12 Pertemuan Canggung

Penampilan Sheryl begitu memikat Reynand. Namun wanita itu tidak sendirian saja berdiri di depan Reynand yang memandangnya tanpa berkedip. Baruna hadir di sampingnya, melingkarkan lengannya pada pinggang sang istri. Keduanya tampak menyunggingkan senyum manis mereka.

Reynand selalu terpesona dan tidak dapat membohongi perasaannya. Walau Sheryl telah memiliki suami, wanita itu mampu mengalihkan dunianya seketika.

"Rey, kenapa bengong?" tanya Baruna menyapa kakak tirinya yang hanya bisa memandang tanpa kedip mereka berdua.

Mendengar pertanyaan Baruna, tatapan pria itu pun buyar seketika. "E-eh, ka-kalian ternyata sudah pulang?" tanyanya tergagap.

"Ya, baru saja," sahut Baruna singkat.

Setelah itu suasana menjadi hening. Sosok Meri tiba-tiba menghampiri ketiga orang itu. "Hei, mengapa kalian berdiri di sini?" tanyanya melemparkan pandangan pada Baruna dan Sheryl.

"Kami ingin melihat suasana di halaman belakang. Apa tidak berlebihan? Sepertinya pesta ini bukanlah pesta kecil-kecilan, Bun," komentar Baruna mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suasana tempat itu lebih terkesan mewah dibandingkan kecil-kecilan. Kedua orang tuanya benar-benar mempersiapkannya dengan sangat baik.

"Ini tidak seberapa, Sayang. Kalianlah raja dan ratunya hari ini. Ya 'kan, Rey?" Meri melirik anak tirinya.

Reynand hanya mengangguk. Sejujurnya ia bingung harus berkomentar apa. Keluarga Asyraf memang keluarga kaya raya yang rendah hati hingga pembatas kata mewah dan tidak mewah bagi mereka tidak terlalu penting lagi.

"Tuh, Rey saja setuju. Bunda mempersiapkan semuanya untuk kalian," lanjutnya.

Baruna hanya bisa mengangkat bahu. Ia tidak bisa berkata apa-apa. Begitupun Sheryl, menantu baru keluarga Asyraf. Ia hanya bisa menurut.

Dering ponsel tiba-tiba saja terdengar. Meri merogoh saku, melihat layar ponselnya. Aina menelepon. Sesaat ia melirik ke arah Reynand lalu menggulirkan lambang hijau telepon pada layarnya.

"Halo, Aina!" sapanya seraya membalik badannya menjauh dari hadapan ketiga orang itu.

Kini suasananya menjadi hening kembali. Baruna menoleh ke arah sang istri. "Aku ingin melihat para pekerja EO di sebelah sana. Kamu istirahat saja, Sayang."

"Tidak. Aku juga ingin membantu mereka." Sheryl menggeleng pelan.

Baruna menyentuh kedua bahu Sheryl. Menatap wajah Sheryl lebih dalam. "Jangan! Lebih baik kamu di sini saja, duduk menemani Reynand. Kasihan tamu jauh kita ini sudah menunggu sejak tadi tapi tidak ada yang menemaninya." Baruna melirik ke arah Reynand.

"Ehm ...." Wanita itu tidak bisa menjawab. Ia terdiam beberapa detik hingga akhirnya mengangguk patuh. "Baiklah."

"Jangan nakal. Aku memercayaimu." Baruna mengusap puncak kepala sang istri. Senyumnya tidak juga hilang dari wajahnya. Ia sangat bahagia saat ini.

"Iya, Sayang," Sheryl menjawab, balas tersenyum.

Wanita itu pun beringsut duduk di samping Reynand. Walau keduanya merasa sedikit tidak nyaman, mereka tidak dapat beranjak dari sana. Baruna seakan ingin menguji mereka. Ditinggalkan berdua saja dengan topik obrolan yang minim.

Suasana dingin sontak tercipta. Baik Reynand maupun Sheryl, keduanya tidak mampu berucap sepatah kata pun. Mereka hanya diam membisu, walau terkadang saling pandang beberapa detik lalu melengos tampak serba salah.

"Bagaimana Maldives?" tanya Reynand tiba-tiba. Ia mencoba memecah keheningan di antara mereka. Pria itu tahu kalau mereka pergi berbulan madu selama dua minggu ke tempat yang sangat romantis itu.

"Baik ...." Sheryl menjeda jawabannya. Ia terlihat bingung menjawab. Setelah tersadar akan jawaban asalnya, wanita itu pun mengulang jawabannya kembali. " Mak-maksudku Maldives sangat indah. Kapan-kapan kau harus berkunjung ke sana bersama pasanganmu untuk menikmati tempat itu. Sebenarnya kami tidak hanya pergi ke sana. Benua Eropa pun sempat kami jelajahi." Sheryl menceritakan pengalamannya berkunjung ke berbagai tempat yang mereka habiskan untuk berbulan madu.

Reynand mendengarkan setiap kalimat yang terlontar dari mulut Sheryl dengan tenang. Terkadang mengangguk-angguk mengerti dan sedikit berkhayal andaikan yang sedang berbulan madu itu adalah dirinya dan wanita yang duduk disampingnya. Pria itu akan sangan bahagia. Bahkan rela menukarnya dengan apapun di dunia ini.

