1 satu

Aku Bella, kisah cinta rumitku dengan sepupuku membuatku Hampir gila. Sering aku melihatnya tertunduk sendiri di malam hari mengingat masa lalu yang telah kami lalui, bibirnya akan terbuka, tersenyum, dan tertawa namun, adakalanya aku melihat dia meneteskan air mata, menyadari bahwa semua tak lagi sama.

Kami tak bisa lagi bersama dan benar-benar tak boleh bersama. Kami pacaran sejak kecil, tapi status kami yang sepupu memaksaku untuk menyadarkan otak bodohnya bahwa kami tak lagi bisa melanjutkan hubungan yang tak pantas kami jalani sejak lama. Farhel Darwis, itu namanya, nama yang selalu menemaniku sejak lama.

Adakalanya aku tak sanggup pura-pura membencinya hanya untuk menyadarkannya, Ketika aku akan melakukan itu tawanya selalu menggema di ruang kepalaku yang hampa. Aku selalu teringat akan cintanya yang selalu tulus untukku, dan teringat akan tawanya yang selalu menghiburku.

Sekarang ini yang hanya bisa ku lakukan hanyalah menghindar darinya, memberi waktu untuk otaknya berpikir tapi, kemana aku bisa pergi? Sejauh mana aku bisa menghindar? Karna pada dasarnya aku dan dia berada dibawah atap yang sama setiap hari.

Kali ini caraku menghindarinya dengan pulang larut malam agar tidak bisa bertemu dengannya.

Aku menembus dinginnya angin malam, dan berkali-kali bergidik ngeri melihat jalanan yang sepi. Aku pasti sudah gila sekarang.

Disana, dibawah sinar bulan, di pinggir trotoar aku melihat sosok cantik berdiri menunduk nenatap ujung alas kakinya. Aku mencoba mendekatinya, ingin tahu mengapa dia ada di trotoar jalan yang sepi sambil mengenakan dress berwarna perak yang elegan.

Kaki ku sedikit membeku melihatnya yang tertunduk datar. Aku sedikit takut karna hanya satu atau dua mobil yang lewat. "Maaf?" Suaraku menyadarkannya. Dia menoleh kearahku. Menatap datar tepat di mataku. "Anda tidak apa-apa?" Tanyaku sambil memperhatikan tubuh putih bersihnya yang begitu pucat. Rambut yang warnanya menurutku aneh, namun wajah yang begitu cantik tidak cocok untuk posisinya sekarang.

Lama dia menatapku seperti menerawang masuk kedalam mata dan mencari informasi disana. "Ada apa?" Sadarnya yang membuatku kaget. Suaranya halus dan lembut, mungkin dia orang kaya yang tersesat atau mungkin juga dia tadi kemalingan dan tak tau harus pulang naik apa.

"Kenapa disini?" Aku mencoba bertanya lagi, Manatau aku bisa membantunya.

dia melirik keningku berkali-kali seperti ada sesuatu disana, membuat tanganku refleks menyentuh keningku. "Aku menunggu seseorang disini." Ucapnya. tatapannya datar seolah-olah mengalirkan sesuatu yang aku sendiri tak bisa mengungkapkan seperti apa rasanya.

Aku mengernyit bingung, wanita mana yang mau janjian bertemu di pinggir jalan dan tengah malam pula, kecuali jika wanita didepanku ini banci yang menunggu Om-Om lewat dengan mobilnya. "Menunggu? Tega sekali dia menyuruh anda menunggu di pinggir jalan." kataku sedikit mendengus.

"Ya, memang sangat tega tapi, mau bagaimana lagi? Aku hanya bisa bertemu dengannya ditempat seperti ini."

Kerutan dahiku semakin jelas. Tengkukku tiba-tiba merinding mendengar jawabannya dengan nada suara yang begitu berbeda. Sempat terlintas di kepalaku bahwa dia hantu yang menyamar menjadi wanita cantik, wanita yang ku yakini masih berusia 25 tahunan ini.

