webnovel

Telur Hitam (2)

Mata indah nan tajam berkedip berkali-kali. Anan Tian sedang memandangi telur hitam di atas meja dari dekat. Telur itu lebih besar dari kepalanya! Anak itu sangat semangat saat memperhatikan ukiran kecil aneh pada cangkang telur. Dia merasa ukiran itu agak mirip dengan rune kuno yang muncul di tubuhnya saat dia memanggil Gerbang Valhala.

Sekarang dia sendirian. Senior Duannya sudah kembali. Dia sebenarnya ingin tidur setelah membersihkan tubuhnya, namun telur hitam besar ini menarik minatnya. Dia sudah menatap telur itu selama beberapa jam, sekarang sudah hampir fajar dan dia belum tidur sama sekali. Dia ingin tidur namun telur ini terlalu menarik untuk dilihat.

"Aku harus tidur sekarang atau wajahku akan sembab." pikirnya. Walaupun dia sudah memikirkan hal itu berkali-kali, dia masih belum beranjak ke tempat tidur. Dia malah menempelkan pipinya pada meja. Hal itu membuat pandangannya ke arah telur agak miring.

Setelah beberapa saat, kelopak matanya tertutup. Dia tertidur sambil duduk dengan kepala di atas meja. Ini jelas bukan posisi tidur yang benar. Cahaya matahari perlahan muncul di ufuk timur. Anak itu tidak tidur semalaman.

Sinar hangat mentari bersinar terang saat benda langit itu menggantung tinggi di angkasa. Sudah tengah hari, cahaya terik itu memasuki rumah melalui jendela yang terbuka. Saat cahaya mengenai wajah kekanakan yang terlelap, ia memancarkan kehangatan. Hari ini cerah, sangat cerah.

Hoammm...

Anan Tian terbangun. Matanya hanya terbuka satu karena silau, wajahnya nampak lesu. Dia bangkit dan meregangkan tubuhnya. Pegal, punggungnya sedikit kaku. Tangannya menggaruk leher dan daun telinganya dengan asal. Daun telinga tipis itu kemerahan, dia menguap sekali lagi sambil melirik telur yang masih ada di meja. Dia benar-benar tampak seperti kucing malas. Kucing dan bukan anjing.

Berjalan lesu, dia mendekati bejana besar dari perunggu. Ada air yang berkilauan di dalamnya. Air itu jernih dan memancarkan aroma yang lembut. Dia mencampus ekstrak bunga ke dalam air, itulah alasan aroma wangi yang samar tercium. Menggunakan air itu, dia membasuh wajahnya. Segar! Wajah lesunya memudar perlahan.

"Eh?"

Raut wajah itu berubah. Dia melihat ukiran keemasan aneh pada telur sangat berkilau saat terkena cahaya matahari. Dia mendekat dan melihat cahaya itu bukan hanya berasal dari matahari namun dari telur! Telur itu bercahaya di bawah matahari. Anan Tian mengangkat telur itu dan memindahkannya ke sudut ruangan yang tidak terkena cahaya matahari. Anehnya, telur itu berhenti bersinar.

"Telur ini...." alisnya bertaut saat pikirannya berputar. Hanya ada satu kata. Heran. Da bingung apa yang terjadi. Jadi dia membawa telur itu di bawah cahaya matahari dan ternyata telur hitam itu kembali memancarkan cahaya.

"Aku akan bertanya pada Guru Besar." Dia segera menutupi seluruh permukaan telur dengan kain keemasan yang sebelumnya hanya membungkus telur seperti bayi. Langkah kecilnya menyapu awan yang ada di bawah kakinya. Dia berjalan memutar karena tempat Guru Besar ada di sisi lain gunung.

Awan berarak lembut seperti biasanya. Saat ini Guru Besar Long sedang duduk di atas batu besar bersama seorang pria tua beruban. Wajah keduanya tampak sangat serius saat menatap papan catur di antara mereka. Keduanya fokus hingga tidak menyadari kedatangan anak kecil.

"Oi, Pak Tua!" suara nyaring kekanakan memecah konsentrasi keduanya. Guru Besar Long menatap tajam ke arah anak yang berseru, Anan Tian. Sedangkan pria tua beruban itu nampak kurang senang dengan Anan Tian.

"Dari mana datangnya anak kurang ajar ini!?" bentaknya dengan dingin. Dia menguapkan auranya yang menekan. Tubuh mungin Anan Tian bergetar namun dia tidak terjatuh. Dia berusaha berdiri tegap dengan tangan memeluk telur yang diselimuti kain.

"Jangan berlebihan, dia murid gunungku ini." ujar Guru Besar Long sambil membubarkan aura menekan yang berasal dari orang tua beruban. Anan Tian menatap sengit wajah pria tua itu. Dia merasa pernah melihat wajah jahat itu entah dimana. Dia tampak familiar, dia yakin pernah melihatnya di suatu tempat.

"Hmph!"

"Pak tua, awalnya aku ingin menanyakan sesuatu tapi biarlah. Lain kali saja." Anan Tian menunjukkan ketidaksenangannya. Wajahnya merengut saat membuang muka sebelum pergi dengan kaki menghentak penuh kesombongan. Niatnya untuk menanyakan tentang telur miliknya menghilang. Suasana hatinya berubah, dia tidak menyukai pria tua beruban itu entah mengapa. Dia memilih untuk menuruni gunung dan mencari keberadaan seniornya.

Next chapter