3 Kontrak Kematian

Aku tinggal di sebuah desa kecil bernama Desa Fruveis yang terlingkup di dalam wilayah Benua Eaiis. Desa Fruveis merupakan desa penghasil produk hasil alam dan pertanian. Seluruh warga desa memiliki mata pencaharian sebagai peramu hasil hutan dan petani sayur juga buah, termasuk aku sendiri. Alasan utama mengapa demikian adalah karena tanah desa ini begitu subur, air bersih melimpah ruah, lahan datar yang luas, dan kondisi lingkungan yang mendukung. Banyak produksi bahan makanan berkualitas yang dipasok untuk kerajaan oleh desa kami. Tidak ada rumah yang tidak memiliki halaman yang asri, pasti saja ditemui pohon buah beragam jenisnya yang tumbuh menghiasi, cuitan burung-burung, gemericik air sungai irigasi, suara dahan dan daun pohon tertiup angin, semua suasana begitu menentramkan hati lengkap ada disini.

Aku adalah seorang hybrid. Menjadi ras hybrid bukan perkara yang mudah. Kami sulit mengakses banyak hal, salah satunya ialah dalam memilih pekerjaan. Hybrid dipandang sebagai ras yang lemah, bukan soal kekuatan melainkan soal pengaruh kami dikerajaan. Populasi kami pun tidak banyak. Beruntunglah menjadi seorang petani boleh dilakukan ras apa pun. Ibu ku adalah seorang Eaiis sedangkan ayah seorang Sifer. Entahlah aku tak tahu bagaimana mereka dapat dipertemukan sebab setiap kali aku bertanya mereka sering mengalihkan topik pembicaraan. Rasa penasaran ini memang belum hilang, namun kini aku tidak bisa menanyakan hal itu kembali.

Satu tahun telah berlalu, ayah dan ibu tidak kunjung kembali dari perjalanan mereka. Kalimat terakhir mereka yang aku ingat adalah bahwa mereka akan melakukan perjalanan perdagangan yang akan memakan waktu yang cukup lama, hal ini dikarenakan adanya pesanan barang khusus. Mereka pun berjanji kembali pulang, akan tetapi hingga kini tidak ada sepucuk kabar satu pun terselip di dalam kotak surat. Banyak dari warga desa menduga kemungkinan besar ayah dan ibu bisa saja telah meninggal, meski demikian aku tetap percaya dan masih ingin berkeyakinan bahwa ayah ibu masih hidup hingga hari ini.

Hari-hari memang terasa lebih sepi dibandingkan sebelumnya, namun terus saja melamun tidak akan merubah keadaan. Aku berusaha tegar dan terus menjalani hari guna melanjutkan hidup. Semoga setelah ayah dan ibu kembali aku dapat menceritakan cerita kemandirian ku ini kepada mereka.

Riuh perbincangan diluar rumah menjadi pertanda sinar matahari menyambut pagi. Aktivitas bertani mestilah dimulai diwaktu ini. Embun lambat laun memudar, cuitan burung menjadi awal hari yang baru. Dengan mata yang masih sayu aku mulai pagi ini dengan membuka jendela kamar yang menghadap ke arah ladang. Menghirup udara pagi rasanya segar bukan main. Kujulurkan kedua tangan menyentuh sinar matahari. Jangan terkejut dengan kulit tangan ini yang mampu berfotosintesis. Kaum Eaiss mampu berfotosintesis, minum dan makan tetap saja dilakukan sebagai bahan bakar proses itu. Tekstur kulit Ras Eaiis mirip dengan kulit pohon ditambah beberapa sulur tanaman yang melingkari lengan. Tentu saja ciri tumbuhan satu orang dengan yang lainnya akan berbeda, yang pasti berkah tumbuhan terlihat jelas. Beranjak menuju kamar mandi dan terbiasa merapihkan satu sayap hitam yang melekat dipunggung sebelah kanan. Setengah sifer sepertiku hanya memiliki setengah sayap, warna sklera bola mata hitam berlensa merah pun hanya muncul pada mata sebelah kiri. Beberapa waktu aku pernah mencoba menutupinya dengan rambut hingga kain, namun itu sangat mengganggu penglihatan, akhirnya mata berbeda ini aku biarkan tetap terlihat jelas. Meski kadang aku merasa terasingkan, aku tetap bersyukur punya tubuh ini. Aku menganggap inilah cara ku mengenang pemberian ayah dan ibu.

Perasaan menyenangkan pagi ini belum lengkap tanpa menghirup aroma segelas kopi hangat, duduk di halaman depan rumah sembari melihat aktivitas warga desa sebelum akhirnya beraktivitas seperti biasa. Tak jarang tetangga menyapa dan bertegur salam sekedar menanyakan kabar diri, keadaan kebun, sampai dengan kondisi panen. Saling bertukar pengalaman dan kemampuan bertani bagian dari gotong royong yang menjadi kunci kemakmuran Desa Fruveis. Percayalah semua disini begitu sahaja. Ya meskipun beberapa oknum tetap saja berulah, mereka dapat dihitung dengan jari.