"Memang kenapa? Sampai-sampai anda hanya bisa bertemu dengannya di tempat seperti ini." Tanyaku, yang aku sendiri kaget telah mengatakannya. Aku kaget kenapa aku harus bertanya apa yang bukan urusanku.

"Buktinya sekarang kau sudah ada di hadapanku. Aku menunggumu." Tubuhnya bergerak mendekat. Tangannya terangkat, jari-jarinya ingin menyentuh keningku.

Aku mengernyit lagi, dengan cepat berjalan mundur menghindarinya. Kulihat dia menatapku kecewa. tangannya yang dipenuhi gelang berwarna perak turun lagi menimbulkan bunyi kerincing.

"Kenapa kau menjuh? Aku tidak akan menyakitimu."

"Apa kau orang gila?" Aku menatapnya aneh. Sedikit waspada, takut dia wanita stres yang kabur dari rumah sakit jiwa.

"Aku menunggumu dan menemukanmu." Katanya lagi.

Aku semakin yakin dia orang gila. Aku menggeleng tak percaya dan berbalik untuk menghindarinya. Aku takut. Sangat takut. Namun, sebelum jauh aku menoleh kebelakang memastikan bahwa dia mengikuti atau tidak.

Aku langsung memucat melihat wanita itu sudah tak ada lagi di tempatnya berdiri tadi. Sekarang aku tau dia bukan banci atau orang gila, tapi dia hantu berparas cantik yang menginginkan tumbal. Seperti cerita karya Jone Werka, seorang gadis cantik dan manis adalah hantu pemakan manusia untuk mempertahankan tubuhnya agar tetap bisa seperti manusia biasa, agar dia tetap bisa bersama dengan sang kekasih yang sangat dia cintai.

Tubuhku terasa lemas, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku lari menyebrang jalan, tak sempat lagi akal sehatku memikirkan apapun. Pupil mataku mengecil ketika melihat cahaya lampu yang semakin lama semakin mendekat. seketika itu aku merasa tubuhku terhempas dan sakit.

***

Aku dimana, Itu yang pertama kali terlintas dipikiranku. Aku mencoba duduk. Aku masih mengenakan seragam sekolah karna tadi memang niatku untuk tidak pulang kerumah tanpa membawa mobilku tadi pagi. Aku melihat sekeliling, memastikan dimana aku sekarang. Teringatku, aku tadi korban tabrak lari yang tergeletak parah di tengah jalan. Tapi kenapa sekarang aku jadi berada di trotoar. luka-lukaku yang sakit sudah tak ada, hanya tertinggal darah yang banyak di baju dan lengan.

Aku mengusap wajahku, mencoba menyingkirkan debu dan darah di pipi. Rasanya, semua masalah mulai mencuat kepermukaan hidupku satu persatu. Hidupku cukup kelam sejak perceraian kedua orang tua ku 9 tahun yang lalu, lalu setelah itu mereka kembali ke Sang Maha Kuasa. Dan sekarang aku harus terjebak dengan perasaan yang tak pantas kumiliki tapi sangat sulit dilepas.

Aku melihat jam di tanganku, sudah pukul 03:35 pagi. Sebaiknya aku kembali kerumah karna tidak mungkin dengan penuh darah aku pergi berkeliaran. Bisa-bisa yang melihat menganggapku hantu. Tapi kemana perginya wanita tadi? Dia pasti benar-benar hantu.

Aku bangkit tanpa rasa sakit sedikitpun, mengambil tas sekolahku yang kotornya entah seperti apa. Bajuku penuh darah tanpa luka, atau mungkin aku sudah jadi hantu sekarang.

-

Aku sampai di kediaman keluarga Darwis. Sejak kepergian kedua orang tuaku, aku tinggal dirumah adik laki-laki papaku yang merupakan orang tua Farhel. Awalnya aku menolak tinggal dengan keluarga Darwis karna rumahku masih berdiri kokoh ditempatnya. Tapi, bagaimana jika pihak perlindungan anak memberi pilihan panti asuhan atau rumah keluarga Darwis? Tentu saja aku memilih rumah saudaraku sendiri.

