1 Prolog

Diandra, wanita cantik berusia 21 tahun, tampak memberengutkan wajah saat sang sahabat menolak permintaannya untuk pulang satu mobil.

"Aku, sih, sebenarnya enggak ngerasa keberatan. Cuma, kasihan aja Samuel kalau hanya pulang sendirian," jelas Aretha, wanita yang sudah tujuh tahun menjadi sahabat Diandra.

Ya, Samuel adalah pria yang menjadi alasan Aretha untuk menolak permintaan Diandra. Namun, Samuel juga yang menjadi alasan Diandra ingin pulang satu mobil dengan Aretha dan suami sahabatnya itu.

Samuel adalah teman sekelas Diandra dan juga Aretha sewaktu masih kuliah. Dia adalah pria yang selalu membuat Diandra merasa kesal dan jengkel. Apa pun yang menyangkut dirinya, selalu saja membuat Diandra ingin sekali marah. Katakan saja mereka adalah sebagai musuh bebuyutan, karena setiap kali bertemu pasti bertengkar.

Setelah menghabiskan liburan satu minggu di kawasan daerah pantai, Diandra dan yang lainnya memutuskan untuk segera pulang ke Jakarta, kota kelahiran mereka.

Liburan yang menjadi perayaan kelulusan Diandra dan ketiga sahabatnya, juga Samuel sebagai musuh bebuyutannya, nyatanya meninggalkan bekas di hati Diandra. Hingga pada akhirnya, Diandra yang awalnya berangkat satu mobil dengan Samuel, tiba-tiba menolak untuk pulang bersama pria itu.

Perdebatan pun akhirnya terjadi di antara Diandra dan ketiga sahabatnya. Diandra kekeh ingin pulang di mobil suami Aretha, sedangkan ketiga sahabatnya memaksa agar dia pulang dengan Samuel.

Sementara itu, Samuel masih berdiri di samping mobilnya yang berwarna hitam. Dia mengamati perdebatan itu dari kejauhan. Ada semburat kecewa di wajahnya. Namun, dia masih berusaha menahan kekecewaan itu.

Apa dia sebegitu bencinya, sampai nggak mau pulang bareng denganku? Begitu pikirnya.

"Iya, Ra. Lagian, perjalanan dari sini ke kota kita, kan, cukup jauh. Jadi, kasihan Samuel kalau nggak ada teman ngobrol di jalan." Tania yang sedari tadi mengamati perbincangan kedua sahabatnya tampak ikut menimpali.

"Betul itu. Sudahlah, Ra ... apa susahnya, sih, pulang bareng Samuel?" Deasy, salah satu sahabat Diandra yang baru saja membuka pintu mobil kekasihnya, tiba-tiba mengurungkan niat untuk segera masuk ke dalam mobil itu. Dia lebih memilih untuk menghampiri Diandra dan Aretha.

"Kalian kenapa, sih, lebih memikirkan perasaan Samuel daripada perasaanku?" kesal Diandra seraya menatap ketiga sahabatnya secara bergantian.

"Bukan kayak gitu, Ra!" bantah Aretha jelas tidak terima tuduhan Diandra.

"Sudahlah, Sayang ... kalau memang dia mau ikut dengan kita, biarkan saja." David tiba-tiba ikut menanggapi dan menyetujui keinginan Diandra.

David adalah suami Aretha. Dia sempat menjadi atasan Diandra dan Aretha sewaktu mereka magang di kantor perushaannya. Karena kegiatan magang itu, David dan Aretha terlibat cinta lokasi sehingga mereka sah menjadi suami istri setahun yang lalu.

Selama ini David terkenal dengan sosok yang dingin terhadap wanita, selain Aretha. Namun, hari ini sikapnya cukup membuat Diandra terkejut. Dia tidak percaya, justru David yang saat itu memahami keinginannya.

Tumben banget pak David peka? Begitu pikirnya.

"Ish, Mas, jangan dong," bisik Aretha seraya mendekatkan wajahnya kepada David.

Hal itu sontak membuat David mengernyitkan dahi. Dia jelas merasa heran dengan sikap sang istri yang justru tidak mengikuti keinginan Diandra. Padahal, selama ini Aretha begitu menyayangi Diandra layaknya kepada seorang adik. Namun, kenapa tiba-tiba sekarang dia berubah?

Ya, benar. Aretha, Deasy dan Tania memang menginginkan Diandra pulang bersama Samuel. Mereka sengaja akan membuat kedua jomblo akut itu menjadi lebih dekat, tidak seperti kucing dan anjing yang selalu bertengkar setiap kali bertemu.

Harapan mereka, Diandra dan Samuel akan mengubah rasa benci itu menjadi cinta, karena mereka tahu bahwa keduanya saling memiliki rasa. Terlebih lagi Samuel yang beberapa hari ini selalu menunjukkan tanda-tanda bahwa dia memang menyukai Diandra.

"Dave, ayo pulang! Kalian nunggu apa lagi?" teriak Richard yang baru saja membuka pintu mobilnya.

Richard adalah mantan Aretha sekaligus sahabat David yang juga ikut serta dalam acara liburan tersebut. Dia sengaja mengajak Renata, adiknya, dan juga Rendy, sahabatnya.

Belum sempat David menanggapi ajakan Richard, tiba-tiba Samuel menarik tangan Diandra. Entah sejak kapan Samuel berdiri di sana, tepat di samping Diandra.

Bukan hanya Diandra yang terkejut, tetapi yang lain pun ikut terkejut melihat aksi samuel kali ini.

