1 Sang Penguasa Irkalla

Suara gemerincing terdengar samar bersamaan dengan tiupan angin yang membelai apapun yang dilewatinya. Suara tersebut berasal dari bunga lonceng merah, bunga tersebut tumbuh lebat di Hutan Agung Mawara.

Di tengah-tengah hutan itu terdapat lahan terbuka penuh hamparan rerumputan hijau. Di tengahnya terdapat katalis sihir berbentuk lingkaran dan berwarna merah tua. Katalis tersebut konon merupakan pintu menuju dunia bawah, yaitu tempat di mana sang Putri Merah Tua berada, sehingga para orang tua melarang anak-anaknya bermain terlalu dekat dengan katalis tersebut, karena takut akan kutukan yang kelak diberikan oleh sang putri.

Jangankan orang tua, para prajurit kota, kerajaan, bahkan kekaisaran sekali pun tidak berani mendekati lingkaran itu.

Bertahun-tahun lamanya, legenda sang Putri Merah Tua mulai memudar, tatkala seorang kesatria suci berhasil menghapus katalis lingkaran 'terkutuk' tersebut. Perlahan-lahan, legenda tersebut lenyap ditelan zaman dan sekarang hanyalah sebuah mitos yang dijadikan dongeng pengantar tidur anak-anak.

Dongeng tersebut diciptakan guna menakut-nakuti anak-anak kecil agar tidak berkeliaran setelah pukul enam sore. Bahkan para remaja dan dewasa sering takut sendiri mendengar cerita tersebut. Apalagi di dunia di mana kekuatan sihir itu tampak begitu jelas dan dipakai oleh semua orang untuk kebutuhan sehari-hari.

Namun, yang namanya dongeng tetaplah dongeng. Tidak ada yang dapat dipercaya dari kisah khayalan tersebut.

Tetapi benarkah sedemikian?

...

...

Jauh di bawah tanah, yaitu tempat yang tidak pernah sekali pun manusia menyentuhnya. Tempat bersemayam para makhluk yang terusir dari dunia permukaan, satu-satunya tempat di mana monster dapat berkeliaran dengan bebas tanpa rasa takut akan diburu manusia.

Itulah dunia bawah, Irkalla, yaitu dunia di mana langit adalah kristal biru tua, dinding pilar batu yang menopangnya, bioma berbagai makhluk hidup bawah tanah dari yang kecil hingga raksasa, dan yang paling utama, yaitu tempat berkuasanya seorang gadis bersama seekor iblis raksasa.

Ialah... Arifa 'Garneta' Verratia. Sang Putri Merah Tua yang ditakuti semua penduduk permukaan.

Ia duduk di singgasana berwujud bunga lonceng yang tumbuh dari tanah mengarah ke langit, mencitrakan kekuasaannya di dunia bawah.

Oleh mereka yang hidup di permukaan, mereka menyebut sang putri sebagai salah satu ras iblis penghancur. Wujudnya berkulit putih pucat dengan rambutnya yang panjang berwarna merah tua. Ia memiliki dua mata yang tajam dengan sklera hitam. Pupilnya berbentuk seperti kristal rubi dan menyala-nyala. Dibalik poninya, terdapat sebuah mata yang selalu tertutup. Ketika tertawa, lantas akan menunjukkan gigi-gigi yang semuanya taring.

Namun oleh mereka yang hidup di Irkalla… sang putri memang seperti apa yang digambarkan oleh makhluk dunia permukaan. Bedanya hanyalah pada kepribadian sang putri yang sebenarnya… tidak seperti yang mereka para makhluk dunia permukaan pikir.

Suatu hari, seekor monster datang hendak menemui sang putri. Namun ia dihadang oleh raksasa iblis bercangkang besar dan runcing bernama Azofir.

"Master Azofir, mohon izinkan saya bertemu Paduka Arifa. Saya sangat sangat membutuhkan beliau!" Seekor monster berwujud banteng bertanduk tiga tersebut memohon.

"Hm… tidak kah kau tahu bahwa beliau sedang sibuk? Datanglah lain waktu, dan berdoalah semoga beliau mau bertemu dengan engkau. Sekarang enyahlah dari hadapanku," Azofir hendak mengusir monster dengan tangannya yang besar dan memiliki cakar yang tak kalah besarnya.

Namun tepat sebelum Azofir mengayunkan tangannya yang luar biasa besar dan memiliki lima cakar sepanjang setengah meter, suara tapak kaki terdengar mendekat mereka berdua.

"Ada keributan apalagi ini?" Seorang gadis turun dari tangga menuju istananya mengenakan jubah runcing khasnya yang berwarna merah tua dengan corak garis abu-abu yang mengelilinginya.