"Rey, apa kabarmu?" tanya wanita itu usai menceritakan semuanya.

"Baik. Kamu bagaimana?" Pandangan itu sedikit sendu untuk beberapa detik, tapi dengan cepat Reynand mengubahnya.

"Selalu bahagia," jawabnya.

"Sudah tertular ternyata," dengus Reynand kemudian terkekeh.

"Maksudmu?" Kening Sheryl mengernyit.

"Dua kata itu. Baruna sering menjawab bagaimana keadaannya dengan dua kata itu. 'Selalu bahagia'."

"Ada yang salah? Kami memang selalu sangat bahagia."

"Tidak." Reynand menggeleng cepat. "Aku ikut berbahagia bila kamu bahagia."

Sheryl terdiam mendengar pernyataan Reynand. Entah mengapa ia merasa sebaliknya. Ia curiga pria yang duduk di sampingnya sedang berbohong. Pasalnya Reynand seakan hilang dari peredaran selama enam bulan ini.

"Apa kau bahagia setelah kejadian itu?" tanyanya sedikit merasa bersalah.

"Tentu saja. Aku cukup menikmati hidupku selama ini." Reynand mengangguk.

"Syukurlah. Aku dan Baruna mengkhawatirkan keadaanmu. Apalagi saat kau tidak hadir pada acara resepsi pernikahan kami. Saat itu, aku merasa sangat bersalah karena keegoisanku menghancurkan harapanmu kepadaku."

"Sher ...." Reynand menghentikan ucapannya. Tiba-tiba pandangannya beralih kepada sosok Aina dan Meri yang terlihat sudah berdiri di depan mereka. Reynand dan Sheryl sontak bangkit dari duduknya. "Mama ...." Reynand sedikit terkejut.

"Tante, Bunda ...," ucap Sheryl yang tampak salah tingkah. Kedua orang itu sama-sama menundukkan kepala hormat dan menyalami kedua orang tua itu.

"Ternyata kamu sudah tiba di sini, Rey," ucap Aina seraya melirik Sheryl yang berdiri di sampingnya. Namun lirikannya tidak setajam seperti dulu saat wanita itu hendak menjadi menantunya. Ia tahu tidak mungkin ada percikan cinta lagi di antara keduanya.

Baguslah jika Rey tidak tertarik lagi kepada Sheryl. Tapi aku sungguh tidak merestui ia menyukai sesama jenis. PR-ku sekarang adalah mengembalikan ketertarikannya kepada wanita, batin wanita tua itu yang masih salah paham akan kejadian tadi pagi.

"Tante, apa kabar?" Sapaan Sheryl sontak membuyarkan pemikiran Aina.

"Sangat baik. Wah, pengantin baru memang selalu bersinar. Mana suamimu, Sayang?" Pandangan Aina sontak mengerling ke segala arah, mencari Baruna.

"Kau ingin bertemu dengan anakku, Ai?" Meri yang berdiri di samping Aina memotong pembicaraan.

"Ya. Aku ingin bertemu dengan anak teladanmu. Anak yang patuh dan tidak pernah merepotkan kedua orang tuanya," sahutnya dengan pandangan sedikit menyindir sang putra.

Reynand hanya menghela napas panjang mendengar sindiran itu. Sheryl yang berdiri di samping Reynand tiba-tiba berkata, "Aku rasa Tante berlebihan. Rey cukup mandiri dan tidak pernah merepotkan keluarganya. Bahkan Pradipta Corp berkembang pesat sejak ia menjabat sebagi direktur utama. Seharusnya Tante tidak membanding-bandingkan ia dengan Baruna." Sheryl menatap Aina dan Meri bergantian. Ia sangat keberatan dengan ucapan Aina.

Perkataan Sheryl membuat Reynand membelalak sesaat menatap wanita itu. Ia terkesiap mendengar Sheryl membelanya. Sedangkan Aina yang mendengar ucapan itu hanya mendengus, lalu tersenyum. Matanya gantian melirik tajam ke arah Reynand dan Sheryl.

"Mama tidak melewatkan apa-apa 'kan, Rey?" tanyanya retoris.

"Ma–"

Reynand belum sempat menanggapi, tapi Meri keburu memotong permbicaraan mereka. Tidak ingin ada perdebatan di antara keduanya. "Aina, sebaiknya kita ke sebelah sana. Bukankah kau ingin bertemu dengan anakku?"

"Ya. Tinggalkan saja anak-anak ini. Saat ini aku lebih ingin bertemu dengan Baruna. Aku ingin meminta pendapat Baruna mengenai keputusan bisnisku karena akhir-akhir ini pemikiranku tidak sejalan dengan anakku sendiri," lanjut Aina.

"Ya-ya. Aku mengerti." Meri bergegas menggiring Aina pergi dari tempat itu. Sebelah matanya berkedip kepada Sheryl dan Reynand. Menandakan kalau ia berhasil membuat Aina menyingkir dari hadapan keduanya.

avataravatar
Next chapter