webnovel

Blissful Sleep

Hari ini adalah hari di mana tahun baru sudah dimulai. Setelah pesta bakar-bakar dan kembang api semalam di rumah Kiki, akhirnya dia bersama yang lain menghabiskan waktu untuk bercerita dengan topik yang berat.

Mereka-mereka yang menginvasi rumah Kiki tanpa izin itu adalah makhluk alien dari planet lain, di antaranya; Julian, Rendy dan Iblis Hazel. Mereka sebelas dua belas sama jelangkung, datang tak dijemput—dan semoga pulang tak minta diantar.

Jadi, karena semalam di antara mereka tidak ada yang bisa tidur akhirnya Kiki dan Rendy memutuskan untuk menceritakan semua kejadian di rumah dukun Mbah Badrum.

Bisa dibayangin bagaimana ekspresi shock Julian ketika mendengar kalau semua kesialan yang terjadi di hidupnya itu adalah sebuah rekayasa. Kiki memutuskan untuk menceritakan hal itu sebab teror telepon yang diterima Julian tadi malam kembali terulang.

Julian memang orang yang tak bisa berprasangka buruk sama orang, ketika Rendy menjelaskan kalau si peneror itu adalah Gilang, dia tidak percaya sama sekali. Barulah ketika Kiki membeberkan semua kelakuan Gilang, akhirnya dia percaya.

Cerita yang menguras banyak waktu itu akhirnya selesai sampai jam lima subuh. Pada akhirnya mereka semua tidak tidur karena lepas dari kantuk. Sekarang Kiki duduk di ruang televisi bersama pasangan baru Hazel-Julian yang baru jadian.

Kiki merasa seperti lilin yang dinyalakan padahal tidak mati lampu.

Kalau Kiki lihat Hazel itu tipikal orang yang lembut dan pasrah di depan Julian.

Saat dia melihat Hazel pamit ke toilet, kesempatan itu Kiki memanfaatkan waktu untuk mengobrol dengan Julian.

"Jul, lo yakin jadian sama Hazel? Nggak ada yang lebih gila lagi apa?"

Julian tak langsung ngejawab, berpikir lama.

"Jul, inget Karina. Lo sama dia belum putus. Kalau lo aja kayak gini, lo nggak jauh beda dong sama Hazel?! Playboy juga."

Julian bungkam seribu bahasa, melirik saja tidak. Tak lama setelah itu akhirnya dia narik napas. "Gue harus gimana, Ki?"

Kiki mengaruk kepalanya, mendadak tak tega dengan mode lemah Julian. "Ya, pilih salah satu. Hazel atau Karina?! Kalau gue sih pilih Karina, secara itu hubungan yang paling normal."

Julian diam.

"Lo harus mikirin gimana ke depannya, Jul. Hubungan kalian itu nggak—"

"Gue pilih Hazel aja," potong Julian cepat-cepat. "Udah ya. Gue ngantuk."

Setelah memotong kalimat Kiki, Julian langsung pergi meninggalkannya begitu saja ke kamar.

"Kiki?"

Ada yang manggil. Kiki menoleh dan menemukan Iblis Hazel berdiri di belakang sofa.

"Apaan?"

Hazel menarik napas berat. "Belakangan ini Julian lagi sensitif, jangan lo tambah-tambahin."

"Urusannya sama lo?"

"Ya, lo pikirin aja sendiri."

Setelah itu, Hazel juga meninggalkannya begitu saja. Kiki mendengus kesal, terang-terangan jijik dengan kelakuan pasangan gay itu. Padahal dia hanya bersikap baik bermaksud untuk menasihati Julian.

Tempat di sebelahnya tiba-tiba berderit, ada pantat mendarat di sana, pelakunya adalah Rendy.

"Gue kira lo udah tidur," kata Kiki.

"Nggak bisa, ada yang ribut di kamar lo?" Rendy menyandarkan kepalanya di badan sofa, sedikit-sedikit menyerempet ke bahu Kiki.

"Siapa?"

