17 Semakin Aneh

Dani duduk di tempat duduknya dengan posisi badan memang sedikit condong ke depan.

Dia sendiri tidak tahu penyebabnya apa.

"Emang benar ya badan gue bungkuk nggak seperti biasanya? Ibu gue juga bilang begitu tadi."

"Iya beneran. Lo merasa badan lo berat nggak sih?" tanya Rizal menatap heran kepada Dani.

Dani menggerakkan pinggulnya dan mengangkatnya ke atas. Memang benar badannya terasa berat.

Lalu Dani menganggukkan kepalanya ke arah Rizal.

"Jangan-jangan arwah Yoga bergelantungan di badan lo. Makanya lo merasa berat," kata Rizal pelan sambil melirik ke arah bangku tempat yoga biasa duduk di kelas.

"Sembarangan aja lo. Mana buktinya? Dia nggak ada kan?" Dani merasa tidak terima dengan perkataan Rizal.

"Ya gue sih emang nggak ada buktinya ya. Tapi kalau menurut gue sih memang gitu. Sekarang gue udah nggak pernah didatangi sama arwah teman lo itu. Semenjak gue pakai kalung dari dukun itu. Lo nggak mau ke dukun juga? Supaya lo nggak diganggu sama teman lo lagi?"

"Namanya Yoga," sahut Dani dengan ketus.

"Iya itu lah sama aja," Rizal melayangkan tangannya di depan Dani.

"Lagian kenapa sih dia gangguin kita terus?" tanya Rizal semakin memandangi badan Dani yang membungkuk itu.

"Gue nggak tahu," sahut Dani masih dengan nada ketus. Padahal Dani sangat tahu apa penyebab Yoga selalu datang untuk mengganggu teman-temannya.

"Apa dia datang dan gangguin kita karena mau ajak salah satu dari kita ikut mati kali ya," Rizal melirik ke arah Dani.

Dani hanya diam dan tak menghiraukan lagi perkataan Rizal tadi.

***

Dani duduk merenung di kamarnya sendirian.

Semakin hari badannya semakin terasa berat.

Seperti ada yang menggendong di bagian belakang. Sesekali dia mengusap punggung belakang, namun tidak ada apapun di sana. Ibunya juga mengatakan hal yang sama. Namun Dani selalu membantah karena tidak mau membuat ibunya jadi khawatir.

"Sebenarnya apa sih yang terjadi sama gue?" kata Dani merutuki dirinya sendiri.

Dani kadang juga berpikir kalau penyebab badannya jadi bungkuk adalah karena arwah Yoga yang menggendong di belakang.

Berulang kali Dani memanjatkan doa, namun tetap sama saja.

Hawa hawa merinding di kamar ini merasukinya. Dia mencoba memejamkan mata. Tubuhnya semakin berat. Tiba-tiba Dani mendengar gelak tawa jahat di dekat telinganya.

Dani tidak berani membuka mata dan menoleh ke samping kanannya. Karena Dani sudah tahu yang datang adalah Yoga.

"Dani..."

Suara itu semakin terdengar jelas.

Dani sama sekali tak berani membuka matanya. Dia terus memejamkan mata dan berpura-pura tidak mendengarnya.

"Dani..."

Akhirnya Dani menyerah. Dia membuka matanya dan menoleh ke arah kanan ranjangnya.

Terlihat jelas sosok Yoga tertawa ke arahnya. Wajahnya yang setengah hancur itu menyeringai ke hadapan Dani. Dani jadi bergidik merinding.

"Mau apa lo Ga?" Dani mulai bangkit dari tempat tidurnya dan melangkah mundur menjauhi Yoga.

"Ayo kita mati bersama!" Yoga semakin mendekat ke arah Dani.

Dani menggelengkan kepalanya sambil berjalan mundur.

"Nggak. Gue nggak mau. Lupakan aja janji itu!" kata Dani semakin ketakutan.

"Tapi lo akan mari bersama gue, Dani."

Yoga terkekeh lalu menghilang begitu saja.

Keesokan harinya

Dani sudah kembali tiba di kampus.

Seperti biasa, kedatangan Dani selalu disambut oleh teman-temannya yang sudah ramai membahas masalah Yoga.

Dani duduk di tempat duduknya dengan tatapan yang kosong. Dia bahkan tidak menghiraukan suara gaduh di dalam kelasnya.