"Ah, engkau berulah lagi, Azofir?" Si gadis bertanya,

Si raksasa iblis itu memutar kepalanya ke arah si gadis dan membuka ketiga matanya lebar-lebar yang mirip seperti simbol radioaktif, "tidak, bukan begitu, Paduka Arifa."

Azofir membelokkan kembali kepalanya kearah sang monster, Arifa pun ikut melihatnya. "Wah, wah… engkau datang seorang diri, minotaurus-ku?" Arifa bertanya dengan anggun.

"Y-Ya, itu benar sekali, yang mulia," monster tersebut seketika langsung menunduk lebih hormat.

"Minotaur memanglah pemberani. Mereka datang ke hadapanku tanpa memikirkan apakah aku sibuk atau tidak…" Arifa menyipitkan matanya dengan sinis.

"Mohon maaf sekali, tetapi itu bukan maksudku, yang mulia," ujar si monster ketakutan.

"Hoh… walau begitu… kalian adalah ras yang hebat. Keberanian untuk menemui pimpinan secara langsung adalah suatu hal yang hebat,"

Azofir yang besar itu hanya bisa mendengar percakapan mereka berdua. Tidak sekali pun ia memotong pembicaraan mereka.

"Jadi? Apa yang membawamu kesini?" Arifa mengusap rambut merahnya yang panjang.

"B-Baiklah, j-jika anda memperkenankan saya, er..."

"Diizinkan. Silakan." Arifa mengizinkan.

"O-Oke... baiklah ini dia..." Si minotaurus berusaha mengumpulkan kembali keberaniannya untuk mengatakan apa yang diinginkannya.

"Paduka Arifa… hamba memohon bantuan kepada engkau, salah satu saudara-ku telah dibunuh dengan keji oleh manusia-manusia yang melihatnya,"

"Ho… apakah engkau menginginkan balas dendam atas kematiannya?" tanya Arifa setelah menyilangkan tangannya satu sama lain.

"Tidak! Hamba tidak akan termakan oleh keinginan balas dendam! Hamba hanya menginginkan jenazah saudara hamba kembali ke dunia bawah sini supaya hamba dapat menguburkannya dengan layak!"

"Sungguh malang engkau. Makhluk yang malang. Namun engkau begitu hebat karena tidak termakan oleh hasrat untuk balas dendam, aku salut kepadamu."

"T-Terima kasih atas pujiannya, Paduka."

"Berbahagialah, wahai minotaurus-ku yang manis dan pemberani. Saudaramu akan kembali sesaat lagi, dan hingga saat itu, tetaplah bekerja keras untuk menghidupi keluargamu. Dan jangan mati sia-sia." Kata Arifa menerima permintaan sang minotaurus.

Sesaat kemudian, air mata mengalir dari sang monster banteng itu, ia tidak bisa mengekspresikan betapa berterimakasihnya ia kepada Arifa.

Pada akhirnya, ia hanya mengucapkan seutas kalimat, yaitu:

Hidup Tuan Putri Merah Tua!

Arifa kemudian meninggalkannya tanpa sepatah kata. Ia segera menuju kastilnya yang terbuat dari kristal yang terdapat pada langit-langit dunia bawah. Di samping kastilnya terdapat ruas jalan yang besar cukup untuk kaki-kaki tajam Azofir untuk bergerak bebas mengitari kastil Arifa.

"Tampaknya kamu sudah lihai berkata-kata layaknya seorang pemimpin. Saking hebatnya, mungkin diriku sudah harus mundur dari komando utama, huhum," kata Azofir sarkas.

Arifa yang tadinya berjalan anggun langsung tersentak. "Kau mengejekku?" tanyanya lucu dengan ekspresi malu.

Azofir terbahak-bahak melihat tingkahnya. "Gahararahahahar! Kamu memanglah lucu sekali ketika malu-malu."

"Sudah, hentikanlah!" Arifa bergegas pergi membuang muka yang tersipu malu. Refleks, Azofir pun menggerakkan kaki-kakinya yang raksasa dan mirip kaki-kaki kalajengking.

"Oke, oke… Apa yang akan Anda lakukan sekarang, Rifa?" Azofir bertanya, ia selalu memanggil Arifa dengan sebutan Nona Rifa, atau Rifa saja.

"Menurutmu?" Arifa bertanya balik dengan nada sedikit kesal.

"Hah?" Azofir tersentak mundur, ia hampir menabrak dinding pembatas yang terbuat dari batuan tebal.

"Kamu sendiri membuat keputusan yang terdengar hebat di telinga semua makhluk di dunia bawah ini. Tentunya anda akan perlu ke dunia permukaan jika ingin mengambil kembali 'bangkai' makhluk tersebut," ujar Azofir.

"Azo, kau tahu suaramu itu bisa memecahkan gendang telinga, bukan? Mungkin orang-orang di lapisan terdalam dapat mendengar suara gilamu itu." Arifa membalas perkataanya dengan sarkas sambil menutup kedua telinganya.

