18 Matilah Bersamaku!

Anggi menghela nafas sebelum akhirnya berani untuk mengatakan kejadian mengerikan yang menimpa putranya itu.

"Jadi waktu itu, Dani dan Yoga mau berangkat ke kampus. Kondisi jalanan waktu itu sangat licin karena habis diguyur hujan lebat. Motor mereka tergelincir dan mereka jatuh. Lalu ada sebuah truk yang melintas dengan kecepatan tinggi akhirnya melindas tubuh Yoga."

Air mata Anggi tak kuasa lagi terbendung. Namun dia tidak ingin terlalu berlarut dalam kesedihan ini.

"Memangnya kenapa ya, Nak?" lanjut Anggi sambil menyeka air matanya.

"Tidak apa apa Bu, saya hanya cuma mau tahu aja kejadian yang sebenarnya. Maaf kalau sudah menyinggung perasaan Ibu," ucap Bimo pelan.

"Ah tidak sama sekali. Tapi kadang saya juga suka sedih," lanjut Anggi masih dengan mata yang berair.

"Saya paham Bu. Ibu pasti sangat kehilangan Yoga kan," sahut Rizal pelan.

"Bukan itu masalahnya yang membuat Ibu sedih Nak," ucap Anggi menatap keduanya yang terlihat kebingungan.

"Kadang saya suka sedih sekaligus bingung, kenapa arwah anak saya masih belum tenang. Padahal pengemudi truk itu sudah tertangkap dan sudah mendapat hukuman yang setimpal," lanjut Anggi masih dengan nada suara yang lirih.

Perkataan Anggi membuat Bimo dan Rizal kompak mengangguk dan saling menatap satu sama lain. Benar kecurigaan mereka selama ini kalau memang ada masalah yang masih belum diselesaikan sehingga membuat arwah Yoga jadi tidak tenang.

"Jadi ibu juga sering didatangi oleh arwah Yoga?" ucap Bimo mengerutkan keningnya.

"Iya Nak, hampir setiap malam Yoga datang ke rumah ini. Dia bilang pembunuh harus mati. Ibu bingung apa maksud dari perkataan Yoga itu. Sementara penabraknya saja sudah ditangkap dan dipenjara sekarang."

Bimo dan Rizal kembali saling menatap lalu menggelengkan kepalanya. Mereka juga bingung dengan apa yang sebenarnya telah terjadi pada Yoga hari itu.

"Tidak cuma ibu saja. Kami juga sering dihantui oleh arwah Yoga."

"Saya juga tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi pada Yoga."

"Kalau hubungan Yoga dan Dani menurut ibu bagaimana? Apa mereka sangat dekat?" tanya Rizal pelan.

Anggi nampak menerawang jauh ke depan.

"Akrab sekali. Mereka berteman sudah sejak kecil. Sekolah selalu bersama hingga kuliah pun juga bersama."

Bimo dan Rizal mengangguk angguk lagi.

Mereka rasa hari ini cukup untuk menanyakan masalah ini. Tidak enak jika harus terlalu banyak mengungkit masalah kematian Yoga yang bisa membuat hati Anggi terluka dan sedih.

"Baik kalau begitu kami permisi ya Bu. Tapi nanti kalau kami mau main ke sini lagi, boleh kan?" tanya Bimo sambil beranjak dari tempat duduknya.

Anggi mengangguk sambil mengantar mereka sampai ke depan rumah.

Setelah berpamitan Bimo segera melajukan mobilnya menuju ke rumah.

"Kayanya masih ada yang mengganjal. Kita harus cari tahu lebih dalam lagi Zal."

"Gue setuju. Gue nggak mau terus terusan dihantui oleh arwah Yoga."

***

Wati mengetuk pintu kamar Dani. Putranya itu dari sepulang dari kampus belum keluar kamar juga.

Wati jadi merasa khawatir dan takut terjadi sesuatu yang buruk pada Dani. Ditambah dengan sikap Dani yang akhir akhir ini sangat aneh.

"Dani... Buka pintunya sayang!" Wati terus mengetuk pintu kamar Dani.

Sampai tiga kali Wati mengetuk dan memanggil nama Dani tapi tetap tidak ada jawaban dari dalam kamar anaknya itu.

Wati menempelkan telinganya di pintu kamar Dani ketika ia mendengar suara Dani tertawa tawa sendirian.

