Tok...

Suara ketukan pintu mengejutkan Kirana. Perlahan kesadarannya datang, suara ketukan pintu masih sayup terdengar di telinganya, Kirana tertegun sejenak memastikan kalau ia tidak salah dengar.

Tok... Tok... Tok...

Ketukan semakin jelas terdengar. Kirana terperanjat bangun dari tidurnya, ia segera merapikan rambut juga tempat tidurnya.

"Siapa yang datang?" pekik Kirana. "Ah apa tempat ini begitu kuno? Sehingga tidak ada jam disini!" gerutunya sambil mondar-mandir cemas karena takut membukakan pintu.

Tok... Tok... Tok... Ketukan kembali terdengar namun kali ini diiringi oleh suara orang yang ia kenal.

"Sekar, Sekar... Ini paman. Apa kamu baik-baik saja di dalam?" terdengar suara yang khawatir dari depan pintu. Ternyata yang mengetuk pintu adalah Paman yang kemarin Kirana temui. Ia bergegas keluar dan membukakan pintu.

"Paman" sapa Kirana.

"Syukurlah kamu baik-baik saja, kenapa lama sekali buka pintunya?" wajah paruh bayanya menatap seksama.

"Maaf paman. Tadi aku sempat ragu dan takut untuk membukakan pintu" jawab Kirana.

"Paman mengerti kecemasanmu Nak" ucap si paman menghela nafas panjang. "Ini, paman bawakan makanan untukmu. Bibimu sengaja masak banyak supaya kamu tidak usah masak lagi, kau pasti sangat repot mengurus Raden kan? Oh iya, Apa boleh Paman melihat keadaan Raden sekarang?" ucap paman dengan penuh harap.

"Silahkan masuk paman, dia masih terbaring di kamar"

Kirana mengantar paman menjenguk Raden Sastra ke bilik kamar, dari raut wajah pria paruh baya itu terlihat sangat terkejut ketika melihat Raden terbaring lemah dengan luka di tubuhnya.

"Lukanya begitu parah" ucap paman prihatin.

"Paman jangan khawatir, lukanya sudah mulai mengering. Aku yakin dia akan segera sembuh" ucap Kirana yang sepertinya mulai mendalami aktingnya sebagai Sekar.

"Ya kau benar. Raden adalah orang yang kuat, tidak mungkin mati semudah itu"

Kebetulan paman ada disini, Kirana ingin bertanya sesuatu yang dari kemarin melayang-layang dibenaknya.

"Oh iya paman, apa paman tau seorang wanita yang bernama Dinda Ayu?" tanya Kirana ragu.

Ekspresi Paman sangat terkejut ketika mendengar pertanyaan darinya, ia terdiam menatap Kirana seksama.

"Mari kita bicarakan ini di luar" jawab paman.

Mereka beralih ke ruang depan untuk berbincang, sebelum memulai perbincangan Kirana berpamitan sebentar membuatkan minum untuk paman.

"Kenapa tiba-tiba kau bertanya tentang Den Ayu?" tanya Paman saat Kirana menaruh minuman di depannya.

(Den Ayu? Berarti wanita itu memang bukan sembarang wanita, ternyata dia memiliki gelar) Bisik Kirana dalam hati.

"Pria itu... Maksudku, Raden Sastra. Kemarin sempat bergumam dan menyebut-nyebut nama Ayu, apa paman mengenalnya?"

Paman terlihat menghela nafas panjang dan Kirana menatapnya seksama siap untuk mendengarkan penjelasan.

"Den Ayu adalah anak seorang Adipati kepercayaan Raja. Menurut kabar yang beredar, Raden Sastra dan Den Ayu akan menikah. Tapi entah kenapa dia malah menikah dengan Raja dan kini menjadi permaisuri termuda di istana"

(Apa? Itu berarti Den Ayu menikah dengan calon pamannya? Aku rasa dia gadis yang gila, atau dia terpaksa menikahi raja karena terancam!) bisik Kirana dalam hati.

"Apakah mereka saling mencintai paman?"

"Ya, bisa di bilang begitu. Raden Sastra sangat mencintai Den Ayu"

"Benarkah begitu paman." ucap Kirana melirik tajam.

"Hei kenapa wajahmu seperti itu?" protes paman.

