5 Kuil Kesepian

'Kuil kesepian' begitulah orang-orang menyebutnya, kuil tersebut merupakan satu-satunya kuil yang berdiri di tengah danau purba. Danau purba itu bernama Danau Urian sebab posisinya yang berada diatas puncak pegunungan urian. Konon kuil ini adalah sisa-sisa dari peradaban lampau yang sudah ditinggalkan namun masih berdiri kokoh hingga kini. Tidak banyak informasi yang dapat diketahui. Penjelajah yang nekat pergi semuanya tidak pernah kembali. Guna mencari informasi arah menuju kuil kesepian, aku putuskan berkunjung ke desa terdekat, Desa Sicca.

Sebagai salah satu desa jalur perdagangan, aktivitas sicca memang terbilang cukup sibuk. Hal ini terlihat dari banyaknya kereta kuda pedagang keluar masuk desa. Untuk memasuki Sicca setiap orang wajib melapor dipos pemeriksaan. Aku memasuki antrian barisan pemeriksaan pintu masuk utama. Pemeriksaan seperti ini lazim dilaksanakan pada desa-desa benua Eaiis. Ya terkecuali untuk desa buangan. Mereka hanya akan menanyakan status kepemilikan beberapa barang khusus dan kepemilikan bagi bawaan yang berlebih. Tidak lebih. Kebebasan dijunjung tinggi tanpa mengesampingkan keamanan. Syukurlah aku mampu bermain kata saat ditanya tadi terkait kepemilikan armblade.

Sicca memang tidak seindah ibu kota kerajaan Eaiis, tapi setidaknya kehidupan normal kau akan temui disini. Suguhan pemandangan rentetan toko-toko pedagang hingga hilir mudik penduduk jadi pemanis.

"Oiii Vea…!" teriak seseorang dari kejauhan sembari melambaikan tangannya, ia belari mendekat "Mampir juga kamu rupanya, sedang berbelanja?" katanya dengan nafas tersengal-sengal. Rupanya

"Kyra?", balas ku singkat.

"Syukurlah kau mampir juga. Ayo ikut aku ke rumah!" ia merangkul pundak ku layaknya teman akrab dan memaksa untuk mengikutinya.

"Sebentar sebentar, aku baru saja datang" jawab ku segan

"Ah tidak usah malu-malu. Ayo!"

Kyra membujuk untuk bertamu ke rumahnya. Menuju perjalanan kesana Kyra nampak antusias memperkenalkan tiap sudut desa. Entah itu kolam air mancur yang terkenal karena mampu mengabulkan permohonan hingga gang-gang desa tempat ia dan adiknya bermain.

"Taraa... ini dia toko sekaligus rumah sederhana kami", Kyra yang kini tengah membanggakan sebuah toko sederhana dipinggiran jalan desa. "Kami menjual berbagai macam barang asli buatan tangan dan barang-barang antik. Coba saja lihat-lihat dahulu. Siapa tahu kau tertarik hehe.".

Banyak dari barang dagangannya yang baru kali ini aku lihat. Maklum saja selama ini aku hanya bergelut dengan hasil alam. Barang hasil kerajinan tangan yang dipajang memang memiliki kualitas bagus.

"Itu kerajinan tangan juga?", tanya ku menunjuk barang berbentuk boneka kecil tergantung di pojok belakang toko sebesar ibu jari yang tampak aneh. Berperawakan seperti manusia berambut panjang dengan tangan menyilang berkuku dan bertaring panjang. "apa itu?"

"Ahhh itu ya, itu boneka jenglot. Sayang sekali ini tidak dijual. Pertama kali melihatnya?" Jawabnya dengan nada santai.

"Boneka menyeramkan kenapa harus disimpan. Kau yang membuatnya?"

"Ahahaha tentu saja tidak, tapi ada sebagian yang aku buat sendiri seperti guci tanah liat ini, topi anyaman, keranjang penyimpanan. Sebagian yang lain kita dapat dari pengrajin lainnya. Jenglot ini aku dapat dari peramal tua yang singgah secara cuma-cuma. Unik bukan. Ngomong-ngomong apa yang membawamu ke Sicca?"

"Sebenarnya aku kesini untuk mencari informasi akses masuk menuju Danau Urian. Kau tahu?" aku mulai bertanya.

"Danau Urian ya? Hmm... " Kyra mengerutkan dahi mencoba mengingat-ingat. "Aku tidak tahu, tapi mungkin saja kakek tahu. Tunggu disini sebentar aku panggilkan" jawab ia yang langsung masuk ke dalam rumah.

