"Hei, aku menemukanmu dalam genangan parit yang jernih sore itu. Aku tengah mencari sampah untuk kemudian kujual. Kini, jadilah temanku. Riuh bermain dalam air tatkala malam menyapa. Kau berudu istimewa, tubuhmu besar dan matamu terlihat menyala walau kecil hampir tak kasat mata." Sore itu, gadis tua kelahiran tanah Jawa 35 tahun lalu. Pontang-panting membawa karung yang warna dasarnya telah terhapus menjadi coklat. Wajah kusam, hampir gosong karena setiap hari terpapar sinar mentari. Pilihannya untuk merantau tidak pernah tepat. Pelarian dilakukan hanya untuk menghindar dari cacian. Perawan tua tak kunjung menikah. Dipercaya karena kutukan yang diberikan satu desa untuk keluarganya jauh sebelum dirinya ada. Menjadi pemulung bukan keinginannya. Karena keterbatasan ekonomi serta sulitnya mencari kerja di kota.
Ajaran cinta paling mengerikan adalah dipaksa untuk menikah karena usia sudah dikata tua. Sudah lebih dari 13 tahun seorang wanita menderita. Tak juga bertemu dengan jodohnya yang entah ada di mana. Sekian tahun pencarian, tetapi tambatan hati tak muncul juga batang hidungnya.
"Ini semua karena takdir, bukan kutukan aneh yang mereka katakan!"
Ribuan kali telah ia coba untuk menenangkan keluarga bahwasanya jodoh sembunyi bukan karena kutukan. Namun, garis takdir yang mengatakan.
"Semua sudah menjadi legenda dan bukan lagi rahasia besar. Apa kamu sudi, hidup tanpa menikah sama sekali?"
"Tak apa. Mungkin jodohku sudah lama mati dan itu takdir Tuhan," pungkasnya, kemudian pergi ke dalam kamar. Ingin menyusun rencana yang telah ia pikirkan sejak malam di mana keluarganya membawa lelaki kaya raya untuk meminangnya.
Berlari sejauhnya dari desa tempat tangis pertamanya terdengar. Hanya awal saja ditemui kebahagiaan, selebihnya hanya pembohongan publik. Semakin dewasa gadis di desanya, bahkan seusia 20 tahun, belum menikah, jangan harap mendapat ketenangan hidup. Akan orang desa katakan jika gadis itu adalah perawan tua dan tak laku.
"Baiklah, mari kita berkemas dan pergi malam ini juga." Wanita itu bermonolog seraya mengambil baju dari dalam lemari.
"Viviana Mandelik Ingkarna! Esok akan ada satu keluarga yang datang atas permintaan keluarga kita. Jangan sampai kau menolaknya mentah-mentah!" Ibunya yang paling heboh serta malu tatkala anaknya tak kunjung menikah, selalu menjodoh-jodohkan putrinya tanpa berpikir mengenai harga diri darah dagingnya.
Wanita yang akrab disapa Elik tersebut acuh terhadap teriakan yang hampir setiap hari ia dengar. Segala apa yang dilakukan orang tuanya ... memalukan. Harga dirinya seperti dipermainkan.
***
Malam semakin larut, seluruh penghuni rumah telah berada pada tempat istirahat masing-masing. Terkecuali Elik yang berjalan mengendap seraya menenteng tas besar. Menoleh sana-sini, memastikan tak ada manusia satu pun yang mengetahui atas kepergian dirinya.
"Maaf, aku akan pergi daripada mentalku tersiksa."
Dunianya lebih asyik ketimbang meladeni orang-orang yang hanya memaksanya untuk menikah. Menikah bukan karena usia, tetapi kesiapan.
Akhirnya, malam itu Elik si wanita desa yang dianggap perawan tua kabur dari rumah. Berjalan tanpa arah serta mencari kendaraan yang mampu mengangkutnya sampai kota. Dengan upah yang ia punya ... seadanya.
"Mbak, mau ke mana?" Sebuah kendaraan dengan bentuk yang aneh, tiba-tiba berhenti di samping Elik. Seorang pria pengemudi kendaraan juga berpenampilan yang sama anehnya.
"Saya ingin pergi ke kota, tetapi tidak ada tumpangan untuk saya," jawab Elik.
"Saya juga akan pergi ke kota. Jika berkenan, Anda bisa ikut dengan saya di mobil ini."
Tiada pilihan yang lebih tepat selain menerima. Walau ada kejanggalan yang membuat Elik meragu, tetapi ia tak boleh melupakan niat awalnya.
Satu langkah memasuki kendaraan, Elik merasa tubuhnya amat lemas dan matanya mengantuk hebat. Ia terduduk di kursi empuk dan seketika ia terlelap.
***
Tatkala mata terbuka, keadaan seolah menggelitik. Dunia seolah berbalik. hamparan biru yang luasnya tiada tara telah berganti serta memeluk daratan. Iya, Elik memijak tanah berwarna coklat kebiruan. Dapat dibayangkan bagaimana ekspresinya kalau terbangun. Di di tepi jalan dan kendaraan yang tadi mengangkutnya telah hilang entah ke mana.