Melihat sikap Dani yang sedikit aneh, Bimo menghampiri Dani.

"Lo nggak papa Dan?" tanya Bimo sambil menepuk bahu Dani dengan keras.

Dani hanya menggeleng.

"Lo serius? Tapi muka lo pucat banget. Lo sakit?" tanya Bimo lagi. Bimo mendekatkan lagi wajahnya ke hadapan Dani.

"Pergi!" seru Dani dan membuat semua orang yang ada di kelas itu jadi terkejut.

"Lo kenapa sih?" tanya Bimo sambil mengernyitkan keningnya dengan tangan yang masih menempel di bahu Dani. Bimo bingung dengan perubahan sikap Dani hari ini yang sedikit aneh. Ditambah lagi dengan badan Dani yang semakin hari semakin membungkuk.

"Gue bilang pergi!" seru Dani lagi semakin keras.

Bimo tak mau menyerah. Cowok itu terus berusaha untuk mengajak Dani berbicara meskipun beberapa kali diusirnya.

Melihat Bimo masih berada di sana, Dani mendorong tubuh Bimo sampai terjerembab ke lantai.

Bimo menghela nafasnya panjang. Tapi Bimo sama sekali tidak merasa marah dengan perlakuan Dani kepadanya. Karena Bimo merasa ada yang aneh dengan Dani hari ini. Tatapan mata Dani juga kosong. Seperti mayat hidup.

"Oke. Gue pergi sekarang," kata Bimo menjauh dari bangku Dani dan mendekat ke arah Rizal.

"Dani kenapa sih? Kok jadi aneh gitu?" tanya Bimo mengelus tengkuknya yang mulai dingin.

Rizal menoleh ke arah Dani. Dan benar saja, Dani terlihat sangat aneh. Matanya melotot dengan tatapan kosong.

"Iya benar. Dia kenapa ya?"

Rizal sebagai musuh bebuyutan dari Yoga dan Dani masih memiliki rasa peduli terhadap teman sekelasnya itu.

"Gue juga nggak tahu. Jangan-jangan hantunya Yoga nempel ke dia lagi," kata Bimo menebak nebak.

"Gue rasa ada sesuatu di antara Yoga dan Dani. Lo mikir sampai situ nggak?" tanya Rizal sambil memegang kalung dari dukun itu.

"Bisa jadi sih. Tapi apa?" ucap Bimo memijat kepalanya.

"Kita harus cari tahu. Sebelum kita semua kenapa-kenapa karena selalu diganggu sama arwah Yoga."

"Gue setuju," sahut Bimo mengangguk.

Mereka pun berniat untuk mengunjungi rumah orang tua Yoga sepulang dari kampus.

Sesampainya di rumah orang tua Yoga.

Kedatangan mereka disambut baik oleh ibu Yoga.

"Maaf kalian siapa ya? Mau cari siapa?" tanya Anggi, ibu Yoga dengan sangat ramah.

"Saya Bimo. Dan ini Rizal. Kami teman kuliah Alm. Yoga."

"Oh, mari silahkan masuk Nak!"

Anggi segera membuatkan minum untuk kedua tamunya.

Bimo dan Rizal mulai mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut rumah ini.

"Silahkan diminum tehnya Nak," kata Anggi sambil duduk di depan mereka.

Bimo dan Rizal segera meminumnya hingga habis. Lalu mereka mulai mengutarakan maksud dan tujuan kedatangan mereka ke sini.

"Apa saya boleh bertanya sesuatu Bu?" tanya Rizal menatap mata Anggi yang sayu.

Hawa aneh mulai terasa di ruangan rumah itu. Seperti ada yang sedang mengawasi mereka dari arah sudut rumah berukuran sedang itu.

"Silahkan Nak, mau tanya apa?" jawab Anggi dengan senyum ramah menghiasi wajahnya.

"Sebelumnya saya minta maaf Bu, tapi saya mau bertanya sebenarnya penyebab kematian Yoga apa ya Bu?" tanya Rizal dengan sangat berhati-hati karena takut menyinggung perasaan keluarganya.

Anggi nampak terdiam dan menunduk. Sepertinya masih berat untuk Anggi bisa menerima kenyataan pahit bahwa putranya itu sudah tidak ada lagi.

avataravatar
Next chapter