1 Kasus Pertama : Hiking

Setelah lulus dari Universitas Kedokteran, Reno dan kedua sahabatnya memutuskan untuk berlibur sebelum melakukan aktivitas setelah lulus. Reno sendiri siap bekerja di rumah sakit milik keluarganya, sementara yang lain pasti sudah punya rencana masing-masing untuk ke depannya.

Mereka akan mempunyai kesibukan masing-masing sebagai dokter, maka dari itu untuk hari terakhir kebersamaan. Mereka semua memutuskan untuk mendaki gunung sebagai tempat tujuan liburan mereka.

Namun, siapa yang menduga kepergian mereka liburan menjadi malapetaka bagi mereka berempat termasuk kekasih dari Reno. Reno serta kedua sahabatnya yang bernama Rafi dan Alan ditambah Rasti yang menjadi kekasih dari Reno terancam menjadi korban dari keangkeran gunung yang akan mereka daki.

Berawal dari hari kelulusan, Reno, Rafi dan Alan para calon-calon dokter muda yang siap bertugas beberapa pekan yang akan datang. Mereka bertiga sedang berkumpul di halaman kampus tempat mereka menimba ilmu, saling bercengkerama dan bercanda ria bersama.

Rasti datang dan menyapa kekasihnya serta sahabat-sahabat Reno. "Hai, Sayang, selamat yah ...." Rasti merangkul Reno dan mencium pipi kiri dan kanan kekasihnya. "Selamat buat kalian juga," lanjutnya pada Rafi dan Alan.

Rasti adalah gadis cantik dan seksi, dia seorang kembang kampus dari jurusan bisnis. Siapa yang tidak tertarik padanya, tubuhnya yang indah membuat pria mana pun akan tergoda saat melihatnya.

"Acieee! Asik banget jadi lo, Ren." Rafi berkomentar saat sahabatnya tampak selalu mesra dengan kekasihnya. "Kayaknya kita butuh merayakan kelulusan kita nih, Bro," lanjutnya seraya merangkul pundak Alan, meminta pendapat pria berkacamata itu.

"Yo'i, Bro ... harus banget kita rayakan, kira-kira ke mana asiknya, nih?" tanya Alan melirik kepada kedua sahabatnya, Rafi dan Reno.

"Terserah lo berdua dah mau liburan ke mana, gue sama cewek gue ikut aja. Yakan, Sayang?" tanya Reno pada Rasti.

Rasti tersenyum seraya bergelayut manja di lengan kekar Reno. "Iya, Sayang," jawabnya.

"Gimana kalau kita hiking?" tanya Rafi minta pendapat. "Gunung Salak, gimana? Katanya puncak gunung itu sangat indah." Rafi terlihat bersemangat.

"Gila, lo! Lo nggak pernah dengar mitosnya, serem tahu!" sahut Alan yang seraya bergidik takut.

"Haha, masih percaya aja lo sama mitos? Lo tadi bilang itu mitos, ya berarti itu cerita bohong, itu cerita masyarakat yang membesar-besarkan halusinasi mereka sendiri," jelas Rafi yang tidak pernah percaya dengan hal takhayul seperti itu.

"Serah lo aja deh, Fi." Alan akhirnya tak mau berdebat dengan Rafi.

"Oke, jadi fix yah, kita besok hiking berempat, gimana Ren? Lo ajak deh tuh cewek lo biar asik." Rafi terkekeh.

Reno pun mengangguk. "Oke, siapa takut, besok kita kumpul di rumah gue."

"Oke, siap!" jawab keduanya, meski Alan tampak ragu-ragu dia tidak mau jadi bahan ejekan Rafi, jadi ia juga akan ikut hiking besok bersama kedua sahabatnya.

***

Esok hari, matahari begitu sangat cerah, Alan dan Rafi sudah sampai di rumah Reno. "Udah yuk berangkat!" ajak Reno seraya menggandeng pinggang Rasti di sampingnya.

"Bentar, lo berdua semalam nginep di sini?" tanya Alan seraya menunjuk ke arah Reno dan Rasti yang tampak tersenyum.

"Halah, lo kepo aja, Lan. Mereka mah udah biasa, gue tahu. Udah deh buruan entar keburu siang," ajak Rafi seraya menepuk pundak Alan.

"Iya, udah buruan pada naek deh lo pada, kita berangkat." Reno berjalan menuju mobil jeep-nya dan membukakan pintu untuk Rasti kemudian kedua temannya segera naik ke kursi belakang.

