6 enam

Setelah sampai di rumah dengan mode buta warna, tidak lagi bisa mengenali mana lampu merah, hijau, kuning, aku langsung berlari masuk dan langsung menuju kamar Farhel. Pandanganku menyapu kamar itu, mencari sosok yang ingin dan amat sangat ingin ku temui sekarang, tapi yang ku lihat hanya kamar kosong yang berantakan seperti telah terjadi amukkan yang hebat. Aku mencoba memeriksa kamar mandi tapi hasilnya sama. Kemudian aku memutuskan pergi dari kamarnya untuk menemui kak Zio dengan langkah lebar dan cepat.

"Kak, kemana Farhel?" Tanyaku setelah menemukan kak Zio yang tak kalah paniknya sambil menempelkan ponsel di telinga, sepertinya dia mencoba menghubungi Farhel. 

Dengan kesal dia mencampakkan ponselnya ke sofa. "Kakak tidak tau. Tadi dia keluar kamar dan pergi. Kakak sempat menahannya tapi tidak bisa." Ku lihat wajah putihnya merah padam. "Dia tidak akan seperti ini jika tidak karnamu. Ada apa lagi dengan si gila itu? Kenapa dia punya otak tapi di tinggalkannya di laci berbarengan dengan celana dalamnya?"

Aku menggeleng, tapi setelah beberapa detik aku mengangguk. "aku tau farhel dimana."

"Dimanapun dia tolong cepat temukan dan seret dia pulang. Sudah dua hari aku lelah mencarinya. Jika Mama tau hal ini habislah dia."

Aku langsung berlari ke luar rumah dan langsung naik ke mobil Audi merahku. ya, aku tau Farhel dimana, dia pasti pergi ke ayunan, Ayunan yang menjadi saksi hubungan kami di mulai, jika ayunan itu bisa bicara aku yakin dia pasti menertawakan kami berdua sambil berseru ''hei! Kalian yang dulu para bocah bodoh melebih bodoh, kalian memang bodoh, tolol lebih tepatnya. Kalian seperti tokoh novel yang dramatis, kisah cinta kalian begitu menyedihkan.'' Ayunan itu pasti berseru seperti itu, Ayunan tempat kami bermain dulu. Ayunan yang terbuat dari tangan kreatif kakek yang di buatnya untukku, Farhel, dan Zio kecil.

.

Sesampainya aku di depan tanah milik kakek yang luasnya 2 Hektare di tengah kota, aku agak ragu Kalau Farhel tidak ada di ayunan. Aku memandangi pagar beton tanah kakek yang menjulang tinggi dengan pintu besi besar yang tertutup, tak ada yang tau keaadaan di dalamnya kecuali kami pihak keluarga yang memilikinya. Tanah ini letaknya sangat strategis karena berada di tengah kota, jadi sudah beribu kali orang menawarkan diri untuk membelinya dengan harga mahal tapi pihak keluarga kami tidak pernah mau menjualnya karena jika musim panen buah, kami selalu kenyang.

Aku mengecek pintu pagar namun terkunci, tapi terkunci dari dalam, Berarti seseorang ada di dalam. Tidak salah lagi pasti Farhel. manjat-memanjat memang keahlianku dari kecil, bahkan aku pernah dapat medali emas panjat tebing di jerman. pagar ini memang tinggi tapi aku bukan Manusia lagi, aku yakin bisa mendarat sempurna. 

Setelah aku memanjat dan mendarat dengan selamat, Aku segera mengingat-ingat dimana jalan menuju ayunan itu. Tempat ini luas dan cantik jika kalian mempunyai kenangan manis di dalamnya, tapi sangat menyeramkan jika kalian punya kenangan pahit di dalamnya. Semua kenangan masa kecil langsung terputar seperti kaset rusak di ingatanku, ingatan dimana aku dan Farhel bahagia dengan keahlian bersembunyi kala kami sedang bermain petak umpet, dan kenangan lucu saat Kak Zio yang selalu manangis jika selama permainan kami selalu curang.

Aku menyusuri pepohonan hasil jerih payah kakek sambil mengingat beberapa memori yang hampir aku lupakan karna selama ini tersimpan rapi di sudut otakku. Pandanganku lurus ke depan melihat satu pohon yang berbeda, besar dan cantik. Ayunan cantik yang tergantung di pohon itu membuatku meringis melihatnya, sudah lama sekali sejak saat itu...

ayunan itu tampak usang dan tua karna di makan waktu dan cuaca. Untung saja ayunan yang hanya bisa di duduki oleh satu orang itu terbuat dari besi bukan tali dan papan atau ban bekas. Namun bukan itu yang membuatku datang, bukan ayunan itu, tapi sosok yang sedang berdiri muram sambil bersandar di pohon itu, pandangannya menatap kosong ayunan berkarat di depannya. Tangan kirinya menggenggam sebuah belati kecil yang dari kilatannya tampak sekali bahwa itu sangat tajam. Si bodoh itu.... dia tidak mungkin ingin bunuh diri, dia tidak selebay itu.