"Hazel sama—"

Belum juga kalimat itu selesai dari mulut Rendy, dia sudah tertidur dengan kepala yang benar-benar jatuh di bahu Kiki. Akhirnya karena Kiki sedang baik hati, dia membiarkan Rendy melakukan itu.

"Ren?" panggilnha sambil lambai-lambain tangan di depan muka Rendy. Mengetes apakah anak itu tidur sungguhan atau tidakak. Matanya sangat rapat seperti tak akan terbuka untuk beberapa jam ke depan.

Saat Kiki memperhatikan wajahnya, dia baru sadar kalau Rendy punya bulu mata yang lentik dan mata yang cenderung sipit. Bibirnya tebal berwarna agak kemerah-merahan. Kiki pernah melihat Rendy merokok tapi cuma sekali, mungkin karena jarang jadi bibir Rendy tidak terkontaminasi dan warnanya tetap merah merekah.

Bergulir ke bagian lain, Kiki melihat rambutnya yang lurus dan pendek. Bagian yang panjang cuma poninya yang berantakan itu. Strong point yang melekat dari mukanya adalah senyum iblisnya. Selain itu, ketika tidur, mukanya berbeda jauh ketika saat dia bangun.

Rendy lebih kelihatan seperti bayi polos yang tak punya dosa. Kiki tidak mengerti dia mimpi apa, tapi bibirnya kadang maju-maju minta dicium—tapi bukan berarti Kiki mau menciumnya.

Anehnya, orang yang tidur dalam pose damai seperti ini bisa berubah menjadi setan ketika bangun.

Tiba-tiba badan Rendy bergerak-gerak di sebelah dan tangan kanannya memeluk pinggang kiri Kiki.

Memejamkan matanya, Kiki mencoba untuk sabar sedikit, tapi ketika lama-kelamaan tangan itu makin seduktif dan mulai berlarian ke mana-mana, Kiki langsung memukul kepalanya.

"RENDY BANGUN NGGAK LO!"

***

Oh, apa yang terjadi?

Tiba-tiba Kiki terbangun karena ada tangan-tangan kecil yang mengguncang badannya. Saat membuka mata, Kiki melihat adiknya yang berusia delapan tahun di sampingnya berusaha membangunkan.

"Apaan sih, Dek?" tanya Kiki sambil nguap lebar.

Dia menunjuk-nujuk sebelah Kiki dan bilang, "Suruh ibu pindah ke dalem."

Secara otomatis, Kiki menengok ke sebelah dan melihat Rendy masih tidur dengan posisi yang memeluknya.

"Ren, bangun nggak lo!"

"Entar," jawab Rendy setengah mengigau.

"Buruan!"

Bukannya menjawab, dia malah meremas pinggang Kiki. Sialan! Begitu menemukan bantal, Kiki melempar benda itu ke muka Rendy, tapi tetap tak bangun juga.

"Gue cekek nih!" ancam Kiki

Adiknya yang bernama Marumi itu hanya berdiri di samping dalam diam. Entah apa yang dipikirkan anak kecil itu melihat dua cowok tidur berpelukan. Mampus.

"Rend—Ngh!" Kiki mendorong kepala Rendy jauh-jauh ketika dia mulai manfaatin kelemahan Kiki.

Ya—kalau memang belum tahu, bagian tersensitif dari badan Kiki adalah telinga.

"Nnh—Ren."

"Ki, kamu ngapain? Suara apa tadi?"

Mami Tercintanya datang membawa spatula dari dapur ke ruang tengah dengan mata mendelik. Kiki melirik Rendy yang tengah memasang pose pura-pura tidur di sebelahnya.

"Suara apa? Nggak ada ya, Dek?" kilah Kiki, meminta bantuan pada adiknya.

"Bohong, tadi ada suara-suara dari Mamas pas temennya—"

"Diem!

"—lagi niup-niup—"

"DIEM NGGAK! DENGER NGGAK SURUH DIEM?!"

Marumi langsung kicep dan Rendy langsung kebangun—faktanya Rendy memang sudah bangun sejak tadi.

Sang ibu makin melotot. "Apa sih kamu marah-marah sama adek, sana pindah tidur di kamar. Mandi kek, apa kek. Udah siang masih molor aja!"

