6 Gua Kegelapan

Mengikuti jalur kembali mengandalkan arah terbit dan tenggelam nya matahari nyatanya tidak memberikan jaminan kita kembali ke jalur awal. Nestapanya diri ini malah tersesat di dalam hutan belantara!. "Dimana aku sekarang woy?" teriak ku diantara pohon, pohon, dan pohon. Mendaki pohon tinggi pun percuma, tidak tampak tanda-tanda desa terdekat.

"Bodohnya aku lupa bertanya dimana petunjuk lokasi berikutnya, harusnya aku menahan lebih lama si kuda sialan itu sebelum membunuhnya… Ahh…!" kesuh ku sembari menghela nafas panjang.

"Hanya hutan, hutan dan hutan. Aku harus bergegas keluar sebab jika tidak mungkin aku akan membusuk disini!".

Satu-satunya jalan keluar yang masuk akal sekarang adalah mengikuti arus sungai lagi, berharap ada permukiman yang memanfaatkan aliran sungai tersebut atau ya paling tidak seharusnya ini sungai memiliki ujung ke suatu tempat diluar hutan.

Senja mulai menampakan wajahnya, didepan penyusuran ini aku melihat sungai mulai bercabang. Percabangan anak sungai itu terlihat tidak terbentuk secara alami melainkan dibentuk secara sengaja. "Ini dia! ini pasti mengalir kesebuah penampungan".

Syukurlah tebakan ku kali ini benar adanya, aliran anak sungai mengarah kepada semacam bendungan buatan, berbagai bilah kayu juga batuan besar sengaja dijadikan tembok berbaris, yang terpenting tidak jauh dari bendungan tampak deretan tempat tinggal. Permukiman berbentuk rangkaian pondok-pondok rumah tradisional yang kokoh bertengger diatas pepohonan. Masing-masing rumah pohon ini disambungkan dengan jembatan kayu dan rajutan akar-akar.

"Halo… permisi, aku seorang pengelana yang tersesat dihutan, bolehkah aku mampir sebentar?" teriak ku dari bawah.

"Permisi… Apa ada orang disana?", sayangnya lagi-lagi tidak ada jawaban.

Permukiman ini bukan permukiman kosong, aku yakin itu. Bekas arang yang masih baru, peralatan yang tidak usang, kemudian setiap rumah terlihat jelas sangat terpelihara. "Kemana para penduduk?" pikir ku dalam hati.

Untuk mencapai rumah pohon ada tangga vertikal yang terbuat dari akar menjalar. Aku pikir tidak salahnya untuk memeriksa, melihat-lihat sekilas ke dalam rumah melalui celah-celah tirai jendela berusaha mengintip ada apa di dalam sana.

"Ah, rupanya ada penghuninya. Hmm.. tapi kenapa tidak ada yang bangun?", "Tok.. tok ..tok... Maaf mengganggu". Kali ini aku mencoba mengetuk pintu.

Percuma saja, tidak ada yang bangun. Tidak ada bekas serangan, tidak ada bekas darah, maka seharusnya penduduk disini masih hidup. Penyusuran seharian membuat tubuh ini lelah, aku putuskan untuk beristirahat dipinggiran balkon pondok, setidaknya ini lebih nyaman jika dibandingkan tidur didahan pohon lagi.

Aku terbangun dari mimpi, sayup-sayup aku mendengar suara seseorang disana. Siapa?.

"Bangun tuan!. diluar dingin, masuklah ke dalam!" ucap seseorang berusaha membangunkan ku dari tidur

"Sudah pagi? jam berapa sekarang?" timpal ku setengah sadar

"Tuan sekarang baru saja masuk permulaan malam, masuklah ke pondok agar lebih nyaman!" pinta nya.

Luar biasa !, rumah-rumah pohon mendadak hidup. Api obor menyala pada setiap rumah menerangi gelapnya malam. Penduduk yang awalnya terlelap tadi kini ramai oleh bisingnya percakapan dan aktivitas.