Hari ini aku berencana untuk melakukan ekspansi lahan pertanaman. Ekspansi ini sebenarnya telah aku mulai dari beberapa hari yang lalu. Posisi lahan yang akan dibuka berdekatan dengan lahan olahan pertama, juga yang terpenting dekat dengan rumah, jadi aku tidak perlu repot bepergian jauh. Lahan baru usai dari bekas akar pohon dan bebatuan sehingga tugas pertama yang mesti dilakukan sekarang adalah penggemburan tanah. Semuanya berjalan sesuai rencana, meski demikian ada bagian petakan lahan yang sangat sulit untuk digali lebih dalam, entah karena batu atau bekas akar pohon yang menancap sangat dalam. Kala aku mencoba mencangkul lebih kuat, aku merasakan ujung cangkul membentur benda yang sangat keras, suara beradunya tersebut jelas terdengar. Mulut cangkul bahkan menjadi tumpul dibuatnya. Aku pikir itu hanya sebuah batuan biasa sehingga aku coba untuk menyingkapnya guna melihat seberapa besar batuan tersebut sebelum mendongkelnya keluar. Semakin digali dan dibersihkan dari tanah ternyata batuan tersebut bukanlah batuan biasa. Wujudnya seperti batu pahatan berbentuk semacam daun pintu. Inikah pintu menuju bawah tanah?. Pintu pahatan ini pada bagian depannya tampak tiga kalimat kuno yang tak bisa aku baca sama sekali.

Dengan rasa penasaran yang mendalam aku mencoba untuk membuka paksa pintu tersebut menggunakan linggis dan palu. Sukar sekali rasanya untuk membuka, mungkin karena telah lama terpendam.

'Brraaakkk...!' suara kasar pintu berhasil aku buka.

Melalui bantuan sinar matahari yang masuk aku bisa melihat dibawah sana terdapat jalur utama yang cukup sempit kira-kira memiliki lebar 2 meter dan tinggi tidak jauh dari ukuran orang dewasa. Diujung sana terlihat pula persimpangan jalan di sisi kiri dan kanan. Semua kondisi jalur gelap dan lembab. Jalur reruntuhan ini layaknya terowongan bawah tanah, sepertinya akan ada banyak percabangan lagi. Tempat apa ini sebenarnya?

Penemuan besar ini aku putuskan untuk merahasiakannya dari warga desa. Aku hanya khawatir mereka akan terancam aktivitasnya jika terdengar sampai ke telinga kerajaan. Aku pernah menguping warga desa sedang membicarakan isu sebuah desa yang penduduknya terusir akibat adanya situs seperti ini, penduduknya pun sampai tidak boleh tahu apa isi didalamnya. Kebenarannya memang masih diragukan, tapi aku mencoba untuk menekan risiko yang ada. Entah mengapa aku ingin mengeksplorasi tempat kuno itu sendirian. Pastinya bukan soal peti harta, hanya saja hati ini begitu tertarik. Itu saja. Alasan yang sangat sederhana. Seperti ada yang memanggil dari bawah sana.

Seminggu lamanya aku habiskan untuk observasi...

Aku duduk termenung di dalam rumah membuka lembaran gambaran jalan sembari menganalisis data yang dimiliki. Mari sebut tempat itu sebagai reruntuhan. Dari yang aku pahami hingga sekarang, disana tidak ada makhluk hidup satu pun. Seekor serangga atau hewat pengerat tidak tampak sama sekali. Kondisi dinding-dinding bersih dari coretan gambaran yang biasanya sengaja ditunjukan.

Setelah memetakan jalur berakhirlah aku ke dalam satu kemungkinan kesimpulan bahwa reruntuhan kuno ini adalah sebenarnya sebuah makam. Kenapa demikian?. Bayangkan saja tidak ada jebakan, tidak ada hewan, tidak ada bekas kehidupan, bahkan peti harta yang biasa orang cari pun tidak ada. Reruntuhan kuno yang kosong atau lebih tepatnya hampa. Hanya menyisakan penggalan tulisan saja di satu tempat selain pintu masuk. "Apa mungkin peringatan?". Penggalan tulisan itu jelas mengarah pada sesuatu yang lebih dalam. Tidak ada petunjuk lain. Disana memang jalan buntu, tapi bisa jadi tulisan kuno tersebut menunjukan adanya pintu pintu rahasia lainnya.

Fajar kembali menyingsing. Hari yang dinanti telah tiba, sambil memegang lampu minyak dan menggendong perlengkapan lainnya aku mulai memasuki reruntuhan, berjalan menyusuri setiap percabangan menuju lokasi yang aku duga itu pintu rahasia kedua. Suasana kali ini tampak berbeda, mendekati lokasi suhu mendadak terasa lebih dingin. Bulu sayap ku ini merasakan kelembaban yang semakin tinggi. Setibanya di lokasi aku pandangi sejenak lantai berisi tulisan tersebut.

'Ah tetap saja simbol-simbol dan kalimat yang terpahat sulit diartikan' keluh dalam hati.