Tak butuh waktu lama kyra kembali bersama kakek nya. Meski sudah berumur, perawakannya terlihat bugar. Tatapan matanya yang kuat tanda kehebatan jiwa mudanya dimasa lalu.

"Ada keperluan apa anak muda?" tanya sang kakek memulai percakapan.

"Maaf sebelumnya mengganggu, begini kek, jika tidak keberatan aku butuh informasi terkait akses menuju danau urian. Apakah kakek mengetahuinya?"

"Pegunungan dan danau urian adalah wilayah yang ditinggalkan. Wilayah yang berbahaya. Tidak ada hal yang menarik disana. Kenapa kau ingin ke sana?" tanya balik sang kakek penasaran.

"Ah soal itu, ah-aku sebetulnya seorang pemburu barang langka kek. Iya betul. Aku mendengar kabar bahwa disana ada artefak bernilai tinggi hehe" aku yang berusaha berbohong. Tidak mungkin mengatakan aku kesana untuk beburu siluman, yang ada nanti malah dianggap sakit jiwa.

"Hmm benarkah? Pergi ke sana layaknya menggadaikan nyawa, terlebih barang artefak belum jelas keberadaannya. Takhayul. Anak zaman sekarang sulit berpikir realistis" keluh sang kakek sembari menarik nafas panjang.

"Pokoknya aku perlu kesana kek. Sulit dijelaskan tapi ini penting."

Kakek terdiam sejenak, ia kini mengambil posisi duduk sembari menengadahkan pandangannya mencoba mengenang sebuah cerita.

"Dahulu saat peta awal masih aktif seharusnya urian bisa diakses melalui jalur selatan dari sicca. Tapi aku tak yakin jika jalur tersebut masih terlihat. Rimbun hutan pepohonan pasti telah menutupinya. Ya wajar saja sebab sudah lama tidak ada yang bepergian kesana. Pegunungan urian terlihat dari kejauhan karena dikelilingi oleh pohon putih. Disebut pohon putih karena seluruh daunnya berwarna putih. Bagi ahli tanaman herbal, daun putih diyakini mampu mengobati luka dalam. Aku pun dahulu pernah mencoba berpergian kesana hanya untuk sekedar melihat pohon putih dari dekat. Perjuangan untuk melihat daun itu saja sangat sulit. Hutan yang belum terjamah, hewan buas dimana-mana, suara-suara aneh. Diperlukan fisik dan mental yang kuat. Aku pernah kesana satu kali. Di dalam rimbun hutan lebat terdapat aliran sungai jernih dan cukup lebar. Beberapa penjelajah berkata hulu sungai tersebut berasal dari danau puncak gunung. Aku sendiri belum pernah menyusuri hingga hulu sungai tersebut"

"Artinya aku hanya perlu menyusuri sungai itu untuk mencapai danau dipuncak?"

"Meski demikian jangan kau anggap remeh!. Area yang tidak terjamah manusia memiliki ancaman tersendiri selain dari apa yang tadi aku sebutkan. Terlebih lagi terkait orang yang berani memasuki danau tersebut maka ia tidak akan pernah kembali bukan rumor isapan jempol belaka, pasti ada sesuatu yang berbahaya disana. Aku tanyakan sekali lagi, masih tetap ingin pergi kesana?" sang kakek tampaknya mencoba mengurungkan niat ku sebab kekhawatirannya. Sungguh ia orang yang baik.

"Tentu saja" jawab ku meyakinkan. Kedua mata kami saling menatap tajam, meneguhkan pikiran, menunjukan ketidakraguan.

"Yasudah, aku tidak bisa apa-apa jika engkau telah membulatkan tekad. Hari mulai gelap, bermalamlah saja disini. Aku akan meggambarkan peta sederhana untukmu" tawar sang kakek dengan gelak tawa yang khas memecah obrolan serius sebelumnya.

"Iya bermalamlah disini" timpal kyra sependapat.

"Terimakasih banyak, maaf merepotkan"

Bersantai sejenak, berbincang dengan orang baru menjadi obat cedera mental selama beberapa waktu lalu. Kami menghabiskan malam dengan obrolan menarik terutama cerita tentang petualangan kakek kala ia muda dahulu. Kyra dan adiknya Danan pun tak mau kalah berbagi cerita. Bintang-bintang yang terang malam ini menjadi saksi langkah kaki pertama perjalanan. Setiap kali aku melempar lamunan ke langit sana masih sering terlintas dalam benak pertanyaan-pertanyaan bagaimana aku sekarang bisa menjalani hidup?. Semoga semua ini berakhir dengan baik.

