webnovel

1. Seperti Biasa

♪ I Feel Lonely - By Jurrivh ♪

H-2 dua hari sebelum keberangkatan Sahila.

Sekarang pukul delapan waktunya makan malam seperti biasa. Sahila keluar dari kamarnya melihat sekeliling yang hening tanpa suara, seperti biasa. Gadis itu menghela nafas dan berjalan menuju ruang makan. Saat dirinya tak jauh dari sana ia dapat melihat Ayahnya dan Istrinya makan tanpa mengajak dirinya, seperti biasa.

Kata-kata seperti biasa tapi malah membuat Sahila tidak nyaman karena tidak terbiasa. Meski begitu perempuan itu tetap berjalan mendekat dan duduk berhadapan dengan Istri Ayahnya. Sahila mengambil makanan nya sendiri yang bahkan kehadiran nya seperti tidak terlihat disana.

Baru saja Sahila ingin menyuapkan satu sendok nasi ke dalam mulutnya, namun Ayahnya lebih dulu meletakkan sendok dan garpu nya tanda ia selesai makan. Padahal niat Sahila kesini ingin bicara dengan Ayahnya tentang dirinya yang akan pergi. Sudah berhari-hari niatnya selalu gagal.

Ayahnya berdiri meninggalkan ruang makan. "A-aku—" Sahila berucap terbata. Ayahnya menengok sekedar menunggu ucapan Sahila hanya saja bibir Sahila terasa beku untuk melanjutkan jadi Ayahnya pun berlalu begitu saja tidak menghiraukan dirinya.

Akhirnya seperti biasa lagi, Sahila sendirian makan disini. Tapi, kali ini berbeda. Wanita di depannya masih disana menatap dirinya lekat-lekat. Padahal wanita itu saja tidak pernah berkontak mata dengannya selama ini, kenapa hari ini...?

"Ada yang ingin kamu katakan?"

Ini adalah pertama kalinya wanita itu berbicara padanya.

"Apa barusan Anda bicara pada saya?" Sahila balas balik bertanya meski sedikit jengkel untuk menjawab.

"Aku lihat kau selalu gusar beberapa hari ini, ada yang ingin kamu bilang pada Ayahmu? Aku bisa menyampaikan nya."

Jadi dia memperhatikan ya? "Begitu ya? Tapi biasanya orang jahat nggak bakal menyampaikan amanah dengan benar, Tante juga tau itu kan?" Katanya menyindir.

"Kenapa kamu berpikir bahwa aku antagonis nya?" Istri Ayahnya itu berusaha sabar menghadapi Sahila, awalnya dia ragu untuk memulai pembicaraan. Meski mereka tidak pernah saling bicara sekalipun tinggal bersama, dia bisa merasakan bahwa Sahila tidak menyukai nya.

"Karena memang begitu kenyataannya. Setelah Tante datang di kehidupan kami Ayah aku jadi bersikap aneh. Aku yakin Tante ngelakuin sesuatu yang nggak kami tau, misalnya... Guna-guna?"

Wanita yang berstatus ibu tiri Sahila itu terkejut mendengar ucapan anak angkatnya. Apa mungkin selama ini Sahila berpikir seperti itu tentang dirinya? "Aku tidak tau bahwa mulutmu sangat tajam."

Ribuan kali Sahila memaki dan membenci wanita itu di dalam pikirannya. Dia membayangkan saat-saat dirinya berani melawan bahkan membangkang agar Ibu tirinya merasa menderita hidup dengannya, namun Sahila tidak pernah melakukan itu secara nyata karena waktu itu dia masih terlalu kecil dan memiliki rasa takut yang tinggi. Tapi kenapa sekarang, saat setelah menyakiti perasaan Ibu tirinya Sahila sama sekali tidak senang?

Gadis itu merasa bersalah. "Aku kenyang." Jadi dia memilih pergi kedalam kamarnya.

♥♥♥

H-1 sehari sebelum Sahila pergi.

Pukul delapan pagi. Sahila masih di dalam kamarnya dan memantau jarum jam yang terus bergerak. Di pagi hari seperti ini biasanya Ayahnya selalu melakukan aktivitas yang sama. Membaca koran di taman belakang. Ia sengaja bangun pagi setelah bertekad untuk membicarakan perihal kepergian nya. Walau kemungkinan sangat kecil untuk Ayahnya menanggapi perkataan nya.