Aku menatap pagar tinggi di depanku, berpikir untuk memanjat seperti kebiasaanku kalau pulang larut. Aku memanjat dan melompat Dengan gampang seperti yang sering kulakukan. Biasanya tulang rusukku seperti mau patah jika melompat, kini tak ada rasa sakit sedikitpun.

Aku masuk kehalaman dengan santai, berjalan kesamping menuju jendela kamarku yang berada di lantai satu. Walaupun rumah ini besar tapi tidak ada satpam atau penjaga khusus. Yang ada hanya satpam yang berjaga di pintu masuk komplek.

Brukk!!!

Brukk!!

Suara yang keras seperti nangka jatuh itu adalah suara tubuhku yang jatuh ke lantai mengenai meja belajar. Sedikit membuatku sendiri kaget karna menimbulkan suara keributan.

Seperti biasa lampu kamarku selalu mati jika aku kembali, aku tidak mau menghidupkannya, kegelapan lebih menenangkan dan tidak menyilaukan.

"Darimana?" Suara bariton itu berhasil membuatku terperanjat kaget. Baru saja aku ingin membuka pakaianku tapi suara itu berhasil menghentikan.

Dari kegelapan aku berhasil menangkap sosok itu di pinggir ranjang, duduk dengan santainya seolah tak ada masalah dengan kehadirannya itu.

"Kemanapun aku pergi itu bukan urusanmu lagi." Jawabku. Di kegelapan aku melihatnya mendengus, seolah keadaan gelap ini bisa menyembunyikan tawa mengejeknya dariku.

Dia bangkit, berjalan santai kearahku. Aku berjalan mundur menghindarinya. Aku benci jika harus seperti ini, dia bukan Farhel yang dulu lagi. Kemarahannya karna aku memilih mengakhiri hububungan kami membuatnya menjadi seperti ini, memaksaku tetap harus bersamaya sampai mati.

"Lepaskan aku!" Aku Mencoba meronta untuk melepaskan kunciannya pada tubuhku yang mentok di dinding.

"Kalau aku tidak mau? Kau bisa apa?" Jawabnya mempertahankan tubuhnya yang begitu dekat denganku. Harum tubuhnya mengusik indra penciumanku, harum yang tak pernah kulupakan. Harum yang dulu slalu bersamaku kemanapun aku pergi.

"Apa-apaan kau ada dikamarku?" Ucapku masih mencoba melepaskan kunciannya.

"Kenapa? Inikan kamar kekasihku. Aku menunggunya pulang dari tadi malam tapi dia baru pulang jam segini."

Aku menggeram mendengar ucapannya, "aku bukan kekasihmu." Ucapku penuh penekanan.

"Kau kekasihku. Dulu, sekarang, dan selamanya, tidak ada yang bisa merubah itu termasuk dirimu." Ada kemarahan yang mucul di nada bicaranya. Dia memang akan marah besar jika aku mengatakan hal itu.

Aku tertawa mengejek. "kita bukan kekasih. Ingat? Kita tak punya hubungan lagi. Kita tidak bisa bersama, sadarlah, jangan terlalu bodoh!" Ucapku. Seketika itu aku merasa tubuhku terangkat, kemudian terhempas keatas ranjang.

Farhel berada diatasku, mengunci tubuhku diatas ranjang, dia berhasil membuatku tak bisa bergerak. Siku kirinya ia jadikan tumpuan agar bobot badannya tidak seluruhnya menindihiku.

"Siapa yang bisa melarang kita bersama? Mamah? Ayo kita buat Farhel kecil lahir agar mama mau menyutujuinya."

Aku mencoba menyingkirkannya diatas tubuhku tapi itu tak berhasil dan sia-sia.

"ide gila apa itu? Tidak akan pernah ada Farhel kecilmu bersamaku. Singkirkan tubuhmu!"

"Dengan cara itulah mama akan setuju." Jawabnya. Tiba-tiba dia mengendus, "bau amis darah apa ini?" Ucapnya ketika baru menyadari bau darah di bajuku.

"Makanya awas! Aku mau ganti baju." Ucapku mulai kehilangan kesabaran.