Kiki menggaruk kepalanya mendengar teriakan merdu sang ibu. Beliau memang suka sekali konser dadakan di rumah. Saat dia melirik Rendy, anak itu kelihatan bingung seolah-olah nyawanya belum kumpul secara penuh.

Kiki malu sekali.

"Nyokap gue emang gitu kalau marah."

Rendy diam saja dan mukanya kembali dalam mode flat. Sehabis itu Rendy memejam mata lagi.

Kiki berdecak. "Kok malah tidur lagi? Ayo, ke kamar! Biar dah sumpek ada pengantin baru."

"Mereka udah pulang."

"Ha, kapan? Kok gue nggak tau?" Kiki melotot tak percaya. Melihat jam dinding yang ternyata sudah jam sepuluh pagi.

"Sejam yang lalu mungkin."

Jadi, mereka pergi tanpa pamit dulu?

"Ya udah, yuk, pindah ke kamar!" Kiki menarik tangan Rendy buat bangun.

"Gue lemes."

Kiki memutar bola mata. "Lemes apanya coba?!"

"Lemes itunya."

Kiki memukul kepala Rendy, saat dia berspekulasi aneh-aneh. Rendy mengusap kepalanya. "Jangan mikir mesum, Ki."

"Emang apaan coba yang lemes?" tanya Kiki, jengkel.

"Ya, itunya."

"Itunya apa? Yang mana?"

"Masa mesti gue tunjukin!" Rendy ikut-ikut kesal.

"Tunjukin aja!"

"Yakin?"

"Ya, yakin ... udah, tunjukin cepetan!"

Rendy buru-buru menegakkan badannya dan berdiri di samping Kiki.

"Ah, gue lemes," katanya.

Kiki tidak mengerti, hanya tiba-tiba dia merasa kejatuhan beras seratus kilogram dan terpaksa ikut jatuh ke sofa.

Bayangkan sendiri apa yang terjadi.

***

SAMBALA SAMBALA BALASAMBALADO TERASA PEDAS TERASA PANAS ♫♪♫

Muka Kiki pucat mendengar ringtone semacam itu mengotori kamarnya. Benda yang bergetar dengan nada itu asalnya dari orang di sebelahnya—yang lagi molor sama pose damai.

"Ren, HP lo bunyi tuh."

Suara-suara itu kembali terdengar sampai akhirnya Kiki bangun dari posisi.

"Ren, buruan angkat sebelum gue pecahin barang itu?!"

"Barang yang mana?"

"Yang—HEH, sekarang lo 'kan yang mesum?"

Rendy cekikikan sembari tangannya merogoh-rogoh sesuatu di bawahnya. Hampir saja Kiki mikir aneh melihat Rendy dengan posisi yang tengkurap dan tangan merayap ke bawah. Untungnya tak sampai senista yang Kiki pikirkan sewaktu Rendy menyodorkan ponselnya yang digantung strap berbentuk tomat itu pada Kiki.

"Apaan?"

Rendy tak menengok sama sekali. "Angkatin tolong, mungkin kakak gue."

"Ogah, angkat aja sendiri!" tolak Kiki, merebahkan badan lagi ke kasur.

"Cepetan!"

Ringtone itu mati sebentar, beberapa detik kemudian bunyi lagi. Rendy menarik tangan Kiki dan menaruh ponselnya di sana.

"Jadi, gue kudu bilang apa? Lo udah mati gitu?"

Rendy berseringai. "Bilang aja, gue udah di jalan yang benar."

Langsung saja Kiki angkat telepon yang layarnya tertera nama Kakak Pataya.

"Halo?"

"Renren, kamu di mana?"

"Ini Kiki, Kak, Rendy molor di rumah aku. Semaleman di sini kita bakar-bakar dan begadang. Jadi, mungkin dia lelah dan langsung ngorok. Di sini berempat kok, bukan berdua aja."

Sebelum Pataya bertanya macam-macam Kiki langsung menjelaskan secara detail supaya tak ada kesalahpahaman.