Aku langsung berlari menghampir Farhel, merebut belati yang ia genggam dan langsung melempar belati itu ke sembarang arah. Mataku menatapnya marah, tanpa kata aku mengalirkan rasa marah itu melewati mata. Dia menatapku pahit, tersenyum getir lalu memalingkan wajahnya. Wajah kurang tidurnya... wajah kacaunya..... wajah terlukanya... terpampang sangat jelas, itu berhasil membuatku meringia.

Sempat ada rasa sakit saat mata itu memilih untuk tidak melihatku, ini pertama kalinya mata abu-abu itu menolakku. "Farhel, ada apa?" Tanyaku pelan. Dia masih tidak bergeming sama sekali. Tatapannya kosong ke arah lain, ku raih kedua pipinya agar dia melihatku. "Rhel." Panggilku.

Aku tidak pernah membencinya. Aku yakin hanya dia sosok yang mau menemaniku jika aku menjadi bangkai hidup yang berjalan di atas permukaan bumi.

Dia menatapku, tak ada arti selain rasa sakit yang tercermin di mata abu-abu miliknya itu. "Jika kau tidak bisa menerimaku lagi, tolong,  setidaknya jangan buat aku merasakan sesakit ini, ini hati bukan batu." Ucapnya serak. Suaranya kecil nyaris tak terdengar.

"Maksudnya?" Tanyaku bingung.

"Kenapa kau menciumnya?" Suara seraknya membuatku hampir terperanjat kaget. Tidak mungkin dia melihatku mencium Rayyen. Tidak mungkin.

"Itu tidak seperti mata-matamu pi...." Mungkin dia mendapat informasi dari orang yang dia suruh mengikuti kemanapun aku pergi, memata-mataiku seolah aku ini adalah target sebuah kejahatan.

"Aku melihatnya sendiri." Potongnya cepat.

"aku menciumnya karena permainan T.O.D terkutuk, itu bukan mau ku. Aku hanya melakukan dare dari Alona."

Farhel ternyum pahit. "Gadis itu rupanya." Ucapnya pelan. Aku tidak mengerti apa yang dia maksud tapi yang jelas dia sedang membicarakan Alona.

"Kapan kau dewasa? Udah saatnya kau mencari pasangan hidupmu yang bisa hidup bersamamu selamanya. Aku tidak mau kau membuang-buang waktumu hanya untuk cinta masa kecil kita yang konyol ini."

Farhel langsung menatapku nanar, matanya memerah. "Hanya kau yang menganggap semua ini konyol. Bahkan kau tidak pernah tau rasanya saat aku melihatmu menangis, rasanya saat aku melihatmu sakit walau kau hanya Flu, rasanya saat melihatmu sedih, rasanya setiap kali ada goresan kecil di kulitmu, kau pasti tidak pernah tau bagaimana rasanya karena hanya aku yang bisa seperti itu, karna sejak awal cintaku yang paling besar walaupun kau yang memulai. Bahkan kau lupa dengan janji kita 9 tahun yang lalu. Janji bahwa tidak ada yang boleh mencium bibirmu kecuali aku. Hanya aku yang boleh mencium bibirmu, itupun boleh aku lakukan saat kita sudah mengucap janji sehidup semati. Janji itu tidak pernah ku langgar dan tidak akan pernah pudar di otakku. Kau yang sudah mengotori kertas janji yang awalnya putih, kau mengotorinya dengan noda hitam dan menancapkan jarum-jarum yang tajam. Semuanya, kau yang mengotorinya."

Setitik air mata siap meluncur bebas dari mataku tapi aku menahannya dengan susah payah. Tapi apa boleh buat, akhirnya air mata itu meluncur juga dan di gantikan dengan yang baru, begitu seterusnya hingga aku terisak. Tak ada yang bisa kukatakan lagi. Semuanya memang salahku, aku yang memulai semua ini, aku yang datang padanya tapi kenapa aku yang meninggalkannya. Lalu aku harus apa? Menerimanya lagi? Aku bisa saja karna cinta untuknya masih ada. Tapi apakah Tante Moza mengizinkan kami bersatu?

Aku tidak mau melanjutkannya, aku tidak mau melanjutkan hubungan ini. Aku takut jika kami melanjutkan ini kami malah tidak bisa saling melepaskan lagi saat kami di suruh berpisah. Aku tidak mau berakhir seperti Romeo dan juliet, berakhir tragis karna dilarang saling memiliki.