Mobil pun melaju dengan cepat, di sepanjang jalan mereka terlihat begitu bahagia, merencanakan berbagai kegiatan setelah nanti mereka berhasil sampai di puncak gunung Salak.

Hingga tak lama mobil jeep Reno sampai di sebuah desa di bawah kaki gunung tersebut, ia pun memarkirkan mobilnya di salah satu rumah warga. "Punten, Kang. Saya nitip mobil di sini yah, dan ini buat Akang, buat beli rokok." Reno mengepalkan beberapa lembar uang untuk sang pemilik rumah yang ia titipi mobil.

"Den, saya ingatkan, yah. Kalau kalian ada di gunung itu hati-hati, jangan sampai berkata kotor, jumawa atau melakukan perbuatan tidak baik di sana, berbahaya!" peringat laki-laki yang usianya sekitar 35 tahunan itu.

Reno dan kedua temannya saling pandang, tapi kemudian Reno mengangguk. "Siap, Kang. Terima kasih sudah mengingatkan," ucapnya seraya bersalaman dengan warga itu. "Kami permisi, Kang," pamit Reno.

"Ya, ya, hati-hati kalian, yah!" seru warga itu. Reno dan ketiga orang lainnya pun mulai mendekati ke dalam hutan, mulai menyusuri jalanan setapak yang biasa pendaki lain lewati, sudah ada tanda-tanda petunjuk arah dan juga tanda peringatan.

Reno berada di depan disusul Rasti dan ketiga Rafi, tentu yang di paling belakang ialah Alan. "Apaan sih si akang tadi segala meringatin kita kaya gitu, dia tuh cuma mau nakut-nakutin kita aja tahu nggak sih!" Rafi terdengar kesal tapi yang lebih kesal lagi Alan yang mendengar ocehan Rafi.

"Eh, Raf. Lo nggak boleh gitu, siapa tahu niat dia itu baik," timpal Alan.

"Baik apaan, bikin parno, iya!" sahut Rafi makin jengkel.

"Eh, woy, Lo pada bisa diam nggak? Ini kita ke mana lagi? Tidak ada petunjuk jalan lagi di depan," kesal Reno yang merasa bingung.

"Eh, seriusan? Ya kali kita nyasar?" sahut Alan yang mulai merinding, sambil melirik sekitar.

Mereka baru sadar kalau dari tadi langkah mereka seperti berputar-putar dan tidak ada titik temunya. "Sayang, kok aku takut, yah." Rasti memeluk lengan kekasihnya.

"Tenang, Ras. Kita berusaha cari jalan keluar," jawab Reno menenangkan. S

SSSHHHTTT!

Bayangan hitam berkelebat membuat semua orang terkejut. "Eh, buset apaan tuh, Bro!" Alan yang ada paling belakang langsung merangkul Rafi yang ada di depannya.

"Eh, wey, Lan. Lepas kagak! Nemplok-nemplok sama gue, bikin geli aja, lo!" kesal Rafi membuat Reno dan Rasti terkekeh.

"Ya elah, Raf ... gue terkejut tadi, masa nggak boleh pegang Elo," rajuk Alan.

"Ih, hih! Ogah!" timpal Rafi seraya mengkedikkan bahunya, merasa jijik dibuat-buat hingga terlihat Alan tampak memanyunkan bibirnya.

"Udah, udah, ayo kita jalan lagi, kayanya itu jalannya." Reno kembali berjalan ke depan dan menemukan jalan setapak yang tidak ada petunjuk rutenya. "Nah, ini ada jalan, tapi di sini tidak ada petunjuk rutenya, apa ini jalan lain menuju puncak?" tanya Reno.

"Mungkin, kita terus aja ke atas, Ren," timpal Rafi yakin.

"Oke, hati-hati, Sayang!" peringat Reno pada kekasihnya. Reno tidak pernah melepas tangan Rasti hingga cuaca mulai mendung dan suasana di dalam hutan itu mulai menggelap. "Gawat, sepertinya mau turun hujan, kita harus cari tempat untuk buat tenda," kata Reno.

"Iya, ayo cepat, Ren. Jangan sampai kita kehujanan!" timpal Rafi.

Keempat orang itu pun terus berjalan mencari tempat bagus untuk mendirikan tenda, tapi sejak tadi tidak juga menemukan tempat yang tepat, hingga Reno melihat cahaya di depan.

"Eh, lo pada lihat, nggak? Itu ada kaya cahaya lampu?" tunjuk Reno ke depan yang memang terlihat mulai gelap dan turun kabut, suhu dingin juga mulai terasa menusuk tulang mereka.