"Tuan sedang apa di hutan ini?" dihadapanku kini berdiri seorang gadis mungil manis memandangi seraya menatap polos. Kedua mata gadis ini bercahaya, memiliki telinga bundar lucu layaknya primata.

"Maafkan atas ketidaksopanan ku nona, namaku Hevea. Aku hanya mampir karena tersesat, aku mengikuti aliran sungai lalu tibalah disini, tidak ada maksud lain. Kalau boleh tahu dimanakah ini?" balas ku.

"Momo, namaku momo. Jangan panggil nona" pipinya menggembung kesal, tapi lucu juga. "Ini Desa Ume"

"oke Momo, siang tadi aku mencoba meminta izin untuk mampir sejenak namun tidak ada satu orang pun yang menjawab. Apa yang terjadi?'

"Ah soal itu sebab kami hanya aktif di malam hari. Kami adalah kaum Noxtur hehe. Siang itu waktu istirahat, malam waktunya beraktivitas. Lihatlah sekitar!", ucap nya menunjuk para penduduk yang mulai bersiap melakukan keseharian normal pada permulaan malam ini.

"Noxtur? baru kali ini aku dapat melihat secara langsung. Siang hari akan sangat berbahaya untuk kalian, bagaimana bisa tetap tenang?"

"Tenang saja. Jangan khawatir, sebab semua pintu masuk pondok dilengkapi jebakan tombak beracun bagi mereka yang memaksa masuk disiang hari hehe" ucap momo sembari tersenyum.

"Untung saja aku tidak mati" balas ku dalam hati sambil membalas tersenyum kecut.

Ditengah-tengah perbincangan santai kami berdua, lantunan irama alat musik tradisional mulai terdengar kencang dimainkan. Layaknya tanda ajakan, satu per satu penduduk mulai merapat ke lokasi sumber suara, tak terkecuali aku sendiri. Penduduk mulai berkerumun merapat membentuk lingkaran. Ditengah lapangan pusat permukiman seseorang naik ke atas mimbar menggunakan pakaian khas berupa tulang kepala hewan rusa ditambah jubah serigala. Orang tersebut membacakan mantra-mantra, menabur bunga, menyalakan perapian besar, membasuh wajah tiga orang didepannya yang sedang tunduk menggunakan air lalu menggoreskan arang bekas pembakaran membentuk simbol-simbol. Tak ketinggalan tarian-tarian tradisional mengiringi harmoni dengan lantunan alat musik.

"Siapa itu momo?" bisik ku mendekati daun telinganya

"Kepala suku Zajan" ucap momo balas berbisik

"Hari ini adalah hari yang kita nantikan! Kita adalah kaum Noxtur sang penjaga malamnya hutan!. Kita hidup berdampingan dengan cahaya rembulan. Kehidupan begitu tentram dan damai hingga bencana itu mengancam kembali kepada kehidupan kita sekarang. Masalah dari keburukan masa lalu yang perlu kita tebus! Dengan begitu kedamaian sejati akan kembali lagi terjaga" ucap sang kepala suku dengan semangatnya.

"Wahai kaumku! Aku Zajan mewakili para tetua kaum melihat suatu tanda kehancuran!, bukan hanya untuk kita, melainkan kehancuran keseimbangan kehidupan. Sosok yang kita tidak inginkan sedang bangkit dari dalam sarangnya. Tempat yang kita jaga agar ia tidak keluar ke dunia. Di dalam Lubang Kegelapan!"

Mendengar pidato kepala suku mengingatkanku pada lokasi yang perlu aku tuju. "Kalau tidak salah namanya itu gua kegelapan? lubang kegelapan? Hhmmmm..." kata ku dalam hati mencoba mengingat kembali perkataan Rein.

"Hey kau yang disana!, kau bukan bagian dari kaum kami, siapa dirimu hah?!" teriak garang kepala suku mengarahkan tongkatnya padaku. Musik dan tari-tarian untuk sejenak berhenti. Semua mata mengarah menuju kepadaku.