"Ini di kota, 'kan?" Dia bergumam seraya beranjak dan menepuk bagian pantatnya yang kotor karena serpihan tanah.
Sejauh yang ia tahu, walau di kota sekali pun, tanahnya masih sama. Coklat serta padat. Sedangkan yang menjadi pijakannya kini berwarna kebiruan layaknya warna air laut yang jernih.
Masih coba menyesuaikan keadaan. Elik memandang ke arah langit. Warnanya sama, biru juga, hingga akhirnya prasangka serta banyak tanya terjawab juga.
"Ah, ini serpihan batu berwarna-warni seperti yang di desa," ujarnya seraya mengambil salah satu gumpal berwarna biru menyala.
Ternyata itu adalah gumpalan batu serta banyak yang terpecah karena lapuk.
Sekarang titik fokusnya telah kembali, biar tentang kejanggalan kendaraan yang ia tumpangi, hilang sejenak dari benak. Arah-arah pikir serta langkah kembali mengacu pada kerja. Mengingat dalam tasnya yang tersimpan lima lembar uang berwarna kuning. Di kota, biaya hidup semakin banyak dan jauh dari standar desa. Tanpa kerja, Elik akan mati, dan pelariannya sia-sia.
"Pak, benar di sini ada lowongan kerja?" Setelah berapa kilo beranjak dari tempat awal datangnya, Elik melihat tempelan kertas tertulis dibuka lowongan kerja. Sebuah perusahaan besar di tengah pusat kota ... sepertinya.
"Iya. Diutamakan yang lulusan SMA," jawab seorang satpam.
"Oh, terima kasih. Kalau begitu saya permisi dahulu, Pak."
Lulusan SMA? SD saja hampir tidak selesai. Elik bukan wanita pandai dengan segudang prestasi. Kebiasaannya sejak kecil hanya berhalusinasi. Apa pun itu yang terlukis dalam benaknya, tak pernah ia lepas dan kelak harus menjadi nyata. Walau cita-citanya ingin menjadi orang sukses, tetapi suksesnya ingin berawal dari kebiasaannya dalam mendalami ilmu halusinasi.
Sampai pernah, suatu malam ia bermimpi ada di suatu tempat asing dan dipenuhi misteri. Setiap langkah kakinya diikuti dengan banyak hal aneh, tetapi ia suka. Suka meninggalkan jejak-jejak kaki yang begitu dalam karena energi yang cukup besar, ditambah lagi tubuhnya gemuk berisi.
Tidak sampai di situ. Ia menemukan pangeran yang berkamuflase menjadi sosok berudu. Ia rawat sampai menjadi katak yang cukup dewasa, kemudian berubah menjadi pangeran. Lelaki idaman yang menerima Elik apa adanya. Namun, wanita itu sadar jika semua hanya candaan di alam bawah sadar.
"Mbak, kok penampilannya masih kuno banget, sih?"
Lamunan itu buyar dalam sekejap. Setelah pertanyaan seorang wanita dengan busana heboh luar biasa itu masuk dalam tangkap pendengaran.
"Saya memang dari desa, Mbak," jawabnya tanpa sungkan.
"Loh, kok masih kayak penampilan sekitar tahun 2012?"
"Memang sekarang tahun 2012, 'kan, Mbak?"
"Astaga. Sekarang tahun 2021, Mbak. Mbak datang dari masa lalu atau gimana?" Sembari berlalu, wanita itu terdengar menahan gelak tawa.
Elik memperhatikan secara teliti mengenai penampilannya yang amat kuno. Dibanding dengan wanita kota serta lelaki berjas rapi, dirinya memang jauh tertinggal.
Kebetulan ada sebuah kalender yang tertempel di sisi luar salon, ia perhatikan empat angka berjajar rapi.
"2021," gumamnya.
Matanya tidak sengaja menangkap isi dari salon. Orang-orang dengan dandanan alis yang lebih besar serta teratur, sedang di masa yang ia tinggali, alis masih satu garis. Kecil sekali, dan daerah pinggirnya dicukur supaya terlihat rapi hanya dengan bingkai satu garis. Berbentuk melengkung atau lancip hampir menyamai segitiga sama kaki.
"Mbak, mau di-make up?"
Elik terlonjak kaget dengan pertanyaan barusan. Wanita yang ia lihat ada di dalam salon, tiba-tiba keluar dengan penampilan modis. Diperkirakan style 2021 yang sudah ia lihat saat ini.
"Tidak, Mbak. Saya permisi," ujar Elik merasa sangsi.
Langkah Elik memanjang. Dalam benaknya terus berputar tentang perubahan dunia yang amat cepat. Apakah jadulnya telah tertinggal di desa, semenjak tumpangan kendaraan aneh malam itu?
"Lalu, usiaku sekarang berarti sudah 44 tahun dan aku MENJADI PENGANGGURAN JUGA BELUM PUNYA SUAMI?"
coming soon