18 delapan belas

Terjadi keheningan saat mereka berdua sudah naik ke dalam mobil. Hanya ada suara musik yang terdengar, dan hanya ada suara gerakan kecil Bella karena dia sedang menyetir. Tadi Rayyen meminta agar dia yang nyetir, tapi Bella keukeuh ingin menyetir.

"Kau mau bawa aku kemana?" Tanya Rayyen tanpa menoleh. Pandangannya Lurus ke depan, melihat Jalanan yang sepi karena masih jam sekolah dan jam kerja.

"Kerumahku." Jawab gadis itu santai.

"Bukannya kau tinggal di rumah Farhel?"

"Darimana kau tau?" Bella menoleh sekilas.

"Zora yang memberitahuku. Kenapa kau membawaku kesana?"

"Aku bukan membawamu ke rumah Farhel, tapi aku membawamu ke rumahku."

Rayyen menyipitkan matanya, curiga. "Untuk apa? Jangan bilang kalau kau mau melakukan hal yang aneh-aneh lagi."

Gadis itu tertawa geli. "Hahaha, aku bukan gadis seperti itu."

"Mana tau, kau kan gila." Cibir lelaki itu.

Tidak butuh waktu lama, Bella membelokkan setir ke kanan untuk memasuki perkomplekan rumah mewah. Berbelok lagi ke kiri, kemudian berhenti di sebuah rumah berlantai dua berwarna hitam dan merah. Rumah itu tampak sangat gersang karena sudah lama tidak berpenghuni.

Gadis itu mencari kunci di tas, setelah itu ia turun dari mobil untuk membuka gerbang besar berwarna hitam. Untung saja rumahnya di perkomplekan mewah jadi bisa bayar satpam yang berjaga dari luar.

Setelah gerbang terbuka, dia langsung menyuruh Rayyen untuk memasukkan mobilnya ke halaman rumah. Rayyen keluar dari mobil untuk berpindah ke bangku kemudi, dia menjalankan mobil itu masuk ke halaman. Setelah mobilnya masuk, Bella menutup gerbang itu kembali.

Rayyen turun dari mobil, keningnya berkerut memperhatikan rumah di hadapannya. "Kenapa rumahmu seperti rumah hantu? Warnanya merah dan hitam. Selera warna yang payah."

"Rumah ini milik mamaku, ia sudah meninggal. Dulunya rumah ini berwarna putih, sesuai warna kesukaannya. Aku tidak suka warna yang terlalu terang, jadi aku mengubahnya menjadi seperti ini." Bella ikut menatapi Rumah besar yang gersang itu.

"kau malah membuat rumah ini tampak seram." Cibir Rayyen.

"Hei! Apanya yang menyeramkan? Aku memilih cat rumah yang terbaik dan mahal, Bahkan aku menghabiskan uang puluhan juta untuk mengecatnya ulang." Jawab Bella tak terima.

"Bodoh. Di lihat dari warna kesukaan, kau dan mamamu berbeda. Putih melambangkan bahwa dia wanita yang tenang, lembut, perfeksionis dan sederhana. Berbeda dengan merah yang terbuka, agresif, inpulsif dan bersemangat. Haaa, pantas saja." Setelah berbicara seperti itu, Rayyen berjalan meninggalkan Bella untuk menghampiri pintu masuk.

Bella mengikuti Rayyen dari belakang. Gadis itu membuka ponselnya, lalu masuk ke pencarian google. Menurutnya Rayyen penyuka biru, jadi dia membuka sifat berdasarkan warna biru. Setelah menemukan apa yang ia cari, dia langsung membacanya keras-keras. "Warna biru memberikan kesan lembut, menenangkan dan perhatian. Warna ini melambangkan kehati-hatian, konservatisme, dan introspeksi. Orang-orang penyuka biru biasanya sabar, sensitif, punya pengendalian diri yang bagus, dan mudah menyadari kesalahannya. Mereka loyal jika sudah meyakini sesuatu. Tetapi orang-orang yang menyukai warna biru seringkali menunjukkan sikap yang terlalu hati-hati. Karena itu mereka lebih menyukai sesuatu yang bersifat konservatif. Dan karena sikap konservatif itu pula mereka jadi sering curiga pada orang-orang yang memiliki kepribadian serba spontan dan menonjol seperti para penyuka merah dan oranye." Ucapnya keras, sengaja agar Rayyen mendengarnya. "Haaaa, pantas saja kau selalu curiga padaku.