"Wow wow sabar tuan-tuan. Aku sekedar pengunjung, panggil saja aku Vea. Percayalah aku hanya tersesat kemari setelah meninggalkan Kuil Kesepian. Aku akan pergi dari sini secepatnya" timpal ku menenangkan

"Tidak kusangka…. Wahai rembulan… Wahai hutan… engkau kah yang memberi kami penyelamat?" raut wajah sang kepala suku mendadak ketakutan, "Kuil kesepian katamu? Sedang apa kau disana wahai pemuda?"

"Hah? Yahh.. soal itu sebut saja aku sedang dalam perburuan hehe" kata ku berusaha menutupi kebenaran

"Luar biasa!, wahai kaum ku. Rembulan telah menurunkan kita petunjuk.! Anak muda ini yang akan menuntun kita!! Sambutlah ia!" ucapan sang kepala suku kini diiringi sorak dan tepuk tangan meriah dari warga.

"Lah? lah? Tung… tunggu dulu" sanggah ku kebingungan. Ucapanku sebelumnya aku pikir dapat mengakhiri perbincangan, kenapa malah jadi dipercaya dan diperpanjang?

"Wahai pemuda tak perlu engkau berusaha sembunyikan. Leluhur kami telah berpesan tentang kedatangan mu. Makhluk yang sedang kau sedang buru juga ada di lubang kegelapan. Makhluk itu bernama Genruwo, siluman buas raksasa sang peneror malam. Leluhur kami melalui kisah turun temurun menyampaikan bahwa suatu hari nanti muncul siluman yang dilepaskan oleh Bangsa Setan. Tak berselang lama dari waktu kebangkitan siluman tersebut muncul seorang pemuda yang memburu mereka. Lubang kegelapan adalah tempat yang kami jaga agar makhluk tersebut tidak serta merta keluar bebas, terlebih ada dosa yang harus kami tebus. Ah.. entah sudah berapa lama kami menanti kedatanganmu!"

"Ah sudahlah, memang benar aku sedang mencari siluman, tapi aku bukan pahlawan yang kalian agungkan."

"Takdir yang membawa mu kemari nak. Monster yang kau cari ada disana. Tidak perlu engkau menyangkalnya lagi"

"Fiuhh.. Siapa tadi itu? Genruwo? kalian yakin disana terdapat kehadirannya?" sanggah ku

"Tentu saja, tidak diragukan lagi!. Bagaimana nak? Tolong kami menumpas makhluk ini. Kehidupan kami sangat terganggu akibat ulahnya" Kepala suku terlihat bersikeras membujuk

"Tunjukan padaku lokasinya. Tak perlu dipinta sebab memang ia mangsa ku selanjutnya" ucap ku menyeringai kecil

"Hoh sungguh meyakinkan. Kedua pengawalku akan mendampingi hingga ke sana" perintah sang kepala suku diiringi jawaban tegas kedua pengawal tersebut "Siap laksanakan!"

Saat itu juga aku berangkat menuju lokasi yang dimaksud. Momo beserta penduduk lainnya dipinta untuk tetap tinggal menahan segala aktivitas biasanya guna meminimalisir dampak jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Sebagai makhluk nokturnal mereka sangat lincah berlari dalam keadaan gelap. Aku mungkin akan sangat kesulitan jika tidak mengikuti mereka dari belakang. Lokasi yang dimaksud rupanya tidak terlalu jauh. Kami akhirnya pun sampai.

"Lubang kegelapan kah? Pantas saja penduduk menyebutnya lubang". Lubang berbentuk lingkaran berdiameter besar menganga ditengah belantara hutan. Dasar lubang gelap gulita sama sekali tidak terlihat. Hembusan angin sekitar bahkan seperti tersedot kedalamnya.

"Ini tempatnya" kata salah satu pengawal

"Jadi bagaimana aku turun kebawah sana?" tanya ku

"Terjun tuan!"

"Serius aku harus terjun kebawah sana langsung?" Kata ku sembari melihat dalamnya lubang yang gelap, sayap ku menggigil kedinginan, kaki-kaki kaku untuk melangkah.

