1 Chapter 01. Aisyah

Anak panah meluncur ke target di depan halaman rumah. Angin berhembus kencang, tidak membuat tembakannya meleset. Sebaliknya, akurasinya semakin tajam dan lebih baik. Malam begitu dingin, dengan adzan dikumandangkan. Membuat seorang gadis mengakhiri melakukan rutinitas seperti biasanya.

Yang dimaksud adalah memanah. Hobi yang digemari Aisyah selama kurang lebih 16 tahun. Dia merancang dan membuat sendiri alat-alat. Bahkan berusaha menahan diri untuk membeli pakaian atau baju hijab demi membeli bahan-bahan untuk membuat busur panah. Kendati demikian, dengan hasil tabungannya yang mencukupi, dia mampu merakitnya dengan baik walau tidak sempurna.

"Allahu Akbar, Allahu Akbar!"

Suara adzan shubuh berkumandang. Aisyah menaruh busur dan anak panah dekat halaman. Bergegas mencabut anak panah tersebut dan melakukan sholat berjamaah di masjid. Sebelum pergi, tidak lupa minum air putih dan mengambil air wudhu di kamar mandi. Semprotan air membasahi anggota tubuh. Dari berkumur, mengusap hidung, wajah, kedua tangan hingga lengan, rambut, telinga dan kedua telapak kakinya.

Kemudian, gumaman doa terus dipanjatkan. Lalu bergegas menuju masjid terdekat. Ketika pintu sudah di depan mata, muncul orang tua angkat Aisyah. Ratih dan Hartoyo. Pasangan suami istri yang mengasuhnya sekaligus mengadopsi anak sejak bayi. Pasca keduanya mandul, mereka dititipkan oleh dua orang yang kemari. Goro Tsukishima dan Sakurachi.

"Mau ke masjid ya?" tanya Ratih, Ibu angkatnya.

"Betul ! Kan hari ini Aisyah mau mengaji di sana juga," jawab Aisyah.

"Lalu busur dan anak panah tidak ditaruh kembali ke asal semula?" tanya Ratih.

Aisyah menggeleng kepala. Hartoyo mengenakan baju koko warna putih, dengan motif batik. Kopyah warna hitam polos disertai sarung merah dengan motif kotak-kotak. Ditambah dengan semprotan parfum mengelilingi orang tuanya. Sehingga terasa wangi. Sedangkan Ratih, Ibu angkatnya mengenakan mukenah putih.

"Mah … Pah … kalian begitu serasi deh. Serasa mirip seperti pengantin baru saja," ucapnya sekaligus menggoda mereka.

Mendengar perkataan dari Aisyah, wajah mereka memerah dan saling malu-malu mendengarnya. Kemudian, Hartoyo mengelus kepala Aisyah.

"Terima kasih atas pujiannya nak,"

"Ngomong-ngomong, Aisyah mau langsung ke masjid bareng sama papa dan mama?" tanya Ratih.

"Ya. Kebetulan, Ustadz Akbar mau ceramah shubuh di sana. Mama mau ikut?" tawar Aisyah.

Namun Ratih menggeleng kepala. Aisyah sudah menduga hal itu karena beliau sedang menyiapkan sarapan untuk bertiga. Apalagi, Hartoyo sekarang kerja sebagai pengusaha ternak ikan lele. Karena bulan ini musim panen, maka beliau terburu-buru ingin melihat hasil panennya.

"Oh ya, nanti Bi Ijah masak apa ya?" tanya Aisyah lagi.

"Entahlah. Mama juga tidak tahu. Kan yang beli bahan makanan di pasar kan dia. Mama saja tidak diperbolehkan untuk masak sendiri,"

"Benar juga. Aku tidak berharap apapun karena masakannya terlalu acak," nada Aisyah berusaha tegar.

Sebenarnya, Aisyah berharap Ratih masak masakan sendiri. Karena baginya, masakan beliau paling enak sedunia. Terutama nasi kare.

Akhirnya, Aisyah dan sekeluarga berangkat ke masjid. Setelah melaksanakan sholat shubuh, dia bersama jamaah lainnya sedang mendengarkan ceramah dari Ustadz Akbar. Selama kurang lebih dari setengah jam. Kemudian dilanjutkan dengan lantunan doa. Beliau menjelaskan mengenai berbuat baik terhadap sesama kaum muslimin. Serta juga berperang melawan kaum kafir yang mendominasi dunia. Tapi diselipi dengan humor khas beliau. Sehingga Jemaah tertawa bersama-sama. Aisyah mendengarkan dengan seksama. Ada sebuah penjelasan, di mana kaum muslim bisa memanfaatkan media sosial dengan bijak dan menyebarkan dakwah. Tanpa harus menyakiti orang lain.