Jam delapan lewat lima menit. Sahila beranjak dari kasurnya menuju pintu, selama beberapa detik ia hanya menyentuh handle pintu tanpa membukanya.

"Semangat!" Ujarnya menyemangati diri sendiri sebelum keluar kamar. Untuk ke taman belakang dia harus melewati ruang keluarga lebih dulu, dari tempatnya sekarang taman belakang bisa terlihat jelas karena hanya di batasi dengan kaca transparan.

Seperti dugaan nya Ayahnya memang disana sedang membaca dengan wajah serius. Dia mendekati Ayahnya, pelan-pelan Sahila menarik bangku dan duduk. Beberapa saat ia masih memikirkan kata-kata yang pas untuk bicara.

"A-yah..." Tidak ada tanggapan. "Aku mau bilang kalau beberapa bulan kedepan aku aku bakal di karantina jadi peserta pelatihan di acara tivi besar. Aku ingin jadi idol, agensi aku juga setuju kalau aku ikut..." ia menggantungkan kalimatnya.

Tetap hening.

Sahila mengulum bibirnya kedalam karena gugup sekaligus sedih meski dia sudah bisa menebak bahwa ini akan terjadi, tapi tetap saja rasanya sedih. Saat ia berniat berdiri, Ayahnya membuka suara yang menghentikan niatnya untuk pergi dari sana.

"Yasudah."

Itu adalah kata pertama yang diucapkan Ayahnya. Biasanya Ayahnya selalu saja diam  atau hanya memberikan nya uang apapun yang ia katakan padahal Sahila tidak minta uang. Koran yang di baca Ayahnya perlahan turun memperlihatkan wajah pria yang masih terlihat gagah itu. Dia melipat koran nya dan meletakkan nya di meja.

"Ayah ngizinin aku?" Gadis itu bertanya memastikan dengan senang.

"Sekarang kamu sudah besar, bisa jaga diri kamu sendiri..." Sahila mengangguk-angguk entah apa yang perlu di angguki tapi dia hanya melakukan nya. "...jadi kamu bisa keluar dari rumah ini." Kembali ia mengangguk cepat-cepat, tapi setelah mencerna ucapan Ayahnya yang terakhir senyum di wajahnya hilang.

"Ke-luar?"

"Dua bulan yang lalu kamu sudah lulus sekolah, tidak lama lagi umur kamu dua puluh tahun. Untuk apa masih tinggal disini jika kamu sudah mandiri."

"Ayah, kenapa begini? Tante itu bilang apa ke Ayah? Dia pasti ngelakuin sesuatu karena semalam. Ayah masih belum sadar ternyata, kalau nanti Bunda datang aku yakin Ayah sadar dari mantra Tante itu." Ia berpikir perubahan sifat Ayahnya di sebabkan dari wanita yang sekarang menjadi Ibu tirinya. Pasti, dia yakin 100% sekarang. Untuk apa merasa bersalah cuma karena kata-kata kasar, seharusnya Tante itu dia pukul saja biar sadar.

Tadi dia senang sekali melihat Ayahnya menanggapi nya dan mengira ayahnya bisa melihat keberadaan nya. Seharusnya Sahila tidak boleh senang akan perubahan sikap Ayahnya selama masih ada wanita jahat itu, bisa jadi perubahan sikap Ayahnya bukan kabar baik melainkan kabar buruk. Ayahnya pasti dihipnotis.

"Ayah nggak ngerti kenapa kamu berpikir begitu, tapi kalau kamu pikir selama ini Ayah di guna-guna seperti yang kamu bilang ke Vivi itu salah. Selama ini Ayah masih waras dan berpikiran luas,"

Wanita itu memang cerita. "Nggak, sekarang ini Ayah sedang nggak dalam keadaan normal. Kalau Bunda ada, aku yakin Ayah akan menyesali semua perbuatan Ayah selama ini, karena Ayah cuma cinta sama Bunda."