"Oh. M-Maaf," Azo memelankan suaranya.

"Lagipula… kasar sekali menyebutnya bangkai. Kau saja baunya kadang-kadang seperti bangkai, jadi hentikan menyebutnya bangkai, semua makhluk dunia bawah adalah keluarga kita. Paham?" jelas Arifa sesaat sebelum menghentakkan tangannya ke singgasananya.

"Yah... jadi? Apakah engkau akan ke permukaan untuk 'mengutip' jenazah tersebut?" Azofir bertanya kembali sambil mengedipkan ketiga matanya yang memancarkan cahaya hijau.

"Kan! Lagi-lagi kau asal menyebutnya 'mengutip'! Emangnya kamu kira jenazah itu benda mati apa?" teriak Arifa menyerungut kesal.

"Lah, emang benda mati," Suara si Azofir terdengar menggema di telinga Arifa saking besarnya.

Wajah Arifa memerah, "T-T-T-Tapi engkau tidak berhak menyebut 'mengutip' kepada jenazah keluarga kita sendiri. Itu tidak sopan!" Arifa berusaha menyembunyikan rasa malunya.

"Halah. Terserah engkau dah. Kembali ke topik utama, engkau akan pergi?" Azo bertanya.

"Ya. Apakah ada cara lain selain itu?" jawabnya singkat.

"Anda bisa menyuruh saya pergi ke atas sana, kan? Tidak perlu mengotori dirimu sendiri ke dunia permukaan yang jahat itu."

"Dengar Azo... Aku telah bersemayam di dunia bawah ini selama ratusan tahun lamanya. Tidak pernah sekali pun aku pergi keluar sana, tidakkah kau kasihan padaku?"

"Ngapain saya kasihan. Anda nanti akan menyusahkan saja, apalagi Anda tidak pernah berinteraksi dengan 'sesama' manusia, ya, kan?" Suara gemanya itu membuat Arifa harus menutup telinganya.

Arifa mengerutkan dahinya, "Berapa kali harus kukatakan, Azo? Mustahil jika diriku ini manusia. Walaupun postur tubuhku seperti manusia, namun tetap saja, aku berasal dari ras iblis yang sama sepertimu. Lebih lagi, apakah wajahku seperti ras manusia? Lagipula kau pernah menceritakannya, bahwa manusia itu sangat lemah. Saking lemahnya, tubuh mereka dapat terbelah menjadi dua jika engkau tarik pelan saja. Namun aku? Aku selalu melakukan peregangan denganmu, engkau menarik-narik lenganku, aku sehat-sehat saja, kok."

Azofir mengedipkan ketiga matanya satu per satu, "hah… kata-katamu itu ada benarnya... yah..."

"Hentikanlah memanggilku seorang manusia. Tidak semua makhluk—yah, mungkin semuanya disini membenci manusia. Jadi tolong hentikan panggilan 'manusia' kepadaku, Azo."

"Baiklah. Itu akan menjadi yang terakhir kalinya. Nah sekarang kembali ke topik utama lagi—

"Lagi? Kan dah dijawab 'IYA' tadi."

"O-Oh, iya. Maaf, saya lupa."

Arifa menggaruk kepala dan menyibak rambut panjangnya, "Butuh bantuan?" Azofir menyodorkan bantuan dengan memanggil makhluk-makhluk kecil yang dikendalikan olehnya.

"Tidak, terima kasih. Kadang aku heran, makhluk besar sepertimu itu bisa lupa juga, ya. Aku kira otak mu itu berkali-kali lipat lebih besar dariku, sehingga ingatanmu sudah seharusnya lebih baik."

"Iya, tadi itu khilaf. Mohon maaf, Nona Rifa." Azo merendahkan tubuhnya.

Sang iblis raksasa bermata tiga itu kemudian berpikir sejenak. Ia menggaruk pelan kulit keras pada kepalanya dengan cakarnya yang sama besar dengan jarinya.

"Hmm… Pertama, Arifa menerima permintaan dari seekor monster yang mengharuskannya pergi ke permukaan. Kedua, Arifa tidak pernah berinteraksi sekali pun dengan manusia. Ketiga, Arifa akan berbicara dengan bebas ketika ia hanya berdua dengan dirinya, walaupun terkadang ia akan acuh tak acuh terhadap makhluk lain yang letaknya dekat dengan kami berdua…" pikirnya.

"Hm… firasatku tidak enak ya…" ucap sang raksasa dalam benaknya.

Meskipun begitu... Arifa itu layaknya malaikat penyelamat bagi seluruh makhluk di dunia bawah. Semua makhluk menjadi tertata dan teratur berkat dirinya. Maka daripada itu, tidak akan ada satupun makhluk dunia bawah yang akan melawan atau membantah perintahnya.

avataravatar
Next chapter