Kerudung yang dikenakan sangat tidak nyaman. Dia mencoba membetulkan peniti kain tersebut. Aisyah menutupi rambutnya dengan mukenah sholat. Setelah itu, dipasang kembali.

"Kurasa aku salah beli jilbab deh," gumam Aisyah dalam hati.

Setelah ceramah berakhir, Aisyah hanya mengenakan mukenah. Wajahnya murung dan bergegas menuju ke rumahnya.

"Lho, Aisyah?"

Panggilan dari arah belakang. Aisyah menoleh ke asal suara tidak asing. Ternyata Fanesya. Teman sebaya sekaligus tetangga sebelahnya. Rambut coklat ditutupi dengan dominan hitam. Kulit putih seperti bule. Tapi matanya sipit. Aisyah memberikan kacamata minus kepadanya dengan santai.

"Seperti biasanya, kau tidak bisa melihat tanpa kacamata minusmu. Mungkin sebaiknya kupecahkan saja kacamatanya ya," goda Aisyah bernada nyengir.

"Barusan kau berkata 'memecahkan' bukan? Sekali lagi kaubilang begitu, action figure yang kupinjam akan kupatahkan ya," balas Fanesya.

Aisyah lupa action figure mahou shoujo dipegang olehnya. Harusnya ditagih saja ketika selesai menggambar. Mereka berdua tinggal bersebelahan.

"Begitu ya? Aku tidak takut dengan ancaman palsumu, lho!"

"Jadi kau tidak mempercayaiku ya? Berarti akan kupecahkan sekarang juga ya!"

"Hentikan!" jerit Aisyah dengan wajah ketakutan.

Fanesya langsung berlari. Aisyah berusaha menghentikannya. Kini keduanya berada di dalam rumah Fanesya. Saking buru-burunya, Aisyah tidak mengucapkan salam. Keduanya saling berlomba. Yang satu berkeinginan merusak action figure milik Aisyah. Sedangkan satu lagi menghentikan merusak barang pribadinya. Ayah Fanesya sedang sibuk membaca koran, melipat lipatan koran sambil berteriak, "Kalian berdua! Jangan lari-lari di tangga!"

Namun suaranya tidak kesampaian. Mereka berdua sudah menghilang. Ibu Fanesya hanya menghela napas. Melihat tingkah laku putrinya dan tetangga sebelah. Beliau berharap Ratih dan Hartoyo untuk mengajarkan sikap sopan santun dan bertamu seperti umat muslim umumnya.

Di lain pihak,

"Tunggu!" teriak Aisyah.

"Sini tangkap aku, dasar maniak otaku!"

"Sudah kubilang, aku bukan otaku!" bantah Aisyah.

Keduanya memang penikmat film. Jika Aisyah menyukai anime, maka Fanesya menyukai K-pop. Walau demikian, mereka tetap rukun seperti biasa. sampai di kamar pribadi Fanesya, Aisyah mendorongnya. Lalu menggelitik pinggang Fanesya sampai dia tidak mampu menahan tertawa.

"Hentikan! Geli tahu!"

"Tarik kembali ucapanmu barusan. Cepat!" katanya bernada kesal sambil menggelitik pinggang Fanesya.

Namun Fanesya tidak mau menyerah. Malahan, dia membalasnya dengan kelitik pinggang Aisyah. Mereka terus melakukannya sampai tidak menyadari ada Ibu Fanesya di luar kamar. Dia membawa wajan dan spatula. Lalu diayunkan secara bergantian. Suara pantulan spatula dan wajan membuat telinga mereka berdua berdengung.

"Kalian ini! Waktunya sekolah! Jangan main-main!" bentak Ibu Fanesya.

"Baik," ujar Aisyah dan Fanesya kompak bareng.

Keduanya saling menyalahkan satu sama lain sejak itulah. Meski demikian, tidak ada rasa dendam atau benci diantara keduanya. Ibu Fanesya tersenyum kecut, menikmati masa muda mereka. Di lain pihak, Ratih dan Hartoyo melakukan senam olahraga. Lebih tepatnya jogging memutar halaman dan melakukan pemanasan. Rutinitas tersebut mereka lakukan setelah mengarungi rumah tangga. Tujuannya ingin mendapatkan momongan. Tapi mereka divonis tidak dapat mengandung anak. Beruntung, Sakurachi dan Goro meminta kepada Ratih dan Hartoyo untuk adopsi bayi perempuan. Mereka bersedia dengan syarat mengijinkan memberi nama. Akhirnya pilihannya jatuh ke Aisyah.

