20 Penolakan Aina

"Tidak bisa! Kamu pikir Pradipta Corp itu yayasan amal atau bank, yang bisa meminjamkan uang dengan sangat banyak?!" pekik Aina saat mendengarkan maksud Reynand datang ke ruangannya pagi-pagi sekali keesokan harinya. Niat sang putra untuk meminjam uang perusahaan ditolak mentah-mentah oleh sang Mama yang menjabat sebagai komisaris di Pradipta Corp.

"Tapi Ma, aku sangat membutuhkannya," sahut Reynand sedikit memelas. Teringat akan janjinya kepada Wisnu.

"Hanya untuk seorang Wisnu kau sampai seperti ini? Haish! Rey, sadar dong! Kau ini sedang dimanfaatkan oleh temanmu. Dia tahu kau kaya raya dan tidak tegaan!" timpal Aina lagi begitu gemas. Wanita itu sontak beranjak dari duduknya berjalan ke arah dinding kaca besar. Tatapannya mengarah lurus pada pemandangan gedung-gedung tinggi di tengah kota Jakarta.

Melihat sang Mama yang memalingkan wajah darinya, Reynand melangkah mendekat. Pria itu menyentuh kedua bahu Aina dari belakang dan berbisik pelan, "Mama tidak ingat jasanya membantuku menemukan penculik Sheryl waktu itu? Kalau dia tidak dapat menemukan titik lokasi penculikan, aku tidak tahu apa yang akan terjadi kepada Sheryl, Ma. Mungkin ia sudah diperkosa, dibunuh, dan dibuang ke tempat yang kita tidak tahu."

Aina memutar tubuhnya. Menatap Reynand dengan air muka gemas. "Sheral-Sheryl! Mendengar nama Sheryl dari mulutmu saja membuat Mama sakit kepala! Kau masih saja membahasnya! Sayang sekali, ia bahkan tidak membalas cintamu walau kau telah mempertaruhkan nyawa untuk menolongnya. Seharusnya kau biarkan saja Sheryl diculik dan dibunuh. Dia bukan wanita berharga seperti yang ada dalam pikiranmu!"

Perkataan Aina cukup menohok. Reynand sontak terdiam dan hanya bisa menelan saliva karena tiba-tiba tenggorakannya terasa sangat kering. Aina memang tidak menyukai wanita yang justru dicintai oleh sang putra. Namun dia tetaplah seorang ibu yang memiliki insting kuat jika berhubungan dengan anak kandungnya. Ia tahu Sheryl tidak pernah mencintai Reynand dengan sepenuh hati.

"Sudah! Intinya Mama tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun dari perusahaan ini untuk temanmu itu. Bahkan jika kau menghubungi nenekmu yang memiliki posisi tertinggi di Pradipta Corp, dia pasti akan memiliki pendapat yang sama dengan Mama," sahut Aina.

Reynand mendesah pelan. Pikirannya tertuju pada posisi sang Nenek yang sudah lama tidak mengunjungi kantor pusat Pradipta Corp. Erika—Nenek Reynand memang menjabat posisi sebagai presiden komisaris perusahaan keluarga mereka. Namun wanita tua itu tinggal bersama Nova—tantenya di Kuala Lumpur, Malaysia.

Reynand juga tidak menyangka Aina akan menyebut-nyebut nama sang Nenek untuk hal yang ia pikir sepele ini. Uang sebanyak tiga ratus miliar bukanlah jumlah fantastis jika dibandingkan dengan laba bersih perusahaan tahun lalu dan jumlah hutang yang pernah dibayarkan keluarganya untuk membantu keluarga Sheryl di masa sulit. Namun Aina berpikiran sebaliknya. Ia sangat perhitungan.

Haish! Rey, kau benar-benar bodoh! Seharusnya kau menghubungi nenekmu lebih dulu untuk mendapatkan uang itu, batinnya.

"Kenapa kau jadi diam?" Aina mengangkat sebelah alisnya menatap bingung.

"Tidak." Reynand menggelengkan kepalanya.

"Jangan bilang kau akan menghubungi nenekmu untuk meminta bantuannya?"

"Tidak." Pria itu menggelengkan kepalanya lagi.

"Haish! Hubungi saja jika kau berani. Mama yakin usahamu akan sia-sia." Aina mendengus kemudian terkekeh, lalu Melipat kedua tangan di dada dengan wajah terangkat begitu menantang. "Nenekmu lebih keras kepala dari Mamamu ini."

"Kita lihat saja nanti, Ma. Nenek akan berada di pihakku atau berada pihak Mama. Bukankah anak singa bisa ditaklukan oleh ibu singa?" Reynand balas menyunggingkan setengah senyumannya. Kemudian tanpa berkata-kata lagi, ia pun berjalan keluar dari ruang kerja Aina.