"Tentu saja, tidak ada jalan lain. Pakailah jimat ini tuan" sang pengawal menyodorkan kalung yang terbuat dari susunan batu kristal dan tulang belulang

"Benda apa ini?"

"Jimat khusus ini akan membuat anda mampu melihat dalam keadaan gelap sementara waktu. Semoga dapat membantu. Kami akan menunggu kepulangan anda disini"

"Mau tak mau ya, yasudah" aku menghela nafas panjang, mengambil jarak beberapa langkah dari mulut lubang, berlari, melompat terjun langsung. Jubah hitam yang aku kenakan membentuk semi parasut mengurangi kecepatan laju. Selagi turun aku perhatikan sekeliling dinding-dinding yang ditumbuhi akar juga rambatan pohon, akan tetapi beberapa kali ku lihat puing-puing bangunan rumah tinggal tua tertutup batuan dan rambatan. "peradaban yang tertelan".

Dasar lubang memang dalam bahkan dengan terjun langsung saja membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Mendekati dasar, aku melihat banyak pohon tumbuh tinggi menjulang, aku kemudian berusaha memilih tajuk pepohonan lebat sebagai lokasi pendaratan.

Kalau boleh aku gambarkan kondisi dibawah sini, dasar lubang kegelapan merupakan semi rawa-rawa namun demikian cukup banyak juga pohon tinggi yang mampu beradaptasi. Lembab, basah, dan bau busuk tercium dibawah sini. Disini terdapat hewan jenis amfibi yang mampu menyesuaikan diri tuk hidup.

Tidak ada waktu untuk bersantai, suara raungan muncul tiba-tiba memecah keheningan "Rawrrr… siapa yang berani mengganggu?". Siluman telah menyadari kedatangan ku lebih cepat dari apa yang aku perkirakan.

Bebatuan besar pun muncul melayang menerjang, aku berlari mendekati sumber suara sambil menghindar dan membelah batu. Mencari sudut-sudut lindungan yang mampu melindungi dari serangan hujan bebatuan yang terus saja menerjang. Aku melihat-lihat sekitar mencari sosok keberadaannya.

"Genruwo sang peneror malam, itu kah dirimu?" ucap ku sambil mencoba bersembunyi.

"Rraaaaawrr…" balasnya hanya meraung. "Hahahahahahaha….lancang sekali dirimu manusia rendahan" Genruwo tertawa kemudian menunjukan sosok aslinya. Tak jauh dari lokasi persembunyian ku sekarang terdapat sesosok makhluk besar, membesar, dan terus membesar hingga berukuran raksasa. Kedua bola matanya merah menyala, berambut dan bertaring panjang. Genruwo meraih batang pohon besar, mencabut, lalu menyapu sekelilingnya menggunakan pohon tersebut yang kini ia jadikan senjata.

Aku berlari mundur menjauh ke arah yang lain, genruwo dengan sigap berusaha memukul menggunakan batang pohonnya. "Hahahaha ternyata hanya seorang manusia hina" ucapnya dengan nada sombong. Ia mengayunkan, menghantamkan gada batang pohonnya dengan kuat.

"Berlari menjauh tidak berhasil. Tidak ada cara lain selain menghadapinya dari jarak dekat" pikir ku dalam hati yang masih berlari dari hantaman.

Kaki bertolak mengarah menuju Genruwo, mengandalkan kecepatan berlari aku mengelilingi kakinya mencari dimana titik kelemahannya berada. Aku lancarkan tebasan kuat pada pergelangan kaki genruwo berusaha membuat luka fisik meskipun tidak terlalu dalam. Serangan gada batang pohon terus diarahkan, kaki-kakinya menendang. Aku menghindar dan terus memfokuskan tebasan pada pergelangan kaki. "Apakah ini mempan?"