Lagi-lagi kini aku berusaha membuka paksa pintu untuk kedua kalinya, mendorongnya, menggendornya, sampai hal konyol mengucap mantra pun dicoba. Tetap tidak ada respon. Pilihan terakhir adalah menghancurkannya, jadinya aku coba menyelipkan linggis pada garis pisah antara dua lantai lalu memalu nya untuk membuka celah. Celah berhasil dibuat, sekarang waktunya mulai mendorong kebawah. Suara berdenyit gesekan mulai berbunyi, berulang kali aku menghirup nafas dalam dan menahan berharap otot kedua tangan ini lebih bertenaga.

'Ayo terbukalah… terbukaaa!' ucap ku dengan nyaring.

'Brakkkkh…!' pintu lalu terbuka.

'Wuussss…' Seketika angin berhembus sangat kencang dari dalam, mengempaskan tubuh ini hingga membenturkan kepala ke dinding pembatas. Aku tergeletak tak sadarkan diri.

'Apa yang terjadi?' keluh ku sambil memegang kepala, aku mencoba untuk bangun dan membuka mata.

Ah betapa naasnya ketika ku dapati seluruh ruangan menjadi gelap gulita. Lampu minyak mati, Perasaan panik, bingung, sedih bercampur aduk, 'Mampus!'.

Rasanya mustahil untuk keluar tanpa ada penerangan. 'Wusssssss...' hembusan angin kencang kembali muncul, kondisi ruangan mulai terasa aneh dan asing. Suasana senyap yang menakutkan. Hati mulai terasa lebih cemas. Sungguh baru seumur hidup aku baru merasakan hawa yang seperti ini. Hening tapi terasa diawasi. Aku mencoba menyeret tubuh mundur, meraba-raba sekitar berharap ada tembok atau sesuatu yang bisa aku pegang. Tiba-tiba dari kejauhan, entah dari mana itu datang muncul sepercik cahaya kecil yang kemudian membesar, cahaya itu kian mendekat dan mulai semakin dekat.

"Ap…Api ? ada orang disana?" kata ku terbata-bata. Api itu terus mendekat, jika diperhatikan secara seksama api itu berwarna ungu gelap.

"Selamat datang wahai sang terpilih. Engkau telah membuka segel ini setelah 2000 tahun lamanya" seseorang berbicara.

Ada sosok menghampiri dibalik api keunguan tersebut. Samar-samar aku bisa melihat seisi ruangan ini kembali, hanya sebuah lorong sempit tak berujung. Terbelalak mata ini melihat sosok yang berbicara.

"Sosok apa dia?, apa itu?, tak mampu ku gambarkan" kata ku dalam hati.

Sosok tersebut tiada lain sosok hitam. Ya! hanya hitam, tidak memiliki wujud apalagi wajah untuk dikenali. Nampak berwujud tapi tidak berwujud, terlihat tapi rasanya bukan makhluk. Ia menghampiri ku yang masih tertegun tak berdaya.

"Wahai sang terpilih. Segel ini telah dibuka. Takdir kembali memanggil. Dunia telah rusak. Dunia telah ternoda. Waktunya telah tiba"

"Ap…ap..apa yang kau katakan?" sahut ku masih terbata-bata.

"Kengerian kah ini yang kurasakan? perasaan takut menghujam bak tubuh yang dihujani puluhan pedang". Tak ada satupun anggota tubuh merespon untuk bergerak apalagi mencoba melarikan diri. Hanya kaku. Semuanya mati rasa.

"Bangunnya aku adalah tanda dunia telah membusuk. Aku akan membantumu. Aku akan memberikan mu kekuatan. Aku hanya sebuah sosok bukan makhluk. Aku sang bayangan kematian"

"Apa yang kau katakan? aku tidak mengerti sama sekali? Membantu apa?" Rasanya aku pernah mendengar nama bayangan kematian, tapi itu sekedar mitos rakyat lama.

"Wahai sang terpilih. Tidak ada waktu untuk aku jelaskan sekarang. Aku akan masuk ke dalam tubuh mu itu, Kita kedatangan tamu tak diundang diatas sana. Jangan sampai keberadaan kita lenyap. Ambillah senjata armblade terkutuk ini dengan demikian kontrak akan terjalin!". Sebuah senjata aneh beraura jahat ia disodorkan

Aku serasa hilang akal. Aku ini lari tapi tidak bisa. Aku merasa mau mati tapi tak tidak bisa. "Bagaimana aku bisa memercayai sosok ini sedang ia sebut dirinya kematian? apa aku akan mati? apa yang hancur? apa yang busuk? Membantu untuk apa?"

Ditengah carut marutnya pikiran, dalam lubuk hati ini malah mendorong sebaliknya, entah mengapa sepertinya aku ingin menyentuh senjata tersebut. Raut wajah ketakutan namun tersenyum, coba kau bayangkan. Tanpa aku sadari, jari jemari ini meraih kontrak yang ia sodorkan.

"Kontrak telah dibuat!", tak lama setelah itu…

"Boooommmm!" ledakan keras meluluhlantahkan reruntuhan ini semuanya. Ya semuanya!, beserta desanya!.

avataravatar
Next chapter