"Sayangnya sudah nggak begitu. Sudah lama sekali Ayah yang kamu kenal itu pergi, sekarang cuma ada Ayah yang mencintai Ibu tiri kamu. Dan Bunda kamu sudah pergi entah kemana meninggalkan kita, saya tidak mencintai Bunda-mu lagi. Jadi berhenti berpikir bahwa saya sedang berada di bawah pengaruh guna-guna atau semacamnya itu."

Saya tidak mencintai Bunda-mu lagi...

Sahila membeku di tempatnya. Ayahnya... Ayahnya, tidak! Sahila tidak boleh lengah, semua yang diucapkan Ayahnya itu palsu. Palsu. Sahila mencoba untuk melawan semua pikiran jahatnya.

"Ayah pasti akan menyesal saat sadar nanti, kepada aku dan Bunda. Pikiran Ayah belum normal—"

"Sahila kamu mungkin berpikir begitu karena perilaku saya yang mendadak berubah. Tapi saya benar-benar dalam keadaan sadar melakukan nya. Bunda kamu pergi meninggalkan kita selama bertahun-tahun hingga saya terpuruk. Tanpa tahu sebab apa yang membuatnya pergi, saya berpikir apakah saya melakukan kesalahan? Atau ada pria lain dihatinya? Lalu tiba-tiba ada sebuah surat sampai di tangan saya,"

Air wajah Ayahnya berubah penuh marah. Layaknya seseorang yang telah lama menyimpan dendam di benaknya. "Kau tau apa yang tertulis disana? Dia bilang saya harus menjaga kamu baik-baik, saya harus memberi kamu kebutuhan yang cukup, di tambah dia meminta saya untuk mentransfer sejumlah uang." Ayahnya tertawa kecut di sela-sela ceritanya.

"Saya melakukan yang disuruhnya. Setahun, saya masih memiliki harapan dia akan datang. Dua tahun, malam terasa begitu panjang hanya untuk menunggunya pulang. Tiga tahun, saya menyerah. Di malam terakhir saat-saat saya merasa kehilangan, aku melihat kau memperhatikan saya dari balik pintu kamar secara diam-diam. Kau tahu apa yang saya pikirkan saat melihat wajahmu?"

Sahika menangis.

"Saat itu tiba-tiba saja di otak saya datang pikiran bahwa mungkin saja kamu bukan anak saya."

Deg

Deg

Deg

"Kamu mungkin bukan anak saya, Sahila. Jadi, bukan 'kah seharusnya kamu merasa sangat berterima kasih karena saya yang membesarkan kamu selama ini. Dan pergi dari rumah saya sebagai permintaan dari orang yang membesarkan kamu."

Dengan air mata yang terus keluar, gadis itu bicara. "A-ku anak, Ayah." Ucapnya dengan sesenggukan.

Ayahnya menggeleng. "Entahlah, saya tidak yakin."

Tangisan Sahila semakin kencang, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Waktu berlalu tapi tidak satupun dari mereka meninggalkan tempat itu, setelah merasa tenang tangisan Sahila mulai mereda. Dengan suara bergetar ia mengeluarkan pertanyaan.

"Kenapa setiap kali aku bicara, Ayah malah memberikan aku uang? Padahal aku cuma sekedar ingin cerita tentang masalah aku."

"Sebab semua masalah kamu nggak penting buat saya, dan aku hanya bisa memberikan uang sebagai solusi masalah kamu. Kamu mungkin lebih suka uang, bahkan Bunda-mu juga begitu."

Sahila berdiri dengan kasar. "Bagaimana bisa seorang Ayah bicara seperti itu kepada putrinya sendiri?"

"Kamu bukan anak putri saya."

"Aku anak ayah apapun yang ayah bilang aku tetap akan memanggil ayah dengan sebutan ayah!" Sahila marah. Nafasnya tidak beraturan, jantungnya berdegup kencang. "Karena Ayah selalu memberikan aku uang setiap kali bicara, jadi hari ini bukannya harus sama? Berikan aku uang." Pinta Sahila menyodorkan tangannya.

Ayahnya mengeluarkan dompetnya, jarinya ingin mengambil beberapa lembaran uang kertas merah namun Sahila menahannya. "Ah, berikan aku kartu kredit Ayah. Kali ini aku nggak butuh uang receh macam itu, uang begitu nggak cukup buat hidup aku."