"Siluman Genruwo, dari mana kalian berasal? apa yang kalian lakukan disini?" kata ku ditengah-tengah pertarungan

"Seberapa penting aku harus menjawab pertanyaan mu? Tidak ada gunanya" jawabnya

"Aku akan kerepotan jika belum mendengarnya darimu setelah engkau terlanjur mati nanti. "

"Hahahaha omong kosong. Aku Genruwo sang peneror malam tidak akan mati oleh manusia hina sepertimu. Dengarkan!, kami adalah makhluk mitos yang manusia sebut. Muncul sebab ulah kalian sendiri, merekalah yang memulai menyembah kami, mengirimkan sesajen, memberikan tumbal, menyalakan ritual meminta perlindungan. Hahahaha tidak berguna, padahal sesajen dan tumbal itu merupakan hasil tipu daya untuk menyerap kekuatan sehingga kami mampu menyeberang ke alam manusia hahahaha…",

"Lagi-lagi begitu, kalau begitu izinkan aku mengambil jantung mu sebagai manusia yang kau sebut hina ini!" aku menyeringai

"Konyol, seharusnya aku yang berkata demikian!"

Serangan gada pohon dengan kuat berulang kali dilancarkan, berulang kali pula serangan itu aku tahan dengan kedua tangan yang menyilang. Kekuatannya selalu saja membuat ku kerepotan, menahan hantamannya seakan akan tubuh ini masuk ke dalam tanah. Pijakan tanah sekitar tidak cukup kuat.

Armblade kupegang lebih erat, aura gelap keunguan menyelimuti seluruh tubuh. Aku fokuskan semua kekuatan pada luka yang aku buat diawal. Hunusan, tebasan armblade secara beruntun dan cepat membuat pergelangan kaki siluman buas genruwo akhirnya terputus. Genruwo terjungkal kesakitan, ia mencoba bangun menggunakan kedua tangannya. Lagi-lagi tanpa memberikan kesempatan aku berlari diatas lengannya, merapatkan kedua armblade secara horizontal kemudian mengayunnya secara kuat mengincar bagian kepala.

"Slassshh… " kepala siluman buas genruwo pun terputus.

Darah menyembur keluar dengan derasnya, Tubuh genruwo terbujur kaku.

"mudah sekali. sungguh akhir yang mengecewakan" kata ku membelakangi

Untuk sejenak pertarungan seharusnya berakhir, namun ternyata jauh dari kenyataan. Tubuh genruwo mengeluaran aura hijau. Merasakan ancaman, aku melompat mundur menjauh.

"Lumayan juga untuk makhluk hina sepertimu! Cukup sudah" Bagian dada genruwo robek terbuka menjadi dua bagian, memunculkan sosok lainnya didalam tubuhnya berukuran manusia dengan taring dan mata merah menyala yang masih sama.

"Apaa? makhluk apa sebenarnya dirimu?' ucap ku tercengang. Energi yang aku keluarkan untuk pertarungan tadi tidak sedikit. Aku ragu melakukan performa yang lebih baik.

"Jarang sekali aku memperlihatkan sosok asli. Saatnya ronde kedua! Kali ini aku benar-benar akan menghabisimu manusia! Hahahaha" Genruwo melesat sangat cepat, muncul secara tiba-tiba didepan mata, memukul bagian perut ku hingga terpental jauh menghantam dinding gua. Genruwo tidak memberikan jeda, api hijau menyembur dari mulutnya membakar sekitar mengarah pada ku yang masih terbujur kaku. Lubang kegelapan mendadak terang karena terbakar. Kondisi lembab dan dingin mendadak panas dan pengap.

"Aku cukup terkesan dengan ketahananmu manusia. Siapa sebenarnya dirimu?. Mengincar bagian kepala dan kaki lalu kau pikir mampu membunuhku begitu saja? Jangan bermimpi!. Aku tidak akan melepaskan mu hingga mati!" katanya, bersamaan dengan itu ia kembali melesat melancarkan tinju bertubi-tubi melemparkan ku pada sisi dinding yang lainnya terus menerus tanpa jeda apalagi belas kasih. Dinding-dinding lubang kegelapan menjadi rapuh dampak serangan penghancurannya. Genruwo tampak puas dengan semua serangan telaknya. Sebagai penutup kini ia mulai mencekik leher ku menggunakan tangan kanannya. Aku sama sekali tak berdaya, semuanya mati rasa, darah bercucuran, tulang patah semua, aku kesulitan bernafas, kesadaran demi sedikit juga mulai menghilang

"sampai disinikah perjalananku? padahal baru saja dimulai malah sudah usai?", kepalaku pusing, nafas sesak, aku mulai kehilangan kesadaran diri.

