19 Pria Pemarah

Kanzia ikut mengarahkan pandangannya. Sepatu pantofel Gathan memang terlihat di depan pintu. Wanita itu mengembuskan napas kasar hingga membuat Nayara menoleh ke arahnya.

"Kak Gathan. Dia tadi menjemputku pulang dari rumah sakit," jawabnya. Kanzia memang pergi ke rumah sakit tempat ia akan mulai mengabdikan dirinya esok hari. Nayara menanggapi jawaban Kanzia dengan air muka rikuh. Ia memutar bola matanya ke titik lain sesaat lalu menoleh lagi dengan cepat seakan menyembunyikan sesuatu pada air mukanya saat ini.

"O-oh ... apa aku mengganggu kalian, Zi?" lanjut Nayara bertanya. Merasakan jantungnya yang berdenyut tidak karuan saat membicarakan kakak dari Kanzia itu.

"Tidak, Kak. Dia sudah mau pulang. Tidak usah pedulikan dia. Ayo masuk!" ajak Kanzia yang langsung meraih pergelangan tangan Nayara. Tanpa mendengarkan jawaban Nayara, lengannya yang kurus meraih gagang pintu dan membukanya dengan cepat.

Gathan sontak berdiri melihat dokter cantik itu berdiri di ambang pintu bersama sang adik. Segaris cengiran canggung tampak terukir di wajahnya secara mendadak. Nayara mengerjapkan matanya berkali-kali melihat sosok Gathan. Ia merasakan kecanggungan yang sama.

"Se-selamat ma-malam, Dokter Nayara," sambutnya sembari menundukkan kepala dengan sopan.

"Malam," sahut Nayara dengan senyum manisnya. Wajah canggung Nayara menghilang dengan cepat.

Keduanya sama-sama terdiam. Entah apa yang mereka pikirkan. Kanzia yang mengetahui ada sesuatu yang terjadi lantas menarik lengan Nayara.

"Ayo, Kak Nay! Jangan hiraukan Kakakku itu. Setelah ini dia akan pulang," ujar Kanzia yang langsung menarik lengan Nayara hendak membawanya pergi ke ruang makan. Gadis itu tidak memedulikan Gathan, tapi matanya mengerling, dan menyengih, mengejek Gathan.

"Kau tidak boleh seperti itu kepada kakakmu, Zi!" Nayara yang melihat tindakan itu memperingatkan Kanzia.

Wajah Gathan seketika berubah merah melihat dengan mata kepalanya sendiri sang pujaan hati membelanya. Namun dengan cepat ia meraih jaketnya hendak pergi. Jaga image tetaplah nomor satu dalam kamusnya. Namun belum sempat lebih jauh melangkah, suara halus dokter cantik itu terdengar.

"Tunggu! Kita bisa makan bertiga."

Gathan menghentikan langkahnya. Pria itu sontak menoleh ke belakang, menguncinya pada sosok Nayara. Ia seakan terhipnotis. Ditatap seperti itu, Nayara sontak memalingkan wajahnya yang tiba-tiba menghangat.

Kanzia mengerling ke arah keduanya bergantian. Ia lalu mendekati sang kakak yang mematung tak ingin berpaling dari pahatan indah wajah cantik sang bidadari.

"Kak Gathan?" Kanzia memanggil dengan volume suara yang ia naikkan sedikit. Kanzia melihat Gathan dengan alisnya yang terangkat.

Pandangan Gathan sontak berkelebat mendengar suara Kanzia. Ia mengerling ke kanan dan kiri. Di depannya, Kanzia terlihat menyengir sambil berkacak pinggang.

"Apa yang sedang Kakak lihat? Jangan bilang kalau Kakak sedang melamun jo–"

Kanzia tidak dapat meneruskan perkataannya. Mulutnya seketika terbungkam oleh telapak tangan besar seorang Gathan. Pria itu dapat menebak kata selanjutnya yang akan terlontar dari mulut sang adik. Kanzia akan menjatuhkan imagenya di depan Nayara.

"Jangan sembarangan!" kesalnya.

"Mmm! Mmm!" Kanzia tidak dapat menyahut. Nayara yang melihat pemandangan itu melebarkan bola mata terkejut.

"Gathan, sebaiknya kau jangan terlalu keras kepada adikmu. Jangan bertengkar!" serunya sedikit panik, bermaksud melerai.

Sontak Gathan menunjukkan wajah merah padam. Adiknya sangat keterlaluan menjatuhkan wibawanya di depan Nayara. Perlahan ia menurunkan telapak tangannya dan menghela napas panjang.