"Tidak terlalu benar." Komen cowok itu.

"Iya, sangat jauh. Kau tidak lembut, menenangkan dan perhatian sedikitpun. Kau tidak sabar, tidak pernah menyadari kesalahanmu. Sensitif, dingin dan penuh curiga, itu yang benar."

Rayyen berbalik untuk melihat gadis itu. "Jangan pernah menilai orang sebelum kau mengenalnya lebih jauh."

Bella mengangguk. "Iya, aku belum mengenalmu. Tapi setidaknya itu yang ku ketahui." Ia membuka kunci pintu rumah itu. Dengan sedikit mengernyit dia mendorong daun pintu itu agar terbuka lebar.

"Kenapa banyak debu? Sudah berapa lama kau tidak tinggal disini?" Rayyen ikut mengernyit ketika debu menyambut mereka.

"5 tahun." Jawab Bella. Ia berjalan masuk sambil memperhatikan setiap sudut rumah yang tak pernah ia datangi lagi. Perabotan-perabotan mahal yang masih lengkap hanya di tutupi kain putih polos yang di atasnya di penuhi debu. Guci-guci besar yang tidak di tutupi kain terlihat menyeramkan.

Langkah Bella terhenti di depan tangga besar yang kokoh. Tangga itu sangat indah melintang lurus keatas tanpa berbelok. Dinding kaca dan jendela besar yang banyak membuat rumah itu terang karna sinar matahari.

Rayyen ikut menghentikan langkahnya. "Rumah ini besar, Tidak kusangka kau pemiliknnya. Kenapa tidak kau tempati? Padahal perabotannya masih lengkap."

"Mau bagaimana lagi? Wasiat papaku menyuruhku untuk tinggal bersama tante Moza, mamanya Fahrel." Bella memandangi kembali semua sudut rumah itu sambil mengenang masa kecilnya yang begitu bahagia.

"Kau anak tunggal?"

"Ya." Gadis itu mengangguk kecil.

"Tunggu dulu, aku baru ingat sesuatu. Kau adalah Ruzh, lalu kedua orang tuamu sudah meninggal. Setau ku kaum Ruzh tidak bisa mati kecuali menjalankan ritual tidur abadi. Kau membohongiku?" Rayyen mengangkat satu alisnya keatas. Dia merasa gadis yang ada di depannya sedang membohonginya.

"Orang tua ku bercerai 9 tahun yang lalu. Dan 5 tahun yang lalu mereka berdua meninggal di waktu yang berbeda hanya beberapa minggu. Papaku meninggal karena kecelakaan di Belanda. Mamaku, aku tidak tau meninggalnya karna apa." Ucap bella bohong. Tentu saja dia tau bahwa 5 tahun yang lalu mamanya meninggal karena kecelakaan pesawat bersama kakek dan neneknya dalam perjalanan bisnis. Tapi walaupun dia berbohong Rayyen tidak akan tau apa yang sedang di sembunyikannya.

"Jadi kau? setengah manusia setengah Ruzh? Pantas saja kau bodoh." Setelah berucap seenaknya, Rayyen berjalan menaiki satu persatu anak tangga yang berdebu.

Bella hanya tersenyum menanggapinya. Tentu saja dia tau bahwa kedua orang tuanya manusia asli, bahkan dia sendiri tidak tau apa yang menyebabkan dirinya tidak manusia lagi.

Rumah itu sangat besar karena dulunya mamanya seorang pemilik perusahaan Fashion bernama Belldrin. Tapi sekarang perusahaan itu di jual karena Bella tidak mau meneruskannya.

Rayyen memandangi semua sudut rumah besar itu ketika ia sudah sampai ke lantai dua. Ia berjalan ke ruangan luas, matanya langsung bertemu pada alat musik Piano besar berwarna putih. Ia berjalan ke piano putih itu, hanya melihat dan tak beminat untuk memainkan piano yang berdebu.

