webnovel

Jalan Pagi

Pasangan mesra ini selalu jalan-jalan pagi, olahraga agar saat melahirkan kuat dan sehat. Indana dan Rif'an duduk karna lelah. "Tidak terasa kurang lima hari lagi prediksi Dokter kamu akan melahirkan, Sayang kamu harus kuat seperti Ibumu ya," ujar Rif'an mengelus perut buncit istrinya, Indana tersenyum lalu merapikan rambut suaminya.

Indana melihat gadis pucat penuh darah di lehernya, menatap dengan sangat menakutkan, Indana menutup matanya.

"Astagfirullah ya Allah ...." Dana sembunyi di dada suaminya.

"Ada apa?" tanya Rif'an memeluk dan bingung.

"A_ada yang menyeramkan, apa Kakak tidak melihat?" tanya Indana tidak berani mengangkat wajah.

"Di mana?" tanya Rif'an.

"Tolong aku ..."

"Ha ...." teriak Dana saat mendengar bisikan yang membuat dia merinding.

"Heh, sayang," Rif'an berusaha menenangkan istrinya.

"Heh ... dia berbisik minta tolong, mungkin arwah gentayangan, aku merinding, heh ... tolong jangan ganggu aku," ujar Dana memeluk suaminya semakin erat.

"Hanya kamu yang dapat melihatku."

"Ha? Jadi kamu beneran hantu, aku tidak akan melihatmu, aku merinding melihat luka dan wajah pucatmu," ucap Dana membuat Rif'an bingung.

"Sayang dia masih di sini?" tanya Rif'an, Indana menaikan wajah lalu mengangguk, dan memberanikan melirik ke arwah itu.

"Ah ... aku tidak berani, katakan saja mau minta tolong apa, nanti sebisaku aku bantu," jelas Dana.

"Aku Dina, sudah mati dua minggu yang lalu, jasadku membusuk, orang tuaku pasti mencariku, tolong kuburkan aku dengan layak ya," pintanya.

"MasyaAllah, karna apa kamu meninggal?" tanya Dana. Rif'an semakin bingung dia hanya bisa menyimak karna tidak dapat melihat hantu itu.

"Aku meninggal karna aku punya bukti dari salah satu pejabat yang korupsi, anak buahnya membunuhku agar pejabat itu tetap bebas. Aku tidak akan balas dendam,"

"Aku tidak akan mendukung kalau balas dendam, namun sesuatu yang salah harus dibenarkan, apa kamu masih afa bukti tentang koruptor itu?" ujar Dana lanjut bertanya.

"Aku masih punya salinan vidionya, ada di rumah Ibuku, aku menyembunyikan flesdis itu di bawah ranjang kamar ibuku, sisi kanan. Aku tidak mau kamu dan suamimu dalam bahaya, jadi biarkan saja Mbak, aku hanya ingin bersemayam dengan tenang,"

"Oke kalau begitu tunjukan keberadaan jasadmu," pinta Dana, hantu itu berjalan cepat, Indana mengangkat wajah lalu menuntun suaminya.

"Ayo kak ikuti, aku sudah tidak merinding lagi. Kak ... dia korban dari seorang koruptor, enaknya dibongkar tidak rahasianya koruptor itu. Namanya Dina,Dina takut kalau kita membongkar nyawa kita akan melayang sama seperti dia," jelas Dana.

"Kejahatan harus ditegakkan nyawa kita ada ditangan Allah, kalaupun mati dengan cara begitu, siapa tau jadi jalannya kita ke surga. Kita akan melakukannya, oke ... apa dia memberi tau tempat di mana keberadaan dan buktinya?" tanya Rif'an, Indana menatap yakin.

"Ada, aku tanyakan ya?" tanya Dana, kepada Dina.

"Dina ... apa ada bukti saat mereka melakukan pembunuhanmu?" tanya Dana.

"Ada dua orang Ibu, tapi mereka takut dan mereka tidak berani karna dibayar juga, namun salah satu cowok merekam kejadian aku dianiaya, setelah itu aku melihat dia dipukuli, aku yakin dia juga sudah meninggal, dia menjatuhkan kartu penyenal prakerjanya, aku masih menggenggam rapat dalam jasadku," jelasnya.

"Apa masih jauh kakiku lelah," jelas Dana, Rif'an tanpa berkata segera membopong istrinya. Walau sangat berat karna ada dua nyawa, Rif'an tersenyum dan memperlihatkan cintanya.