"Aku pulang saja," katanya lantas beringsut pergi menuju teras rumah kontrakan adiknya. Kanzia yang sedang berusaha mengatur napasnya sontak mengejar sang kakak dengan perasaan bersalah.

"Kakak!" panggilnya. Pandangan gadis itu lalu mengedar ke seluruh penjuru. Namun Gathan tidak terlihat sama sekali. Pria itu sudah keburu pergi. "Haish! Mengapa sekarang Kak Gathan jadi begitu pemarah?!" gerutunya.

Nayara menepuk pelan pundak Kanzia. Tiba-tiba saja ia sudah berdiri di samping gadis itu. "Entahlah, Zi. Tapi aku juga memiliki seorang teman pria yang sifatnya sedikit mirip dengan Gathan. Ia begitu pemarah karena wanita yang dicintainya menikah dengan saudaranya sendiri," lirih Nayara tiba-tiba bercerita.

Kanzia seketika menoleh ke sampingnya. Melihat ke arah pahatan wajah cantik Nayara. Tiba-tiba saja ia teringat akan sosok pria yang ia tabrak mobilnya. Pria itu juga adalah sosok pemarah hanya karena Kanzia gugup hingga memanggilnya dengan sebutan "Om" padahal ia sangat tampan dan terlihat seusia dengan Gathan.

Haish! Untuk apa kau memikirkan pria itu, Zia? batin Kanzia mulai meletup-letup membayangkan wajah tampan yang menatapnya dengan air muka memerah kesal.

"Aku sebenarnya kasihan kepadanya, tapi jodoh tidak ada yang tahu, 'kan?" ucap Nayara lagi sambil melipat kedua tangannya di dada.

"Ya, jodoh memang tidak ada yang tahu. Namun kita tetap memiliki hak untuk memilih, bukan?"

Mendengar hal itu Nayara menarik setengah senyumnya. "Ya, kau benar. Hanya saja, temanku itu adalah pria yang sangat bodoh! Dia yang melepaskan, tapi dia yang menyesalinya," pungkasnya.

***

Malam hari di apartemen Green Beauty Lake lantai delapan. Reynand sedang berdiri di depan sebuah standing mirror. Ia baru saja selesai mengenakan piyama berwarna coklat miliknya.

Rambutnya yang mulai sedikit memanjang ia biarkan begitu saja tanpa menyisirnya lagi. Sedetik kemudian, ia menghempaskan tubuhnya yang kekar di atas ranjang yang empuk. Pandangannya mengarah pada langit-langit berwarna putih di atasnya. Teringat kembali bagaimana ia mencium istri saudara tirinya dengan begitu berani.

"Aku tahu kau masih memiliki secuil perasaan kepadaku, Sher," gumamnya pelan. Ia merasakan bagaimana wanita itu membalas ciumannya walau hanya sesaat. Reynand menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya. "Tidak! Aku harus melupakan wanita itu. Aku sudah bertekad, bahkan telah mengatakan hal itu kepada Kayla," ucapnya lagi seraya menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

Hatchi-Hatchi-hatchi!

Tiba-tiba saja hidungnya terasa gatal. Suara bersin beberapa kali terdengar. Hidungnya yang mancung terlihat memerah. Reynand menegakkan tubuhnya. Ia mencari sebuah inhaler untuk melegakan pernapasan dari dalam nakas.

"Aneh! Aku merasa sangat sehat. Masa aku terserang flu?" gumamnya bertanya-tanya. Padahal mungkin saja bersinnya kali ini adalah sebuah tanda kalau ia sedang dibicarakan oleh orang lain di luar sana.

Reynand menghirup benda itu beberapa kali. Setelah merasa cukup, ia menaruhnya kembali ke dalam laci nakasnya. Reynand kembali merebahkan tubuhnya. Kembali teringat akan permintaan Wisnu yang tiba-tiba.

"Bagaimana aku bisa mendapatkan uang tiga ratus milyar untuk Wisnu?" Pria tampan itu kembali melayangkan pikirannya pada segala kemungkinan yang akan ia ambil nantinya.

"Aku ragu kalau Mama akan meminjamkannya. Itu uang yang sangat besar di masa-masa seperti ini. Pasar pun rasanya sedang tidak bagus."

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Tiba-tiba saja ponsel Reynand berbunyi. Sebuah notifikasi pesan masuk dari sang Mama.

[Rey, besok Mama ingin berbicara kepadamu.]

Reynand pun membalas pesan itu.

[Ya, Ma. Aku pun ingin membicarakan suatu hal penting dengan Mama.]

avataravatar
Next chapter