"Sudah kubilang, kau adalah makhluk lemah. Aku tidak tahu apa tujuan mu kemari, tetapi aku merasakannya!. Ya!. engkau akan menjadi penghalang rencana kami. Tadi itu cukup menghibur. Sekarang matilah!!" Genruwo mencekik kuat lalu menghantamkan tubuh ini ke tanah, tangan kiri nya bersiap melakukan serangan terakhir. Pada detik-detik terakhir ini terlintas suara seseorang dikepala ku dan berkata "Tidurlah sejenak saudaraku, kali ini biar aku yang mengurusnya"

"Arghhhhhh….. " darah menyembur deras keluar, bukan aku yang berteriak melainkan dia. Semburan darah itu berasal dari lengan kanannya yang mendadak terputus. Ia meraung kesakitan, tak percaya dengan apa yang menimpanya "apa yang terjadi?"

Sosok manusia yang dianggap lemahnya kini berubah wujud. Sayap hitam terbentang pada sisi kiri sedang sayap merah darah pada sisi kanannya, kedua bola mata berwarna hitam kemerahan, jari jemari mengeluarkan kuku-kuku yang panjang, seluruh tubuhnya memunculkan aura intimidasi gelap pekat.

Mata genruwo terbelalak, seketika ia mundur menjaga jarak, menyemburkan api hijaunya tetapi sama sekali tidak berpengaruh. Ia melemparkan bebatuan besar dan pepohonan namun tetap saja tidak membuat goyah. Ia melesat dengan sangat cepat berusaha memberikan tendangan terkuatnya namun kakinya malah terlebih dahulu terpotong

"Arghh… Tidak mungkin, tidak mungkin, ini tidak mungkin. Kenapa manusia memiliki sebesar kekuatan ini?" Ucap genruwo tergeletak kesakitan. Kondisinya sekarang menjadi terbalik. Satu lengan dan kaki nya telah terpotong, genruwo tergeletak tak berdaya, tidak ada lagi yang mampu ia lakukan.

"Kematian datang menjemputmu!" kata ku sembari mencengkram wajah sang siluman, mengangkatnya keatas sejajar dengan rembulan yang kini tepat dikepala lubang kegelapan. Genruwo meronta-ronta, memukul, menendang dengan kekuatan sisanya akan tetapi usahanya sia-sia saja. Cengkraman kuat tersebut membuat kepalanya remuk hancur memuntahkan segala isi kepalanya. Tangan kanan ku menembus dada, mengambil jantung siluman tersebut dengan mudah.

"Apa yang sebenarnya terjadi?"

~

Rasa hangat mulai terasa, tanpa ku sadari aku telah berada diluar mulut gua. Kedua pengawal kepala suku terlihat disampingku seraya menyalakan perapian.

"Aduduh… dimana siluman itu?" kata ku sembari merasakan mati rasa di seluruh tubuh.

"Tuan vea!, anda sudah sadar?. Syukurlah anda dapat pulang hidup-hidup. Selamat atas kemenangannya." jawab sang pengawal

"Apa yang kau katakan? Dia sangat kuat, aku menang?"

"Betul tuan. Kami sendiri yang mengangkut tuan ke atas setelah mendengar suara auman besar. Tuan sudah tergeletak disamping mayat siluman itu. Kondisi mayatnya hancur lebur, luar biasa. Kami berdua tidak percaya"

"Begitu kah? Aku sendiri tidak percaya, argh.. aku sama sekali tidak ingat apa yang terjadi setelah kejadian itu…" balas ku yang benar-benar lupa. Aku merasa ada yang berbisik masuk kedalam pikiran "Siapa itu?"