"Sepertinya mamamu benar-benar penggila warna putih. Dari tadi aku tidak pernah melihat benda-benda yang tidak ada warna putihnya. Warna hitam dan merah di dinding merusak kesan sucinya." Ucap Rayyen sambil memandangi setiap benda yang ada di ruangan itu satu persatu.

"Terserah kau mau komen apa. Yang jelas warna putih terlalu polos dan tidak menarik sedikitpun bagiku."

Rayyen berjalan untuk mendatangi dinding yang di penuhi foto berbingkai besar. Ia memperhatikan satu persatu foto itu, matanya berhenti pada satu foto wanita muda dengan dress putih berbunga yang tersenyum di samping piano putih. "Dia mamamu?" Tanyanya tanpa menoleh ke arah Bella yang sudah berdiri di sampingnya.

"Iya, dia suka bermain piano dari masih kecil. Lucu memang, tapi sudah kenyataannya bahwa kami berdua berbeda. Ia menyukai mawar putih, aku menyukai mawar merah. Ia menyukai piano, aku menyukai biola."

Rayyen memperhatikan foto itu lama. "Kau tidak mirip dengan mamamu. Sedikitpun. Ia memiliki rambut pirang dengan mata biru yang agak sipit. Kau memiliki rambut coklat dengan mata abu-abu yang besar. Kesimpulannya kau anak pungut."

"Hei, aku mirip papaku."

Rayyen beralih pada foto di sampingnya. Foto gadis kecil yang memegangi sebuah biola berwarna merah gelap dan bocah laki-laki yang berdiri di sampingnya. "Kau dan Farhel?"

Bella mengangguk. "Iya, itu waktu lomba. Kami mendapat juara pertama. Aku bermain Biola dan Farhel memainkan piano. Sebenarnya Farhel lebih menyukai gitar, tapi dia lebih jago dalam bermain piano."

Rayyen menoleh kearah Bella. "Lalu, apa tujuanmu mengajakku kesini?"

"Ah, aku sampai lupa tujuan utamaku. Kau suka baca buku'kan? Sebenarnya buku jenis apa yang selalu kau baca?"

"Novel fantasi."

"Haaa??" Bella mangap sangking kagetnya. "Kau? Novel fantasi? Aku pikir kau menyukai buku-buku pelajaran, ilmiah, filsafat, dan semacamnya.

"Untuk apa aku membaca apa yang sudah ku ketahui? Pertama kali aku datang ke Bumi aku langsung tertarik pada novel-novel Fantasi hasil dari imajinasi manusia. Tak kusangka manusia suka menciptakan dan menceritakan makhluk-makhluk tak nyata."

"Yah, begitulah manusia, berimajinasi tinggi. Sebenarnya aku mengajakmu kesini untuk membawamu ke perpustakaan besar di bawah tanah milik mamaku. Dulu mamaku juga maniak dengan buku-buku, novel, dan semacamnya. Cerita-cerita fantasi dan percintaan, dia ada banyak. Kau boleh mengambil novel-novel mamaku yang kau suka, itupun kalau kau mau."

"Aku dan mamamu punya kesamaan. Hobby dan kesukaan. Aku yakin dia wanita yang pintar, tidak sepertimu yang baca buku terbalik."

Bella terkekeh pelan. "Kau salah. Dia tidak pintar dalam pelajaran, tapi dia ahli di bidang fashion dan merancang busana."

"Aku benar, Memangnya aku ada bilang bahwa mamamu pintar di bidang pelajaran?"

"Ya, ya, ya kau selalu menang, padahal hukum alam mengatakan cewek yang selalu benar." Ucap Bella pasrah. Dia yang akan selalu salah. Ayo. kita ke perpustakaan bawah tanah." Gadis itu menuruni tangga di ikuti Rayyen yang mengekori di p⁰belakangnya.

Mereka bertemu lagi dengan ruangan besar dengan interior seluruhnya berwarna hitam campur merah. Dulunya ruangan itu berwarna putih, tapi Bella mengubah keseluruhannya dengan warna kesukaannya, kecuali benda-benda yang ada di dalamnya masih serba putih.

