2 Tidak Ingin Bertemu Dengannya

Pagi itu berjalan seperti hari-hari sebelumnya. Seluruh anggota keluarga Pradipta menghabiskan waktu sarapan mereka di meja makan. Selang beberapa saat kemudian, sarapan pagi mereka pun berakhir.

Aina Melati Pradipta. Seorang wanita berusia lima puluh tujuh tahun sekaligus kepala keluarga Pradipta tampak menatap dengan ekspresi datar ke arah dua anaknya sekaligus satu orang menantu laki-lakinya. Dia berdeham sebentar memecah keheningan suasana.

"Ehem!" Suara dehaman membuat kedua anaknya menoleh secara bersamaan dengan ekspresi tanda tanya. Mereka seakan mengerti ada hal yang hendak diucapkan oleh wanita yang sangat mereka hormati itu.

"Ada apa, Ma?" Reynand menatap wajah sang Mama dengan heran.

Wanita tua itu balas menatap Reynand. "Ada yang ingin Mama bicarakan," katanya.

"Tumben. Penting sekali, ya?" Indira—adik tiri Reynand menambahkan.

"Tidak terlalu, sih. Tapi kalian harus mendengarkannya." Aina makin berteka-teki.

Daniel—menantunya pun ikut menatap ibu mertuanya dengan heran. Namun, ia tidak ikut bertanya.

"Katakan saja!" sahut Reynand sembari meletakkan sendok dan garpunya di atas meja makan. Pandangannya mulai terfokus pada wajah sam Mama.

"Rey, besok Baruna dan Sheryl akan tiba di Indonesia setelah menghabiskan masa bulan madu mereka. Ayahmu dan Tante Meri ingin membuat pesta kecil-kecilan menyambut kedatangan pengantin baru itu." Aina mulai berbicara.

Reynand yang mendengar jawaban Aina sontak menelan ludahnya. Kabar yang tidak ingin ia dengar dan ia hindari kini menghampiri telinganya begitu saja. Namun ia tidak berkomentar sama sekali.

"Apa kita akan hadir dalam pesta itu?" tanya Indira dengan pandangan berbinar.

"Ya. Tante dan Om-mu mengundang kita sekeluarga untuk datang ke sana." Aina lalu melirik Reynand. "Kau akan ikut, 'kan?" tanyanya pada sang putra.

"Besok pekerjaanku sedang sibuk-sibuknya, Ma. Sepertinya aku tidak bisa hadir." Reynand yang tidak ingin bertemu dengan wanita yang ia cintai itu berusaha memberikan alasan agar tidak datang ke rumah sang Ayah.

"Sibuk?" Aina mengangkat sebelah alisnya. Terlihat tidak percaya dengan alasan yang dilontarkan sang putra. Dia lalu meraih ponselnya dan menghubungi seseorang.

Kedua bola mata Reynand tidak beralih sama sekali dari Aina. Sembari memperhatikan sang Mama, dia meraih secangkir kopi hitam lalu menyesapnya.

"Julian, apa agenda bosmu esok hari?" tanya wanita tua itu seraya melirik tajam kepada Reynand.

Mendengar hal itu, sontak pria tampan itu tersedak. Ia terbatuk-batuk, tidak menyangka Aina begitu nekat menanyakan agendanya kepada Julian—asisten pribadinya. Pria itu sontak membelalak menatap Aina.

"Besok Pak Rey tidak ada agenda penting, Bu," jawab Julian dari sambungan telepon.

Kembali Aina melirik kepada sang putra yang membelalakkan matanya. Reynand hanya bisa pasrah kala mengetahui Julian yang begitu jujur kepada sang komisaris Pradipta itu.

Suara kekehan Daniel dan Indira terdengar lirih menertawakan kakak laki-lakinya. Pria itu melotot ke arah kedua adiknya, begitu kesal karena ditertawakan

"Bagus. Saya ingin Reynand mengambil cutinya. Jangan kau hubungi dia khusus untuk hari esok. Kami ada urusan keluarga!"

"Ba-baik, Bu." Suara Julian terdengar gagap.

Setelah mengatakan hal itu, Aina mematikan panggilannya. Setengah senyum kini terlukis di wajah wanita tua itu. Dia mengarahkannya kepada Reynand.

"Mama sudah atur semuanya. Besok kau harus ikut acara pesta itu," lirihnya lugas hingga membuat Reynand seketika melengos tidak peduli.

Suasana di ruang makan itu menjadi hening. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Reynand. Pria itu hanya termangu saja. Sebenarnya tidak ada yang salah dari ucapan Aina. Wanita itu tahu bagaimana sang putra sangat menghindari pertemuan antara dirinya dan sepasang pengantin baru itu.

Sudah menjadi rahasia umum kalau Reynand membatalkan pernikahannya kurang dari satu jam sebelum acara itu berlangsung. Rasa ragu menyergap dirinya saat itu. Pria itu merasa menyesal merebut kekasih adik tirinya.

