15 Aku Tidak Ingin Menghancurkan Keluargaku

Wanita muda itu kembali ke dalam mobilnya. Membanting tubuhnya di kursi kemudi seraya mengembuskan napas kasar. Gathan—pria yang duduk di kursi samping kemudi meliriknya lalu terkekeh.

"Om, huh?" sindirnya hingga membuat wanita cantik itu menoleh dengan wajah menekuk kesal.

"Kakak meledekku?!"

"Tidak, Kanzia ...," sahut Gathan menyanggah, menyebut nama sang adik.

"Lalu?"

"Apa kau tidak mengenal pria itu?" Gathan menaikkan sebelah alisnya menatap sang adik.

"Siapa? Aku tidak mengenalnya." Kanzia menggelengkan kepalanya, tampak seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa.

Gathan mengatupkan bibir, sedikit mencebik, lalu mengangguk-anggukkan kepalanya, tanpa menjawab pertanyaan itu. Kanzia yang sudah terlanjur penasaran sontak melotot.

"Ya sudah, kalau tidak mau jawab." Kanzia bersiap mengatur persenelingnya. Melihat hal itu, gantian Gathan yang melotot.

"Biar aku yang mengemudi!" teriaknya karena ia tahu Kanzia benar-benar baru pertama kali memegang kemudinya hari ini dan Kanzia meminta Gathan untuk mendampinginya berkendara.

Kanzia menyengir. Ia membuka sabuk pengamannya. "Baiklah. Aku akan memercayakan Kakak menjinakkan mobil usang ini sekarang," ujar Kanzia yang menyadari kalau dirinya memang tidak pandai mengemudi. Kejadian barusan cukup membuatnya takut menabrak sesuatu lagi.

Gathan hanya menarik segaris senyuman paksa. Ia menggeleng pelan. "Bagaimana kau akan mengganti kerusakan mobil mewah itu?"

"Nanti kupikirkan. Aku sudah memiliki kontaknya dan aku tidak akan memberinya kesempatan untuk meremehkan diriku lagi, Kak. Kanzia Chalondra Mentari Berlin pasti akan bertemu dengannya lagi dengan rasa percaya diri yang tinggi," sahut Kanzia mengangkat wajahnya pongah, menatap sang Kakak sembari tersenyum penuh kemenangan.

Gathan yang mendengar perkataan penuh percaya diri itu kemudian tertawa kecil. Kanzia sontak menyergah, "Ish! Kok tertawa lagi?!"

"Apa kau tidak melihat mobilmu sendiri? Lihat! Bumper depanmu pun menjadi korban. Apa kau punya uang?"

Kanzia menghela napas panjang. Perkataan Gathan ada benarnya. Uangnya sudah habis untuk membeli mobil SUV usang yang ia pakai dan saat ini hanya tersisa beberapa ratus ribu untuk seminggu ke depan.

"Ck! Jadi bagaimana, Kak?" lirihnya.

Kanzia mendesah pelan. Ia tiba-tiba menjadi bingung. Walau Reynand tidak memaksa untuk mengganti kerusakan mobilnya, tapi pantang baginya merasa diremehkan. Ia tetap merasa harus menggantinya.

Gathan menoleh, menatap tidak tega kepada Kanzia. Dia mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya. Sebuah kartu kredit hitam unlimited yang sengaja dititipkan sang Ayah untuk Kanzia.

"Terima ini!" katanya.

"Untuk apa? Aku tidak butuh kartu kredit Ayah," timpal gadis itu.

"Jangan keras kepala! Ayah menitipkannya untukmu, Zi!" ucap Gathan setengah berteriak.

"Tapi aku merasa bersalah kepada Ayah karena tidak patuh dan malah pergi ke Jakarta untuk kuliah sesuai minatku."

Pandangan mata Kanzia tiba-tiba kosong. Ia merasa bersalah karena tidak menuruti sang Ayah yang menyuruhnya menekuni dunia bisnis dan merajut pendidikan di bidang yang berkaitan dengan hal itu. Sedangkan faktanya, Kanzia mendapatkan beasiswa kuliah kedokteran yang tidak ada sangkut paut dengan apa yang Ayahnya inginkan.

Mendengar ucapan Kanzia, Gathan meraih pergelangan tangan gadis itu, menaruh si kartu hitam di atas telapak tangan, lalu memaksa untuk menggenggamnya.

"Simpan saja. Siapa tahu kau butuh. Tidak ada seorang Ayah yang ingin anaknya hidup menderita jauh dari pengawasan." Gathan tersenyum tulus.

Kanzia membalas dengan senyum paksanya. Ia membuka pintu mobil, bergegas pindah dari kursi kemudi ke kursi Gathan. Begitupun dengan Gathan. Selang beberapa saat, Gathan melajukan mobilnya pergi dari tempat itu.