Gadis itu membawa Rayyen ke sebuah kamar besar. "Kamar dengan kesan suci, tapi di kotori oleh debu. Sama sepertiku, awalnya masih suci, tapi kau mengotorinya dengan bibirmu."

Bella melotot ke arah Rayyen. "Kau ini, berhenti mengingatkanku pada hal memalukan itu."

"Aku sengaja mengingatkannya agar kau tidak sembarangan lagi mencium orang. Jika yang kau cium manusia mungkin tak ada masalah, tapi aku? Aku punya masalah karnamu." Ucap Rayyen tanpa rem. Bahkan setelah berucap begitu dia terkejut atas ucapannya sendiri.

"Apa kau mendapat masalah dariku?" Gadis itu menatap serius ke arah Rayyen.

"Lupakan. Aku hanya asal bicara."

"Rayyen."

"Lupakan atau aku pulang?" Cowok itu kembali dingin. Mata tajamnya terpancar kembali, ada rasa marah yang terlihat dari mata itu sehingga membuat Bella memalingkan wajahnya.

Bella membawa Rayyen kedepan pintu lemari besar. "Ini pintu menuju perpustakaan bawah tanah." Dia membuka pintu lemari besar itu, kemudian tampaklah sebuah tangga kecil yang menurun menuju sebuah ruangan gelap.

Bella melangkah menuruni tangga, dan Rayyen hanya mengekorinya di belakang. Gadis itu mencoba menghidupkan lampu, ternyata masih bisa menyala walaupun cahayanya redup.

"Perpustakaan pribadi yang lumayan bagus." Ucap Rayyen sambil berjalan menuju sebuah rak buku tinggi.

"Kalau kau mau membaca cerita Fantasi, buku-bukunya ada di sebelah sana, itu buku-buku populer di masa mamaku. Jika kau ingin mengambil yang ada di rak atas kau bisa menggunakan tangga itu." Gadis itu menunjukkan sebuah tangga yang terletak di sudut ruangan.

Rayyen berjalan menuju rak yang di tunjukkan Bella tadi. Ia mengambil buku satu persatu, memeriksa manakah yang layak ia bawa pulang. Matanya menyapu keseluruhan rak, lalu ia tertarik pada salah satu buku yang bersampul warna perak. Buku itu ada di rak paling atas. Rayyen mengambil tangga tanpa memperdulikan gadis yang sedari tadi hanya memperhatikannya. Ia meletakkan tangga itu di depan rak, kemudian menaiki tangga.

"Rayyen itu buku apa?" Tanya Bella dari bawah.

"Percintaan ternyata. Dari warna sampulnya aku pikir cerita fantasi." ucap Rayyen yang masih berada di tangga. Dia mengembalikan buku berwarna perak itu ketempatnya kembali, lalu sibuk mencari buku lainnya.

Bella bosan berdiri sambil memperhatikan Rayyen memilih-milih buku. Dia memilih duduk di lantai yang bersebu, dekat tangga yang di naiki Rayyen.

"Rayyen!" Panggil Bella mendongak ke atas.

"Ha?" Jawab Rayyen tanpa menoleh ke arahnya.

"Apa Trambell bisa menikah dengan manusia?"

Rayyen diam sejenak, lalu melirik gadis itu sebentar. "Tentu saja bisa jika itu memang di tentukan. Trambell yang menikah dengan manusia tak akan bisa kembali lagi ke Amoddraz."

"Amoddraz? Apa itu?"

"Itu nama duniaku sama seperti Bumi. Di Amoddraz aku tinggal di sebuah Negri yang bernama Nickbraz."

"Bukannya Nickbraz nama belakangmu?"

"Iya. Nama itu harus ku pakai karena aku putra mahkota di Istana."

"Aku penasaran seperti apa Negri Nickbraz itu."

"Tentunya bagus."

"Cepatlah, temukan gadis yang di tentukan untukmu itu, dan segeralah menikah dengannya. jangan lupa mengundangku kalau kau mengadakan pesta pernikahan, karena aku bisa membuat itu jadi alasan untuk pergi ke Nickbraz. Aku jadi penasaran bagaimana wajah calon gadismu itu, aku juga penasaran bagaimana cara dia memahamimu yang kadang suka cerewet, aku juga penasaran bagaimana kau bermanja dengannya-----"

Pukkk!!