Sahila mengerti sekarang. Selama ini dirinya takut pada fakta-fakta seperti ini yang akan mendatangi nya. Sekarang fakta yang ditakutkan nya telah memperlihatkan dirinya, jadi Sahila harus melawan ketimbang terus merasa cemas. Ini adalah bentuk perlawanan darinya.

Ayahnya menatap dirinya selama beberapa detik sebelum mengeluarkan kartu kredit miliknya. Sahila mengambil dengan kasar dan berbalik badan.

"Kau... Benar-benar mirip dengan Bunda-mu ternyata."

Sahila menggigit bibir bawahnya. "Karena aku anak Ayah, seharusnya Ayah perhatikan baik-baik, aku juga mirip Ayah."

♥♥♥

Ruang kamarnya yang luas ini terasa begitu tenang hari ini. Biasanya Sahila merasa bahwa kamarnya adalah satu-satunya tempat paling nyaman di rumah ini, karena di dalam kamarnya saja ia merasa ada kehidupan. Gadis 19 tahun itu meringkuk di atas kasurnya menatap kartu kredit yang di berikan ayahnya tergeletak di depan wajahnya.

"Saya tidak mencintai Bunda-mu lagi..."

"...mungkin saja kamu bukan anak saya."

"Kau... Benar-benar mirip dengan Bunda-mu ternyata."

Sepanjang hidupnya sampai sekarang Sahila selalu berusaha kuat menahan rasa sakit di benaknya. Tujuh tahun lalu Ayahnya tiba-tiba berubah sangat drastis padanya setelah bertemu Vivi, waktu itu ia pikir kehidupan nya akan sama seperti sinetron bahkan dongeng Cinderella.

Ibu tiri sama dengan orang jahat. Itu yang tertanam di otaknya, waktu menonton cerita seperti itu ia selalu bingung kenapa si anak selalu berbuat baik meski di perlakukan tidak adil. Tapi saat menghadapi situasi dalam kehidupan nyata yang Sahila pikirkan saat itu adalah, bagaimana jika dia ditinggalkan sendirian nanti? Jika saat pulang sekolah tidak ada seorang pun dirumah? Atau, dia di buang dan di letakkan di panti asuhan?

Makanya Ia bertanya-tanya kenapa Ayahnya seperti orang lain? Terpikirkan satu hal yang tidak logis tapi jika itu benar semua nya jadi jelas. Ayahnya di hipnotis. Dan pelakunya adalah ibu tirinya.

Jadi Sahila tidak melakukan apapun. Dan anehnya lagi, Ibu tirinya juga tidak melakukan hal jahat padanya seperti di film-film. Makanya Sahila hanya mengikuti alur cerita dengan tenang tanpa ingin membuat keributan sebab bisa saja ibu tirinya malah ikut menghipnotis nya.

Setelah kejadian tadi, bayangan nya tidak seperti itu ternyata. Ibu tirinya mungkin bukan orang jahat. Memang ayahnya lah yang berubah.

"Aku, percaya Bunda." Gumam Sahila sangat pelan saat matanya melihat pigura foto Ibunya di atas nakas sana.

Ting!

Ponselnya menyala memperlihatkan sebuah notifikasi pesan.

Pesan : Secret Boy

Aku sedang menunggu mu

Ia membaca pesan tersebut yang terlihat meski ia tidak membuka ponselnya. Sahila berpikir sebentar sebelum memutuskan bangun dari tiduran nya. Rasanya tubuh Sahila kehilangan banyak tenaga dan ingin tidur saja tapi gadis itu tetap memaksakan bangun menatap wajahnya di depan cermin.

Wajahnya terlihat berantakan tapi untungnya matanya tidak bengkak karena menangis kelamaan. Ia hanya perlu mencuci wajahnya sebentar sebelum meriasnya dengan bedak tipis dan pelembab bibir. Setelah itu mngangganti pakaian nya dengan celana jins dan kaos putih santai yang di masukkan, terakhir memakai topi hitam.

Setelah itu dia pergi untuk menemui orang yang mengirimkan pesan kepadanya.

Next chapter