webnovel

Chapter 02. Diusir

Bunyi lonceng dua kali berbunyi. Para siswa diharapkan segera memasuki ruangan kelas masing-masing. Tidak terkecuali dengan Fanesya dan Aisyah. Mereka berdua telah selesai mengecek buku pelajaran yang dibawa serta membaca buku pinjaman di perpustakaan.

Langkah mereka terhenyak ketika muncul guru sejarah. Yaitu Bu Mirah. Mengenakan jilbab warna merah, dengan pin bros motif bunga, dan cincin emas kawin seukuran jari manis. Beliau merapikan taplak meja dan buku. Lalu mengambil spidol dekat meja khusus untuk guru. Bu Mirah menulis tentang sejarah Indonesia. Tidak lupa juga sejarah panjang gerilya yang dilakukan oleh Jenderal Sudirman kala menghadapi penjajah asing.

Meski sudah diterangkan dengan jelas kronologinya, tapi ada sesuatu yang mengganggu Aisyah. Yaitu taktik apa yang digunakan selain gerilya dan bagaimana para pahlawan Indonesia mengakali para penjajah. Aisyah sempat bertanya kepada Gufron, salah satu mentor bersama dengan Sakurachi dan Goro Tsukishima. Orang tersebut memang misterius. Tidak pernah sekali pun membuka topeng yang dikenakan. Selain itu, pakaian yang dikenakan mirip sekali dengan TNI angkatan darat. Hanya saja, kain seragamnya dipermak sedemikian rupa supaya tidak mengalami kerusakan.

"Paman, apa Paman tahu sejarah Indonesia melawan para penjajah? Selama ini, pertanyaanku tidak pernah sekali pun djawab dengan baik oleh para guru sejarah," keluh Aisyah kepada Gufron.

Gufron memberikan tatapan dingin kepada Aisyah. Membuat bulu kuduknya merinding. Pertanyaan tersebut membuat hatinya sensitif. Untuk saat ini, dia tidak mau bertanya soal sejarah Indonesia. Akan tetapi, dia berpikir sejenak. Mencoba memahami pertanyaan dari Aisyah.

"Sebelum Paman menjawab, Aisyah tahu tidak sejarah itu apa?" tanya Gufron.

"Kalau tidak salah, sejarah berasal dari bahasa Yunani yang bernama Historia. Yang artinya masa lampau," ucapnya sembari menulis tulisan bahasa Yunani ἱστορία

"Betul. Secara klasifikasi, informasi sejarah bisa beragam. Ada berupa garis geografis, kronologi, tropis, etnis dan lain-lain. Biasanya, informasi tersebut dipilah-pilah hingga menjadi akurat. Yang jadi permasalahannya adalah sejarah Indonesia masih dipenuhi misteri. Kebanyakan para peneliti masih terus menggali. Dimulai dari peradaban Kerajaan sampai dengan bagaimana Indonesia dijajah. Walau sudah dijelaskan dan bukti otentiknya bagaimana Indonesia dijajah oleh 350 oleh Belanda, tetap saja tidak ada satu pun yang mengetahui kebenarannya. Semua masih dalam subjektif atau dari satu sisi saja," jelas Gufron.

Aisyah masih tidak mengerti dengan penjelasan Gufron.

"Mereka masih terbendung dengan masa lalu sampai sekarang. Padahal negara lainnya bisa maju dan mau berkembang sampai setinggi-tingginya. Itu semua berkat sejarah dari masing-masing. Entah itu sejarah kelam atau kemenangan terhadap suatu peristiwa penting. Tapi Indonesia tidak belajar dari sejarah. Alasannya apa? Karena itu tadi. Mereka terus terbelenggu dalam sejarah Indonesia. Bagaimana rakyat Indonesia dijajah, lalu tahun berapa mereka dijajah, lalu organisasi belanda bernama VOC dan pemimpinnya. Tidak menjelaskan bagaimana rute pelayaran, strategi bagaimana melawan penjajah. Semua itu tidak didokumentasikan dalam bentuk tulisan maupun perkataan. Akibatnya, sejarah Indonesia masih terkunci dalam suatu aspek kronologi saja," tambah Gufron.

