webnovel

Dia Masih Romantis

Setiap dia berangkat mengajar, suami saya tak lupa menyempatkan waktunya untuk terlebih dahulu mengantar istrinya ke sekolah yang berbeda. Kami yang sama-sama berprofesi sebagai guru tentunya dari awal pernikahan juga sudah berkomitmen sama, yaitu akan menjadi pengabdi di sekolah. Kami akan semaksimal mungkin mengajar demi mencerdaskan anak didik yang berkarakter. Itulah cita-cita kami –meskipun harus saya berkata jujur, kalau kami juga melakukannya semampu kami, sebisa mungkin. Memang kami pun tidak akan pernah sempurna dalam mengajar karena kami juga manusia, yang tak bisa lepas dari salah dan hilaf.

Pagi ini, tepatnya hari senin di sekolah tempat saya mengajar yaitu sekolah As-sa’adah Ranca Manik –saya pun turun dari motor suami. Serasa anak muda yang pacaran, tadi saya duduk menyamping diboncengnya.

“Semangat mengajarnya ya, Ma,” ucapnya seraya tangan sang imam keluarga itu saya cium.

Tiba-tiba, anak-anak sekolah yang bertugas menjaga gerbang ditambah yang berseliweran masuk gerbang berdatangan –mereka belum telat, malah terbilang anak-anak rajin … setengah jam sebelum upacara bendera mereka sudah ada di sekolah –mendapati saya yang baru saja diberikan semangat oleh sang suami, dengan senangnya satu persatu dari mereka menyalami tangan saya dan tak lupa juga mereka menyalami tangan mas Rifki sekalian. Mas Rifki suami saya.

Ini adalah moment yang juga paling saya suka. Mas Rifki selalu ramah pada mereka dan bahkan juga selalu menyempatkan waktu untuk bercanda meskipun tidak ada murid yang dia kenal di sekolah ini. Sekolah yang menjadi tempat satu-satunya saya mengajar.

Karena saya tidak bisa naik motor, jadi Mas Rifki menyuruh istrinya ini untuk hanya fokus di satu sekolah saja agar lebih mudah untuk pulang dan perginya nanti. Terlebih enaknya lagi, saya selalu diberi tumpangan oleh rekan kerja saya, entah itu oleh Pak Soni –teman suami saya sendiri maupun Bu Astri yang sama-sama pulang melewati jalur yang sama.

“Periksa lagi atributnya, nanti kalau enggak kumplit disuruh pulang lagi tuh sama kakak-kakak OSIS yang bertugas,” goda sang suami pada anak-anak MTs.

Di sekolah ini, ada MTs dan juga MA. Saya mengajar di keduanya.

Para murid itu hanya tertawa menanggapi candaan suami saya, sesekali juga ada yang menimpali dengan candaan, tapi jarang. Selebihnya mereka hanya tertawa geli dengan riang. Anak-anak memang lebih suka pada orang dewasa yang bisa dengan mudah beradaptasi dengan mereka, mencoba paham tentang dunia mereka dan melihat menggunakan cara pandang mereka agar bisa menjadi lebih rekat.

Setelah para murid berlalu, sang suami juga pergi dan melontarkan Kiss Bye-Nya. Sungguh geli, tapi membuat hari-hari begitu romantis.

Padahal, kami sudah berkepala dua. Maksud saya, kepala kami tetap masih satu. Enggak mungkin ngedadak bisa di duplikat kan? Hehe, lebih tepatnya kami sudah punya dua anak –yang pertama anak kami yang laki-laki bernama Muhammad Faiz At-tabbrani yang biasa kami panggil Faiz.

Dia masih duduk di kelas dua SMA, dan anak perempuan kami yang kedua bernama Siti Fatimah yang biasa kami panggil Imah masih duduk di kelas lima Sekolah Dasar. Dia sangat tidak mau dipanggil Siti, katanya nama itu terlalu pasaran. Saya dan Mas Rifki tertawa ketika Imah yang sudah cukup besar itu memprotes kalau dia tidak mau kami panggil dengan sebutan Siti. Ya … anak bungsu memang sering tawar menawar dengan orang tua.

Karakter manja Imah juga sudah sangat melekat, seperti kalau dia ingin jajan ice cream dan ayahnya yang harus membelikannya, pasti harus kami turuti karena kalau tidak, Imah akan merajuk sampai berhari-hari dan senjatanya adalah mogok makan.

Badannya yang kurus tentu akan semakin membuatnya seperti tengkorak hidup. Ah, Imah memang jarang makan dan lebih seringnya jajan apalagi kurang asupan minum air putih –tambah keringlah kulitnya yang lebih cokelat dari Faiz. Anak seusianya pun memang seringlah bersikap yang sama.