Reynand memaksa Sheryl menikah dengannya atas dasar ingin bertanggung jawab karena telah merenggut kehormatan wanita itu saat mabuk. Saat itu Sheryl sangat kecewa terhadap Baruna—tunangannya, yang telah menyembunyikan sebuah perjanjian hutang piutang dengan dirinya yang menjadi jaminan hutang keluarga. Selain itu, Reynand merasa memiliki hak untuk menjadikan wanita itu istrinya karena telah membayarkan seluruh hutang keluarga wanita itu.

Sayangnya, cinta Reynand bertepuk sebelah tangan. Sheryl tidak bahagia. Wanita itu terus meratap sedih kepadanya selama mereka bersama. Reynand yang masih memiliki hati tidak bisa membiarkan wanita itu terus memandangnya dengan tatapan sendu. Ia akhirnya melepaskan Sheryl dan membiarkan wanita itu bahagia dengan pria pilihannya.

"Hei! Mengapa kau bengong, Rey?" Suara Aina terdengar memecah keheningan. Pria itu sontak berkelebat mengarahkan pandangan ke arah Aina.

"I-iya, Ma."

"Jangan sampai Mama dengar orang-orang membicarakan dirimu yang tidak bisa move on. Cukup sudah kau tidak hadir di pernikahan adik tirimu itu dan malah pergi berlibur dengan Kayla. Bisa-bisanya memberikan alasan kepentingan perusahaan atas dasar patah hatimu."

Reynand masih terdiam saat sang Mama menyebut nama Kayla. Kayla, seorang artis sekaligus model yang pernah dijodohkan dengannya oleh Aina dan Clarissa—Mama Kayla untuk Reynand. Aina berharap Reynand dan Kayla menikah. Namun, pria itu keburu jatuh hati terhadap Sheryl—sekretarisnya.

"Kau tahu, Ayahmu mengomel kepada Mama karena tindakanmu itu. Dia bilang Mama memerah tenaga anak Mama sendiri. Membiarkannya bekerja pada acara besar keluarga. Haish! Yang benar saja? Mama tidak setega itu. Mama berkelit untuk membelamu. Semuanya demi ketenangan hatimu!" Aina mengoceh kesal. Ia mengulang ucapannya beberapa waktu lalu. Ucapan itu membuat Reynand tidak dapat membalasnya dan hanya bisa menurut.

"Baiklah. Aku akan datang ke acara mereka besok!" Reynand bangkit dari duduknya. Dia lalu mendorong kursi meja makan itu kembali ke posisinya semula. "Aku pergi lebih dulu. Mama bisa pergi ke kantor dengan Pak Zaki," pamitnya yang langsung berjalan menuju pintu utama.

Aina menatap kepergian anak laki-laki satu-satunya itu dengan tatapan kosong. Indira yang masih berada di dekatnya mencoba menghibur sang Mama.

"Sabar, Ma. Aku mengerti maksud perkataan Mama. Mama tidak enak dengan keluarga Om Anton dan Tante Meri karena Kak Rey yang selalu menghindar dari mereka. Aku juga mengerti perasaan Kak Rey yang selalu menjadi sensitif saat membicarakan Sheryl dan Baruna. Sebaiknya kita tidak sering-sering menyebut nama mereka," ujar Indira.

Aina menoleh ke arah Indira. "Ya. Tapi sampai kapan semua ini akan berlangsung? Reynand tidak boleh terus-terusan mengenang Sheryl. Dia harus menikah untuk melupakan wanita itu, Dir."

"Mama tidak akan mencoba menjodohkannya lagi, 'kan?" Indira mulai curiga kepada sang Mama. Namun, Aina hanya bergeming tidak menjawab. Dia kemudian melukiskan senyum tipis di wajahnya.

"Mama tetap harus berusaha, bukan?"

"Ma, jangan ulangi lagi kesalahan yang dulu. Apa Mama tidak ingat dengan Kayla? Wanita itu hingga kini berada di samping Kak Rey, tapi tidak pernah dianggap sama sekali. Jangan mencari wanita lain yang hanya akan membuat mereka patah hati jika menjalin hubungan dengan Kak Rey," sahut Indira berusaha meyakinkan Aina.

"Sayang, sebaiknya kita percaya saja kepada Mama." Tiba-tiba Daniel menyela. Indira menoleh kepada sang suami.

"Kamu tidak mengenal Kak Rey, Niel. Dia sangat menyebalkan dan ketus kepada wanita yang tidak ia sukai. Aku hanya kasihan kepada wanita-wanita itu nantinya." Kening Indira berkerut.

"Kita lihat saja, Dir. Mama akan mencarikan wanita yang cocok untuknya." Aina memandang kedua anaknya dengan tatapan penuh keyakinan.

avataravatar
Next chapter