"Tuan, izinkan kami berdua membawa tuan menuju permukiman untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut"

"Terimakasih banyak. Tolong bantuannya"

Riuh sorak menyambut kedatangan kami di desa. Jamuan dan pesta kemenangan diadakan pada hari hari selanjutnya. Aku terbaring selama seminggu lamanya. Selama seminggu tersebut kepala suku zajan membeberkan rahasia kaumnya saat ini. Rahasia tentang sesajen, tumbal dan ritual yang dilakukan nenek moyang mereka dahulu. Sesuai dengan apa yang dikatakan siluman itu sebelumnya.

Penduduk lama noxtur diwiliayah ini menyembah Genruwo. Mereka mengira bakal mendapatkan keberkahan melimpah. Namun justru lambat laun energi kehidupan mereka terserap. Penduduk merasa dibohongi kemudian menghancurkan seluruh berhala dan menghentikan aktivitas pemujaan. Genruwo yang terlanjur telah muncul ke alam manusia marah menghancurkan desa hingga menyisakan lubang besar yang sekarang disebut lubang kegelapan. Dosa-dosa tersebut lah yang membuat mereka terikat diwilayah dekat lubang kegelapan dengan harapan muncul penyelamat yang telah diprediksikan.

Jika bangsa setan bangkit karena manusia, maka sebenarnya siapa yang bersalah? setan? ataukah manusia?. Ya! benar juga! Manusia yang melakukan pemanggilan tersebut lah yang harus aku bunuh juga. Perputaran setan akan terus terjadi.

Genruwo tidak sendirian, aku tak tahu secara pasti berapa jumlah mereka dan dimana. Rencana sudah digulirkan. Aku harus segera mendiskusikan ini bersama Rein. Siluman buas tersisa tinggal dua. Aku khawatir kedua sisanya ini bahkan lebih kuat dibandingkan genruwo. "Aku harus lebih kuat!"

"Terimakasih banyak telah merawatku hingga sembuh" kata ku kepada kepala suku zajan

"Justru kami yang banyak berhutang budi padamu nak." balas kepala suku zajan.

"Kakak hebat bisa mengalahkan monster buas. Hebat sekali!" tambah momo yang selama seminggu ini ia benar-benar antusias menunggu kesembuhan ku. Syukurlah tidak ada dampak sampingan yang menimpa desa. Berakhir seperti yang diharapkan.

"Hehe.. Kakak mu ini sebenarnya masih lemah momo"

"Tidak, tidak, tidak… momo tahu kak vea sangat hebat." Ucap momo masih dengan nada imutnya

"Setelah ini, engkau akan melanjutkan perjalanan kemana anak muda?" tanya sang kepala suku

"Menara Jeritan dan Hutan Sesat. Masih ada 2 siluman buas lagi yang harus aku tumpas" jawab ku

"Perjalanan yang berat. Semoga keselamatan tetap menyertaimu"

"Boleh aku tahu dimana letak menara jeritan atau hutan sesat?" aku mulai bertanya lokasi ketiga, tak mau berakhir tersesat seperti sebelumnya.

"Sayang sekali aku tidak tahu letak keberadaan percisnya. Cobalah ke arah utara, disana tedapat hawa keberadaan yang kuat. Banyak permukiman Eaiis juga, mungkin kau akan mendapatkan informasi jelas disana"

"Vea perlu bantuan momo untuk mengalahkannya?" sanggah momo

"Hahaha sangat perlu momo. Tapi nanti saja setelah momo dewasa dan menjadi lebih kuat" balas ku bergurau

"Baiklah… momo akan menjadi kuat. cukup kuat untuk melawan monster" ucap momo yang benar-benar membantu memecah kebosanan.

Keesokan harinya setelah benar-benar pulih aku bersiap melanjutkan perjalanan kembali. Berangkat dimalam hari berpamitan dengan seluruh penduduk. Akankah aku menjadi kuat kelak?

avataravatar
Next chapter