"Haha tidak apa-apa, aku hanya merasa ada yang tidak beres saja. Paman, terimakasih atas makanan ini. Sekar jadi lapar" ucap Kirana mengalihkan pembicaraannya.

"Dasar kau ini, makanlah dan jaga kesehatanmu. Paman mau pergi ke ladang"

Kirana mengantar pamannya sampai di pintu, dalam hati ia bersyukur karena di saat kondisi yang seperti ini masih ada orang baik di sekelilingnya, tapi Kirana tidak boleh lengah karena semakin lama akan ada kejadian yang tidak terduga. Kirana juga khawatir memikirkannya, tapi untuk sekarang ini dia ia tidak bisa melakukan apapun karena masih perlu waktu untuk mempelajari dan mengenal suasana di desa itu.

Setelah paman pergi, Kirana kembali masuk dan memeriksa keadaan Raden Sastra. Dia masih terbaring tidak bergerak sama sekali, Kirana mendekat lalu memandanginya. Ada perasaan berdesir ketika tau kenyataan dari yang diungkapkan paman tadi, kalau ternyata Raden Sastra memiliki seseorang yang dicintai. Ia memiliki seorang kekasih. Sambil berfikir, Kirana juga menyiapkan air untuk menyeka tubuh Raden.

"Maaf Raden, sudah waktunya aku membersihkan tubuhmu" gumam Kirana lirih. Perlahan tangannya mengusap wajah Raden dengan hati-hati.

Tapi, baru saja kain basah menempel di wajah Raden, tiba-tiba tangan kekar itu mencengkram tangan Kirana dengan kuat padahal matanya masih tertutup rapat.

(Bagaimana bisa setelah tidak sadar berhari-hari tanpa makan dan minum, dia masih memiliki tenaga sekuat ini!) bisik Kirana dalam hati dan mencoba untuk melepaskan cengkramannya.

Tiba-tiba Raden terbangun, secepat kilat Raden Sastra mendorong Kirana ke atas tempat tidur lalu menindihnya. Tangannya mencengkram kuat leher Kirana.

"Siapa kamu!" ucap Raden Sastra dengan nada dingin dan tatapan tajam.

"A... Ak... Uu... Uhuk uhuk" Kirana sulit berbicara, cengkraman kuat itu membuat Kirana juga sulit bernafas.

(Dasar gila! Dia bertanya tapi mencekikku sekuat tenaga, bagaimana bisa aku menjawab) gerutunya dalam hati.

Kirana berfikir keras bagaimana caranya supaya bisa terlepas dari cekikikan itu, dengan sisa tenaganya Kirana menendang Raden sekuat-kuatnya, mungkin karena kondisinya masih lemah satu kali tendangan saja Raden terpental.

"Uhuk... Uhuk... Orang sepertimu memang tidak tau diri! Aku telah menyelamatkanmu dan merawatmu berhari-hari tapi kamu malah ingin membunuhku!"

"Siapa yang menyuruhmu menyelamatkan aku? Aku tidak menyesal jika harus mati!" ucap Raden memalingkan muka.

"Hemh bodoh. Pantas saja istanamu bisa jatuh ke orang lain karena kamu sendiri begitu lemah dan juga bodoh!" ucap Kirana menatapnya kesal. Raden terkejut dengan apa yang dilontarkan Kirana barusan.

"Kurang ajar! Kau berani menghinaku!"

"Kenapa? Kau tidak terima? Aku bicara kenyataannya. Aku kira sebagai rakyat jelata aku merasa bangga karena bisa menyelamatkan calon raja, aku kira kau kuat dan ingin bangkit setelah ini untuk merebut kembali istanamu. Tapi semua perkiraanku salah, aku bukan menyelamatkan seorang raja, tapi seorang pecundang yang lemah!" ucap Kirana dengan lantang menatap Raden dengan berani.

Raden Sastra mengepalkan tangannya, matanya begitu membara, dia kembali berdiri seperti ingin melahap Kirana hidup-hidup. Meskipun merasa terancam dan takut, tuapi Kirana masih mencoba tidak bergeming dari posisinya.

(Dia marah sekarang, apa yang harus aku lakukan...) bisik Kirana dalam hati. Tatapan pria itu tajam bagaikan tombak yang siap menembus kepalanya.

avataravatar
Next chapter