1 Cinta Pertama Serell

Sebenarnya di minggu kedua setelah masuk sekolah, Serell masih enggan untuk berangkat. Masih seperti minggu lalu, dia berlama-lama di kamar mandi, sengaja menunggu Mama mengomel padanya.

Belum lagi waktu sarapan, dia selalu mengutak-atik nasinya. Membolak-balik lauknya, mencampur aduk sayurnya, hingga sajian di piringnya berbentuk yang tak lagi menggiurkan. Lagi-lagi memancing omelan sang Mama.

Hampir lima belas tahun, Serell menjadi anak yang dimanja. Mama dan Papanya nyaris memenuhi apapun keinginan si anak gadis. Seharusnya Serell bahagia, tapi rasanya tidak seperti itu yang nampak.

Dia bosan dengan semua sikap manis orang tuanya. Barang-barang miliknya yang di dapat dengan mudah, membuatnya jadi cepat bosan. Dia tak lagi bersemangat dengan semua tawaran kedua orang tuanya -apapun yang dia inginkan selalu dia peroleh dengan mudah.

Serell sudah memiliki segalanya. Baju bagus, jaket sesuai warna favoritnya, sepatu untuk segala acara, aksesoris perempuan mulai gelang monel, cincin, anting, kalung, topi hingga poster dan album band kesukaannya sudah dia miliki semuanya.

Dia merasa hampa diantara kemewahan yang ia peroleh. Dia sendirian. Sang Mama selalu sibuk dengan urusan komunitas sosialitanya. Sedangnya Papa, jarang ada waktu di rumah, meski sekedar duduk berbincang dengan putrinya. Papa dan pekerjaannya adalah dua hal yang sulit terpisahkan.

Serell kesepian, dia butuh teman bicara.

Setiap saat, dia hanya mampu memandang sebuah gambar usang, yang ia temukan di dalam jilidan album masa kecilnya. Selembar foto yang indah namun tak pernah membuat Serell tersenyum. Gurat bayangan kesedihan selalu melintas dan sukses membuatnya ketakutan.

Serell hanya mampu menitikkan air mata dalam diam. Merindukan sosok mungil yang berdiri memeluk bahunya dalam foto tersebut. Senyumnya merekah dengan hembusan angin yang membuat rambut lurusnya tersibak berantakan.

Tidak benar-benar mungil, tapi memang posturnya nyaris sama dengan Serell meski usia keduanya selisih empat tahun. Dialah Morish, kakak perempuan Serell.

○○○

Kebersamaan mereka tidak lama, hanya dua tahun. Saat itu Serell belum terlalu lancar berjalan, Morish yang selalu bersemangat berdiri di depan adiknya, bertepuk tangan berusaha untuk menarik perhatian. Dengan begitu biasanya Serell akan kembali bangkit dan berjalan tertatih menghampiri Morish.

Semangat Morish selalu menular pada Serell. Keduanya menjadi anak yang periang, jarang menangis, dan murah senyum pada semua orang.

Sayangnya saat Serell kecil, pekerjaan sang Papa mengalami resesi sehingga perekonomian keluarga mereka anjlok. Mama seorang ibu rumah tangga kala itu terpaksa banting tulang membantu Papa berjualan makanan demi kebutuhan sehari-hari.

Morish terpaksa ikut sang Paman ke George Town. Orang tuanya sangat kesulitan menanggung hidup dua anak karena Papanya tak lagi bekerja. Disana, Morish diasuh jauh dari adik perempuannya.

Serell tak pernah tahu bahwa siang itu adalah hari terakhir Morish bertepuk tangan di depannya. Jalannya sudah berubah jadi lari. Dia pun mulai bisa melompat rendah.

Karena terlalu lelah, Serell tidur malam lebih awal. Namun paginya, tak ada lagi Morish. Serell berlari pelan mencari Morish ke seluruh ruangan rumah. Nihil.

Serell kabur ke rumah tetangga, berteriak memanggil nama sang kakak dengan pengucapannya yang belum sempurna, "Ocii.. Ocii.. maaiinn.."

"Mama.. Oci mana?" tanya Serell saat disuapi makan pagi.

"Oh, Oci pergi, sayang.. tunggu nanti dia pasti kembali," jawab Mamanya menenangkan Serell.

Serell tak tahu apa itu menangis. Morish yang mengajarinya untuk selalu tangguh -terlebih ketika terantuk batu atau pelipisnya terbentur ujung meja. Saat kehilangan Morish pun, dia hanya optimis bahwa Morish akan lekas pulang. Dia tak perlu menangisi ketidakhadiran kakaknya karena dia yakin, pasti kakaknya akan selalu senang dimana pun ia berada.