Aku merasakan tubuh dingin mendekap tubuhku. Farhel memeluku, mencium pucak kepalaku pelan. Aku tau dia merasakan sakit, aku tau dia takut menangis bersamaku, dia takut terlihat lemah ketika air mata meluncur tanpa malu di pipinya makanya dia membenamkan wajahku didanya agar tangisku tidak terlihat oleh matanya. Dia selalu seperti itu, dia akan menyembunyikan wajahku di dada-nya jika aku menangis.

"Jangan menangis, Kau akan membunuhku." ucapnya parau.

Aku tidak bisa berhenti menangis. Hatiku juga sakit. Andai kalian merasakannya, Merasakan bahwa kalian mencintai seseorang namun seseorang itu sudah di takdirkan tidak bisa bersama kalian. Rasanya lebih baik mati.

Aku menumpahkan air mataku di baju Farhel, di dalam dekapannya aku menumpahkan semuanya. Entahlah aku juga bingung, kenapa air mata masih bisa mengalir ketika semua organ tubuhku sudah tidak berfungsi semua.

Sambil terisak aku berusaha berbicara jelas. "apa yang kau rasakan sama dengan apa yang ku rasakan. Bukan mau ku melupakanmu, aku hanya berusaha sebelum terlambat." Dia tak menjawab, tak ada yang terdengar kecuali deru napas beratnya dan suara isakanku.

"Rhel, aku tidak pernah melupakanmu. Tapi aku harus melupakanmu. Aku menyadarinya sejak kita 15 tahun, di usia segitu aku baru tersadar betul bahwa kita benar-benar tak bisa bersama. Dulunya aku juga berpikir bahwa perasaan ini salah, Perasaan ini tidak bisa dilanjutkan. Tapi aku tidak ingin kau jauh dariku." Ucapku lagi di keheningan.

"Aku tidak bisa, Bella. Aku juga sakit saat kenyataan menghantui diriku. Kenyataan yang sangat pahit. Aku menyesal, Bella. Andai dulu kita tidak membiarkan perasaan ini tumbuh, Andai waktu itu kakek tidak mengajakku kesini, Andai waktu itu kau tidak datang mengganggu ku disini, pasti perasaanku saat ini tidak akan pernah ada untukmu." Farhel melepaskan pelukannya, menghapus air mataku dengan jarinya. "Pohon inilah yang menjadi saksi. Kau masih ingat ukiran itu? Itu ukiran dengan bahasa cina. itu ukiran janjimu yang kau buat untukku. Aku tidak pernah lupa itu." Dia menunjukkan ukiran di batang pohon, aku rasa ukiran itu di perjelas lagi ketika waktu sudah membuatnya memudar. Mungkin, Farhel selalu menjaga ukiran itu agar tidak hilang.

"Farhel.. dengarkan aku. Ini yang terakhir kalinya. Bukalah telingamu dan dengar baik-baik. Aku minta maaf, Ini semua salahku. Aku yang datang di kehidupan mu dulu. Aku... sungguh minta maaf. Itu hanya kesalahan yang kita buat di waktu kita kecil, jadi jangan buat kesalahan itu lagi di waktu kita udah gede gini. Tidak ada guna lagi untuk mu mencintaiku walupun beribu cara kau lakukan. Lihatlah sekelilingmu Banyak sekali wanita yang ingin bersamamu. Cobalah untuk membuka hatimu untuk wanita lain mulai sekarang. Terimakasih selama ini kau sudah menemaniku, terimakasih kita sudah melalui semua masa sulit bersama, Terimakasih karena kita susah senang bersama."

Lagi-lagi Farhel tersenyum pahit khasnya. "Semua yang kita lalui selama ini, hanya berakhir seperti ini? Kita slalu bersama tapi kenapa pada akhirnya kita tidak bisa bersama? Tuhan tidak adil Aku tidak percaya."

"Terkadang orang yang mendampingi kita melihat pelangi tidak selalu sama dengan sosok yang menemani kita saat hujan dan petir. Jangan pernah salahkan Tuhan." Ucapku tersenyum. Dia hanya diam menahan sesak di dada, aku tau dia tak sanggup tapi aku tetap tersenyum untuk kepahitan ini.

Andai saja kami bukan sepupu aku pasti bangga memilik laki-laki seperti dirinya yang sangat mencintaiku. Sekarang aku sadar Hari ini kami harus memulai hidup baru. Melupakan semua janji yang telah kami ucapkan dulu.