"Oh, bilangin sama Rendy ya kalau kakak bakal nginep di rumah nenek untuk syukuran ponakan jauh. Biasanya Rendy males kalau diajak ke sana, jadi nggak aku ajak deh."

Kiki tidak tahu kalau Rendy bahkan apatis pada keluarganya juga.

"Itu aja, Kak?" tanya Kiki.

"Iya, makasih ya, Kiki. Jagain Renren lho takutnya ilang."

"Iya nanti aku iket di pohon."

Kiki mendengar Pataya terkikik pelan sebelum.akhirnya pamit untuk menutup sambungan. Telepon akhirnya mati dan Rendy langsung bangun dan mengambil ponselnya tanpa bertanya apa pun.

"Kak Taya mau ke kampung nenek, katanya," lapor Kiki.

"Nenek gue di Bogor doang, nggak jauh," jawabnya singkat.

"Oh, kirain."

Rendy mulai sibuk otak-atik ponselnya, sesekali melirik Kiki dan membuatnya risih entah kenapa. "Dia ngasih tau nggak, nginepnya berapa hari?"

"Nggak," jawab Kiki singkat.

"Oh."

Sebuah rasa penasaran mencucuk di kepala Kiki. "Ren, kenapa lo nggak ikut kakak lo aja? Kan libur?"

Rendy melirik sekilas. "Males aja, kemarin tante gue udah nelpon duluan sebelum Kak Taya ngabarin gue."

"Males? Sama sodara sendiri? Betapa anti sosialnya dirimu, Rendy."

Rendy mengangguk. "Soalnya rumah gue yang lama ada di sana."

Rumah? Apa maksudnya?

Berkat kalimat keramat yang satu itu, Kiki berakhir terdampar di rumah Rendy. Dia sama sekali tidak minta diantar—tapi Kiki memang sengaja memaksa Rendy untuk ikut dan memutuskan untuk menginap di sana sampai Pataya balik.

Ini cuma soal amanah Pataya yang memintanya menjaga Rendy kok.

Kiki juga tak mengerti apa yang mendorongnya untuk melakukan hal itu. Rasanya Kiki ingin menenggelamkan mukanya ke dalam sumur saat melihat reaksi Rendy ketika Kiki memaksa untuk menginap. Rendy benar-benar memasang wajah curiga.

Sebenarnya alasan Rendy untuk tidak pulang ke Bogor ikut Pataya itu terdengar tak ada masalah, tapi menurut Kiki ada yang mengganjal dari ekspresi Rendy saat itu. Bisa jadi rumah lamanya itu artinya rumah yang ditinggalinya bersama orang tuanya dulu—dan Rendy tak sanggup untuk ke sana.

Kiki melirik Rendy yang sibuk sama kunci pintu.

"Pembantu lo nggak dateng?" tanya Kiki saat pintu sudah terbuka, kita sampai di rumah Rendy hampir petang. Siapa sangka kalau mereka bakal lanjut tidur sampai siang dan memutuskan untuk bermalas-malasan di rumah Kiki sampai sore.

"Liburan tahun baru."

Rendy sudah masuk terlebih dahulu ke dalam dan Kiki mengikuti dari belakang. Karena merasa haus, Kiki langsung menuju ke kulkas untuk ambil minum. Ada memo kecil yang diselipkan magnet pada pintu kulkas itu.

Renren jangan lupa idupin lampu teras dan kunci pintu. Oke?

Antara ingin tertawa dan geli sekaligus melihat memo itu. Isinya seolah-olah sedang memperingatkan seorang bocah, apalagi ditambah emotikon kissu.

"Lo mau makan nggak?"

Kiki.terlonjak kaget saat mendengar suara tiba-tiba di belakangnya. Dia mengumpat.

"Kampret lo. Kaget gue!" kata Kiki sewot sambil elus-elus dada.

Rendy mengernyitikan dahinya. Kelihatan masih ngantuk. "Suruh siapa bengong?" katanya, lalu dia melihat memo yang masih Kiki pegang. Memo itu direbutnya dan dibuang ke tong sampah.

"Kok dibuang?"

"Kan udah gue baca."