"Biar aku yang membukakannya." Tangannya mencoba membukakan kancing bajuku, dengan cepat aku menyingkirkannya dan itu berhasil membuatnya emosi.

"Kenapa? Kau milikku!" Ucapnya tak terima.

"Milikmu? dengkulmu itu. Kita hanya sebatas sepupu."

"Ayo, kita buat Farhel kecil. Maka kita bukan hanya sekedar sepupu." Dengan lembut Farhel menciumi leherku dan menggigit-gigitnya kecil. Tangannya nyalang masuk kedalam bajuku.

Aku panik, aku takut, takut ini akan terjadi. Aku takut sentuhan Farhel membuatku lupa diri, sentuhannya selalu membuatku hilang kesadaran. Walaupun selama ini Farhel tak pernah mengambil ciuman pertamaku, tapi dia pernah merasakan kenyalnya payudaraku, itupun dia lakukan karna emosi melihatku dengan lantangnya mengatakan tak mencintainya lagi.

"Farhel! Hentikan! Aku membencimu!" Teriakku sambil meronta-ronta.

Dia tetap melanjutkan aksinya. Tangannya mencoba melepas seluruh kancing bajuku. Dengan panik aku terus berteriak, "hentikan! Apa yang kau lakukan? Aku akan teriak agar tante mendengarnya."

"Berteriak saja, Mama tidak ada dirumah."

"Aku tidak mencintaimu!!!"

"Akan kubuat kau mencintaiku lagi. Dengan cara kita bersatu sesungguhnya." Tangannya terus meraba dan ingin menyingkap Bra ku.

Lampu kamarku hidup. Sosok yang menghidupkannya berdiri suntuk menahan kantuk. Dengan cepat Farhel menarik selimut untuk menutupi dadaku agar tak terlihat oleh abangnya.

Aku memandang penuh harap pada sosok itu, "kak Zio, tolong singkirkan manusia ini dari atasku."

Kulihat kak Zio menggeram marah. "menjauh darinya." Perintahnya.

Farhel hanya menatap datar abangnya, lebih tepatnya menatap mengejek. "Kalau aku tidak mau?"

Kak Zio berjalan mendekat dan menarik paksa Farhel, memberi pukulan di pipi Farhel membuat cowok itu meringis, tapi dengan cepat dia membalasnya. "impas." Ucapnya sambil tersenyum simpul setelah mendaratkan pukulan ke hidung mancung kak Zio.

Selagi abang beradik itu berkelahi aku mengambil kesempatan mengancing bajuku kembali.

"Apa yang kau lakukan? Menjijikan. Dia itu sepupumu. Seharusnya kau menjaganya bukan memperlakukannya seperti ini. Sesekali kau harus diberi pelajaran agar kau mengerti." Kak Zio hendak memukul Farhel lagi, tapi dengan cepat Farhel mendaratkan pukulan diperut Kak Zio.

Dengan tatapan dingin Farhel ingin memukul lagi, tapi dia menghentikannya karna melihat setitik darah di sudut bibir abangnya. "Abang, jangan ikut campur urusanku. Ini tentang perasaanku."

"Tapi kau tak pantas malakukan itu. Kau bisa meniduri gadis manapun yang kau mau dengan wajahmu yang seperti itu. Tapi Kenapa harus Bella? Dia itu adikku juga, jadi jangan sentuh dia, brengsek." Kata Kak Zio.

"Aku hanya bermain dengannya. Mungkin itu agak menyenangkan untuk kami berdua. Jangan samakan dia dengan gadis diluar sana, karna dia berbeda." Jawab Farhel tanpa dosa.

"Kau sudah gila. Kau dan dia tak bisa bersama, bodoh! Sadarlah! Buka matamu. Atau buang saja otakmu itu." Kak Zio mengguncang bahu Farhel, berharap adiknya itu bisa sadar atas kebodohannya.

