19 Hampir Mati

Setiap malam Yoga selalu menempatkan diri di atas lemari pakaian milik Dani. Setiap malam juga Yoga selalu mendatangi ibunya di dalam mimpi maupun kenyataan.

Arwah Yoga belum tenang jika belum berhasil mengajak sahabatnya itu mati bersamanya.

Bagi Yoga, janji tetap lah janji yang harus ditepati.

"Setelah Dani mati, aku baru akan bisa tenang di alamku, Ibu..." ucap Yoga ketika Dani sudah tertidur pulas.

Tatapannya tajam dan begitu menyeringai.

Malam ini Bimo dan Rizal berencana untuk datang ke rumah Dani.

Aura negatif semakin terasa ketika mereka sudah berada di depan pintu rumah Dani.

Rizal akhirnya memberanikan diri untuk mengetuk pintu rumah Dani.

Mereka pun sempat terkejut ketika melihat Wati, keluar membuka pintu nya.

"Temannya Dani ya?" tanya Wati dengan logat jawanya.

"Benar Bu. Dani nya ada kan Bu?" tanya Bimo sambil melemparkan senyumannya.

"Dani dari pulang kuliah tadi nggak mau keluar kamar Nak. Ayo mari silahkan masuk!" Wati mempersilakan mereka untuk duduk.

Rizal dan Bimo sempat saling bertatapan ketika mendengar Dani belum keluar kamar dari tadi siang.

Rizal mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan ini sambil menunggu Wati kembali dari dapur untuk membuatkan mereka dua cangkir teh hangat.

Mata Rizal seketika tertuju ke arah foto yang terpajang di depan cermin lemari. Foto kebersamaan Dani dan Yoga.

Setelah Wati kembali dari dapur, Rizal memberanikan diri untuk menanyakan hal ini kepada Wati.

"Silahkan diminum tehnya Nak," ucap Wati pelan.

Mereka pun langsung meminumnya.

"Bu, pertemanan Dani dan Yoga itu sangat dekat ya?" tanya Rizal pelan.

Bimo yang mendengar pertanyaan itu langsung menyenggol bahu Rizal. Namun Rizal hanya mengedikkan bahunya acuh.

"Dekat sekali. Mereka sudah bersahabat dari kecil."

"Oh gitu... Tapi menurut ibu, semenjak kematian Yoga, sikap Dani jadi aneh nggak sih?" tanya Rizal sedikit merasa tidak enak dengan pertanyaan itu.

Bimo jadi semakin kesal mendengar pertanyaan Rizal. Dia langsung menginjak kaki Rizal sampai memekik kesakitan.

"Lo kalau mau nanya yang benar dong. Nyinggung tahu. Kan nggak enak," kata Bimo membisiki telinga Rizal.

"Kan gue cuma penasaran aja."

Wati yang melihat keduanya nampak berdebat hanya tersenyum sambil berkata,"Nggak papa Nak, tanya aja. Iya memang akhir-akhir ini Dani jadi kelihatan aneh. Dia jadi sering berbicara sendiri, tertawa sendiri, bahkan punggungnya jadi terlihat membungkuk tidak seperti biasanya."

Pernyataan Wati tadi berhasil membuat Rizal dan Bimo jadi beradu pandang. Rasa ingin tahu keduanya jadi semakin bertambah.

"Bu, apa kami boleh lihat Dani?" kata Bimo kali ini yang bersuara.

"Silahkan Nak," sahut Wati berdiri lalu mengantar keduanya ke kamar Dani.

Tanpa mengucap permisi, keduanya langsung masuk dan duduk di samping Dani.

Dani yang baru terbangun dari tidurnya langsung kembali duduk dengan tatapan mata yang kosong.

"Dan, lo nggak papa?" tanya Bimo menepuk bahu Dani.

Mereka ikut prihatin dengan keadaan Dani yang sekarang.

Rambut acak-acakan, pikiran yang kosong, tawa dan ucapan yang tidak jelas ia tujukan kepada siapa.

Dani hanya diam tanpa menghiraukan pertanyaan dari Bimo tadi.

Bahkan ia juga tak menghiraukan kedatangan mereka.

"Dan, lo kenapa sih hah? Sadar!" terik Rizal sambil mengguncangkan badan Dani.

Dani langsung menoleh dan menatap mata Rizal dengan tatapan yang menusuk.