Rendy langsung balik ke kamar begitu dia mengambil air es dari kulkas. Kiki mengikutinya sampai ke kamar dan dia sudah duduk bersila di kasur. Ternyata dia mulai sibuk dengan ponselnya.

"Lo mau pesen apa?" tanya Rendy sambil melirik Kiki, belum sempat Kiki menjawab, Rendy keluar kamar. Tak lama kemudian dia kembali, tampak baru saja habis menelepon. "Udah gue pesen."

Kiki tersenyum hampa, untuk apa bertanya kalau nyatanya pendapat Kiki tidaklah penting?

Sambil menunggu pesanan datang, mereka berdua saling menyibukkan diri sama ponsel. Yang ada di pikiran Kiki sekarang adalah makanan macam apa yang bakal di pesan Rendy untuk mereka berdua. Anak itu sekarang sibuk pada game di androidnya. Mukanya serius banget.

Setengah jam kemudian bel di depan bunyi dan Rendy langsung lari ke arah depan.

Apakah dia sebegitu laparnya?

Rendy balik tak lama kemudian sambil menenteng dua bungkusan di tangannya. Yang satu bentuknya kotak dan satu lagi bentuknya panjang seperti sarung pedang. Ha? Makanan apa yang dibungkus kayu panjang semeteran begitu?

Kiki ingin bertanya, tapi bungkusan itu sudah dibuka di atas karpet dan dia menyuruh Kiki makan. Ternyata itu isinya sosis yang sangat panjang.

"Ini sosis apaan, panjang bener? Gue kira tadi isinya pedang, trus kita makan pedang."

"Iya, emang pedang. Pedang laki-laki. Liat deh, mirip pedang, 'kan?" Rendy menunjuk sosis satu meter itu sambil senyum misterius.

Ya—karena otak Kiki cepat menyangkut sama hal-hal berbau mesum, dia langsung berpikir pada 'pedang' yang dimaksud Rendy.

"Kalau pedangnya panjang gini gimana masuknya?"

Rendy mengangkat bahunya. "Masukin semuanya lah."

"Anjir, besoknya mati kali dimasukin pedang sepanjang itu."

Rendy menyeringai misterius, mereka kalau bahas mesum memang paham. 

Kiki melirik Rendy yang sibuk memakan bungkusan yang ada di kotak yang satu lagi yang ternyata isinya pizza. Otak mesumnya hilang seketika. Saat dia melihat cara Rendy makan, entah kenapa dia kelihatan anggun dan menghayati.

Akhirnya Kiki mencomot satu potongan sosis sepanjang—kira-kira dua puluh sentian mungkin dan Kiki mengulumnya di mulut. Rendy menatapnya tanpa berkedip.

"Kenapa muka lo? Kayak minta disodomi gitu?" Kiki mengunyah sosis itu dengan khidmat kemudian.

"Kenapa sosisnya lo emut-emut tadi?" tanya Rendy, polos.

"Hah?"

Maksud pertanyaannya itu apa—Oh. OH. Oke. Kiki mengerti! Dia sudah tahu kalau topik cowok kalau berdua memang tidak jauh dari kata mesum. 

"Bedebah kamu, ya, Renren. Aku tau kamu sebenernya mesum. Hentai."

Rendy menaikkan sebelah alisnya. "Aku tidak akan mesum kalau kamu tidak mesum, Risris."

Oke. Mungkin mereka lebih cocok memakai sapaan aku-kamu seperti ini. Kelihatan sekali kalau mereka berdua ini cowok remaja polos dengan catatan kepribadian yang baik. Tapi tunggu sebentar, apa maksudnya Risris?

"Nama gue Rizky!"

"Dan nama gue Rendy."

"Trus?"

"Berhenti manggil gue Renren."

"Emang kenapa, setan?! Gue mau manggil lo Renren kek, Runrun kek, Iblis, Bedebah, Omes, Per—UMPH."

"Diem nggak lo. Nih emut aja sosis kesayangan lo. Kan mirip-mirip sama ...."

Rendy menatap gue dengan naik-turuin alisnya. Kiki mendelik saat Rendy tidak melanjutkan kalimatnya  seolah-olah dia menyuruh Kiki untuk melanjutkan dengan fantasinya sendiri.