"Sam, lepaskan! Aku mau pulang sama Aretha dan pak David!" Diandra memberontak. Namun, Samuel tak peduli. Tanpa berkata apa pun, Samuel terus menarik tangan Diandra menuju mobilnya.

"Masuk!" titah Samuel saat dia berhasil membuka pintu mobil itu.

Melihat tatapan Samuel yang begitu tajam, Diandra hanya bisa patuh dan tidak bisa berkata apa pun lagi.

Hening.

Hampir 1 jam mereka lewati selama perjalanan, tetapi tidak ada satu pun yang berinisiatif untuk membuka suara.

Diandra lebih memilih bergulat dengan gawai di genggamannya. Dia tampak menggulir layar ponsel itu ke atas dan ke bawah, entah apa yang sedang dia cari di sana.

Sikap Diandra tentu menjadi pusat perhatian Samuel yang tengah fokus menyetir mobil. Sesekali pria itu melirik ke arah Diandra. Namun, tidak ada komentar apa pun. Berulang kali dia melakukan hal itu. Hingga pada akhirnya, dia pun merasa jenuh dan mulai membuka suara.

"Apa, sih, yang menarik dari handphone itu?" Pertanyaan Samuel sukses membuat Diandra tersentak.

Diandra menghentikan kegiatannya, lalu menoleh ke arah Samuel. "Bukan urusan lo!" ketusnya, lalu membuang muka.

Samuel melengos sejenak. Pria itu tampak sangat kesal mendapat jawaban yang sedikit ketus dari wanita di sampingnya.

"Gue, kan, cuma tanya. Bisa nggak, sih, jawabnya biasa aja, nggak usah pakai otot?" protes Samuel seraya menatap sinis wajah Diandra.

"Emang siapa yang minta lo untuk bertanya?" Diandra malah membalikkan perkataan Samuel.

Setelah berjam-jam lo hanya diam tak bersuara, lalu tiba-tiba bertanya soal itu? Nggak penting banget! gerutu Diandra dalam hati.

"TERSERAH!" Kali ini giliran Samuel yang menunjukkan kekesalannya.

Samuel kembali bungkam, lalu fokus ke depan. Dia sengaja menambah kecepatan laju kemudinya, merasa kesal dengan Diandra yang selalu saja menunjukkan sikap tidak suka terhadapnya.

Dua jam berlalu. Samuel menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Diandra. Diandra terdiam sejenak, sebelum memutuskan untuk turun dari mobil itu. Rasanya dia begitu canggung untuk mengatakan sesuatu hal kepada Samuel, meskipun hanya sekadar ucapan terima kasih.

Kejadian di pantai lima hari lalu yang melibatkan dirinya dengan Samuel, seolah-olah begitu cepat mengubah keadaan. Dia menjadi merasa tidak memiliki kebebasan baik dalam bersikap, maupun berbicara di depan pria itu. Mulutnya terasa kelu, bahkan setiap anggota tubuhnya seolah-olah terasa kaku.

Diandra menghela napas, berusaha menetralkan perasaannya. Pada akhirnya dia pun mulai membuka suara.

"Thanks untuk tumpangannya." Diandra langsung berbalik badan, menghadap pintu mobil. Dia berniat untuk segera turun dari mobil itu.

"Ra, tunggu!" panggil Samuel seraya meraih tangan Diandra, sontak membuat wanita itu mengurungkan niatnya.

Diandra langsung menoleh dan sedikit termangu atas perlakuan Samuel kali ini. Seketika jantungnya berpacu begitu cepat. Bahkan, dia dapat mendengar dengan jelas detak jantungnya di dalam sana. Belakangan ini, dia memang selalu merasakan getaran itu, ketika berada di dekat Samuel.

Tepat di hari kedua mereka berlibur di pantai, Diandra mulai menyadari akan hal itu dan merasakan getaran yang begitu kuat di dalam sana. Getaran yang baru pertama kali dia rasakan, dan itu sangat mengganggu pikirannya.

Diandra menatap sayu sorot mata elang itu, pun sebaliknya. Hingga tatapan mereka terkunci beberapa saat.

Perputaran bumi seakan-akan terhenti beberapa saat. Tak ada yang ingin mengalah untuk mengakhiri tatapan itu. Sungguh itu terlalu indah bagi keduanya, jika dilewatkan begitu saja.

Cukup lama mereka dalam posisi seperti itu, hingga getar ponsel milik Diandra, seketika membuat mereka tersadar.

Secepat kilat Diandra memalingkan wajah, berniat untuk memeriksa ponsel itu. Namun, lagi-lagi Samuel menahannya dengan mempererat genggaman tangan itu.

"Kenapa, sih, Sam?" Diandra melayangkan protesnya dengan nada bicara masih sama seperti sebelumnya.

Samuel menatap teduh wajah Diandra, semburat kesedihan tampak di wajahnya. Entah apa yang sedang mengganggu pikirannya saat itu.

"Aku ...." Samuel tidak melanjutkan ucapannya. Rasanya berat sekali untuk mengajak Diandra berbicara.

Seketika Diandra mengangkat sebelah alisnya, merasa heran dengan sikap Samuel yang tiba-tiba berubah.

Aku? Sejak kapan "Gue" berubah jadi "Aku"? pikir Diandra saat itu.

"Besok pagi, aku berangkat ke New York ...," lirihnya lagi-lagi memberi jeda. "Kamu tunggu aku, ya!"

avataravatar
Next chapter