Fajar menyingsing, hari telah berganti. Aku berkemas bersiap melanjutkan perjalanan. Sedari awal memang aku tidak memiliki banyak barang bawaan, namun pagi ini kyra dan keluarganya membekali ku beberapa perlengkapan ganti dan bekal makanan.

"Suatu saat nanti akan aku balas kebaikan kalian" ucap ku

"Kembalilah dengan selamat. Jika memang disana ada benda bagus, bawahlah sebagai oleh-oleh hahaha" balas kyra. Senyum polos selalu jadi ciri khas.

"Semoga barang yang dicari ditemukan kak" tambah danan.

"Waspada selalu anak muda. Berjuanglah untuk tetap hidup." ucap kakek.

Berbekal peta aku pun bergegas berangkat menuju selatan sesuai arahan. Gunung urian memiliki ciri unik, jadi seharusnya ini akan cepat. atau mungkin tidak secepat yang aku kira?

(Perjalanan Menuju Urian)

Sudah lima hari lamanya sejak aku meninggalkan sicca. Gunung putih memang nampak terlihat dari kejauhan, tapi tidak pernah terasa dekat. Aku menerobos keluar masuk hutan berharap dapat memotong waktu perjalanan. Guna bertahan hidup aku berburu dan meramu, mengumpulkan bahan makanan apa saja yang di dapat dari hutan. Beruntunglah aku paham terkait tumbuhan yang mana saja yang dapat dimakan. Sesekali berburu hewan buruan hingga memancing disungai. Tidur beratapkan langit, membuat semacam bivak dari akar pepohonan rambat, kadang pula hanya sekedar bersandar di atas pohon pada batang yang lebar.

"Gila, sejauh mana urian ini?" sesekali aku memanjat pohon tinggi untuk memastikan arah. "Akhirnya tiba juga!".

Setibanya di kaki gunung kau akan dapati atmosfir, pijakan tanah, tatapan hewan, dan semua perasaan alam disini terasa jelas berbeda dengan hutan-hutan sebelumnya. Kalau boleh aku gambarkan dengan satu kata maka kata itu adalah senyap. Bahkan cahaya sekali pun sulit memasuki celah rimbun dedaunan. Bulu kuduk merinding setiap kali hembusan angin berlari diantara lorong pepohonan, menimbulkan suara jeritan. Semua panca indera terpaksa disiagakan, aku bergegas mencari suara arus sungai yang menjadi petunjuk utama mendaki puncak gunung.

Semakin mendaki, semua suara lambat menghilang. Suara hutan tidak dapat lagi didengar. Keberadaaan sungai telah aku temukan. Udara semakin menipis. kabut semakin tebal, pijakan tanah tidak lagi seimbang karena basah, pandangan ku mulai terbatas. Gelap nya sekitar hingga aku tidak tahu apakah ini sudah malam atau belum.

Didepan sana terdapat cahaya yang cukup terang. Cahaya nya mampu menembus tebal nya kabut. Aku menyusuri jalan dengan hati-hati, khawatir terpleset menuju jurang kiri dan kanan. Sedikit demi sedikit.

Tidak dapat dipercaya, ternyata cahaya ini berasal dari pohon putih. Hari sudah malam, cahaya bulan memantul diantara dedaunan pohon putih. Pohon putih sepertinya merupakan pohon purba yang termutasi. Semua pohon disini sudah berumur sangat tua. Akar papan nya begitu tinggi dan menjalar kesegala arah. Diameter batangnya tiga kali orang dewasa. Tanah sekitar pepohonan tertutupi oleh guguran daun. Warna putihnya enggan memudar sehingga tanah dalam kawasan terlihat berwarna sama. Tanah putih. Aku memungut beberapa helai daun putih kedalam kantung. "Siapa tau ini nanti berguna".

Diujung jalan mendaki pada penghujung kawasan pohon putih tersingkaplah sebuah danau indah lebar berwarna biru tua nan bersih layaknya batu sapphire. Cahaya bulan purnama malam ini terserap oleh danau sehingga semua terlihat jelas disana. Ditengah danau berdiri satu-satunya bangunan. "Jadi itukah kuil kesepian". Percis sesuai namanya, kuil yang kesepian.