Namun tidak dipungkiri juga sejarah Indonesia dapat dimanipulasi dengan mudah oleh kaum penjajah. Terutama Belanda yang membawa beberapa dokumen asli, artefak di bawa ke sana. Belum lagi pemerintah Indonesia juga tidak diberi fasilitas untuk menjaga atau mengamankan benda-benda pusaka atau dokumen asli. Pemerintahnya sendiri masih gelap mata soal sejarah. Asalkan ada makanan, lifestyle dalam kehidupan individual dan uang yang banyak, apapun bisa diubah. Termasuk sejarah itu sendiri. Salah satunya zaman Orba. Meski tidak memiliki bukti konkret, setidaknya Gufron menyadari bahwa pemerintah pada masa itu system demokrasi bukanlah system sebenarnya. Hanya bernama demokrasi, tapi hak dan kebebasan diatur atau ditentukan oleh pemerintah. Jika melawan pemerintah, siap-siap saja esok harinya menghilang. Begitu juga keluarga yang dicap komunis oleh pemerintah. Sudah pasti orang bersangkutan akan mendapatkan hukuman social, walau bukan sepenuhnya salah mereka.

"Paman mungkin tidak memberikan jawaban memuaskan. Akan tetapi paman akan meyakini satu hal. Sejarah atau konspirasi … semua bisa diubah kapanpun kau mau. Berhati-hatilah!"

"Memangnya paman pernah melakukan hal itu sebelumnya?" tanya Aisyah.

"Merubah sejarah maksudmu?" tanya balik Gufron.

Aisyah mengangguk tegas. Gufron mengerti arah kemana pembicaraannya. Dia membalasnya penuh senyuman tipis.

"Tidak mungkin!"

Sejak itulah, Aisyah memutuskan tidak mempercayai sejarah yang dibaca di buku atau internet. Dia lebih mempercayai apa yang diyakini benar.

"Aisyah Marwadhani!"

Mendengar nama panggilan membuat dirinya terhanyut dalam lamunan. Dia bangkit berdiri sambil membungkukkan badan.

"Maaf!"

Semua orang melihatnya hanya bisa tertawa. Fanesya lagi-lagi menghela napas. Gadis banda merah polkadot bersikap cuek. Melanjutkan untuk membaca buku sejarah.

"Nah, sekarang berikan penjelasan tahun berapa Jenderal Sudirman meninggal?"

"1950," singkatnya dengan helaan napas.

"Kenapa menghela napas begitu? Anda tidak suka dengan pelajaran saya," tiba-tiba Bu Mirah meninggikan suaranya.

"Tidak begitu bu. Hanya saja … saya masih bingung. Mengenai taktik perang yang digunakan oleh Jenderal Sudirman. Memang di internet sudah dijelaskan mengenai kronologinya. Tapi tidak dijelaskan bagaimana taktik gerilya menghadapi Belanda. Disitulah saya tidak tahu. Mohon beri kami penjelasan detail bu!" kata Aisyah memohon.

Suasana di kelas menjadi sunyi. Tidak ada satu pun yang berbicara. Lalu, seorang gadis mengangkat tangan di depan Bu Mirah. Tepatnya, gadis bandana merah polkadot.

"Apa anda mau menjawab pertanyaan dari Aisyah?"

"Tidak Bu. Saya memilih bertanya. Almarhum Abdul Harris Nasution pada waktu itu ingin belajar taktik militer kepada Sudirman. Tapi beliau kecewa karena seni militernya buruk, sehingga sulit dijelaskan operasinya. Jenderal Sudirman memilih mengobarkan semangat seperti pahlawan-pahlawan lainnya dibandingkan menggunakan seni militernya. Apakah hal itu benar, Bu?" tanyanya.

Mulut Fanesya menganga. Tidak menyangka keduanya mampu bertanya sedalam ini. Umumnya, masyarakat enggan bertanya karena takut menyinggung perasaan orang lain. Padahal, guru senang jika ada yang bertanya. Tapi entah kenapa, para siswa mulai malas bertanya. Fanesya menduga akibat perkembangan internet. Sehingga akses internet bisa dicari dengan mudah. Fanesya berharap Guru seperti Bu Mirah bisa sabar menghadapinya.

Namun Bu Mirah berdiri sambil menggebrak meja. Dia mengacurngkan jari kepada Aisyah dan gadis bandana merah polkadot dengan marah-marah. Wajahnya menunjukkan kekesalan terhadap mereka berdua.

"Kalian berdua, keluar dari ruangan kelas sekarang!"