Tahun berganti, Serell memiliki dunia baru dengan teman-teman sekolahnya. Semangatnya menunggu Morish datang tak pernah surut. Meski bertahun lampau dia tak lagi bertemu, tapi dia masih sangat ingat tawa Morish yang renyah dan menular. Keceriaan Morish membuat dia semangat menjalani hari dengan optimis.

○○○

"Hai, perkenalkan! Namaku ... Serell. Hobiku menggambar ... tapi tidak mewarnai. Cita-citaku ingin menjadi dokter. Warna favoritku oranye. Sekian perkenalan dariku, terima kasih."

Ibu Guru mengangguk seraya tersenyum lalu mempersilahkan Serell kembali duduk. Siswa berikutnya dipersilahkan memperkenalkan diri hingga tak ada lagi yang tersisa.

Jam istirahat sekolah, Serell seringkali menghabiskan waktunya duduk sendiri di bangku kelas menikmati beberapa lapis roti keju yang disiapkan Mamanya. Dia letakkan foto Morish di sisi kanannya, seolah itu adalah tempat duduk sang kakak untuk menemaninya makan siang.

"Ser, gak main di luar?" sontak Tasya menepuk punggungnya lalu meringsek duduk di kursi sebelah kanan Serell.

Tentu saja Serell melotot kaget. Di kursi itu ada 'sang kakak' yang sedang berbincang dengan dirinya.

"Heh, minggir! Gak sopan kamu!" Serell mendorong tubuh Tasya menjauh.

Tasya nyaris jatuh terjerembap ke samping. Beruntung tangannya refleks menahan laju tubuhnya sehingga tidak membentur meja di sisi kanannya.

"Kamu apaan sih, Ser ... main dorong sembarangan!"

"Kamu tuh apaan! Ada Morish di situ. Gak sopan!"

"Ha? Morish? Siapa Morish?"

Tasya menoleh ke kanan dan kiri, tak ada orang lain di kelas selain mereka berdua. Kemudian Tasya kembali mengulangi duduknya di tempat yang sama, di sebelah kanan Serell. Sekali lagi Serell mendorongnya menjauh.

"Jangan di sini! Ada Morish, aku bilang!"

"Morish itu siapa? Morish itu apa?"

Kali ini Tasya berdiri terhenyak, dia sedikit sebal dengan sikap Serell yang mengusirnya tanpa alasan yang jelas.

"Morish itu kakakku ... dan kamu mendudukinya."

Tasya terkejut mendapati pernyataan Serell. "Apa kamu bilang?"

"Morish itu kakakku ... dan kamu ... duduk di tempat duduknya."

Serell dengan lugas menjelaskan pada Tasya, tangannya menunjuk mengarah pada kursi kosong tersebut.

"Kamu ngigau, Ser? Di kelas ini cuma ada kita berdua!"

"Enggak, aku dari tadi duduk dengan kakakku, Morish. Dia di sini menemaniku makan siang. Dan kamu tiba-tiba datang merebut tempatnya."

Tasya tersenyum tak percaya, disangkanya Serell sudah tak waras. Dia menggeleng, membantah Serell hingga tatapan matanya tertuju pada sebuah foto berukuran postcard. Foto usang yang warnanya sedikit pudar.

"Ini ... Morish?" dengan cepat Tasya mengambil foto itu dari tempatnya diletakkan oleh Serell.

"Huum.. itu kakakku. Cantik kan?" Serell sudah melunak, dia menggigit kembali rotinya.

"Ha! Dasar Serell gak waras!" gertak Tasya lalu membanting foto itu ke lantai. Dia berlari keluar kelas, tak ingin terlibat percakapan apapun lagi dengan Serell.

Dua minggu masuk sekolah, Serell baru berkenalan dengan Tasya. Dia tak mudah akrab dengan orang baru. Beda halnya dengan Tasya yang supel. Itu sebabnya Serell belum memiliki teman untuk melupakan perihal kerinduannya pada sang kakak.

"Kak.. bentar lagi bel masuk, kamu terpaksa aku umpetin dalam tas lagi ya. Nanti kita ngobrol lagi kalo Serell sudah pulang."

Tasya hanya mampu berbisik pada temannya yang lain, menatap curiga pada Serell yang berbicara sendiri.

***

avataravatar
Next chapter