Jembatan kayu tua yang mengapung disana sepertinya menjadi satu-satunya penghubung. Aku putuskan untuk beristirahat di puncak batas danau sembari mengamati dari kejauhan. Pikirku rencana eksekusi akan aku lakukan esok pagi akan tetapi sedari tadi bising suara gemuruh jelas terdengar meski dari kejauhan.

Aku menuruni lereng, mengendap-endap menyebrangi danau. Ah syukurlah jembatan kayu tua ini masih dapat dipijak, karena jika tidak pasti ada bahaya yang lain lagi, yaitu tenggelam. Tenggelam di danau yang dasarnya saja tidak terlihat adalah akhir hidup pahlawan yang benar-benar konyol.

Kuil kesepian dikelilingi tembok ukiran dan pahatan, layaknya berusaha menyampaikan kisah dirinya kepada siapapun yang mencoba memasuki bangunan. Bangunan ini lebih tepat disebut candi dari pada kuil karena atap bangunan yang berbentuk stupa dan banyaknya patung-patung terpajang diantaranya. Aku mengelilingi tembok, melihat gambar yang terlukis satu-persatu, merasakan setiap goresan. Entah apa yang dicoba untuk diungkap. Ada gambar manusia yang terpenggal, menyembah, ada pula gambar semacam monster, hewan tak jelas rupanya. Beberapa sisi lain terdapat tulisan kuno, peringatan? peristiwa besar?. Entahlah.

Mengandalkan penerangan bulan, aku mengendap memasuki kuil. Kini suara-suara itu lebih jelas terdengar. Aku berada disebuah ruangan penuh patung-patung manusia berkepala hewan marak berjejer dipinggiran ruangan, semuanya dalam kondisi baik. Semua kepala patung tersebut mengarah ke ujung ruangan menujukan tangga untuk turun ke lantai dibawahnya.

Jika ini pertarungan pertama ku, maka semua yang aku rasakan sekarang adalah rasa takut. Keringat dingin tak terbendung sedari tadi memasuki ruangan. Suara detak jantung rasanya memantul diantara dinding-dinding berlumut ini. "apa yang harus aku lakukan? rein berkata tidak perlu khawatir sebab armblade memberikan kekuatan spontan pada pemiliknya, tapi tetap saja ini adalah uji coba pertama"

Aku melihat pergerakan, bayangan langkah kaki, gemuruh, hembusan nafas?. Dititik anak tangga terakhir, armblade aku singkapkan bersiap melawan. Siluman seperti apa yang aku akan lawan?

"Armblade buktikan bahwa keajaiban bertarung mu benar adanya sebab jika tidak aku akan mati dalam sekejap, jujur saja aku tak memiliki pengalaman bertarung. Ok baiklah mari kita berburu!" ucap ku dalam hati sambil mengambil nafas dalam-dalam.

Banyak pasang mata merah menyala sekarang memandangi. Suara hembusan nafas semakin menjadi jadi. "Oaarghhh!!!" teriakan musuh saling menyaut satu per satu. Penerangan seadanya samar-samar kudapati siluman tersebut berbentuk manusia berkepala dan berkaki kuda. "Siluman kuda?".

Tanpa basa basi mereka berlari menuju ke arah ku, melancarkan pukulan demi pukulan. Pukulan kerasnya bukan main, memukul tembok saja mampu mereka buat hancur. Aku berusaha mengelak terus menerus. Badan ku rasanya lebih luwes, aku merasakan kekuatan armblade mengisi tubuh tetapi belum bisa aku kendalikan seutuhnya, masih saja gagap dalam bertindak. Beberapa pukulan sempat hampir mengenai tubuh ini, goresan darah tidak dapat dihindarkan "menarik sekali" kata ku tersenyum kecil.

"Dengan nama kematian, wahai senjata terkutuk tunjukan padaku kekuatan mu!", teriak ku mengambil kuda-kuda melancarkan serangan balasan. Lumayan sulit untuk menyeimbangkan serangan dan bertahan secara bergantian. Meski demikian aku mencoba berpikir langkah yang lebih efisien dalam membunuh. Terlintas pikiran bagaimana jika aku memotong kedua tangan mereka satu-persatu, dengan demikian aku tidak perlu repot. Tanpa tangan, mereka akan kesulitan meluncurkan serangan.