Saya dan Mas Rifki sebenarnya tidak memanjakkan anak-anak, hanya saja memang Imah berbeda. Mungkin itu juga ujian bagi kami, Alloh ingin menguji kesabaran kami sebagai orang tua. Imah yang manja, sebenarnya juga sering mengingatkan saya tentang masa-masa SMA dulu. Ibu saya juga sering jengkel karena saya, syukur banget Mas Rifki yang saat itu adalah guru muda di sekolah, mau menikah dengan saya yang sudah diketahui satu sekolah kalau saya, si Meta ini adalah gadis paling centil dan cerewet yang pernah ada dan bahkan sang suami juga melamar saya mendadak, tidak ada prasangka terhadapnya kalau dia menyukai saya dulu.

Saat itu juga, saya terima saja karena dia memang guru yang baik. Sangat cocok jadi Imam Rumah Tangga kelak, dan ternyata memang benar, dia sangat memperlakukan saya seperti Ratu. Begitu spesial dengan perhatian yang selalu dia tumpahkan kepada saya.

Menikah muda itu keputusan yang begitu sulit bagi saya, ketika semua orang ramai-ramai membuat lamaran untuk bekerja atau juga mengurus persyaratan kuliah. Saya justru duduk di rumah, ngemil, ngurusin pekerjaan rumah dari ngepel, cuci piring, nyuci baju, jemur baju sampai mengangkat jemuran yang sudah kering dan melicinnya. Kemudian nunggu suami pulang ke rumah. Tak menentu. Mas Rifki kadang pulang setengah hari, kadang juga pulang sore. Tergantung dia mengajar di sekolah mana dan tergantung juga bisnisnya sedang lancar atau tidak.

Teman-teman dekat di sekolah pun pernah menyempatkan waktu mereka untuk berkunjung ke rumah di tiga bulan pertama setelah saya menikah, itung-itung menemani saya yang enggak sibuk apa-apa di rumah selain sebagai Ibu Rumah Tangga.

Mereka pun celetuk bilang kalau mereka sangat ingin di posisi saya. Katanya jadi saya enak, enggak kayak mereka yang harus keliling sana keliling sini mencari pekerjaan, menjalani tes kerja tapi ujung-ujungnya enggak diterima. Mau menikah juga tidak ada pasangannya, tapi berbeda dengan mereka-mereka yang memilih kuliah.

Tidak juga mesti harus lancar-lancar saja, semuanya memiliki masalah masing-masing. Namun, persoalannya saja yang berbeda. Ada mereka yang enggak lulus dari PTN impian dan jadi kurang percaya diri masuk ke perguruan swasta, ada yang kebingungan pilih jurusan dan ada juga yang maunya di kampus ini tapi orang tua enggak setuju.

Begitulah polemik teman-teman saya waktu itu. Saya jadi merasa bersyukur menikah dengan seorang guru yang usianya tidak terlalu jauh dengan saya, selain baik meskipun tidak terlalu tampan, manis-manis madulah tapi dia adalah keturunan orang berada. Jadi, saat sudah menikah saya langsung diboyongnya ke rumah warisan yang seratus persen haknya. Cukup luas dan sudah diisi dengan perabot rumah tangga dari mertua, saya tinggal menikmati dan berproses menjadi istri yang baik untuk Mas Rifki.

Tapi, ada keunikkan dari teman-teman cowok gacor saya. Mereka kaum logika juga tidak sepenuhnya cuek ketika sudah lulus sekolah. Ada yang sulit keterima kerja karena selalu gagal di tes matematika, ada yang enggak mau lulus karena katanya dunia luar begitu kejam untuk laki-laki, itu adalah alasan kebanyakan teman cowok saya yang bingung ketika calon mertua mereka menuntut mereka untuk segera melamar putrinya. Pacaran sejak SMA sih, jadinya gituh.

Beragamlah, yang pastinya kehidupan saya termasuk ke dalam daftar orang-orang yang beruntung waktu itu.

Tapi waktu itu ya … tidak setelah saya menikah dengan suami saya selama 17 tahun berlangsung.

Jadi ceritanya begini,

Suami saya baik, dia juga adalah Ayah yang royal pada kedua anak kami. Tapi, perlahan entah mengapa saya merasakan ada yang berbeda dari sikapnya setelah dia memutuskan untuk tidak sekamar dengan saya. Bukan karena kami memutuskan pisah ranjang setelah bertengkar. Tidak. Bahkan kami tidak pernah bertengkar, bukan tidak pernah sih, tapi sangat jarang. Mas Rifki selalu mengalah dan bisa membuat saya kembali tersenyum dan tidak butuh waktu lama untuk kami bisa berdamai kembali.

Next chapter