Aina menghentakkan kakinya kesal, bibirnya mencebik dengan kerutan yang menghiasi dahinya. Putranya itu selalu melawan apa yang ia katakan. Wanita tua nan angkuh itu hanya bisa memandang punggung Reynand yang pergi menjauh.

Beberapa saat kemudian, Reynand sudah tiba di depan pintu ruang kerjanya. Ia menghentikan langkah sebelum meraih gagang pintu ruangan. Pria itu menoleh ke arah Julian yang sedang menyesap kopinya.

"Jul!" panggil pria tampan itu kepada sekretarisnya.

Uhuk!

Julian sontak terbatuk. Memuncratkan sedikit cairan hitam dari mulutnya yang langsung mengenai kemeja putih yang ia kenakan. Julian tidak sadar bosnya melintas di depan ruangannya, sedangkan ia begitu santai menyesap kopi sambil menonton video salah seorang youtuber otomotif yang ia sukai.

"Pa-Pak Rey ...." Julian buru-buru bangkit berdiri. Menatap terkejut ke arah Reynand.

Reynand balas menatap tidak peduli dengan tingkah yang diperlihatkan Julian. Bos Pradipta itu memang tiba pagi-pagi sekali. Jadi wajar saja jika Julian belum memulai pekerjaannya.

"Jul, tolong bawa mobil saya ke bengkel!" perintahnya.

Tanpa mendengar jawaban Julian, Reynand sontak melempar kunci mobilnya ke arah Julian. Dengan sigap, Julian berhasil menangkapnya. Segaris senyum terukir pada wajah Reynand. Julian hanya menyengih menatap sang bos yang kemudian melangkah masuk dengan terburu-buru ke ruangannya.

***

Kanzia begitu bahagia saat duduk di meja konsultasi miliknya. Pasien terakhirnya siang ini adalah seorang gadis berusia sembilan belas tahun yang datang dengan keluhan demam dan sakit saat menelan makanan sejak dua hari yang lalu. Kanzia menyuruhnya berbaring di atas brankar untuk memeriksanya

Kanzia menyuruh si pasien mengapit termometer pada ketiaknya. Setelah mengecek keadaan jantung dan paru-paru yang tidak ada masalah, dokter wanita itu berkata, "Coba buka mulutnya."

Si pasien yang mendengar pun membuka mulut. Wanita itu mengarahkan senter, mendapati tenggorokan si pasien yang memerah. Tidak lama terdengar bunyi "bip" dari termometer. Angka tiga puluh sembilan derajat terlihat pada alat itu.

Kanzia kembali duduk di mejanya. Pasiennya duduk menatap sang dokter dengan perasaan harap-harap cemas.

"Tenggorokanmu meradang, terlihat sangat merah. Kurangi makanan dingin, manis, dan pedas. Jangan lupa untuk memakan buah-buahan yang mengandung vitamin C," katanya sembari melakukan kontak mata dengan pasiennya.

"Iya, Dok." Gadis itu mengangguk patuh, lalu menambahkan dengan logat Jawa medoknya yang begitu kental, "Saya mohon dibuatkan surat sakit. Saya tidak masuk kuliah hari ini."

Kanzia mengarahkan pandangannya sang gadis. Dari suaranya terdengar bukan asli orang Jakarta. Wanita itu langsung dapat menyimpulkan kalau si pasien adalah mahasiswi dari luar kota yang berkuliah di Jakarta. Melihatnya seperti bercermin pada keadaannya dahulu saat mulai berkuliah di ibu kota.

Kanzia kemudian mengarahkan pandangan kembali pada layar komputer untuk mengetikkan resep obatnya. Sesaat kemudian mengarahkan pandangannya lagi kepada gadis itu. "Selain obat, saya akan menambahkan vitamin sebagai tambahan imunitas tubuhmu. Walau jauh dari orang tua, kau harus bisa survive dengan memakan makanan yang bergizi."

"Iya, Dok." Gadis itu kembali mengangguk dengan pandangan heran karena dokter wanita itu tahu ia adalah seorang mahasiswi perantauan.

Kanzia memberikan surat sakitnya. Gadis itu pun berterima kasih lalu keluar dari ruang praktik dokter. Senyum mengembang terlihat pada wajah Kanzia yang merasa lega telah berhasil melewati hari pertamanya.

Ponsel wanita itu tiba-tiba saja berdering. Kanzia meraihnya dari dalam tas tangan yang ia bawa. Nama Gathan terlihat di sana.

"Zi, apa kau sudah makan siang?" Suara berat kakak laki-laki ke empatnya terdengar.

"Belum. Aku baru selesai praktik. Ada apa? Apa Kakak sudah tidak marah lagi kepadaku?"

avataravatar
Next chapter