Dan Aisyah sudah mengetahui asal usulnya ketika kunjungan pertama oleh Gufron. Dia menjelaskan bahwa Aisyah diadopsi. Oleh sebab itulah gadis berjilbab itu dengan santai menerima kebenaran dari Gufron. Orang tuanya tidak mau memberitahunya karena dirasa itu tanggung jawab Sakurachi dan Goro. Meski demikian, Ratih dan Hartoyo menjalani peran sebagai orang tua yang bijak dan membimbing Aisyah ke arah benar. Dan Aisyah bersyukur dengan hal itu.

Bicara soal Gufron, dia merupakan mentor yang mengajarkan cara untuk memanah serta penggunaan sihir. Mulanya Aisyah tidak tahu menahu soal memanah. Akan tetapi, karena memanah merupakan suatu olahraga atau alat untuk berperang melawan kaum kafir, dia ingin menggunakannya. Meski demikian, Aisyah memiliki pemikiran sendiri.

Sesampainya di rumah, dia menjawab salam dan bergegas mandi. Lalu mengenakan seragam sekolah dan cium tangan kedua orang tuanya. Dia menggunakan sihir angin, menutup pintunya cukup keras. Ratih menghela napas berat.

"Assalamualaikum!"

"Waalaikumussalam!"

"Dasar, Aisyah. Selalu menggunakan kekuatan angin," keluh Ratih.

"Mau gimana lagi, ma. Sejak lahir memang sudah memiliki kekuatan semacam itu. Asalkan dia bertanggung jawab soal kekuatannya, tidak masalah bukan?" tanya Hartoyo.

"Tapi mama tetap khawatir, pa! Banyak lho kasus di mana kekuatannya digunakan untuk kejahatan. Apalagi …"

Mulut Ratih mengatup. Seolah-olah tahu situasi yang terjadi. Begitu juga dengan Hartoyo. Sebenarnya, dia ingin meminta kepada Gufron untuk menghilangkan kekuatan itu. Tapi dia berkata, "Jika kekuatan dia dihilangkan, eksistensi sebagai manusia akan hilang seutuhnya. Dan dia akan menjadi iblis. Kekuatan miliknya itu bagian dari sebuah energy baru untuknya."

Hanya itulah yang disampaikan oleh Gufron sembari meninggalkan tempat. Pesawat yang mereka tumpangi bukanlah pesawat terbang pada umumnya.

"Betul ma. Lebih baik kita turut awasi Aisyah pakai alat ini," rogoh sebuah alat pemberian dari Gufron.

Alat tersebut bisa mendeteksi ada ketidakberesan dalam diri Aisyah. Bukan hanya suhu temperatur saja. Kondisi keadaan, jantung dan lain-lain akan diketahui secara langsung oleh Ratih dan Hartoyo. Alat itu cocok jika digunakan untuk menguntit. Sayangnya, mereka tidak mau menggunakan hal karena dirasa mengganggu privasinya.

Di pintu luar, Fanesya membuka pintu mobil belakang. Aisyah duduk di dalam mobil sembari mengonsumsi makanan pemberian orang tuanya. Dirinya juga membawa busur dan anak panah ke dalam mobil bagasinya. Seperti biasa, orang tuanya tidak mempermasalahkan tingkah pola anak angkatnya. Mesin mobil dinyalakan dan berangkat menuju ke sekolah. Aisyah membuka isi bekalnya. Ternyata sayur bening dengan dadar jagung. Dengan lahap dia memakannya. Kunyah demi kunyah Aisyah makan. Setelah itu menelannya.

"Fanesya, sebaiknya kembalikan action figure milikku segera," katanya bernada dingin.

"Apa kau masih membahas soal itu?" helaan napas keluar dari mulut Fanesya.

Terlihat Aisyah mengembungkan pipinya, mata melirik ke samping kanan. Enggan bertatap wajah dengannya. Sampai di perjalanan, dia masih kesal terhadapnya. Tapi Fanesya memiliki cara mengatasinya. Dia merogoh tasnya, lalu memberikan sebuah kado kepadanya.