"Lho kok begitu Bu? Saya kan cuma bertanya. Apa salahnya menanyakan pertanyaan yang kritis?" bela Aisyah.

"Betul, Bu. Terlebih lagi, kenapa saya ikut kena? Kalau saya sarankan, dia saja yang keluar dari ruangan," ucapnya bernada datar.

"Apa katamu barusan!" Aisyah tidak mampu menyembunyikan rasa kesalnya.

Keduanya melancarkan aksi protes. Hentakan kedua tangan Bu Mirah membuyarkan atmosfer sekitar. Seketika menjadi hening.

"Bisakah kalian sejenak untuk diam!" bentaknya. Namun perkataan tersebut membuat Aisyah semakin penasaran.

"Maaf Bu. Saya ingin bertanya. Apakah sejarah Indonesia memang sepenting itu dalam mata pelajaran? Selama ini kita diforsir untuk mengingat sejarah. Tapi tidak diajarkan bagaimana kronologi secara detail, strategi perang dan makna dalam kemenangan pihak Indonesia. Yang ada malah menurunkan moralitas siswa-siswi di sini. Selain itu … kita disuruh menghapal daripada memaknai sejarah negara kita. Pantaskah kita—"

"Keluar dari ruangan saya dan jangan harap anda tidak akan naik kelas lagi! Saya akan mengingat namamu supaya tidak naik kelas!"

"Dan kau Florensia! Anda akan saya laporkan kepada pihak BK mengenai penghinaan yang ditunjukkan kepada saya!"

Aisyah mengerutkan keningnya. Tidak menyangka pertanyaan barusan memicu emosi beliau. Ditambah semua siswa kaget dengan ucapan beliau. Kini mereka berharap Aisyah segera meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Anehnya, dia membungkukkan badan sambil merapikan buku-buku sejarah. Lalu mengemasnya dan keluar dari ruangan kelas sambil membawa tas.

"Anda mau ke mana?"

"Lho, katanya saya tidak boleh mengikuti pelajaran anda? Maka buat apa saya bersekolah di sini Bu? Kan anda sudah mengecap saya tidak akan pernah naik kelas. Belum lagi setelah ini, anda akan melaporkan kepada Pihak Kepala Sekolah mengenai insiden ini serta menghubungi orang tua saya. Padahal, yang diharapkan siswa-siswi di sini untuk belajar dan diskusi bersama. Bukan malah mengutuk orang tersebut supaya tidak naik kelas. Jika itu terjadi, apa bedanya dengan sekolah-sekolah lainnya?," helaan napas keluar dari mulut Aisyah. "Benar yang dikatakan dia. Negeri kita masih terbelenggu dengan masa lalu."

Seketika, wajah Bu Mirah memerah. Tidak tahu apa yang harus untuk membalasnya. Rupanya negara Indonesia didoktrin untuk menghapal ketimbang praktek. Terbukti, guru tidak mau disalahkan atas kejadian ini. Wajar Aisyah sudah memprediksikan hal itu, karena banyak guru tidak suka dikritisi oleh murid. Akibatnya, masa depannya menjadi suram. Dan didoktrin mengikuti PNS atau masuk perkantoran. Itulah yang tidak disukai oleh Aisyah. Seolah-olah masa depan sudah diatur oleh pemerintah.

"Kalau begitu, saya permisi dulu Bu. Selamat menikmati pelajaran membosankan dari Bu Mirah yang kolot," sindir Aisyah.

"Aisyah!" bentak Bu Mirah.

Seketika, hanya Fanesya tidak mampu menahan tertawa. Dia ternyata berani menghadapi guru yang keras kepala. Dengan gini, Bu Mirah akan berhati-hati dalam berucap. Pasalnya, Aisyah diam-diam merekam kejadian lewat bros pin kamera. Sekali melaporkan, Aisyah akan melaporkan balik ke pihak kepolisian atau Kepala Sekolah.

"Memang harus seperti itu negara kita … negara taat hukum," gumam Fanesya.

Dan untuk kesekian kalinya, Aisyah tersenyum girang. Dia menikmati sekolah tanpa terganggu dari pelajaran-pelajaran yang membosankan.

Sementara itu, Florensia melihat sosok punggung Aisyah. Saking penasarannya, dia memegang salib di kalungnya.

"Aisyah … sebenarnya kau ini siapa?"

To be Continued

Next chapter