"Dasar Iblis!" umpatnya.

"Hm? Puas-puasin aja, dosa gue pindah semua ke lo. Nih, hush, hush." Rendy memeragakan gaya mentransfer dosa ke badan Kiki.

"Idih, males nerima dosa lo. Haram."

Akhirnya setelah pedebatan itu, Kiki dan Rendy akhirnya berdiam diri. Dan Kiki adalah orang yang sama sekali tidak bisa diam barang sebentar. Nafsu makannya juga sudah hilang dan dia memandangi Rendy yang sibuk makan pizza sambil main game.

Ekspresi Rendy saat sibuk sama gadget seperti biasa kelihatan sangat serius. Rendy itu salah satu orang yang perlu dikasih tepuk tangan meriah untuk rekornya yang satu ini. Dia bisa jadi kalem dan cool bersamaan ketika udah dihadapin sama game.

Kiki pernah melihat isi ponselnya, dan memang sebagian besar isinya cuma game.

Pantes saja Rendy sangat damai kalau sibuk pada ponselnya.

Ngomong-ngomong ada satu hal yang mengganjal di hati Kiki, dan saat itu juga dia ingin menanyakannya pada Rendy. Ini tentang hubungan Hazel dan Julian, karena selama ini Rendy tidak pernah komentar tentang hubungan mereka. Bagaimana sebenarnya hubungan itu menurut sudut pandangnya.

"Ren?"

"Hn?"

Rendy sama sekali tidak mengalihkan matanya dari ponsel, Kiki terpaksa merapat dan duduk di sebelahnya sambil ngelirik apa yang lagi dia lihat. Ternyata Rendy sedang bermain Larva Heroes.

"Kenapa?" tanya Rendy lagi.

Kiki menarik napas. "Apa yang ada di pikiran lo soal hubungan Hazel sama Julian?"

Tanpa diduga-duga Rendy langsung mendongak dan melihat Kiki dengan kaget. Tepat sekali saat itu muka Kiki sedang menjulur ke arah layar ponsel dan hidungnya otomatis menempel di pipi Rendy.

Kiki langsung mendorong mukanya jauh-jauh.

"Muka lo kedeketan, njir."

Rendy terkekeh, lalu menutup aplikasi ponselnya. "Kenapa lo tiba-tiba nanyain itu?"

"Jawab aja yang lugas antara hitam dan putih. Jangan ambigu, gantung dan abu-abu apalagi—"

"Lo ngomong apa sih?"

"Itu dia, gue juga nggak ngerti ngomong apaan. Ya udah, jawab aja yang tadi?" kata Kiki.

"Putih," jawabnya singkat.

"Maksud lo dengan putih?"

Rendy nggak langsung jawab, Kiki langsung menjabarkan apa maksud jawaban Rendy. Pertama telaah dulu dari pertanyaannya;

Apa yang ada di pikiran lo soal hubungan Hazel sama Julian?

Nggak ada yang aneh.

Lalu beralih sama pilihan jawaban yang Kiki kasih; Hitam/Putih/Abu-abu.

Hitam artinya negatif atau tidak setuju. Putih artinya positif atau setuju. Abu-abu artinya mengambang—maksudnya berarti masih tidak jelas atau setengah setuju dan setengah tidak setuju.

Jawaban Rendy tadi putih kalau begitu artinya—

"Eh, anjir, lo maho juga ya?"

"Gue juga belum tau sih."

"Ha?" Kiki menatap Rendy takut-takut.

"Soalnya kalau di deket lo gue mendadak lupa, gue ini normal atau nggak."

Dapuq!

Kiki sangat menyesal, hanya karena melihat betapa polosnya Rendy saat tidur dan mengetahui betapa mirisnya kisah hidupnya, Kiki jadi terdampar di sini.

tbc.

Note: Hai, sebelumnya mau info, kalo mau baca ini sebenernya kalian aku saranin baca Run To Him dulu, novel ini bisa ditemukan lengkapnya di dreame. Terima kasih ;)

Next chapter