Pukulan siluman kuda aku balas menghindar ke samping lalu mengayunkan armblade dengan kuat memotong tangannya. Darah kotor yang menyembur tidak menghentikan aku untuk terus memotong, memotong, dan memotong. Aku berlari meluncur licin diatas lantai berlumur darah memotong setiap kaki-kaki mereka. Jadilah siluman kuda tanpa kaki dan tangan dalam sekejap. Semakin lama semakin aku nikmati?. Badan bermandikan darah, nafas tersengal-sengal, tersenyum kecil tanda kesenangan. Rongrongan kesakitan mereka ibarat bumbu menarik ditelinga. Pada momen ini aku tersadar, membunuh siluman adalah hal yang menyenangkan. Pada momen ini aku bukan lagi manusia?. Tak juga berhenti sekedar memotong tangan dan kaki, ujung bilah armblade ditancapkan ke dalam tenggorokannya. Mereka bisa saja mati kehabisan mati, kebengisan apa ini. "aahhh… sayang sekali sudah usai hahahaha". Aku tertawa puas.

"perasaan menyenangkan apa ini?" aku meraih dada, detak jantung yang begitu cepat, otot setiap tubuh tegang, tapi semua ini terasa nikmat. Sambil berjalan pelan ku temukan keberadaan penjara berisi manusia yang ditawan. Tahanan penculikan manusia?. Kondisi mereka sangat parah. Bekas gigitan dan siksaan disekujur tubuhnya. Mati enggan hidup tak bisa. Banyak dari mereka yang mati membusuk dibiarkan begitu saja, sedikit sisanya terbaring tak berdaya. Badan mereka tidak lagi utuh, para siluman rupanya memakan mereka bagian demi bagian. Mungkin bagi siluman suara kesakitan manusia adalah bumbu kenikmatan dalam bersantap. Jeruji makanan mereka pikir?. Siluman ternyata memakan manusia?. Dengan terbata-bata mereka berkata, "Bunuh kami, bunuh kami bunuh kami". Bukan lagi meminta pertolongan, atau bisa jadi membunuh adalah pertolongan yang mereka mau.

"Jika itu yang kalian inginkan, akan aku kabulkan", jeruji besi yang selama ini memenjarakan mereka terpotong dengan mudahnya, lalu dengan tangan ini aku bunuh semua tawanan yang masih hidup disana. Mengakhiri penderitaan mereka lebih cepat dapat diterima dibanding membawanya ke desa terdekat yang tetap akan mati juga di perjalanan, selain itu terdapat risiko besar pula membawa penyakit. Apa yang aku lakukan telah benar?. Tak ingin berlama-lama, aku bergegas menuju ruangan bawah selanjutnya.

Penunggu kuil sebenarnya telah menunggu sembari menyeringai merendahkan, "Santapan spesial ku telah datang! Hahahaha". Siluman buas kuda bertubuh besar, bertanduk kerbau, setengah badannya berwujud ular. Ruangan terakhir tidak seperti ruangan sebelumnya. Ruangan ini berbetuk lingkaran dengan tangga melingkar di kedua sisi. Terdapat pula pilar-pilar dengan patung kepala kerbau dipuncaknya menghiasi sekeliling. Bau busuk, bekas aliran darah, dan tulang belulang manusia yang berserak dilantai sana menandakan banyaknya korban yang telah ia bunuh, yang telah ia makan.

"Engkau kah penunggu sebenarnya disini?" kata ku sambil mengacungkan armblade ke arahnya.

"Hoo… kau tidak takut kepadaku manusia? Aku Sanca, salah-satu dari siluman buas. Siapakah dirimu yang berani melawanku manusia?" jawabnya dengan nada sombong diiringi semburan nafas kuda.

"Aku adalah kematian bagimu. Sanca!, ajal mu akan aku jemput sekarang juga. Aku akan mengambil jantungmu!", secepat kilat aku berlari ke arahnya, melompat tinggi, memanfaatkan dinding-dinding dan pilar kuil sebagai tolakan mencoba menebas langsung ke arah kepalanya.

"Omong kosong!" tak mau kalah, sanca menghalau tebasan armblade dengan tanduknya. Benturan keduanya menghasilkan suara gema ke seisi ruangan, tanduk sanca sangat keras. Aku terdorong kebelakang. Sanca menghunuskan tanduknya, aku menghindar, berlari dan melompat kembali berharap ada perbedaan pada tebasan yang kedua, namun sekali lagi sanca menghalaunya.