Farhel mengawaskan tangan Kak Zio dari bahunya. Dia menepuk bahu Kak Zio seolah abangnya adalah teman sekolahnya. "Aku tak pernah main-main dengan apa yang kurasakan. Sekali lagi abang bicara seperti itu, kupastikan abang menyesal. Menyesal karna akan merasakan bagaimana rasanya kekasihmu meninggalkanmu dengan cara lebih menyakitkan, seperti Bella yang meninggalkanku dengan menancapkan pisau tak kasat mata ditubuhku." farhel tersenyum manis, menampakkan kedua lesung pipinya yang luar biasa itu. Dia terus tersenyum, mengejek abangnya. Mengetes nyali kak Zio lagi. Dulu dia pernah melakuan hal yang lebih parah, dia marah saat kak Zio menyukaiku, waktu itu aku kelas 1 SMP dan Kak Zio 3 SMP.

Kulihat Kak Zio tak berkata lagi. Dia tau Farhel itu seperti apa, dibalik senyum indahnya Farhel sangatlah berbahaya. Kak Zio berjalan kearahku, lalu dia menarik lenganku. "Menjauh dari bajingan ini." Dia membawaku keluar kamar. Kulihat Farhel hanya menatap dingin kearah kami, dia tidak mencegah atau menarikku seperti biasanya.

Tanganku di gandeng lembut kak Zio menaiki tangga, dia membawaku menuju kamarnya. Kak zio adalah anak pertama tante Moza. Papaku dan papanya saudara kandung tapi kini mereka sudah meninggal karna kecelakaan mobil di Belanda saat melakukan perjalanan bisnis. Mamaku juga meninggal dua minggu setelahnya karna kecelakan pesawat. Kecelakaan itu sudah lama sekali, sudah 5 tahun yang lalu. Semenjak itulah aku tinggal di rumah tante Moza.

"Bella.." Suara kak Zio menyadarkanku dari lamunan.

Aku tersadar dan langsung bertemu mata abu-abu miliknya, mata yang sama sepertiku dan Farhel miliki. "Iya? Maaf, Bella melamun." Ucapku gugup. Bagaimana tidak, aku dan dia hanya beda 2 tahun dan sekarang kami berada didalam ruangan yang sama dan juga privasi. Walaupun lebih ganteng farhel tapi tetap saja kalian harus tau, dia cowok yang Penampilannya selalu keren dan rapi seperti artis, mungkin karna dia anak band yang slalu menjaga penampilannya.

"Darah apa dibajumu itu?" Dia mengernyit melihat darah di baju sekolahku. Dia meraih tanganku untuk melihat ada luka atau tidak, "tak ada luka. Hanya ada darah." Ucapnya sambil melihat seteliti mungkin.

Aku tersenyum untuk membuatnya tenang. Walaupun aku tidak mempunyai orang tua lagi tapi aku masih bisa merasakan kasih sayang dari orang-orang terdekatku. "tadi Bella nolongin teman kecelakaan, makanya pulangnya jam segini." Kataku berbohong. Mana mungkin aku mengatakan apa yang sebenarnya, itu tidak masuk akal.

Kulihat matanya menyipit tidak percaya. Dia hendak berbicara tapi aku langsung memotongnya. "Percayalah. Bella tidak apa-apa. Lihat? Tak ada luka," aku menunjukkan wajah dan kaki, menyuruhnya benar-benar melihat.

Dia mengangguk percaya. "pergilah ganti bajumu. Nanti tidur saja ditempat tidurku, aku tidak bisa tidur lagi."

Aku hendak berjalan ke kamar mandi tapi terhenti ketika menyadari bahwa bajuku ada dikamarku. "baju Bella ada dikamar."

"Biar bu Ani nanti yang mengambilkan. Kau mandi saja dulu." Dia berjalan keluar dan aku langsung masuk ke kamar mandi.

Aku memandangi cermin lebar di dinding setelah tadi aku mengatur air panas untukku mandi di jam segini. Terlihat dipantulan cermin tubuhku yang kumel seperti orang baru saja keluar dari hutan.

Setelah puas mengamati aku merendam tubuhku yang mulai terasa tidak enak dan aneh. Sambil bersenandung kecil aku mencoba mencerna apa yang sudah terjadi.

**

avataravatar
Next chapter