***

Sepanjang perjalanan Sheryl dan Reynand terdiam. Suasana di dalam mobil menjadi sangat sunyi. Bahkan Reynand tidak menghidupkan radio mobilnya.

Keduanya tahu baru saja melakukan hal yang salah. Jika wanita itu tidak keburu sadar, mungkin mereka akan mengulang apa yang pernah terjadi dulu. Bedanya dengan yang dulu adalah dilakukan saat mereka sedang dalam kondisi sadar. Untungnya hal itu tidak terjadi. Sheryl cukup kuat menahan godaan pria di sampingnya. Walau ia memang tidak bisa membantah kalau Reynand cukup menggodanya. Lebih tepatnya, ia bisa saja goyah jika sering bertemu dengan kakak iparnya itu.

"Sher, maafkan aku. Aku tidak bisa menahannya," ucap Reynand mencoba mencairkan suasana. Air mukanya terlihat cemas menatap sang wanita yang hanya duduk memandangi jalan raya dari kaca depan mobil.

"Rey, sebaiknya kita tidak sering bertemu. Aku tidak ingin merusak keluarga baruku. Mengenai ciuman tadi, aku akan menganggap kalau kita tidak melakukannya. Itu hanya sebuah kecelakaan seperti saat aku terbangun di kamarmu dulu. Kenangan buruk yang ingin sekali kulupakan," sahut Sheryl lugas menolak semua yang terjadi di antara mereka.

Reynand menelan ludahnya. Ia tahu kalau dirinya salah. Melepaskan wanita itu adalah sebuah pilihan bijak yang akhirnya ia sesali karena pria itu tidak bisa berpaling walau Sheryl telah menikah dengan Baruna.

"Baiklah. Aku akan mengantarmu pulang," katanya seraya menahan sesak dalam dadanya. Ia begitu kecewa dengan jawaban wanita itu.

Reynand membelok ke arah komplek perumahan mewah sang Ayah. Ponsel Sheryl berdering, Baruna menelepon. Wanita itu pun segera menjawab teleponnya.

"Sayang, kamu ada di mana? Para tamu sudah datang." Suara pria itu terdengar sangat cemas.

Sheryl menoleh kepada Reynand sejenak, lalu kembali pada panggilannya. "A-aku sakit kepala. Tidak ada obat di rumah. Tadi Reynand menawarkan diri mengantarku membeli obat."

"Apa kamu baik-baik saja, Sayang? Apa aku perlu membatalkan acara ini?" Suara Baruna kembali cemas mendengar kabar sang istri yang sedang sakit. Ia tidak cemburu sama sekali mengetahui Reynand mengantar sang istri membeli obat. Padahal dulu pria itu sangat tidak suka jika Sheryl berdekatan dengan kakak tirinya itu.

"Tidak usah, Sayang. Aku baik-baik saja." Sheryl menolak. Ia tidak ingin membuat Baruna khawatir.

"Syukurlah. Tadi Daniel juga bilang kalau kalian pergi berdua, tapi ia tidak tahu kalian pergi ke mana. Lain kali kamu harus bilang kepadaku jika pergi keluar. Semua mencemaskanmu karena tidak ada kabar apa-apa."

"Ka-kamu tidak marah?" Sheryl kembali menoleh ke arah pria yang sedang mengemudi itu. Namun, Reynand tidak berkomentar. Ia tetap fokus pada kendaraannya.

"Untuk apa, Sayang? Sekarang kamu sudah menjadi istriku. Rey juga adalah kakakku. Kalian cukup dewasa untuk tidak mengulang kebodohan di masa lalu. Aku sangat percaya kepada kalian. Kalian berdua tidak mungkin berkhianat di belakangku."

Mendengar perkataan Baruna, Sheryl terdiam beberapa saat. Ia sontak menyesali apa yang baru saja terjadi, kala ia dan Rey berciuman di dalam mobil.

"Ya, Sayang. Terima kasih sudah memercayaiku. Kami sudah dekat dengan rumah."

"Baiklah. Aku akan menunggumu." Baruna mengakh panggilannya.

Sheryl menarik napas dalam-dalam, lalu membuangnya. Dia kembali menoleh ke arah pria tampan itu.

"Rey, aku merasa bersalah kepada Baruna. Kita tidak boleh sering bertemu. Seperti yang kukatakan tadi, aku tidak ingin pernikahanku gagal hanya karenamu," ungkap Sheryl.

"Kamu tidak perlu mengatakannya dua kali," sahut Reynand seraya memarkirkan kendaraannya yang sudah memasuki halaman kediaman Asyraf.

avataravatar
Next chapter