Sanca mulai beringas melesatkan kibasan ekor ularnya, mengayunkan kesana kemari. Aku menyilangkan kedua bilah armblade didepan dada membentuk silang untuk bertahan sebisa mungkin. Serangannya yang bertubi-tubi membuat tubuh ini terhempas hingga menyentuh dinding, ekornya masih juga belum berhenti mengayun. Aku cukup tersudutkan, mulut mengeluarkan darah, sekujur tubuh kaku menjadi sulit digerakan.

Sanca berhenti mengayunkan ekornya, "Dasar manusia lemah. Beraninya kau mengganggu tempat persembunyianku. Justru nasib mu yang akan berakhir hahahahaha" kilah sanca bernada sombong dan gelak tawanya yang benar-benar aku benci.

"Arghhh…" ucap ku menahan sakit. "Tenang saja, kesenangan ini baru saja dimulai".

Armblade memunculkan aura ungu kegelapan menyelimuti tubuh. "Aku merasakanya. Kekuatan dan haus darah".

Sanca mengeluarkan semburan air bertekanan tinggi dari dalam mulutnya. Kibasan ekornya mulai kembali ia arahkan. Pilar-pilar sekitar runtuh. Aku berhasil menghindar, mengelak mencari kesempatan, menebas udara dari kejauhan menghasilkan gelombang tebasan jarak jauh. Sanca terkejut serangan ku dapat mengenai tubuhnya. Ia sekarang tampak terselimuti kekhawatiran, ia mulai berdiri dengan bagian tubuh ularnya, gerakannya menjadi lebih lincah dari pada sebelumnya. Berulang kali aku mengadu bilah dengan tanduknya, semburan airnya cukup merepotkan tapi bisa aku tangani sejauh ini. Tebasan udara berhasil melukai tapi belum cukup. Tebasan pedang diudara berulang-ulang menjadi andalan untuk mendaratkan serangan fisik ke tubuhnya.

"Jawab aku siluman, bagaimana kalian datang ke dunia manusia? Apa yang kalian rencanakan?" tanyaku ditengah pertarungan sengit.

"Bagaimana katamu? sungguh pertanyaan konyol. Kalianlah sendiri manusia yang memanggil kami" jawab sanca

"Kau membual rupanya?"

"Hahaha terserah pada mu untuk percaya atau tidak, aku beritahukan padamu manusia. Eksistensi kami ada bersama kalian. Bersiaplah untuk bencana yang memusnahkan kalian semua" ucapnya sembari menyeringai

"Semakin lama aku berbicara denganmu semakin muak rasanya. Aku akan akhiri pertarungan ini segera" kata ku

"Itulah yang aku harapkan!." balas sanca penuh keyakinan

Aku berlari mengitari ruangan dengan cepat, melompat ke arah dinding menuju tempat yang lebih tinggi, merapatkan kedua tangan lalu memutar tubuh seperti roda yang berputar dengan cepat. Sanca mengayunkan ekornya mengadu. Percikan kekuatan yang diadu bertahan beberapa saat, tetapi kemudian ekor sanca pada akhirnya terpotong. Teriakan nafas kudanya menggema seisi ruangan, darah menyembur deras keluar. Setibanya mendarat tanpa jeda, aku kembali menyilangkan kedua tangan meluncurkan tebasan udara secara bertubi-tubi. Sayatan demi sayatan telak berhasil dilancarkan.

"Kurang ajar… tidak mungkin… ini tidak mungkin. !" rintih sanca.

Tidak cukup sampai disitu, dengan sisa kekuatan, lagi dan lagi secara brutal aku menebas bagian lehernya hingga terputus. Darah menyembur deras dari leher sanca. Tubuh besarnya roboh. "Kematian menjemputmu". Aku merobek bagian dadanya, mengambil jantung siluman yang mati mengenaskan. Asap hitam armblade keluar mengambil jantung itu, lalu terhisap kedalamnya. Mengakhiri pertarungan, aku tergeletak tak sadarkan diri.

Cahaya mentari menembus masuk melalui sela-sela atap bangunan mencapai kelopak mata. Barulah aku mulai tersadar, membuka mata dan terbangun. Pertempuran semalam seperti mimpi saja. Aku beranjak pergi, potongan kecil ujung tanduk sanca aku ambil sebagai souvenir tanda kisah perjalanan. Badan penuh darah kering, silaunya mentari menyambut setibanya dimulut kuil, "Ah pagi yang indah".

avataravatar
Next chapter