Dani tertawa seperti orang gila. Padahal di dalam kamar itu tidak ada siapa-siapa.

Wati jadi semakin cemas dan curiga, dia takut terjadi apa-apa dengan Dani.

Wati segera menghampiri suaminya dan memintanya untuk mendobrak pintu kamar Dani.

"Ono opo to Bu? Kok ngos-ngosan ngono?"

"Pak, cepat dobrak pintu kamar Dani. Dia dari tadi nggak ada keluar kamar. Terus ibu juga dengar dia tertawa tawa sendiri. Ibu takut dia kenapa-kenapa," ucap Wati dengan sangat panik.

Wahyu, ayah Dani pun segera melangkah ke kamar Dani dan mendobrak pintu kamar Dani dengan sekuat tenaga. Akhirnya pintu kamar terbuka dengan paksa. Orang tua Dani segera masuk ke dalam kamar dan mendekat ke arah Dani.

Terlihat Dani hanya duduk diam di atas ranjangnya, dengan mata yang terbuka lebar tapi tatapannya seakan kosong. Wajah dan bibirnya pucat pasi. Dani juga tidak menyadari kedatangan kedua orang tuanya itu.

"Dan... Kamu kenapa? Dari tadi belum keluar kamar. Ibumu khawatir tuh," kata Wahyu pelan sambil menepuk bahu Dani.

Namun Dani sama sekali tidak menghiraukan perkataan Wahyu, bahkan menoleh pun tidak.

Dani tetap diam dan semakin tertawa dengan pandangan yang terus mengarah ke depan.

"Dani..." sapa Wahyu lagi masih terus mencoba menyadarkan Dani.

Namun Dani masih diam dan malah bicara sendirian tak karuan.

Wahyu menghela nafas panjang karena mulai emosi melihat Dani yang dari tadi tak menghiraukan kedua orang tuanya.

"Dani! Kalau diajak orang tua bicara itu jawab. Kenapa kamu diam aja malah tertawa tawa seperti itu," bentak Wahyu yang sudah tak dapat lagi menahan emosinya.

Dani menoleh ke arah Wahyu. Dia menatap dengan tatapan kosong yang mengerikan. Matanya begitu tajam menatap ke arah Wahyu.

"Pergi kamu dari sini!" bentaknya lagi.

Wahyu kaget, dia menggelengkan kepalanya karena heran dengan sikap Dani yang berani membentaknya seperti itu.

Padahal Dani bukan anak yang suka berbicara kasar kepada orang tuanya. Dia anak yang sangat berbakti, dan baru kali ini mereka mendapati putranya berani membentak.

Akhirnya Wahyu membiarkan Dani tetap di dalam kamarnya. Dia keluar bersama dengan istrinya yang masih merasa ketakutan melihat tingkah aneh dari putranya itu.

"Ada apa dengan Dani, Pak?" tanya Wati sambil menekan dadanya.

"Iya. Ada apa ya dengan anak itu? Bapak juga dengar tadi dia tertawa dan bicara sendirian padahal di sana nggak ada siapa-siapa. Wajahnya pucat dan tatapannya kosong."

Wati menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal.

Dia hanya menggelengkan kepala karena bingung dengan sikap Dani yang semakin hari semakin aneh.

"Ya sudah lah, biarkan aja dulu Pak. Nanti biar ibu yang coba bicara dengan Dani lagi. Mungkin sekarang dia lagi ada masalah kali."

Wahyu mengangguk dan berusaha tidak berpikiran negatif tentang Dani.

"Dani... Kamu mau kan jadi sahabatku selamanya?" tanya Yoga kepada Dani.

Semenjak itu, Yoga selalu mengikuti kemanapun Dani pergi dengan cara menggendong di belakang tubuh Dani.

"Tentu, sahabatku!" jawab Dani sambil tertawa lagi.

"Apa kamu sudah siap untuk mati bersamaku?" tanya Yoga lagi.

"Jangan sekarang!" jawab Dani pelan.

"Lantas kapan kamu akan menyusul bersamaku?"

"Nanti. Tepat di hari ulang tahunku," sahut Dani dengan sangat tegas.

Yoga langsung tersenyum mendengar jawaban itu keluar dari mulut Dani. Dia langsung memeluk sahabatnya dengan sangat erat.

avataravatar
Next chapter