"Rhel berjanjilah mulai saat ini kau harus melupakanku. Aku juga harus melakukan hal yang sama. Berjanjilah untuk membuang semua kenangan kita dan Hidup normal mulai sekarang. Aku tidak akan meninggalkanmu tapi aku akan menuntunmu untuk membuka hati untuk gadis lain." Ucapku sambil menunjukkan jari kelingking yang sering kami lakukan sejak kecil untuk janji tapi Farhel menggelengkan kepalanya. 

"Rhel... ayolah coba mulai sekarang. Kalau tidak kapan lagi?"

"Kau janji tidak pergi? Kau janji akan selalu di sampingku? Kau janji jika aku berhasil membuka hatiku pada perempuan lain kau tidak akan membenciku?" Tanyanya.

"Aku janji. Kenapa aku harus membencimu? Itu lah yang aku inginkan, aku ingin jika kau sakit hati kau mengadu padaku bahwa kau sakit hati karena perempuan lain bukan karena aku lagi. Selama ini kau slalu sakit hati karena aku dan kau mengadunya samaku. Itu kan konyol."

"Apa kau akan membuka hatimu untuk pria lain?" Tanyanya sedih.

"Ya, Tentu. Mari kita mulai hidup baru. Mari kita saling mengadu satu sama lain jika ada masalah. Kau mengadu samaku tentang gadismu dan aku mengadu tentang laki-lakiku padamu."

Farhel berpikir lalu mengangguk pahit. "Tapi berjanjilah jangan menangis kepadaku jika suatu saat nanti laki-laki mu menyakitimu. Karena aku takut laki-laki mu akan mati setelah itu."

Aku tersenyum dan meraih kepalanya untuk mendekat padaku. Aku mengecup bibirnya lembut. Aku merasakan tidak ada balasan tapi aku tetap melanjutkan kecupan itu menjadi ciuman di bibirnya dengan keahlianku yang entah dari mana aku tau cara mencium orang. Tapi tidak berapa lama aku merasakan dia membalas ciumanku, bibir lembutnya begitu menggilakan saat dia melumat bibirku perlahan dan semakin cepat.

Aku melepaskan ciuman kami karena aku harus berpura-pura menghirup udara.

Farhel menatapku lekat. "Kenapa kau menciumku?"

"Dulu kita berjanji akan berciuman setelah mengucap janji di depan penghulu dan saksi. Tapi karena aku sadar itu tidak akan terjadi, aku menciummu sekarang saja." Aku tersenyum tulus padanya. Senyum yang tulus tanpa ada rasa kesal sedikitpun.

"Maaf jika dua tahun ini aku berperilaku buruk padamu. Aku melakukan itu karena aku ingin kau kembali padaku lagi seperti dulu. Tapi kelakuanku itu malah membuatmu menjauh." Farhel menatapku menyesal. Tangannya menarik dagu ku dan membawaku ke ciuman hangatnya. Tangannya yang ada di tengkuk ku menekan agar ciuman kami benar-benar dalam.

Aku merasakan ini seperti ciuman perpisahan. Air matanya jatuh sedikit membasahi pipi ku, aku ingin melepas ciuman ini tapi dia malah menekankan ciumannya lebih dalam lagi. Air matanya terus membanjiri di sela ciuman kami, hingga air mata itu tak terasa lagi karna rintik-rintik hujan yang awalnya sedikit lalu menjadi deras menutupi air mata Farhel yang terus jatuh tak ingin berhenti .

Aku memaksa Farhel melepas ciumannya. Ini hujan, baju kami sudah basah kuyup. Mata Farhel memerah karna tangisnya.

"Farhel, ayo kita pulang. Aku tidak mau kau sakit." Dia mengangguk, kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Dia membawaku keluar dari kebun kakek yang sudah banyak berubah.

Sambil berjalan aku langsung mengingat satu hal yang hampir saja terlupakan. "Kenapa kau tadi menggenggam pisau? Kau mau bunuh diri karnaku?"

Farhel menggeleng dan tertawa kecil. "Aku tadi lapar dan membutuhkan pisau untuk mengambil buah-buahan yang ada."

Aku tersenyum lega, benar apa ku bilang dia tidak selebay itu. "Aku pikir kau mau bunuh diri karnaku."

"Mungkin saja, jika kau tadi tidak datang." Jawabnya enteng.

"Rhel!." Ucapku sambil mencubit perutnya pelan, dia hanya terkekeh kecil.

Aku yakin. Wanita yang mendapatkan cintanya nanti pasti adalah wanita yang sangat beruntung, dan wanita itu pasti sangat bahagia. Mungkin saat menciptakan Farhel Tuhan sedang tersenyum hingga dia hampir sempurna.

***q

avataravatar
Next chapter