Sebuah buku yang sengaja di lepas Rayyen pas sekali jatuh mengenai kepala Bella yang mengoceh.

"Bodoh. jika aku menikah, aku tidak akan pernah mau mengundangmu." Ucap Rayyen.

Bella menunduk, pundaknya bergetar. Gadis itu membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya. Awalnya Rayyen tak memperdulikan, tapi setelah isakan kecil terdengar di telinganya mau tak mau dia bertanya. "Kau nangis?"

Dengan gerakan cepat cowok itu menuruni tangga. "Hei, kau nangis? Setelah bodoh, kau mau ku ejek cengeng?" Ucapnya ketika ia sudah di depan Bella.

Tak ada jawaban dari gadis itu, hanya ada suara isakan yang semakin lama semakin jelas. Rayyen mengguncang bahu Bella pelan. "Aku minta maaf." Ucapnya, tapi tak ada jawaban.

"bodoh! jangan bercanda." Ucap Rayyen. "Sudah kubilang aku minta maaf."

Suara isakan Bella berhenti, dengan susah payah gadis itu menahan tawa saat ia melihat wajah Rayyen. Dia memperhatikan wajah takut cowok itu, dan akhirnya tawanya tak dapat terbendung lagi, "hahahahhahahahha." Ledaknya. "kenapa kau tampak takut, Rayyen?"

Rayyen kaget melihat Bella tertawa, dia langsung melepas tangannya dari bahu gadis itu. Dengan tatapan datar dia menatap lama ke arah pupil mata berwarna abu-abu milik gadis yang sedang berada dalam jarak 30 cm di depannya itu.

Dia menatap datar Bella lama, dengan wajah datarnya gadis bernama Bella itu tetap tidak menggubrisnya, gadis itu malah memerot-merotkankan wajahnya agar terlihat jelek dimata Rayyen yang menatapnya.

Bella mulai canggung karena Rayyen tak berhenti menatapnya dengan tatapan datar yang terlihat berbeda. Gadis itu menangkap rasa kesal, takut, sedih, dan menyesal dari pancaran mata biru itu. Mungkin jika dia diam Rayyen akan berhenti menatapnya, jadi dia memilih diam, tapi ternyata Rayyen tetap menatapnya.

Bella tak tahan lagi. Wajah Rayyen yang sangat dekat membuatnya tersadar, bahwa cowok itu benar-benar sempurna. Tanpa sadar Jari-jari lentiknya perlahan bergerak menyentuh pipi cowok itu, jari-jarinya semakin gila, dan ingin menyentuh semua permukaan wajah Rayyen lagi, dan lagi.

"Aku baru sadar bah, emmmmmp." Bella tak bisa melanjutkan kata-katanya lagi setelah Rayyen melahap bibirnya. Gadis itu terkejut, tapi setelah ia melihat mata Rayyen terpejam sambil melumat bibirnya, dia jadi menikmati ciuman itu dan ikut memejamkan matanya.

Rayyen melumat bibir gadis itu lagi dan lagi. Bahkan, dia tak mau berhenti sedetikpun. Bibirnya terus mencari, turun ke leher gadis itu dan melumat semua permukaan kulitnya. Tak mau berhenti sampai ia disadarkan oleh suara yang selama ini sangat ia takutkan.

Deg....

Jantungnya yang pernah berdetak sekali kini berdetak sekali lagi, tapi sedikit lebih keras sehingga dia sangat dapat merasakannya. Rayyen tersadar, matanya yang terpejam ia buka, mulut liarnya tadi berhenti seketika. Ia menjauh dengan sepontan, tingkahnya membuat Bella terkejut.

Rayyen bangkit hendak pergi. Dia tau perasaan yang tidak di inginkannya pasti akan muncul. Kini jantungnya sudah berdetak 2 kali untuk gadis yang sedang bersamanya itu. detakan pertama terjadi saat gadis itu menciumnya waktu itu, dan detakan kedua terjadi saat dia mencium gadis itu barusan, jika detak yang ke-3 terjadi karena gadis itu juga, maka habislah sudah.

_________________________________

avataravatar
Next chapter