"Masih jauh, ada 600 meter lagi, suamimu sangat cinta, sama seperti suamiku, dia mencariku seperti orang linglung namun tetap tidak menemukanku, dia sangat terpukul, kebingungan, cemas dan terus mencariku tapi dia tidak sadar kalau aku ada di dekatnya. Itu suamiku kamu lihat, hiks, heh ... dia seperti orang gila, tolong sampaikan kepada suamiku aku juga sangat cinta, namun kita harus terpisah, aku berdoa agar kami dapat menyatukan cinta di surga nanti," ujar Dina, Indana menangis.

"Hiks, est heh ... Ya Allah, Kak berhenti orang yang tidak terurus itu adalah suaminya, Dina menitipkan pesan untuknya," pinta Dana, Rif'an menurunkan istrinya dengan sangat hati-hati, mereka berjalan sepuluh langkah.

"Bian namanya," ujar Dina yang juga menangis di samping suaminya.

"Mas Bian ... Mbak Dina bersamaku," ujar Dana, membuat Bian bangun dan segera mencari wajah istrinya.

"Di mana? Di mana?" tanya Bian kebingungan bahkan akan menyakiti kedua lengan Dana. Rif'an segera mencegah.

"Istigfar Mas," tegur Rif'an, Bian istigfar dam menangis.

"Mas ... kuatkan hati Mas, Mbak Dina sudah tidak ada, dan dia sekarang arwahnya ada di sini, dia memintaku agar aku mengatakan kalau Mbak Dina mengatakan Mas harus ikhlas dan bangkit," ucapan Dana belum selesai.

"Dia sudah meninggal? Di mana? Bagaimana? Ya Allah ... di mana?" tanya Bian yang masih belum percaya.

"Mbak Dina memberi tau aku kalau jasadnya ada di daerah ini, ayo Mbak Dina tunjukkan," ajak Dana, Bian mengendalikan diri.

Mereka berjalan disalah satu kebun tebu melewati rel, lalu melihat drum sampah.

"Di situlah jasadku, di kantong merah besar," jelas Dina. Mereka mencium bau busuk yang sangat menyengat, Rif'an ssgera menelpon polisi.

"Tolong katakan ke suamimu untuk mengambil kartu pengenal itu, aku tidak mau penyidik salah sangka," ujar Dina sangat cepat, Bian yang sudah tidak sabar dia segera membuka kantong plastik itu, Bian mengambil kartu pengenal itu dengan sangat marah.

"Jadi ... ini pembunuhnya?" bertanya dengan berteriak.

"Bukan Mas ..." teriak Dina namun percuma suaminya tidak mendengar.

"Mas Bian tenang, kata Mbak Dina kartu pengenal prakerja itu milik seseorang yang mempunyai vidio lengkap saat istri Mas dibunuh, dia juga dianiaya," jelas Dana lalu menjauh karna tidak sanggup dengan baunya.

Biar meratap tubuh yang tidak dapat dikenali, dia hanya mengenal pakaian saat istrinya pergi bekerja dua minggu yang lalu.

"Siapa yang membunuhmu Dina ...." teriak Bian yang masih belum rela. "Aku akan tuntut," ujarnya.

"Aku akan membantu Mas," ujar Rif'an, Bian menyembunyikan identitas kartu itu.

"Terima kasih sudah membantuku, ucapkan juga ke suamiku dan suamimu, kalau berperang harus berhati-hati dan aku sadar kebenaran harus segera diungkap. Aku pergi ... salamkan cinta untuk suamiku, terima kasih," ujar Dina menghilang dari pandangan Dina.

Suara serena Polisi sudah tiba, temlat itu diberi garis mereka mencari bukti, Bian dan Rif'an hanya diam karna mereka tidak punya bukti, Bian masih terpukul.

"Harus sabar Mas, Mbak Dina memang kerja di mana?"

"Dia sekertaris dari istri pejabat, aku sudah menyuruhnya untuk berhenti bekerja, dia akan berhenti namun saat pergi dati rumah dan akan mengudurkan diri dia tidak pulang, ternyata ... Ya Allah. Ya Allah ... aku akan berusaha ikhlas, terima kasih sudah membantuku," ujar Bian, Rif'an menepuk pelan pundaknya.

Bersambung.

Next chapter