Dani spontan langsung mencekik leher Rizal. Bimo kaget bukan main dengan tingkah Dani yang aneh. Bimo pun berusaha untuk melepaskan tangan Dani dari leher Rizal yang mulai kehabisan nafas.

"Dan, lepasin gue!" teriak Rizal sambil berusaha untuk menjauhkan badan Dani dari hadapannya. Namun semakin Rizal melepas tangannya semakin kuat cekikan Dani kepadanya.

"Ayo Dani, cekik dia lagi lebih kuat!" ucap arwah Yoga membisiki telinga Dani.

Dani mengikuti perintah dari Yoga dan semakin kuat mencekik leher Rizal.

Rizal akhirnya putus asa. Ia hampir kehabisan nafas dan kehabisan energi untuk melepaskan tangan Dani. Bimo juga sudah berusaha keras untuk melepaskan tangan Dani, tapi tetap tidak berhasil.

Akhirnya Bimo keluar menemui Wati, ia panik dan langsung berteriak meminta tolong.

"Bu... Tolong... Dani mencekik Rizal!" suara Bimo dengan nafas yang terputus-putus.

Wati segera memanggil suaminya. Mereka pun berlari menuju ke kamar Dani.

Mereka mencoba melepaskan tangan Dani dari leher Rizal. Setelah beradu kekuatan akhirnya tangan Dani bisa terlepas. Nafas Rizal sudah hampir putus.

Wahyu akhirnya mengikat tangan dan kaki Dani di atas ranjangnya. Kedua orang tua Dani terpaksa melakukan itu karena Dani semakin meronta-ronta.

"Maafkan Bapak ya Nak. Bapak terpaksa harus melakukan ini sama kamu," ucap Wahyu merasa tidak tega.

Setelah merasa terbebas dari cekikan Dani, Rizal akhirnya bisa bernafas lega. Karena tidak mau menambah masalah di sini, Bimo dan Rizal pun berpamitan untuk pulang.

"Gila! Hampir aja gue mampus dicekik sama Dani!" ucap Rizal yang kesal sambil terus mengelus lehernya yang panas.

"Sabar... Gue semakin yakin kalau ada yang nggak beres sama tuh anak," sahut Bimo.

"Kayanya dia kerasukan setannya Yoga deh. Dia masih dendam sama gue. Padahal gue udah minta maaf ke makam Yoga dan sekarang juga udah pakai kalung penangkal ini dari dukun sakti itu. Masih saja dia gangguin gue," ucap Rizal sambil mengangkat kalung itu.

"Iya. Gue rasa juga begitu. Kayanya mereka punya rahasia besar. Siapa tahu rahasia mereka ada di rumah Yoga. Lo masih berani nggak ke rumah dia lagi?" tanya Bimo menoleh ke arah Rizal.

"Berani lah. Atur aja mau kapan kita ke sana lagi."

"Siap! Kita harus bisa pecahin masalah ini sebelum arwah Yoga semakin bergentayangan."

Rizal mengangguk pelan.

Setibanya di rumah, Rizal membanting tubuhnya ke atas kasur. Sesekali ia menghela nafas kasar. Matanya menerawang ke langit kamar dan ia mulai memejamkan mata.

Belum lama Rizal memejamkan matanya, ia dikejutkan dengan jendela kamar yang tiba-tiba terbuka dengan sendirinya.

Padahal tidak ada angin dan tidak sedang hujan malam itu.

Rizal langsung turun dari ranjang tidurnya dan menutup jendela itu lagi.

Belum sempat kembali ke atas kasur, jendela itu kembali terbuka.

Rizal semakin kesal dan merasa aneh. Bagaimana bisa jendela itu terbuka padahal ia sudah menguncinya dari dalam.

Dengan terpaksa Rizal membalikan badan dan menutup lagi jendela kamarnya itu.

Ketika akan kembali ke kasur, ia dikejutkan dengan penampakan arwah Yoga yang sudah berdiri di depannya.

Dengan wajah setengah hancur, ia berdiri menatap Rizal dengan tajam.

Nafas Rizal langsung naik turun, ia ketakutan tapi mencoba untuk berinteraksi dengan Yoga.

"Mau apa lo, Ga?" tanya Rizal dengan nada suara yang lirih.

Bau anyir dari wajah Yoga mulai menyeruak ke seluruh ruangan kamar Rizal.

avataravatar
Next chapter