"Bener, Ren. Mungkin di depan juga ada pendaki lain, ayo buruan kita gabung," timpal Alan.

Semua orang mengangguk, Reno dengan hati-hati terus memandu jalan agar orang yang di belakangnya tidak salah langkah. Hingga keempatnya sampai di tempat yang datar, ternyata bukanlah cahaya lampu dari pendaki lain, melainkan itu adalah cahaya lampu minyak yang ada di rumah-rumah warga.

"Ada desa di sini?" tanya Reno merasa heran saat melihat rumah-rumah bambu yang tidak hanya satu, tapi sekitar ada belasan rumah di situ. Ketiga orang lainnya pun merasa bingung dengan kebenaran penglihatan mereka saat ini, di tengah kebingungan mereka dikejutkan dengan suara seseorang dari arah belakang.

"Kalian mau beristirahat?"

"Wey!" kejut Rafi dan Alan yang langsung loncat berbalik badan dan melihat sosok laki-laki berbaju batik dengan kopeah hitam di kepala dan tak lupa sarung diikat di pinggangnya.

Reno dan Rasti pun ikut berbalik badan melihat siapa orangnya yang mengagetkan mereka. "Kalian ini pendaki? Tersesat sampai sini?" tanya bapak paruh baya itu.

"Iya, tapi ... apa benar di sini ini desa?" tanya Reno ragu, seraya menunjuk bangunan-bangunan sederhana di belakang mereka.

"Ya seperti yang kalian lihat, kami penduduk yang sengaja pindah dan tinggal di sini untuk mencari ketenangan jiwa," sahut si Bapak tua itu.

Mendengar kalimat laki-laki tua itu, membuat Reno dan yang lain saling pandang. "Tapi, kalian manusia, kan?" tanya Alan dengan polosnya.

"Haha, ya tentu saja kami semua manusia, memang kalian kira saya ini yang ada di depan kalian ini, Demit?" tanya si Bapak seraya tertawa.

Alan menggaruk tengkuknya seraya terkekeh. "Ya kali, abis si Bapak tiba-tiba muncul, bikin kaget."

"Haha, dasar kalian ini." Si bapak menggeleng. "Ini, loh. Saya dari cari kayu bakar buat istri memasak." Reno dan yang lainnya pun melihat kayu bakar yang ada di bawah kaki bapak tua itu, lalu mereka mengangguk serempak. "Hari sudah mau gelap, sudah gerimis juga, apa kalian mau istirahat? Kebetulan ada rumah yang kosong di sini, memang khusus untuk para pendaki yang tersesat. Warga sini suka mengantarkan mereka kembali turun besok harinya," tawar si bapak tua.

"Gimana nih, Gais? Hari emang mau gelap, udah turun nih gerimis," tanya Reno meminta pendapat.

"Istirahat aja deh, Sayang. Aku udah kedinginan banget," sahut Rasti seraya mengeratkan jaket yang membalut tubuh sintalnya.

"Gimana, Raf, Lan?" tanya Reno meminta persetujuan kedua temannya juga.

"Ya, ya udah deh, kita istrirahat, percuma juga, kan? Meski kita jalan terus juga yang ada ngebahayain," sahut Rafi.

"Gimana, kita pergi? Hujannya mulai besar," ajak si Bapak.

"Ya udah ayo, Pak!" Reno ingin segera berteduh karena hujan mulai turun deras.

Mereka semua berlarian menuju satu rumah bambu yang katanya kosong. "Silahkan masuklah, ada dua kamar. Kalian bisa istirahat di sana," ucap si Bapak seraya menunjuk pintu-pintu ruangan yang tertutup.

"Oya, Pak terima kasih. Bapak namanya siapa, dari tadi kita bicara tapi kita tidak saling kenalan," kata Reno.

"Saya Wayan," jawabnya.

"Oh, kenalkan saya, Reno. Dan ini, Rafi, Alan dan ini Rasti," ucap Reno memperkenalkan semuanya.

"Ya sudah, saya pulang dulu, kasihan istri saya sendirian di rumah. Saya pamit dulu ya, permisi."

"Ya, Pak. Terima kasih," sahut Reno dan Wayan pun tampak berlari menembus hujan yang lebat.

Reno menutup pintu kayu rumah itu, dan menaruh barangnya di ruang tamu. "Ya udah sana kalian masuk kamar, biar gue di sini aja," titah Reno yang langsung rebahan di atas dipan santai.

Rasti tampak masuk ke dalam kamar depan dan kedua temannya masuk ke dalam kamar lainnya.

avataravatar
Next chapter