"Ini buatmu," ucapnya singkat.

"Kalau sampai kadonya adalah tengkorak, akan kuhajar kau," ucap Aisyah masih cemberut.

"Coba saja buka, dasar tsundere!" godanya.

"Diam kau!"

Aisyah membuka bingkisan kado di dalamnya. Ternyata berupa mainan action figure mahou shoujo dengan tokoh berbeda. Kedua mata Aisyah berbinar-binar melihatnya. Dia tiba-tiba memeluk Fanesya. Entah apa yang merasuki dalam tubuhnya, Fanesya senang memberikan hadiah kepada sahabatnya.

"Sebenarnya sih itu harga diskon ketika aku membeli album boyband favoritku. Tapi ya sudahlah," gumamnya dalam hati.

"Maaf ya aku ketus kepadamu. Aku akan membalas kebaikanmu kelak," balas Aisyah.

"Tidak perlu kau pikirkan. Asalkan kau senang saja, itu lebih dari cukup kok. Beneran nih,"

Akhirnya mereka sampai di sekolah di Jakarta. Tempat mereka menimba ilmu. Selama menunggu sejam diakibatkan macet, akhirnya mereka sampai di sana. Fanesya menutup pintunya sambil berkata, "Pak, nanti dijemput seperti biasa ya."

"Ok, non!" supir mengiyakan dengan mengacungkan jempol ke Fanesya.

Mobil tersebut balik ke rumahnya. Fanesya dan Aisyah masuk ke pintu gerbang. Banyak siswa masuk ke dalam dengan mengendarai kendaraan masing-masing.

Sekolah yang mereka berdua tekuni sangat mirip dengan latar belakang sinetron. Gedung sekolah dipermak menjadi bagus dan modern. Beragam fasilitas semacam lapangan olahraga diberi pagar pembatas, gawang dan ring basket. Untuk masuk ke dalam sana, harus mendapatkan izin dari guru bersangkutan atau guru olahraga.

Taman begitu asri dan menyejukkan. Pohon beringin berdiri tegak, menari kesana kemari. Sebagian siswa sedang duduk bercengkrama. Bahkan ada juga menyapu dedaunan yang berjatuhan di koridor maupun lapangan olahraga.

Mulanya, Aisyah tidak mau menarik perhatian siswa di sekitar sini. Sayangnya, doanya tidak terkabulkan.

"Aisyah!"

Aisyah dan Fanesya terkejut mendengar suara tidak asing. Beliau bernama Pak Tono. Berambut pendek, berkumis tebal serta berbadan buncit. Bagi sebagian besar siswa kelas 10 sampai kelas 12, tidak ada yang berani menentangnya karena beliau guru BK. Aura terpancar mirip seperti harimau, yang siap menerkam siapa saja yang melawan beliau.

Namun tidak berlaku bagi Aisyah dan Fanesya. Keduanya terbiasa dengan hal itu.

"Pak Tono. Waktu yang tepat pak. Bisakah saya taruh busur dan anak panah di ruang BK? Nanti saya ambil pas pulang sekolah. Bagaimana pak?" ujar Aisyah tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.

"Aisyah!" Fanesya menyikut lengan Aisyah.

Aisyah menolehnya. Dia melihat banyak siswa menatap tajam kepadanya. Mereka melihat gadis berhijab itu dengan berani atau bodoh. Belum lagi menanyakan motif membawa anak dan busur panah ke sekolah.

"Bapak ingin tahu, tujuanmu membawa ini untuk a—"

"Sampai jumpa, Pak Tono. Saya sayang sama bapak!" teriaknya.

Fanesya menghela napas berat. Dia menyusul langkah kaki Aisyah menuju ruang kelas. Sedangkan para siswa dibuat kebingungan oleh tingkah lakunya. Pak Tono yang sibuk memegang busuk dan anak panah terheran-heran.

"Aisyah, Aisyah. Untuk apa toh kau membawa busur panah ke sekolah? Sekolah kan tidak ada ekskul pemanah," gumamnya.

Di sisi lain, seorang gadis berambut pendek, mengenakan bando merah polkadot, berjalan ke ruang sekolah. Kalung salib emas bersinar mengkilau. Dielus-eluslah kalung disertai menutupinya dengan kain seragam. Bibirnya dikasih lipgloss, tidak menunjukkan ekspresi apapun kecuali kedua bola matanya fokus terhadap suatu hal.

To be Continued

avataravatar
Next chapter